Anda di halaman 1dari 12

SMA NEGERI 68 JAKARTA

Format Jurnal Membaca dan Resume Tahap Pembiasaan


NAMA SISWA : Luh Natya Tanaya Resika
KELAS : XII IPA 5
JUDUL BUKU : Hujan Bulan Juni
PENGARANG : Sapardi Djoko Damono
PENERBIT, TAHUN TERBIT : Gramedia Pustaka Utama, 2015
JENIS BUKU : Fiksi
JUMLAH HALAMAN : VI + 138 halaman

No Hari/Tanggal/ Halaman Ringkasan Terhadap Bacaan Paraf


Bln/Thn yang Dibaca Guru/Walas
1 Selasa, 15 Hal 1 s.d 40 Di bab awal, Sarwono merasa gembira
Oktober 2019
karena tiga puisinya dimuat di sebuah
koran bernama Swara Keyakinan.
Sarwono adalah sosok pekerja keras yang
lebih suka mengekspresikan perasaannya
di sela-sela larik sajaknya, karena
baginya rasa adalah momen yang perlu
diabadikan melalui tulisan agar masih
tinggal meskipun sudah
terlewatkan. "Dan memang benar. Ada
puisinya di koran, tiga buah, di sudut
halaman yang pasti kalah meriah
dibanding berita politik....."
(Hal.04). Penggalan tersebut
menunjukkan penggunaan alur campuran
dalam novel ini yang dimulai langsung
dari tahap Sarwono menerbitkan puisinya
yang ditujukan untuk Pingkan nan jauh di
Kyoto.

2 Kamis, 17 Hal 41 s.d 53 Pada bab dua, novel ini menceritakan


Oktober 2019
tentang kisah Sarwono dan Pingkan
dimulai yakni saat mereka pertama kali
bertemu, "Ketika pertama kali
mengenalnya di rumah Toar Pelenkahu,..
Sarwono langsung merasa dirinya
SMA NEGERI 68 JAKARTA

menjadi tokoh utama sebuah sinetron


dan adik Toar itu...."(Hal 11).  Pada
kutipan tersebut jelas menggambarkan
titik mulai dari kisah perjalanan mereka
berawal dari sana. Setiap kehidupan
memiliki ujian dan likuan hidup,
Sarwono dan Pingkan pun tak kalah
dalam memeranginya. Terlebih mereka
adalah karakter yang diciptakan sangat
berbeda dilihat dari kota, budaya, suku,
bahkan agama. 

Namun di bab dua ini, sosok Sarwono


dan Pingkan digambarkan tidak
mempersoalkan perbedaan agama dan
saling mencintai satu sama lain seperti
apa yang dikatakan oleh Sarwono, "
Kitab boleh berbeda. Tetapi
kenyataannya...boleh dibilang sama."
(Hal.47). Selain itu tanggapan Pingkan
ketika ditanya Benny mengenai
kelanjutan hubungannya dengan lelaki
jawa itu tak kalah serius nya,
"Memangnya kenapa kalau aku pakai
jilbab?" (Hal.48). Pada penggalan
tersebut dapat dikatakan bahwa Pingkan
adalah wanita yang teguh pada pendirian,
bahkan ia bisa dibilang sudah memiliki
rencana meninggalkan keyakinannya jika
Sarwono meminta. 

Dua penggalan percakapan tersebut telah


menunjukkan bahwa perbedaan tak bisa
menghentikan tekad mereka dalam
menggapai cinta dan cita untuk bersama.
SMA NEGERI 68 JAKARTA

Sebenarnya permasalahan tentang beda


agama dan suku ini dipermasalahkan oleh
keluarga Pingkan. Mereka sering
menanyakan kelanjutan hubungan
Pingkan dan Sarwono yang terkadang
sedikit menyudutkan Pingkan.

3 Rabu, 29 Hal 54 s.d 99 Di bab tiga, sayangnya, Pingkan harus


Oktober 2019
melanjutkan kuliah di Jepang. Ia dikirim
dari kampusnya dan mengikuti perintah
Prodinya. Sarwono menjadi gelisah dan
sedih ketika mengetahui bahwa Katsuo
telah menjadi dosen di Universitas Kyoto
yang akan menjadi tempat Pingkan
melanjutkan belajarnya. "Wa...dari
Pingkan disertai selfi bersama Sensei
dan masya Allah, Sontoloyo Jepang itu di
antrian taksi bandara." (Hal. 103). 

Katsuo adalah mahasiswa cerdas dari


Jepang yang dulu pernah Pingkan sukai.
Itulah sebabnya Sarwono tidak terlalu
suka dengan Katsuo sehingga ia
memanggilnya Sontoloyo Jepang.
Kutipan tersebut menunjukkan adanya
kekhawatiran dari Sarwono terhadap
Pingkan yang bisa saja jatuh ke hati
Katsuo.

4 Selasa, 12 Hal 99 s.d 138 Di akhir bab, Sarwono tergeletak di


November 2019
rumah sakit karena mengidap paru-paru
basah. Lalu Bu Hadi yakni ibunya
Sarwono memberikan koran terbitan
lama kepada Pingkan. "Sangat hati-hati
Pingkan membuka lipatan itu dan segera
SMA NEGERI 68 JAKARTA

dilihatnya tiga buah sajak pendek di


salah satu sudut halamannya."
(Hal.130).

*Coret yang tidak perlu


SMA NEGERI 68 JAKARTA

Format Laporan Membaca Tahap Pengembangan


NAMA SISWA : Luh Natya Tanaya Resika
KELAS : XII IPA 5
JUDUL BUKU : Hujan Bulan Juni
PENGARANG : Sapadi Djoko Damono
PENERBIT, TAHUN TERBIT : Gramedia Pustaka Utama, 2015
JENIS BUKU : Fiksi
JUMLAH HALAMAN : VI + 138 halaman

APRESIASI TERHADAP ISI BUKU


Intisari Buku:

Novel karya Sapardi Djoko Damono ini menceritakan tentang kisah kasih Sarwono dan
Pingkan. Sarwono adalah dosen Antropolog, Universitas Indonesia, sedangkan Pingkan
merupakan dosen dari jurusan Sastra Jepang. Pingkan adalah wanita blasteran Menado dan
Jawa, sedangkan Sarwono adalah lelaki Solo tulen. Pemilihan tema dalam novel ini adalah
cinta beda agama. Meskipun begitu novel ini memberikan suatu pembelajaran tentang
toleransi antar suku dan umat yang beragama terbukti dalam penggalan berikut, "...seruan
pengkhotbah untuk tidak memanfaatkan agama sebagai alat untuk mencapai appaun,.. itu
menjadi dasar keyakinannya sebagai orang yang harus menghargai keyakinan orang
lain.."(Hal.76).

Pemilihan latar tempat dalam novel ini pun cukup menarik seperti di UI sebagai kampus
dimana mereka mengasa pendidikan, ".. atas perintah Kaprodinya di FISIP-UI" (Hal.
01). Universitas Indonesia (UI) adalah tempat Sarwono dan Pingkan sang perantau menuntut
ilmu dan bekerja sebagai Prodi. Hubungan mereka sebenarnya bisa dikatakan
sebagai incest satu universitas, namun berbeda fakultas. 

Selain itu gambaran tentang Ibu Kota Jakarta pun tak ketinggalan ikut andil menjadi bagian
yang cukup penting, karena Jakarta adalah tempat Sarwono dan Pingkan mengenal kerasnya
hidup dan berbagi kasih seperti kata Sarwono, " Masuk Jakarta lagi, masuk kemacetan lagi,
masuk asap knalpot, masuk hutan belantara motor yang semakin lama semakin terasa
sebagai dilemma." (Hal. 61). Itulah cara khas Sarwono dalam menyampaikan kebahagiaan
nya berada di Jakarta, karena di dalam novel ini Sarwono menganggap Jakarta itu kasih
sayang seperti halnya Solo. Latar waktu yakni pada tahun 2014-2015. Namun dalam novel ini
tidak tergambarkan dengan jelas latar waktu pada tahun tersebut, kebanyakan cerita di novel
ini terjadi pada pagi hari, "Sudah pukul 9, toko-toko mulai berbenah. Hujan belum juga
SMA NEGERI 68 JAKARTA

sepenuhnya berhenti." (Hal.07).

Di bab awal, Sarwono merasa gembira karena tiga puisinya dimuat di sebuah koran bernama
Swara Keyakinan. Sarwono adalah sosok pekerja keras yang lebih suka mengekspresikan
perasaannya di sela-sela larik sajaknya, karena baginya rasa adalah momen yang perlu
diabadikan melalui tulisan agar masih tinggal meskipun sudah terlewatkan. "Dan memang
benar. Ada puisinya di koran, tiga buah, di sudut halaman yang pasti kalah meriah
dibanding berita politik....." (Hal.04). Penggalan tersebut menunjukkan penggunaan alur
campuran dalam novel ini yang dimulai langsung dari tahap Sarwono menerbitkan puisinya
yang ditujukan untuk Pingkan nan jauh di Kyoto.

Pada bab dua, novel ini menceritakan tentang kisah Sarwono dan Pingkan dimulai yakni saat
mereka pertama kali bertemu, "Ketika pertama kali mengenalnya di rumah Toar Pelenkahu,..
Sarwono langsung merasa dirinya menjadi tokoh utama sebuah sinetron dan adik Toar
itu...."(Hal 11).  Pada kutipan tersebut jelas menggambarkan titik mulai dari kisah perjalanan
mereka berawal dari sana. Setiap kehidupan memiliki ujian dan likuan hidup, Sarwono dan
Pingkan pun tak kalah dalam memeranginya. Terlebih mereka adalah karakter yang
diciptakan sangat berbeda dilihat dari kota, budaya, suku, bahkan agama. 

Namun di bab dua ini, sosok Sarwono dan Pingkan digambarkan tidak mempersoalkan
perbedaan agama dan saling mencintai satu sama lain seperti apa yang dikatakan oleh
Sarwono, " Kitab boleh berbeda. Tetapi kenyataannya...boleh dibilang sama."
(Hal.47). Selain itu tanggapan Pingkan ketika ditanya Benny mengenai kelanjutan
hubungannya dengan lelaki jawa itu tak kalah serius nya, "Memangnya kenapa kalau aku
pakai jilbab?" (Hal.48). Pada penggalan tersebut dapat dikatakan bahwa Pingkan adalah
wanita yang teguh pada pendirian, bahkan ia bisa dibilang sudah memiliki rencana
meninggalkan keyakinannya jika Sarwono meminta. 

Dua penggalan percakapan tersebut telah menunjukkan bahwa perbedaan tak bisa
menghentikan tekad mereka dalam menggapai cinta dan cita untuk bersama. Sebenarnya
permasalahan tentang beda agama dan suku ini dipermasalahkan oleh keluarga Pingkan.
Mereka sering menanyakan kelanjutan hubungan Pingkan dan Sarwono yang terkadang
sedikit menyudutkan Pingkan.

Di bab tiga, sayangnya, Pingkan harus melanjutkan kuliah di Jepang. Ia dikirim dari
SMA NEGERI 68 JAKARTA

kampusnya dan mengikuti perintah Prodinya. Sarwono menjadi gelisah dan sedih ketika
mengetahui bahwa Katsuo telah menjadi dosen di Universitas Kyoto yang akan menjadi
tempat Pingkan melanjutkan belajarnya. "Wa...dari Pingkan disertai selfi bersama Sensei
dan masya Allah, Sontoloyo Jepang itu di antrian taksi bandara." (Hal. 103). 

Katsuo adalah mahasiswa cerdas dari Jepang yang dulu pernah Pingkan sukai. Itulah
sebabnya Sarwono tidak terlalu suka dengan Katsuo sehingga ia memanggilnya Sontoloyo
Jepang. Kutipan tersebut menunjukkan adanya kekhawatiran dari Sarwono terhadap Pingkan
yang bisa saja jatuh ke hati Katsuo.

Di akhir bab, Sarwono tergeletak di rumah sakit karena mengidap paru-paru basah. Lalu Bu
Hadi yakni ibunya Sarwono memberikan koran terbitan lama kepada Pingkan. "Sangat hati-
hati Pingkan membuka lipatan itu dan segera dilihatnya tiga buah sajak pendek di salah satu
sudut halamannya." (Hal.130).

Novel ini memiliki latar sosial tentang perbedaan keyakinan dan suku antara Islam dan
Katolik dan  antara Jawa dan Minahasa. "Konon, di Makassar perempuan pendatang dari
Jawa pernah dikaitkan dengan profesi yang..." (Hal.23).Kutipan tersebut merupakan salah
satu kepercayaan bagi orang Makassar yang ditambahkan di dalam novel ini sebagai bukti
keberagaman budaya di Indonesia. 

Selain itu juga terdapat fakta tentang kebiasaan suku Jawa yang mungkin sampai sekarang
masih terjadi, terdapat dalam kutipan, " ....menganggap bahwa diam, bagi orang Jawa,
berarti 'ya' atau 'mau'- pokoknya positif." (Hal. 23). Melalui penggalan tersebut dapat
disimpulkan bahwa ciri khas orang Jawa dalam menyetujui sesuatu seperti pinangan adalah
diam. Sudut pandang yang digunakan adalah orang ketiga serba tahu. Sudut pandang ini
memang digunakan dari awal hingga akhir cerita seperti dalam penggalan berikut, "...yang
ada di kepala Sarwono hanya satu...". (Hal. 01)

Subjektivitas Sapardi dalam novel ini dapat terlihat dari gaya penulisannya yang tidak terlalu
sulit untuk dipahami oleh orang-orang yang pemula dalam menafsirkan karya sastra. Dalam
tulisan Sapardi memang selalu terdapat pengistilahan rasa yang tak bisa diungkapkan melalui
kata-kata tersurat. Banyak makna yang tersirat dalam setiap perkataan tokoh yang
digambarkan Sapardi dalam novel ini yang membuatnya menjadi lebih menarik. Diksi dan
gaya bahasa yang digunakan pun indah, sederhana, ringan, dan menyentuh hati, seperti, "... di
SMA NEGERI 68 JAKARTA

langit-langit tempurung kepalaku terbit silau cahayamu dalam intiku kau terbenam.. kau
terpencil dalam diriku." (Hal. 133). 

Dengan melihat puisi-pusi nya yang ada di novel ini dapat memperlihatkan bahwa Sapardi
banyak terinspirasi oleh alam, seperti hujan, langit, daun, dan bunga dalam memajaskan
puisinya. Selain itu psikologi atau keahlian pemikiran Sapardi dalam mengangkat suatu
problematika kehidupan sangat dekat dengan permasalahan yang sering terjadi dalam hidup
ini. Isu perbedaan agama dan suku dalam percintaan sering dijumpai dan sulit untuk diakhiri.

Sapardi menganggap bahwa perasaan adalah fitrah dan tidak bisa dipaksa untuk beradaptasi
dengan kebudayaan dan keyakinan. Secara keseluruhan novel ini sudah sangat bagus dilihat
dari segi apapun kecuali akhir cerita yang masih menggantung. "Demikianlah maka Surat
Takdir pun dibaca berulang kali tanpa ada yang mampu mendengarnya." (Hal. 130).
Penggalan kalimat terakhir dalam novel ini menunjukkan tidak ada kepastian tentang
kelanjutan hubungan Sarwono dan Pingkan. Kesuksesan Sapardi pada lensa seni Indonesia
berawal dari kesukaannya menulis puisi saat masih berumur 13 tahun. Beliau tumbuh melalui
pendidikan seni sastra hingga tua.

Pelajaran yang bisa diambil :

 Novel ini memiliki makna tersirat, mengajarkan bagaimana kita menghargai segala
perbedaan, bahwa kebahagian itu tidaklah mutlak namun kita harus mempunyai pendirian
yang tetap. Mencintai tak harus mewah, mencintai dengan cara sederhana, dengan kata yang
tak sempat diucapkan kayu kepada api yang menjadikan abu. Dalam hidup kasih sayang
mengungguli segalanya menembus apapun yang tak dapat dipahami dalam metode dan
pendekatan apapun.

            "... membuktikan kepada manusia bahwa keindahan harus selalu berakhir pada
gugurna lembar demi lembar warna putih dan kemerah-merahan di pohon "(hal 121)

Sapardi Djoko Damono lahir di Solo, 20 Maret 1940. Saat ini berprofesi sebagai guru besar
pensiun Universitas Indonesia sejak 2005 dan guru besar tetap pada Pascasarjana Institut
Kesenian Jakarta (2009). Ia banyak menciptakan puisi-puisi anatara lain Mata Pisau (1974)
dan juga buku fiksi antara lain berjudul Pengarang Telah Mati (2001). Puisi dan karya beliau
telah diterjemahkan ke dalam antara lain Bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Tagalog, Belanda,
SMA NEGERI 68 JAKARTA

Arab, Jepang, Cina, Jawa, Bali, Italia, Portugis, Korea, Thai, Malayalam, Rusia,, serta Urdu.
Sang Penulis membuat novel Hujan Bulan Juni yang berasal dari puisi-puisi yang ia rangkai,
kisah percintaan yang pelik menjadi ide pokok yang diangkat oleh Sapardi sesuai dengan
puisi-puisi yang sulit dipahami buah karyanya sendiri. Pengarang memiliki pemikiran sastra
yang tinggi sajak-sajak puisi yang penuh dengan makna kehidupan, hal tersebut tidak lain
karena Pengarang melanjutkan pendidikan di jurusan Sastra Barat FS&K di Universitas
Gadjah Mada, Yogyakarta. Setelah lulus kuliah, selain menjadi penyair ia juga melaksanakan
cita-cita lamanya untuk menjadi dosen. Ia meraih gelar sarjana sastra tahun 1964. Dengan
latar belakang tersebut menyebabkan Novel Hujan Bulan Juni memiliki Bahasa sastra yang
cukup rumit dan harus perlahan ditelaah.

Kelebihan Isi Buku :

Novel ini memiliki latar sosial tentang perbedaan keyakinan dan suku antara Islam dan
Katolik dan  antara Jawa dan Minahasa. "Konon, di Makassar perempuan pendatang dari
Jawa pernah dikaitkan dengan profesi yang..." (Hal.23).Kutipan tersebut merupakan salah
satu kepercayaan bagi orang Makassar yang ditambahkan di dalam novel ini sebagai bukti
keberagaman budaya di Indonesia. 

Selain itu juga terdapat fakta tentang kebiasaan suku Jawa yang mungkin sampai sekarang
masih terjadi, terdapat dalam kutipan, " ....menganggap bahwa diam, bagi orang Jawa,
berarti 'ya' atau 'mau'- pokoknya positif." (Hal. 23). Melalui penggalan tersebut dapat
disimpulkan bahwa ciri khas orang Jawa dalam menyetujui sesuatu seperti pinangan adalah
diam. Sudut pandang yang digunakan adalah orang ketiga serba tahu. Sudut pandang ini
memang digunakan dari awal hingga akhir cerita seperti dalam penggalan berikut, "...yang
ada di kepala Sarwono hanya satu...". (Hal. 01)

Subjektivitas Sapardi dalam novel ini dapat terlihat dari gaya penulisannya yang tidak terlalu
sulit untuk dipahami oleh orang-orang yang pemula dalam menafsirkan karya sastra. Dalam
tulisan Sapardi memang selalu terdapat pengistilahan rasa yang tak bisa diungkapkan melalui
kata-kata tersurat. Banyak makna yang tersirat dalam setiap perkataan tokoh yang
digambarkan Sapardi dalam novel ini yang membuatnya menjadi lebih menarik. Diksi dan
gaya bahasa yang digunakan pun indah, sederhana, ringan, dan menyentuh hati, seperti, "... di
langit-langit tempurung kepalaku terbit silau cahayamu dalam intiku kau terbenam.. kau
SMA NEGERI 68 JAKARTA

terpencil dalam diriku." (Hal. 133). 

Dengan melihat puisi-pusi nya yang ada di novel ini dapat memperlihatkan bahwa Sapardi
banyak terinspirasi oleh alam, seperti hujan, langit, daun, dan bunga dalam memajaskan
puisinya. Selain itu psikologi atau keahlian pemikiran Sapardi dalam mengangkat suatu
problematika kehidupan sangat dekat dengan permasalahan yang sering terjadi dalam hidup
ini. Isu perbedaan agama dan suku dalam percintaan sering dijumpai dan sulit untuk diakhiri.

Sungguh alur cerita yang sulit untuk ditebak. Tulisan yang membuat pikiran melayang-
layang seperti seorang penyair yang pandai memuji, namun kerap kali terlihat rapuh dan
mudah meneteskan airmata. Pergolakan hati yang terus bertanya bagaimana mungkin aku
bisa tetap meyakinkan diri ini dalam suatu hubungan, kalau kenyataannya kita sekarang
berjauhan. Novel ini benar-benar membuat kita terhanyut dalam alurnya ketika sedang
membaca. Aku rekomendasikan untuk membaca novel ini dan memilikinya, sebuah novel
dengan cara penulisan yang berbeda serta penuh syair di setiap kalimatnya.

Kekurangan Isi Buku :


Secara keseluruhan novel ini sudah sangat bagus dilihat dari segi apapun kecuali akhir cerita
yang masih menggantung. "Demikianlah maka Surat Takdir pun dibaca berulang kali tanpa
ada yang mampu mendengarnya." (Hal. 130). Penggalan kalimat terakhir dalam novel ini
menunjukkan tidak ada kepastian tentang kelanjutan hubungan Sarwono dan Pingkan.
Kesuksesan Sapardi pada lensa seni Indonesia berawal dari kesukaannya menulis puisi saat
masih berumur 13 tahun. Beliau tumbuh melalui pendidikan seni sastra hingga tua.

Dalam akhir cerita,semua terasa tidak terselesaikan. Saat Pingkan datang menjenguk
Sarwono di Rumah Sakit dan dia diberi lipatan koran dari Bu Hadi yang merupakan titipan
dari Sarwono untuk diberikan kepada Pingkan.Setelah akhir bab empat ketika Pingkan
membuka lipatan koran tersebut kita akan langsung dibawa ke bab lima.Disana sudah
terpampang Tiga Sajak Kecil milik Sarwono. Bayang-bayang hanya berhak setia menyusur
partitur ganjil suaranya angin tumbang agar bisa berpisah tubuh ke tanah (Sapardi 2015 :
132-133). Setelah Pingkan membaca sajak milik Sarwono,pembaca akan mengira-ngira apa
selanjutnya yang dilakukan atau dipikirkan Pingkan.Mungkin ini kesengajaan Sapardi agar
pembaca bebas dalam mengimajinasikan cerita selanjutnya sesuai apa yang mereka
pikirkan.Meskipun sebenarnya ada juga novel lanjutannya yang berjudul Pingkan Melipat
Jarak.Bisa dikatakan bahwa ceritanya sedikit menggantung.
SMA NEGERI 68 JAKARTA

Menurut beberapa orang mungkin permasalahan Sarwono dan Pingkan dianggap bukan
permasalahan serius . Hanya saja untuk beberapa orang yang lain lagi itu adalah
permasalahan berat.Bukan hanya tentang kasih sayang tapi juga tentang kaum yang ada di
pihak sekutunya,tentang berlangsungnya kehidupan jika nantinya terjadi pernikahan,tentang
munculnya pernyataan kelak ketika anak mereka bertanya siapakah mereka.Mengenai apa-
apa yang dinilai dalam novel Hujan Bulan Juni,masing-masing pembaca memiliki penilaian
sendiri.Diluar kekurangan atau kelebihan yang resensator sampaikan.

Bahasa yang digunakan dalam novel ini sulit dimengerti, pengarang sering menggunakan
syair dan bait-bait puisi yang memiliki makna tersirat, kerap sering muncul Bahasa Jawa
antara percakapan setiap tokoh. Beberapa muncul majas hiperbola dan juga kata-kata sastra
yang membuat pembaca haru mengunyahnya terlebih dahulu.

Kesimpulan Isi Buku

Novel ini mengisahkan tentang hubungan percintaan antara Pria sederhana dan kaku bernama
Sarwono dengan gadis, yang kalau boleh saya kategorikan seperti syarat untuk menjadi Miss
Universe: Brain, Beauty dan, Behavior. Dialah Pingkan. Perempuan yang berdarah blasteran
dari dua suku: Jawa (Solo) dan Minahasa (Menado). Toar adalah Kakak Pingkan sekaligus
sahabat Sarwono. Dan dari sana kisah cinta mereka bermula.

1. Sarwono seorang Antropolog. Ia tengah disibukkan dengan pekerjaannya sebagai peneliti


—ia mendapatkan tugas tersebut dari dosen seniornya. Singkatnya kemudian, mereka,
Pingkan dan Sarwono, karena sering bertemu maka keduanya saling jatuh cinta, meski
dibenturkan oleh sebuah kendala; berbeda agama. Uniknya, cinta mereka dibumbui dengan
obrolan yang remeh-temeh setiap kali sedang jalan bersama. Tetapi, justru sebab obrolan
mereka itulah yang membuat keromantisan di antara keduanya semakin terbangun.

2. mengisahkan kisah cinta antara Sarwono dan Pingkan yang selalu diuji dengan berbagai
masalah. Dimulai dari perbedaan latar belakang dan tradisi antar keluarga dan Pingkan yang
akan melanjutkan studinya ke Jepang, sementara Sarwono tinggal di Jakarta.
Sapardi yang senang sekali mengangkat masalah sosial dalam karya sastranya juga menghiasi
novel ini. Seperti perbedaan tradisi sepasang kekasih yang bisa saja menjadi masalah untuk
mengantarkan mereka ke jenjang pernikahan. Di Indonesia, seperti yang diketahui,
SMA NEGERI 68 JAKARTA

pernikahan adalah suatu hal yang tidak hanya melibatkan sepasang kekasih, tetapi juga
keluarga dari kedua belah pihak. Selain itu, Sapardi juga menjelaskan keadaan Jakarta
dengan pada umumnya yang mencirikhaskan dirinya, seperti ruwet, kacau, debu, banjir,
demo, pedagang kaki lima, ondel-ondel, tetapi Jakarta itu kasih sayang.

Jakarta,
Mengetahui
Orangtua/Wali Guru/Wali Kelas

………………………………… ……………………………………

Anda mungkin juga menyukai