Anda di halaman 1dari 3

Nama : Winda Nurhalizah Wijaya

Nim : 1229240271
Program Studi : Manajemen
Semester/Kelas :I–F

Tanggal 21 September 2022 yang bertepatan dengan hari Rabu, bapak Angga Ahmad
Hasyim, M.Pd selaku dosen mata kuliah Bahasa Indonesia kelas F semester I jurusan
Manajemen memberikan tugas individu kepada mahasiswa yang hadir di kelas untuk
membuat karya tulis apapun dengan syarat hasil karya sendiri. Maka dari itu, tulisan ini saya
buat untuk memenuhi tugas yang telah diberikan. Sebelum memulai saya haturkan
permohonan maaf yang sebesar-besarnya apabila terdapat tulisan yang kurang berkenan atau
mengenai tulisan ini yang sangat jauh dari kata sempurna, saya berharap kesalahan-kesalahan
yang ada di tulisan ini bisa menjadi bahan pembelajaran untuk saya agar bisa lebih baik lagi
di masa yang akan datang.
Beberapa waktu kebelakang, teman saya menyarankan beberapa novel yang ia
perkirakan akan saya sukai, salah satu novel yang ia sarankan berjudul “Tulisan Sastra” karya
Tenderlova. Tanpa fikir Panjang saya langsung membaca novelnya hingga selesai, ternyata
perkiraan teman saya tidak meleset, saya sangat menyukai novelnya. Selain karena tokoh
yang ada dalam novel terinspirasi dari artis K-Pop kesukaan saya, cerita yang disajikan oleh
penulis juga tidak kalah menarik. Bagian yang paling saya suka adalah pesan moral yang
penulis sampaikan selalu dapat menyadarkan saya mengenai kehidupan yang tiada habisnya
ini.
Novel dengan judul “Tulisan Sastra” karya Tenderlova ini menceritakan tentang
kehidupan keluarga Suyadi dengan tokoh utama bernama Andhika Sastra Gautama. Sastra
merupakan anak yang unik, tingkahnya selalu membuat geleng kepala, bisa menjadi sangat
romantis jika sedang berhadapan dengan kekasihnya. Sebut saja Sastra berperan sebagai
happy virus bagi orang-orang di sekitarnya. Sastra mengidap penyakit Intoleransi Laktosa
sehingga ia tidak bisa mengonsumsi susu, produk olahan susu, biskuit, cokelat, permen,
mayones, daging olahan, serta roti atau sereal. Sebelum mengenal Sastra lebih jauh, saya
akan perkenalkan terlebih dahulu mengenai keluarga besar Suyadi.
Keluarga Suyadi memiliki tujuh anak laki-laki. Si sulung dinamai Adhitama Abelvan,
panggil saja Bang Tama agar kentara kalau dia anak pertama. Bang Tama tidak tinggal di
rumah, sebab selepas wisuda Bang Tama langsung mendapat pekerjaan dan pergi merantau.
Selain Tama, anak bapak Suyadi yang sudah berpenghasilan adalah Eros Bratadikara Nayaka.
Dikarenakan nama anak nomor dua nya ini sedikit sulit untuk diucapkan, maka adik-adik nya
memberi panggilan Kak Ros. Panggilan unik tersebut bukan tanpa alasan, itu dikarenakan
Eros tidak jauh beda dengan Kak Ros-nya Upin Ipin hanya versi tampannya saja. Eros tidak
merantau seperti Bang Tama, sehingga Eros masih bisa mengurus dan megawasi
pertumbuhan adik-adiknya seacara langsung di rumah. Selanjutnya kita bahas anak bapak
Suyadi yang nomor tiga yaitu Jovan Akhal Raksi sang penakluk hati wanita. Mas Jovan,
begitulah panggilan yang disematkan adik-adiknya. Jovan memiliki paras yang menawan
hampir tidak ada celah, tidak heran kalau dia jadi medan magnet kaum hawa. Anak nomor
empat di keluarga Suyadi adalah Sastra. Namun, karena Sastra menjadi bintang utamanya di
sini, kita akan mengenal Sastra lebih jauh di paragraf-paragraf berikutnya. Adik Sastra yang
paling besar diberi nama Adinata Aileen Caesar, namun anak nomor enam di keluarga Suyadi
bersikeras memanggilnya Mas Nana. Lagi-lagi ada alasan di balik nama panggilan yang
diberikan sang adik, dari desas-desus yang beredar di keluarga Suyadi ini Mas Nana
seharusnya terlahir sebagai perempuan dikarenakan hasil USG memperlihatkan janin
perempuan, tapi rupanya Tuhan sedang mempermainkan keluarga Suyadi. Tahun ini Nana
Resmi jadi mahasiswa baru, dan kebetulan satu almamater dengan abang-abangnya yaitu
Jovan dan Sastra. Mari kita bahas si nomor enam yang dinamai Adelardo Cetta Early. Cetta
ini anak kesayangan mama, walaupun masih duduk di bangku SMA tahun kedua sejarah
pendidikannya Cetta selalu menorehkan prestasi dan turut melambungkan nama besar
keluarga Suyadi ke kancah Internasional. Terakhir si bungsu Kin Dhanajaya, Jaya ini satu
sekolah dengan Cetta hanya saja berbeda angkatan dan jurusan. Cetta memiliki tingkat
kecerdasan tinggi sehingga dia masuk IPA, sedangkan dengan tingkat kecerdasan yang biasa-
biasa saja Jaya masuk IPS. Jaya sama seperti anak-anak bungsu pada umumnya. Selain manja
dan banyak maunya, Jaya juga sangat sulit jika dimintai tolong oleh kakak-kakaknya.
Ada kabar kurang sedap yang menimpa keluarga unik ini, Bapak Suyadi sudah
berpulang empat tahun yang lalu, saat Jaya masih duduk di bangku SMP tahun pertama.
Bapak Suyadi meninggal karena penyakit Tuberkulosis yang sudah dideritanya selama dua
tahun. Meskipun telah tiada, pria yang kerap dipanggil Bapak ini telah berhasil mendidik
anak-anaknya menjadi manusia berbudi pekerti luhur.
Kembali lagi pada tokoh utama kita yaitu Andhika Sastra Gautama. Sastra diceritakan
memiliki kekasih yang sangat ia cintai. Namanya Sahara namun Sastra memanggilnya
dengan panggilan “Sahara Kasihku” tidak heran semua orang menyebutnya bucin atau bisa
disebut budak cinta. Walaupun Sastra menjadi bintang utama di cerita ini, tapi itu tidak
berlaku untuk Sahara. Usut punya usut kekasihnya itu masih dibayang-bayangi oleh mantan
kekasihnya yaitu Jeffery dan Sastra menyadari akan fakta pahit ini. Namun fakta tersebut
tidak membuat Sastra menyerah, meskipun sedikit membutuhkan lebih banyak usaha ia akan
terus berusaha membuat Sahara mencintainya. Mulai dari tetap memakan bekal dari Sahara
yang tidak pernah ingat jikalau Sastra tidak bisa memakan olahan susu ataupun daging. Tentu
saja hal itu membuat abang juga adiknya geram terhadap Sahara, tetapi Sastra masih
bersikukuh memberikan pemahaman bahwa kisahnya dengan Sahara hanya membutuhkan
waktu lebih banyak dari pasangan pada umumnya untuk saling memahami. Berkat kegigihan
dan kesabarannya segala pengorban yang menguras hati dan tenaga itu terbayarkan, akhirnya
Sastra berhasil membuat Sahara mencintainya.
Berkat membaiknya hubungan asmaranya dengan Sahara, hari-hari yang dilewatinya
terasa menjadi sangat indah. Kala itu hujan mengguyur jalan pulang yang ia lewati selepas
mengunjungi kediaman kekasihnya. Kondisi jalan yang sepi sangat mendukung Sastra yang
tengah sibuk bersenandung lagu indah, sementara hujan menjelma sebagai sahabat kala ia
jatuh cinta. Padahal Sastra benci setengah mati pada hujan, namun sepertinya pada saat itu ia
melihat hujan nampak begitu indah. Ia merasa sangat bahagia, siapapun pasti tidak ingin
kebahagiaan itu berakhir, namun sepertinya Tuhan memiliki rencana yang lebih indah untuk
Sastra. Ketika sedang menikmati kebahagiaan yang tuhan berikan, sebuah range rover melaju
dengan kecepatan penuh dari arah kanan dan menghantam motor sekaligus tubuh Sastra.
Pelaku tabrakan itu pergi meninggalkan Sastra yang terbaring kaku dengan bersimbah darah
dibawah guyuran hujan.
Keluarga Suyadi juga Sahara bergegas pergi ke rumah sakit setelah mendengar kabar
buruk ini, kondisi Sastra jauh dari kata baik. Dokter yang menanganinya pun hanya bisa
berharap pada keajaiban yang mungki akan diberikan Tuhan. Hanya isak tangis yang
terdengar di ruangan ICU tempat Sastra dirawat, pada akhirnya Kak Ros membantu Sastra
melafadzkan tahlil seraya mengiringi kepergannya.
Setelah kepergian Sastra sudah dapat dipastikan semua tidak lagi terasa sama,
kesedihan tak hanya dirasakan oleh keluarga dan kerabat dekat keluarga Suyadi saja. Banyak
sekali orang-orang yang datang untuk melayat dan mendoakan kepergian Sastra, ia berhasil
mengikuti petuah yang diberikan bapak untuknya, yaitu menjadi orang yang “wangi”. Kelak
setelah kepergiannya jejak “wangi” yang ia tinggalkan akan terus dikenang orang-orang.
Walaupun ini hanya fiksi, saya berhasil dibuat menangis tersedu-sedu dengan karya
Tenderlova yang satu ini. Saya juga bersyukur bisa membaca karya yang sangat luar biasa,
dengan berbagai pelajaran hidup yang dituangkan dalam karyanya saya selaku pembaca bisa
belajar hal-hal yang tidak pernah saya sadari sebelumnya. Lanjutan dari novel ini berjudul
“Narasi 2021” yang masih menceritakan keluarga Suyadi setelah kepergian Sastra dari sudut
pandang Adinata Aileen Caesar.

Anda mungkin juga menyukai