Anda di halaman 1dari 4

Ulasan Buku: Pingkan

Melipat Jarak

SUMBER: SCOOP.COM

[Diterbitkan pertama kali di HU Pikiran Rakyat, 27 Juli 2017 dengan judul “Ketika Rindu dan
Cinta Menyentuh Jiwa]

Selalu ada saat ketika kita tidak sempat bertanya kepada sepasang kaki sendiri kenapa tidak
mau berhenti sejak mengawali pengembaraan agar kita bisa memandang sekeliling dan
bertahan semampu kita untuk tidak melepaskan air mata menjelma sungai tempat berlayar
tukang perahu yang mungkin saja bisa memberi tahu kita, Ke sana, Saudara, ke sana.
Demikianlah sepenggal paragraf yang terletak di bagian belakang sampul buku ini. Paragraf
tersebut mungkin tak langsung menceritakan sinopsis dari buku trilogi karya sastrawan
Indonesia angkatan 50-an ini. Melainkan sebuah pengandaian dan “penghalusan” yang akan
dimengerti setelah membaca isi bukunya hingga selesai.

Sukses dengan judul pertama dari novel trilogi ini, yakni “Hujan Bulan Juni”, Sapardi kembali
memberikan kejutan pada pembaca dengan mengeluarkan novel kedua dari trilogi yang
masih dalam tahap penggarapan menuju novel ketiga. Sedikit pesan, ada baiknya Anda
membaca terlebih dahulu novel pertama. Sebab novel kedua ini, masih berhubungan
langsung dengan yang sebelumnya. Termasuk alur hingga tokohnya bisa dikatakan
melanjutkan kisah di edisi sebelumnya. Jadi lebih baik membaca terlebih dahulu novel
pertama agar Anda memahami alur cerita dan mengenal sesiapa saja tokohnya.

Adalah novel ini bercerita tentang suatu perasaan yang mutlak dimiliki anak adam dan
membuat pusing kepala. Yap, perasaan cinta. Perasaan ini milik dua insan bernama Pingkan
dan Sarwono yang meski diam dan tak dinyatakan, keduanya sangat paham bahwa mereka
sama-sama “diikat” perasaan. Anda akan menemukan bagaimana semua bermula di antara
mereka lewat novel pertama “Hujan Bulan Juni”.

Adapun di novel kedua ini, mengambil sudut pandang seorang Pingkan. Bagaimana Pingkan
harus bergelut dengan jiwa dan pikirannya sendiri di saat Sarwono yang padahal sebentar
detik saja akan menjadi pendampingnya tetapi dinyatakan koma. Sekelabat waktu saja,
Sarwono tak lagi berbicara pada Pingkan dengan bahasa sastranya yang khas. Pingkan
dihantui rindu akan semua hal tentang Sarwono.

Di saat kritis itu, sosok Katsuo hadir. Ia adalah teman Pingkan kuliah di Jepang. Satu sosok
yang dulu sempat mendapat tatapan sinis dari Sarwono karena merasa ada yang menganggu
Pingkan darinya. Katsuo sadar bahwa pikiran buruknya berkata inilah saat yang tepat untuk
mampu mendekati Pingkan. Lebih tepatnya selalu berada dekat dengan Pingkan. Itu saja
yang diinginkannya.

Katsuo tak akan mampu bersama Pingkan. Sederhana saja, ibunya di Okinawa telah
menjodohkannya dengan seorang gadis yang memiliki keturunan kuat seperti ibunya yang
merupakan seorang kaminchu atau seseorang yang mampu berhubungan dengan alam
arwah. Pernikahan itu pantang tidak dikerjakan. Sebab Katsuo amat paham betapa
pentingnya menjaga budaya dan kepercayaan kampungnya sendiri. Katsuolah yang akhirnya
sadar agar Pingkan kembali pada kesadarannya dan kembali dekat dengannya dengan satu
cara saja. Mengembalikan Sarwono. Satu-satunya cara agar rindu Pingkan berakhir dan
kehidupan mereka bertiga bisa kembali normal.
Rasa rindu itu tak ubahnya menjadi rasa takut. Takut bila Sarwono tak mampu kembali. Takut
jika Sarwono mengakhiri semua rasa rindu Pingkan dengan cara yang tidak diinginkan. Rindu
yang membuat Pingkan harus masuk ke dunia dimana Sarwono berada agar tak ada jarak
antara keduanya.

Orang-orang sering mengatakan “Cinta itu Gila!”. Mungkin Anda tak percaya tapi Sapardi di
novel ini berhasil memperlihatkan kenyataan kalimat sakti tersebut. Sapardi dengan ciri
khasnya menggunakan bahasa yang sangat sederhana tapi bermakna dalam, membuat Anda
memahami kegilaan itu ada di setiap tokohnya terutama Pingkan. Segala dialog Pingkan
memperlihatkan perasaan rindu dan cintanya yang tak main-main dan itu adalah pertaruhan
nyawa.
SUMBER: SCOOP.COM

Menarik rasanya, kegilaan itu dikisahkan pada dua dunia sekaligus. Sapardi mampu membuat
pembaca “berpindah dunia” tanpa harus diberikan penjelasan tertulis. Kegilaan yang
membuat pembaca pun bisa terguncang, seolah merasakan sendiri bagaimana memiliki
perasaan tajam seperti Pingkan dan Sarwono. Sementara mereka berada di dunia yang sama
dari fisik tapi tidak dari jiwa mereka yang kini ada di tempat berbeda.

Seperti judulnya “Pingkan Melipat Jarak”, Pingkan benar-benar telah melipat jarak yang maha
luas antara dia dan Sarwono. Seolah mengatakan “cinta memang gila dan apapun jarak yang
ada harus dituntaskan agar tak ada jarak apapun jua sehingga rindu terbayar”. Pun jika perlu
melipatnya lebih kecil dan lebih kecil sehingga bertemu setiap sudut dan lapisan.

Mungkin terdengar klasik membicarakan novel dengan genre percintaan atau romance.
Namun, Sapardi tak “menye-menye” layaknya kisah romance kebanyakan. Sapardi membuat
rasa cinta dan rindu dengan bungkusan yang berkelas dan tak sekedar soal dua hati. Ada
masalah yang lebih besar dari cinta dibanding sekedar urusan hati. Genre romance satu ini
mampu meresap di jiwa dan membuahkan kesadaran buat pembaca. Terasa berbeda.
Eksotisme Dua Budaya
Dari nama penulisnya, mungkin akan tertebak suku apa yang mengaliri darahnya dan
merembes ke tulisannya. Ya, Sapardi lahir di Surakarta dan bersuku Jawa. Tak heran jika
tulisannya begitu kental dengan budaya dan kearifan suku Jawa.

Termasuk pula di novel ini. Ada dua budaya yang menjadi latarnya yakni Jawa dan Jepang
atau lebih tepatnya Okinawa. Eksotisme budaya Jawa dan Okinawa ini begitu terasa. Sapardi
mempertemukan kebudayaan yang sama dari dua negara yang berjarak.

“Memanggil jiwa yang hilang”, demikianlah kira-kira eksotisme yang dibeberkan. Sarwono
dalam dua budaya ini dianggap telah hilang jiwanya. Tak ada cara lain yang dapat dilakukan
selain memanggil jiwa itu agar kembali. Agar tuntas semua rasa antara Sarwono dan Pingkan
yang hampir hilang jiwa pula.
Dua budaya itu memberikan step yang berbeda tapi terasa sama untuk memanggil dua jiwa
yang hilang ini. Disinilah kental terasa budaya Jawa dan Okinawa mengenai pemanggilan
jiwa.
Terasa berbeda bukan? Romance yang dibalut budaya “jiwa” dan mengantarkan ke dunia
berbeda yang tampak dan tidak tampak? Sudah merasakan sedikit kegilaanya? (Retno Nurul
Aisyah, mahasiswa jurnalistik Fikom Unpad

Anda mungkin juga menyukai