Anda di halaman 1dari 3

Menjelajah Dunia Bersama Cinta Keluarga

Identitas buku Judul Buku Jenis Buku Pengarang Penerbit Cetakan Tebal Buku : 9 Summers 10 Autumns: Dari Kota Apel ke The Big Apple : Novel Otobiografi : Iwan Setyawan : PT Gramedia Pustaka Utama : Ketiga, Maret 2011 : 238

Iwan Setyawan lahir dan bertumbuh di sebuah keluarga yang sederhana, bahkan cenderung kekurangan. Ia tinggal di sebuah rumah kecil tanpa keramik yang penuh sesak dengan kedua orang tua dan keempat saudara perempuannya. Ayahnya, Abdul Hasim, adalah seorang sopir angkot yang tidak pernah mengecap bangku SMA karena desakan ekonomi. Terpolusi oleh asap dan debu jalanan, ia pun menjadi seseorang yang temperamental. Lain halnya dengan sang ibu yang berhati putih. Ngatinah, adalah seseorang yang penuh cinta, tegar, dan sederhana. Ialah yang mengatur keuangan dan segala keperluan rumah tangga. Kakak pertamanya, Siti Aisyah, adalah teladan dan pembuka jalan bagi adikadiknya. Kepandaian dan semangat belajarnya yang tinggi menggugah saudara-saudaranya untuk mencintai buku-buku pelajaran, menyadari pentingnya sebuah pendidikan. Sayangnya ketidakmapanan keluarga dan penyakit asma yang dideritanya menyebabkan Isa, begitu ia dipanggil, harus merelakan bangku kuliah demi sang adik, Inan. Inan atau Rohani adalah anak yang kuat, tangguh, dan tegas, serta percaya diri yang turut ditularkannya pada adik-adiknya di tengah rasa minder yang mendera karena keadaan mereka. Inan juga pekerja keras yang selalu tergerak membantu pekerjaan rumah tangga, bahkan bekerja kecil-kecilan membantu sang ibu. Kemenangannya dalam lomba debat semasa kuliah sempat membawanya ke Jepang, menyuguhkan sebuah dunia baru bagi mereka semua. Baik Isa maupun Inan bekerja sebagai staf pengajar. Adik perempuan Iwan, Rini Agustina, adalah teman setia Iwan. Tangan kecilnya yang terampil menemani Iwan bermain dengan mainan apa saja yang dapat ditemukan di sekitar rumah mereka. Ia juga mengikuti jejak sang kakak yang menjadi guru dan lolos pegawai negeri setelah tekun membantu bidan desa. Adik Iwan yang terakhir, Mira, adalah seorang perempuan yang lugu, jujur dan lembut, namun rapuh dan mudah tersentuh. Ia mulai bekerja secara profesional di Jakarta. Iwan, yang lahir 2 Desember 1974, adalah harapan dari kedua orang tuanya yang menumbuhkan tantangan bagi dirinya sendiri. Setelah bersekolah di SD Ngaglik I, ia mulai mengenal dunia di luar rumah kecilnya setelah terikat di sana semasa TK. Awalnya, ia adalah anak yang sangat pemalu dan takut akan dunia luar. Ia adalah anak rumahan yang doyan bermain dengan buku-buku pelajaran. Obsesinya pada prestasi membuat ia terpacu untuk terus belajar demi memuaskan kehausannya, meski ia harus belajar di bawah cahaya lampu minyak dan bahkan tidur di atas ranjang bambu sederhana atau berpindah-pindah kamar sanak saudaranya. Di SD itu pulalah kepiawaiannya dalam bernyanyi dan membaca puisi mulai nampak. Di bidang akademik pun ia cukup menonjol, dan ia sempat beberapa kali

mengikuti lomba hingga ke Surabaya. Memasuki SMP, tantangan yang Iwan hadapi semakin jelas sebagai anak lelaki satu-satunya yang harus menghidupi keluarganya kelak. Ia mencoba untuk menjadi lebih dewasa, melihat dunia dari sudut pandang yang berbeda. Ia belajar lebih keras lagi dan lagi. Bangun lebih pagi dan tidur lebih larut, ia bahkan jarang sekali pergi keluar bersama teman-temannya karena keadaan yang tidak memungkinkan. Ia menghabiskan waktunya memperkaya ilmu. Terkadang ia harus membantu keuangan keluarganya dengan bekerja di pasar sepulang sekolah bersama para saudaranya. Meskipun demikian, ia selalu berhasil mencapai ranking teratas. Setelah lulus, ia melanjutkan pendidikan di SMA Negeri I Batu setelah mimpinya untuk masuk SMAN 3 Malang dan SMA Militer Taruna Nusantara Magelang kandas. Di sana ia mulai menekuni dunia teater, berusaha melongok ke sisi kehidupan lain melalui seni. Pribadinya mulai terbentuk menjadi seorang lelaki yang sesungguhnya. Ia mulai mendayung perahu kecilnya sendiri mengarungi samudera kehidupannya. Mencoba menggenggam dunia dengan tangan kecilnya, ia mulai percaya diri dan berteman baik dengan beberapa orang. Sukses yang pernah ia raih tak lekas berhenti. Ia tetap mempertahankan prestasinya meski mulai memberikan les privat setiap sore. Iwan mendapat PMDK di Institut Pertanian Bogor Jurusan Statistika lalu bertolak ke Bogor berbekal pesangon dari orang tua murid lesnya. Terpisah jauh dari keluarganya yang hangat membuat Iwan tak kuasa menahan keinginannya untuk pulang ke kaki Gunung Panderman, namun nasehat tulus sang ibu menguatkannya. Ia sempat menumpang di kos salah satu kakak kelasnya sebelum menemukan kos di daerah Bapeund dan kemudian pindah ke Bagunde. Selama masa kuliah, selain berusaha menekan kerinduannya akan rumah,ia juga berjuang mengatur keuangan. Iwan juga harus melewati persaingan tajam untuk mempertahankan posisinya di IPB. Pada Tahap Persiapan Bersama (TPB), Iwan berhasil memperoleh IP 3,3. Memulai masa sesungguhnya di bangku kuliah setelah TPB, ia memasuki dunia baru dengan musik, puisi, ritual dan spiritual baru, serta sahabat baru. Semasa KKN Iwan berkunjung ke berbagai tempat, seperti Yogyakarta, Pasuruan, Banyuwangi, bahkan Bali. Bersama teman-temannya Iwan mendaki Gunung Bromo sebagai perayaan perpisahan. Dalam menghadapi krisis ekonomi ketika kedua orang tuanya harus membiayai kuliah Inan dan Iwan sekaligus, Iwan sempat meminjam dana ke pamannya di Jakarta. Ia kagum dengan dunia bisnis yang begitu kentara di sana, tak menyangka bahwa kelak ia akan bekerja di salah satu gedung yang pernah ia lihat, di kantor Nielsen, Jakarta. Lulusan terbaik fakultas MIPA IPB 1997 dari Jurusan Statistika dengan IPK 3. 52 ini ditawari kakak kelasnya di Jurusan Statistika untuk bekerja sebagai data analis di kantornya. Ia pun lolos seleksi dan memulai karir pertamanya di sana setelah lamarannya sempat ditolak beberapa perusahaan lain. Ia begitu bahagia dapat membagikan sedikit gajinya kepada keluarganya. Ia pun tinggal di Tanah Abang, Jakarta. Walau sempat merasa kecil, semangatnya untuk memberikan yang terbaik tak pernah surut. Hal ini mendorongnya menjadi seorang profesional hingga mendapatkan penghargaan Employee of The Month. Beberapa saat kemudian ia bekerja di Danareksa Research Institute pada posisi yang sama, namun hal tersebut tak berthana lama karena rekan kerjanya di Nielsen Jakarta membawa kabar bahwa Iwan ditawari untuk bekerja di Nielsen New York sebagai data processing executive. Setelah melalui tahap interview, ia pun menerima kabar bahwa ia diterima bekerja di sana. Satu hal yang tak pernah ia impikan sebelumnya menjadi kenyataan. Begitu terharu dan bangga, ia pun terbang ke New York dan

terpukau dengan kehidupan di sana. Ia bekerja di sebuah kantor di Starbucks Astor Place di 770 Broadway. Ia pun mulai menapaki sebuah bentuk kehidupan yang lain di sana. Ia tinggal di sebuah studio kecil di Sullivan Street, SoHo, Manhattan. Mengikuti sebuah kelas yoga Jivamukti di daerah Union Square, menikmati setiap hal menarik dari kota yang dijuluki The Big Apple seperti berjalan-jalan di Central Park, menonton opera favoritnya di gedung Metropolitan Opera New York, menikmati pemandangan malam di Brooklyn Heights, menikmate latte di Dean and Delluca, dan bersantai di Washington Square Park adalah kegiatannya di samping bekerja dan membaca karya-karya Dostoevsky. Iwan pun berperang dengan jiwanya yang mencintai ketenangan di tengah hiruk pikuk NYC dan budaya di sana. Ia juga sempat bepergian ke Venesia untuk menikmati liburan spektakuler. Ia merayakan uang tahunnya bersama teman-temannya baik dari kelas yoga maupun rekan kerja di kantor. Dan setelah merantau di negeri asing selama 10 tahun, melewati 9 musim panas dan 10 musim gugur, Iwan mengundurkan diri dari Nielsen untuk kembali pulang ke Batu. Pulang kepada rumahnya, keluarganya, hidupnya. Iwan Setyawan menulis biografi tentang dirinya sendiri dengan cara yang cukup unik. Ia menciptakan seorang tokoh anak kecil berseragam merah putih yang ia temui di New York, seseorang yang menjadi tempatnya memutar kembali ingatan masa lalunya, menceritakan setiap detail perjalanan kehidupannya dari Kota Apel, dan menumpahkan segala isi hatinya dengan bebas dan lepas. Bahasa yang dituturkan begitu ringan, sederhana, namun menarik dan cerdas, membuat novel ini layak dibaca oleh anak-anak hingga dewasa. Ia berhasil membuat pembaca benar-benar mengikuti setiap jejaknya dengan baik. Sayangnya, terdapat pengulangan beberapa frase yang menciptakan sedikit efek jenuh bagi pembaca. Penokohan dan sudut pandangnya jelas dan tertata rapi, alurnya yang maju mundur sama sekali tidak membingungkan. Dalam novelnya, Iwan menyisipkan cukup banyak Bahasa Inggris yang mungkin tidak dapat dimengerti oleh semua kalangan. Kutipan-kutipan Dostoevsky dalam Bahasa Inggris yang diletakkan di awal-awal bab terlalu banyak justru mengganggu keindahan cerita itu sendiri. Kisahnya selama di New York sendiri pun terasa tak terlalu dianggap karena novel ini didominasi oleh kisah perjuangannya dari Batu hingga sampai ke New York. Tema perjuangan yang diangkat ini sebenarnya lebih bagus, karena sarat akan amanat bahwa kehangatan dan cinta keluarga, perjuangan dan doa orang tua dan kasih sayang serta ketulusan saudara-saudara adalah pembawa kesuksesan dan semangat yang sebenarnya. Buku ini menyuguhkan sebuah kenyataan bahwa pendidikan dapat membawa seseorang pada hal-hal yang bahkan tak pernah terbayangkan, dan bahwa kerja keras dalam belajar dan bekerja bisa mengantar seseorang ke tempat-tempat yang bahkan hampir tak mungkin terjangkau, menembus setiap keterbatasan dan ketidakmampuan yang melanda. Novel ini nyaman dibaca serta memberi kesan mendalam bagi semua kalangan usia, meski masih banyak yang harus diperbaiki untuk menghindari kesan berlebihan pada novel ini.

Anda mungkin juga menyukai