Anda di halaman 1dari 3

NAMA : SONIA PUTRI PERTIWI

NIM : 1194040126
JURUSAN : PENGEMBANGAN MASYARAKAT ISLAM
SEMESTER : VII ( TUJUH )

RESENSI BUKU: HUJAN BULAN JUNI

Judul Buku : Hujan Bulan Juni


Jenis Buku : Novel/Fiksi
Penulis : Sapardi Djoko Damono
Penerbit : Gramedia Pustaka Utama
Tahun Terbit : Juni 2015
ISBN : 978-602-03-1843-1
Tebal : vi + 138 halaman.
Harga : Rp. 50.000,-

Berkisah tentang hubungan percintaan antara Pria sederhana dan kaku bernama Sarwono
dengan gadis, yang kalau boleh saya kategorikan seperti syarat untuk menjadi Miss Universe: Brain,
Beauty dan, Behavior. Dialah Pingkan. Perempuan yang berdarah blasteran dari dua suku: Jawa (Solo)
dan Minahasa (Menado). Toar adalah Kakak Pingkan sekaligus sahabat Sarwono. Dan dari sana kisah
cinta mereka bermula.
Sarwono seorang Antropolog. Ia tengah disibukkan dengan pekerjaannya sebagai peneliti—ia
mendapatkan tugas tersebut dari dosen seniornya. Singkatnya kemudian, mereka, Pingkan dan
Sarwono, karena sering bertemu maka keduanya saling jatuh cinta, meski dibenturkan oleh sebuah
kendala; berbeda agama. Uniknya, cinta mereka dibumbui dengan obrolan yang remeh-temeh setiap
kali sedang jalan bersama. Tetapi, justru sebab obrolan mereka itulah yang membuat keromantisan di
antara keduanya semakin terbangun.

Di bab awal, Sarwono dibuat gembira, sebab, tiga puisinya dimuat sebuah koran bernama
Swara Keyakinan— (Hal.02). Sayangnya, tanggapan Pingkan setelah mengetahui itu biasa saja. Ia
berkata bahwa: “Puisimu kisruh (hal.25)” dan cengeng, ketika membaca sajak Sarwono selain dari yang
dimuat hari itu. Sarwono belum sempat melihatkan kepadanya, dan ia tahu, mungkin Pingkan tidak
akan terlalu merespons. Tetapi, meski begitu, gadis berkulit putih itu tetap menaruh perhatian pada
Sarwono. Malah ia pernah juga merasa kasihan ketika Sarwono yang bertubuh kerempeng itu terbatuk-
batuk. Walau Sarwono berdalih, “tapi kan sehat. (hal.35)” dan pingkan membalasnya, “Sehat apa?
Suka ngrokok dan batuk-batuk kok sehat! (hal.35)” begitu cara ia menunjukkan rasa sayangnya kepada
Pria jawa yang dicintainya. Sebab, ia tahu, “Sarwono pernah gagal melanjutkan studi ke Amerika gara-
gara ada flek yang mencurigakan di paru-parunya (hal.28)”.
Sayangnya, Pingkan harus melanjutkan studinya di Jepang. Ia dikirim dari kampusnya dan
mengikuti perintah Prodinya. Sarwono dibuat semakin galau ketika tahu itu. Lebih-lebih ia pernah
mendengar, kalau pria Jepang bernama Katsuo yang pernah berkunjung ke Indonesia dan bertemu
(baca: pernah dekat) dengan Pingkan, telah lulus program pascasarjana dan menjadi dosen di
Universitas Kyoto yang tak lain kampus yang nanti menjadi tempat Pingkan menuntut ilmu—(hal.64).
Di akhir bab, Sarwono jatuh sakit dan cairan dalam paru-parunya disedot—(hal.129). Ia menderita paru-
paru basah. Ditambah benak dan hatinya yang basah sebab lama menahan rindunya ingin bertemu sang
kekasih.
Entah karena apa, dari novel tipis total 144 halaman ini, saya kehilangan sosok SDD. Memang
menulis puisi (mungkin) tidak bisa disamakan dengan penulisan novel. Tetapi, andai saya diminta untuk
memberikan bintang, bukan karena saya tidak mengenal karya beliau, saya akan beri 2,5 dari 5 bintang.
Artinya, ada sedikit rasa kurang ‘terpuaskan’ (tanpa harus menyebutnya: mengecewakan) dari kalimat-
kalimat sederhana yang beliau tuliskan hingga mewujud sebuah novel berjudul Hujan Bulan Juni—
berbeda sekali dengan puisinya. Saya menangkap, malah seperti ada keterpaksaan dan keharusan pada
novelnya ini diberi judul yang sama dengan puisi terkenalnya itu. Bahkan, sampai diakhir bab, saya
tidak mendapati klimaks atau rasa penasaran yang berarti. Meski di penghujung ending-nya masih ada
kemungkinan untuk hadir sequel atau seri buku berikutnya.
Dan lagi, saya kurang sreg dengan perdebatan dan berbincangan yang menyatakan kalau
Pingkan lebih senang disebut Jawa tinimbang Menado atau sebaliknya. Bukan terhadap isi dari narasi
tersebut yang saya permasalahkan, tetapi lebih ke pengulangan-pengulangan yang beberapa kali
bermunculan di lembar-lembar berikutnya dan sepertinya hanya pemborosan kalimat saja dan kurang
menunjang jalannya cerita. Terlepas siapa yang memperbincangkan itu; Ibu, Kakak, Sarwono atau
Pingkan sendiri. Saya rasa, baiknya itu dikurangi. Dan yang berikutnya adalah beberapa typo yang saya
temui, sepertinya ini menjadi catatan penting untuk editornya—pun penulisnya tentu saja—agar
setidaknya membuat pembaca (seperti saya) merasa nyaman. Apalagi bukunya terbit di sebuah penerbit
terbesar di negeri ini—saya tidak bermaksud membandingkan dengan apa dan siapa pun.

Meminjam kalimat yang sedang populer di kalangan kaula muda (baca: anak Meme Comic),
novel ini: kurang gereget! Meski bila bicara sampul, saya sangat jatuh cinta. Terkesan sederhana namun
elegan, ditambah rintik hujan yang membuat judul itu tampak pudar dan asli. Implementasi dari makna
tulisannya sendiri.
Namun, jauh dari itu semua, saya sangat salut kepada SDD, yang diumurnya ke-75 tahun ini,
beliau masih produktif menulis. Bahkan tiga bulan sebelum me-launching Hujan Bulan Juni (Juni,
2015), ia merilis novelnya yang lain berjudul Trilogi Soekram (Maret, 2015). Tentu ini menjadi lecutan
tersendiri untuk mereka yang usianya jauh lebih muda dari beliau, dan berhenti pada pertanyaan: berapa
banyak karya yang sudah Anda (baca: saya) lahirkan?

Anda mungkin juga menyukai