Anda di halaman 1dari 4

Nama : Ziddane Kurnia Gofur

Absen : 17

Kelas : PC 5

Sapardi Djoko Damono

Pria yang lebih akrab disapa SDD ini berasal dari Solo, Jawa Tengah. Ia merupakan anak
sulung dari pasangan Sadyoko dan Sapariyah yang lahir pada tanggal 20 Maret 1940.
Sebenarnya, dirinya terjun ke dunia tulis menulis tanpa sengaja. Ia memang menyukai dunia tulis
menulis semenjak remaja. Baginya, W.S. Rendra dan T.S. Eliot-lah yang membukakan jalannya
di dunia sastra. Awalnya, ia hanya iseng mengirimkan karya-karyanya di media. Karena
sambutan yang diperolehnya begitu baik dan positif, ia menjadi semangat untuk menulis.
Sapardi Djoko Damono lahir saat Indonesia masih dijajah oleh bangsa lain, maka dari itu
kehidupannya waktu kecil pun jauh dari kata berkecukupan. Untuk memenuhi kebutuhan hidup,
Sapariyah, sang ibu bahkan harus menjual buku-buku untuk makan. Itu pun masih belum cukup
karena ia hanya bisa makan bubur dua kali sehari saja.
Semasa pendudukan Jepang, Sapardi kecil hampir saja dipisahkan dari sang ibu. Pada
waktu itu, tentara Jepang melakukan perekrutan prajurit besar-besaran. Tidak hanya laki-laki
saja, tapi juga perempuan. Beruntungnya pada saat itu ibunya sedang mengandung adiknya
sehingga tidak jadi direkrut.
Setelah Indonesia merdeka, perekonomian keluarga juga belum kunjung membaik.
Terlebih lagi, pada waktu itu Belanda datang lagi ke Indonesia dan menangkapi gerilyawan yang
menghancurkan rumah orang-orang yang pro Belanda. Meskipun tidak terlibat, tapi setiap laki-
laki dewasa dicurigai oleh Belanda. Oleh sebab itu untuk menghindari hal yang tidak diinginkan,
sang ayah pergi ke luar kota untuk mengungsi.
Laki-laki yang kerap disapa eyang ini berasal dari keluarga yang memiliki darah seni.
Kakek dari pihak ayahnya merupakan seorang abdi dalem Keraton Kasunanan Solo yang jago
membuat dan memainkan wayang. Ia juga pernah diberi hadiah wayang dari sang kakek, maka
tidak heran jika dirinya bisa sedikit memainkannya.
Sementara itu, nenek dari pihak sang ibu adalah seorang yang jago “nembang” atau
menyanyikan puisi Jawa dengan menulis sendiri liriknya. Meskipun mempunyai darah seni,
tetapi karena merasa tidak jago menyanyi, akhirnya ia mantap untuk mengembangkan
kemampuan dalam menulis syair atau puisi.
SDD menempuh pendidikan pertamanya di Sekolah Rakyat Kesatrian yang biasanya
dikhususkan untuk kalangan kraton. Kakeknya adalah seorang abdi dalem keraton sehingga ia
bisa sekolah di sana. Sekolah ini memang hanya untuk laki-laki saja, sedangkan anak perempuan
dipisah dan disekolahkan di Permadi Putri. Di sekolah ini ia tidak hanya diajarkan pelajaran pada
umumnya, tapi juga diajarkan untuk bisa menari Jawa dan menabuh gamelan. Jadi, mereka tidak
hanya dididik untuk menjadi pintar, tapi juga sekaligus melestarikan budaya Jawa.
Lulus dari Sekolah Rakyat Kesatrian, Sapardi Djoko Damono melanjutkan sekolahnya di
SMP Negeri 2 Solo. Di sini, bakatnya menulis sudah terlihat. Ia pun sering mengirimkan cerpen
ke media cetak. Setelah itu, ia melanjutkan pendidikan di SMA 2 Solo. Ia pun semakin
mengembangkan kemampuannya dan membuat namanya dikenal luas oleh penikmat sastra.
Setelah lulus SMA pada tahun 1958, sulung dari dua bersaudara ini kemudian diterima
dan menempuh pendidikan di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Di sini, ia masuk ke Fakultas
Sastra dan Kesenian dan mengambil jurusan Bahasa Asing.
Dalam sebuah wawancara, ia mengaku salah satu penyair yang begitu menginspirasi dan
membuka jalannya untuk semakin mencintai dunia sastra adalah penyair asal Inggris, T.S. Eliot.
Saking cintanya, dulu ia bahkan membuat skripsi mengenai karya-karya idolanya itu. Sementara
dari dalam negeri, penyair yang karya-karyanya ia sukai adalah W.S. Rendra.
Pada tahun 1964, ia resmi menyandang gelar sarjana dan menjadi seorang pengajar.
Beberapa tahun kemudian, tepatnya tahun 1970-1971, dirinya memutuskan untuk memperdalam
pengetahuannya tentang sastra di University of Hawaii, Amerika Serikat. Setelah itu, ia
mengambil gelar Doktor di UI dan selesai pada tahun 1989.
Sapardi muda mempunyai pikiran yang realistis bahwa jika hanya menekuni sastra saja
tidak akan cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup. Maka dari itu, saat ditawari untuk membuka
jurusan Sastra Inggris di IKIP Malang cabang Madiun, ia menerima dengan senang hati.
Pasalnya, menjadi pendidik juga merupakan salah satu cita-citanya.
Di universitas tersebut, Sapardi langsung diangkat menjadi dosen tetap. Pada waktu itu,
umurnya baru menginjak 23 tahun saja. Di sana, ia menjadi tenaga pengajar selama kurang lebih
4 tahun. Setelah itu pada tahun 1968, ia diangkat menjadi dosen tetap Fakultas Sastra-Budaya
Universitas Diponegoro, Semarang.
Sebagai seorang penyair, pengarang Ada Berita Apa Hari ini, Den Sastro? ini memang
mempunyai jiwa yang bebas, maka dari itu berkutat di satu tempat saja membuatnya cepat bosan.
Lima tahun kemudian, ia memutuskan untuk mengembangkan karier dan pindah ke ibukota.
Awal kedatangannya ke Jakarta adalah karena diminta untuk memimpin sebuah yayasan
bahasa. Namun kemudian, Sapardi Djoko Damono mendapatkan tawaran sebagai dosen tetap
Fakultas Sastra di Universitas Indonesia (UI) dan resmi bekerja di tempat tersebut mulai tahun
1974.
Sepertinya, eyang sudah menemukan tempat nyaman di sini sehingga kariernya sebagai
dosen pun terus bersinar. Pada rentang tahun 1979-1996, ia diangkat menjadi pembantu dekan III
kemudian naik lagi menjadi pembantu dekan I. Setelah itu, dirinya menjadi Dekan Fakultas
Sastra UI pada tahun 1996-1999.
Ketika memasuki masa pensiun, tepatnya tahun 2005, ia diangkat menjadi Guru Besar
Fakultas Ilmu Budaya UI. Setelah pensiun pun, Sapardi Djoko Damono tetap diminta untuk
menjadi dosen tamu di beberapa universitas ternama seperti Institut Kesenian Jakarta (IKJ),
Universitas Padjajaran Bandung, dan juga Universitas Diponegoro.
Minat SDD dalam dunia tulis menulis
memang sudah ada sedari kecil. Namun, ia baru
benar-benar serius menekuninya ketika duduk di
bangku SMP. Pada waktu itu, ia pernah
mengirimkan ceritanya ke sebuah majalah bahasa
Jawa, Panjebar Semangat. Sayangnya, karyanya
itu ditolak oleh redaktur dengan alasan ceritanya
tidak masuk akal. Padahal di sana, ia menceritakan
kisah nyata tentang ibunya yang melepas dirinya
dan sang adik untuk tinggal beberapa hari bersama
ayah dan ibu tirinya.
Namun, hal itu tidak menyurutkan semangatnya untuk menulis. Pada saat kelas 2 SMA, ia
mulai tekun untuk menulis puisi dan mengirimkannya ke media-media cetak. Karya pertamanya
kemudian diterbitkan oleh sebuah media cetak di Semarang.
Setelah itu, penulis Namaku Sita ini mulai mengirimkan karya-karyanya yang lain di
berbagai media cetak. Karya-karyanya yang diterbitkan itu mendapatkan sambutan yang hangat
dari para penikmat sastra. Hal itu tentu saja membuatnya terpacu untuk semakin menulis lebih
baik dan banyak lagi.
Bahkan, sebelum masuk kuliah, nama Sapardi Djoko Damono sudah dikenal di mana-
mana. Ada pula sajak yang digubahnya waktu berusia 17 tahun kemudian dijadikan sajak wajib
pada pertemuan Kesenian Nasional Indonesia. Tak cukup sekali saja, sajaknya bahkan digunakan
sampai tiga kali.
SSD tidak hanya menulis puisi yang diterjemahkan ke
berbagai bahasa. Buku puisi, esai, fiksi, dan deretan karya
sastra yang diterjemahkan olehnya pernah diterbitkan sejak
tahun 1969. Berikut beberapa di antara karya terbaik yang
ditulis Sapardi Djoko Damono semasa hidupnya.
1. Hujan Bulan Juni
2. Yang Fana Adalah Waktu
3. Duka-Mu Abadi
4. Bilang Begini, Maksudnya Begitu
5. Manuskrip Sajak Sapardi
Beliau juga telah mendapatkan banyak penghargaan
internasioanl. Di antaranya yaitu:
1. Anugerah Buku ASEAN (ASEAN Book Award) dari Malaysia
2. Hadiah Sastra Asesan (Sea Write Award) dari Thailand
3. Anugerah Puisi Putra dari Malaysia
4. Anugerah Budaya (Cuktural Award) dari Australia.
Dari ulasan di atas, ada banyak sekali pelajaran yang bisa diambil, salah satunya adalah
untuk tetap berjuang menggapai cita-cita. Mempunyai bakat memang sebuah anugerah, tapi kalau
tidak diasah juga akan sama saja, bukan? Belajarlah dari SDD yang tidak hanya mengandalkan
bakat, tapi juga dengan konsisten mengasah bakat yang dimiliki.

-Terima Kasih😊-

Anda mungkin juga menyukai