Anda di halaman 1dari 11

UJIAN AKHIR SEMESTER GENAP 114

MKU
Sejarah Sastra

Disusun oleh:

Afiifah Rahmah Putri


1201620052
Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

2021
Profil Sapardi Djoko Damono

Nama : Sapardi Djoko Damono


Tempat Lahir : Kampung Baturono, Solo, Jawa Tengah
Tanggal Lahir : Rabu, 20 Maret 1940
Nama Ayah : Sadyoko
Nama Ibu : Sapariah
Nama Pasangan : Wardiningsih
Anak : Rasti Suryandani dan Rizki Henriko
Profesi : Sastrawan
Tahun Aktif : 1958-2020
Wafat : 19 Juli 2020
Prof. Dr. Sapardi Djoko Damono lahir di rumah kakeknya dari pihak ayah di
kampung Baturono, Solo pada tanggal 20 Maret 1940. Ia merupakan putra sulung dari dua
bersaudara dari pasangan Sadyoko dan Sapariah. Sapardi menjalani masa kecilnya bersamaan
dengan perang kemerdekaan Indonesia. Sapardi pernah mengisahkan dalam bukunya,
awalnya kehidupan keluarga dari pihak ibunya terbilang berkecukupan, namun keadaan
berubah seiring berjalannya waktu, mereka harus menjalani keadaan hidup yang kian sulit.

Demi menafkahi keluarga, ibu Sapardi berjualan buku. Sementara ayahnya memilih
pergi, hinggap dari satu desa ke desa yang lain menghindar dari tentara Belanda yang saat itu
kerap menangkapi kaum lelaki walaupun bukan seorang pejuang. Ayah Sapardi pun juga
bukan seorang pejuang. Sadyoko, ayah Sapardi, awalnya bekerja sebagai abdi dalem Keraton
Kasunanan Surakarta mengikuti jejak sang ayah (kakek Sapardi). Setelah menikah, ia
menjadi pegawai negeri sipil di Jawatan Pekerjaan Umum. Kakek Sapardi, selain menjadi
abdi dalem Keraton Kasunanan Surakarta, ia juga memiliki keahlian membuat wayang kulit.
Sapardi dan adiknya, Soetjipto Djoko Sasono, pernah mendapat seperangkat wayang kulit
pemberian sang kakek.

Pada tahun 1943, saat itu kekuasaan Belanda atas Indonesia telah berpindah ke tangan
Jepang, Sadyoko memutuskan pindah ke kampung Dhawung dan menyewa sebuah rumah di
sana. Kala itu, ibu Sapardi hampir saja direkrut menjadi prajurit tentara Jepang, namun
dirinya selamat lantaran tengah mengandung adik Sapardi, Soetjipto.

Pada tahun 1945, setelah Jepang menyerah kepada pasukan Sekutu, keluarga Sadyoko
pindah ke Ngadijayan, tinggal di rumah milik orang tua dari Sapariah, istrinya atau ibunda
Sapardi. Sayangnya, sang kakek (ayah Sapariah) tidak bisa menata hidup dengan baik dan
akhirnya rumah itu pun digadaikan tanpa ada pemberitahuan apapun kepada keluarga.
Sampai sang kakek meninggal, rumah yang telah digadaikan itu belum juga ditebus kembali.
Akhirnya rumah yang cukup luas itu dilelang dengan harga rendah, uang hasil penjualan
dibagi menjadi tiga, untuk ibu Sapardi dan dua pamannya.

Pada 1957, Sadyoko bersama keluarga memutuskan meninggalkan Ngadijayan dan


pindah ke sebuah kampung bernama Kompang. Saat itu, suasana desa itu masih sangat sepi
dan belum ada listrik Awal-awal tinggal di rumah baru, Sapardi merasa aneh karena tak lagi
bisa keluyuran menonton pertunjukan wayang kulit seperti yang sering ia lakukan ketika
tinggal di Ngadijayan. Namun lambat laun, ia pun terbiasa dengan suasana baru dan memilih
untuk lebih banyak tinggal di rumah.

“Mungkin karena suasana yang ‘aneh’ itu menyebabkan saya memiliki waktu luang
yang banyak dan ‘kesendirian’ yang tidak bisa saya dapatkan di tengah kota,” katanya.

Ketika Sapardi menikmati kesendiriannya itu, ia banyak menghabiskan waktu dengan


merenung, mengamati berbagai gejala-gejala alam. Di saat-saat itu juga, ia mulai belajar
menulis sebagaimana yang pernah ia katakan, “Saya belajar menulis pada bulan November
1957.”

Waktu itu, Sapardi duduk di kelas 2 SMA. Keinginannya menulis berawal dari
kegemarannya membaca sejak kecil. Ia sangat menyukai karya-karya sastra dari beberapa
pengarang nasional mamupun luar seperti: W.S. Rendra, Karl May, William Saroyan, dan
T.S. Eliot. Untuk ukuran anak SMA, buku drama puisi karya T.S. Eliot memang tak gampang
untuk dicerna. Sapardi sendiri pun mengakui kalau ia hanya mampu memahaminya 25% saja.

Pendidikan Sapardi Djoko Damono

Sapardi menempuh pendidikan dasarnya di Sekolah Dasar Kasatrian, sebuah sekolah


dasar yang khusus diperuntukkan bagi laki-laki dari kerabat Keraton. Lulus dari SD, Sapardi
meneruskan pendidikan ke SMP 2 di daerah Mangkunegaran dan lulus pada tahun 1955.
Setelah lulus, ia melanjutkan ke SMA 2 di Margoyudan dan lulus pada tahun 1958.

Setamat dari SMA. Sapardi melanjutkan pendidikan di Jurusan Sastra Barat (sekarang
Sastra Inggris), Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada (UGM).
Setamatnya dari UGM tahun 1964, Sapardi lanjutkan studi ke Universitas Hawaii, Honolulu,
Amerika Serikat (1970-1971) dan memeperoleh gelar doktornya di Universitas Indonesia
tahun 1989.

Pada saat masa-masa SMA, Sapardi bertemu dengan Jeihan Sukmantoro dan
berteman baik dengannya. Selain berteman dengan seorang pelukis, Sapardi juga memiliki
bakat melukis. Karya lukisnya bahkan pernah dilelang untuk amal bersama dengan beberapa
pelukis lain. Dalam dunia teater, Sapardi pernah menjadi sutradara menggarap sebuah pentas
drama Petang di Taman karya Iwan Simatupang. Ia juga pernah berperan sebagai lakon
ketika tergabung dengan Teater Rendra pimpinan W.S. Rendra.

Saat menempuh studi di UGM, Sapardi kerap mengisi acara-acara kampus dengan
membacakan puisi bersama dengan teman-temannya yang memiliki kecintaan yang sama
pada bidang seni. Pernah juga Sapardi menjadi gitaris ketika belajar di Fakultas Sastra dan
Kebudayaan UGM. Diceritakan oleh Umar Kayam, ketika menjadi Dekan di Fakultas Sastra
UI, Sapardi kerap membawa gitar di kantornya.

Dari sekian banyak kemampuan Sapardi dalam bidang seni, ia lebih dikenal sebagai
seorang sastrawan lantaran karya-karyanya yang fenomenal. Karya-karyanya di bidang sastra
telah banyak diterjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia, termasuk bahasa daerah. Sapardi
menulis puisi sudah sejak duduk di kelas 2 SMA, ketika berumur 17 tahun. Karyanya dimuat
pertama kali oleh sebuah surat kabar di Semarang. Tak lama kemudian, karya-karyanya yang
berupa puisi diterbitkan di berbagai majalah sastra. majalah budaya, dan buku-buku sastra.

Sebuah karya besar Sapardi, Perahu Kertas yang berupa kumpulan sajak,
mendapatkan penghargaan dari Dewan Kesenian Jakarta (DKJ). Kumpulan sajak lain
berjudul Sihir Hujan yang kabarnya ditulis ketika dirinya sakit, memperoleh Anugerah Puisi
Poetra Malaysia.

Sejak tahun1974, Sapardi sudah mengajar di Fakultas Sastra (sekarang Fakultas Ilmu
Budaya) Universitas Indonesia sampai pensiun. Ia juga pernah menjabat sebagai dekan FIB
UI periode 1995-1999 dan menjadi guru besar. Di masa yang sama, Sapardi menjabat sebagai
redaktur majalah Horison, Basis, Kalam, Pembinaan Bahasa Indonesia, Majalah Imu-Ilmu
Sastra Indonesia, dan country editor majalah Tenggara di Kuala Lumpur, Malaysia.

Karena berbagai kontribusinya, Sapardi sempat mendapatkan beberapa penghargaan. Pada


1986, ia dapatkan SEA Write Award. Tahun 2003, memperoleh Penghargaan Achmad
Bakrie.
Karya Sastra

 Duka-Mu Abadi (1969)


 Lelaki Tua dan Laut (1973; terjemahan karya Ernest Hemingway)
 Mata Pisau (1974)
 Sepilihan Sajak George Seferis (1975; terjemahan karya George Seferis)
 Puisi Klasik Cina (1976; terjemahan)
 Lirik Klasik Parsi (1977; terjemahan)
 Dongeng-dongeng Asia untuk Anak-anak (1982, Pustaka Jaya)
 Perahu Kertas (1983)
 Sihir Hujan (1984; mendapat penghargaan Puisi Putera II di Malaysia)
 Water Color Poems (1986; translated by J.H. McGlynn)
 Suddenly The Night: The Poetry of Sapardi Djoko Damono (1988; translated by J.H.
McGlynn)
 Afrika yang Resah (1988; terjemahan)
 Mendorong Jack Kuntikunti: Sepilihan Sajak dari Australia (1991; antologi sajak
Australia, dikerjakan bersama R:F: Brissenden dan David Broks)
 Hujan Bulan Juni (1994)
 Black Magic Rain (translated by Harry G Aveling)
 Arloji (1998)
 Ayat-ayat Api (2000)
 Pengarang Telah Mati (2001; kumpulan cerpen)
 Mata Jendela (2002)
 Ada Berita Apa hari ini, Den Sastro? (2002)
 Membunuh Orang Gila (2003; kumpulan cerpen)
 Nona Koelit Koetjing: Antologi cerita pendek Indonesia Periode Awal (1870an –
1910an)” (2005; salah seorang penyusun)
 Mantra Orang Jawa (2005; puitisasi mantra tradisional Jawa dalam bahasa Indonesia)
 Before Dawn: The Poetry of Sapardi Djoko Damono (2005; translated by J.H.
McGlynn)
 Kolam (2009; kumpulan puisi)
 Sutradara Itu Menghapus Dialog Kita (2012; kumpulan puisi)
 Namaku Sita (2012; kumpulan puisi)
 The Birth of I La Galigo (2013; puitisasi epos “I La Galigo” terjemahan Muhammad
Salim, kumpulan puisi dwibahasa bersama John McGlynn)
 Hujan Bulan Juni: Sepilihan Sajak (edisi 1994 yang diperkaya dengan sajak-sajak
sejak 1959, 2013; kumpulan puisi)
 Trilogi Soekram (2015; novel)
 Hujan Bulan Juni (2015; novel)
 Melipat Jarak (2015, kumpulan puisi 1998-2015)
 Suti (2015, novel)
 Pingkan Melipat Jarak (2017;novel)
 Yang Fana Adalah Waktu (2018;novel)

Karya Nonsastra

 Sastra Lisan Indonesia (1983), ditulis bersama dengan Subagio Sastrowardoyo dan A.
Kasim Achmad. Seri Bunga Rampai Sastra ASEAN.
 Puisi Indonesia Sebelum Kemerdekaan
 Dimensi Mistik dalam Islam (1986), terjemahan karya Annemarie Schimmel
“Mystical Dimension of Islam”, salah seorang penulis.
 Jejak Realisme dalam Sastra Indonesia (2004), salah seorang penulis.
 Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas (1978).
 Politik Ideologi dan Sastra Hibrida (1999).
 Pegangan Penelitian Sastra Bandingan (2005).
 Babad Tanah Jawi (2005; penyunting bersama dengan Sonya Sondakh, terjemahan
bahasa Indonesia dari versi bahasa Jawa karya Yasadipura, Balai Pustaka 1939).
 Bilang Begini, Maksudnya Begitu (2014), buku apresiasi puisi.
Alih Wahana (2013)
 Kebudayaan (Populer) (di Sekitar) Kita (2011)
Tirani Demokrasi (2014)
 Musikalisasi puisi karya Sapardi dimulai pada tahun 1987. Tatkala beberapa
mahasiswanya membantu program Pusat Bahasa membuat musikalisasi puisi karya
beberapa penyair Indonesia.
 Kegiatan tersebut sebagai upaya mengapresiasikan sastra kepada siswa SLTA. Di saat
itulah tercipta musikalisasi Aku Ingin oleh Ags Arya Dipayana dan Hujan Bulan
Juni oleh Umar Muslim.
 Kelak, Aku Ingin diaransemen ulang oleh Dwiki Dharmawan dan menjadi bagian dari
soundtrack Cinta dalam Sepotong Roti (1991), yang dibawakan oleh Ratna Octaviani.
 Beberapa tahun kemudian, lahirlah album Hujan Bulan Juni (1990) yang seluruh
lagunya merupakan musikalisasi dari sajak-sajak Sapardi Djoko Damono. Duet Reda
Gaudiamo dan Ari Malibu adalah bagian dari beberapa penyanyi yang merupakan
mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Indonesia.
 Album “Hujan Dalam Komposisi” menyusul dirilis pada tahun 1996 dari komunitas
yang sama.
 Karena banyaknya permintaan, album Gadis Kecil (2006) diprakarsai oleh duet Dua
Ibu, yang terdiri atas Reda Gaudiamo dan Tatyana Soebianto dirilis. Lalu dilanjutkan
oleh album Becoming Dew (2007) dari duet Reda dan Ari Malibu (Ari Reda).
 Pada tahun baru 2008, Ananda Sukarlan juga mengadakan konser kantata Ars
Amatoria yang berisi interpretasinya atas puisi-puisi Sapardi dan karya beberapa
penyair lain.
Karya Yang Terkenal

Sarwono dan Pingkan adalah pemeran utama dalam novel


Hujan Bulan Juni. Salah satu dari novel trilogi yang ditulis Sapardi
Djoko Damono dan paling banyak diburu. Sebelum diterbitkan
versi novelnya, Sapardi Djoko Damono terlebih dahulu menulis
Hujan Bulan Juni dalam bentuk kumpulan puisi. Puisi-puisi yang
dituliskan Sarwono untuk Pingkan diselipkan ke dalam novel.
Kemudian novel dan puisi-puisi tersebut diadaptasi ke layar lebar.

Sapardi menulis puisi itu mulai 1964-1994. Kumpulan puisi Hujan


Bulan Juni telah dialihbahasakan ke dalam 4 bahasa yakni Inggris,
Jepang, Arab, dan Mandarin. Puisi yang terbit pada 1994 itu memuat 102 buah puisi. Sapardi
mengaku hanya membutuhkan waktu 6 bulan untuk menulis novel berjudul Hujan Bulan
Juni, yang diadaptasi dari puisi hasil karyanya. Hujan Bulan Juni, kata Sapardi, karya
pertamanya yang dibuat berdasarkan tafsiran puisi. Novel setebal 144 halaman itu bercerita
mengenai kisah getir dan manis Sarwono dan Pingkan.

Sumber :
- Artiker Tirto “Pengaruh Sapardi Djoko Damono dalam Sejarah Kesusasteraan
Indonesia”
- Gasbanter Journal
Infografis

Anda mungkin juga menyukai