Kondisi kota Semarang di bawah kolonialisme Belanda cukup pesat perkembangannya dengan dibangunnya berbagai kepentingan Belanda. Misalnya sarana dan prasarana perkotaan seperti jalan, transportasi kereta api, pasar-pasar dan sebagainya. Hal ini terbukti pada tanggal 16 Juni 1864 dibangun jalan kereta api (rel) pertama di Indonesia. Dimulai dari Semarang menuju Kota Solo dan Kedungjati, Surabaya dan ke Magelang serta Yogyakarta kemudian dibangun 2 stasiun kereta api yang masih ada sekarang yaitu Tawang dan Poncol. Pada abad ke XIV, Belanda juga mendirikan Pelabuhan Tanjung Emas. Pelabuhan Tanjung Emas ini dikatakan memiliki fungsi strategis sebagai pusat perdangangan nasional dan internasional (The World Market 1870-1900). Pelabuhan Tanjung Emas bukan hanya sebagai pusat perdagangan import-ekspor, tetapi juga sebagai jalur masuk barang-barang dari Eropa yang dipasarkan akan dipasarkan di Jawa dan Indonesia. Pada sekitar abad 18, Kota Semarang menjadi pusat perdagangan. Kawasan tersebut pada masa sekarang disebut Kawasan Kota Lama. Pada masa itu, untuk mengamankan warga dan wilayahnya, maka kawasan itu dibangun benteng, yang dinamai benteng VIJHOEK.Untuk mempercepat jalur perhubungan antar ketiga pintu gerbang dibenteng itu maka dibuat jalan-jalan perhubungan, dengan jalan utamanya dinamai HEEREN STRAAT. Saat ini bernama Jl. Let. Jen Soeprapto. Salah satu lokasi pintu benteng yang ada sampai saat ini adalah Jembatan Berok, yang disebut DE ZUIDERPOR. Selanjutnya secara berturut-turut muncul pula perkembangan lainnya seperti pada tahun 1857 layanan telegram antara Batavia - Semarang - Ambarawa - Surabaya mulai dibuka, tahun 1884 Semarang mulai melakukan hubungan telepon jarak jauh (Semarang-Jakarta dan Semarang-Surabaya), dibukanya kantor pos pertama di Semarang pada tahun 1862. Sesuai dengan aspek yang mempengaruhi perkembangan kota, faktor internal yaitu aktivitas perdagangan dan perindustrian di kota Semarang telah memberikan pengaruh dalam perubahan fisik spasial kota, dengan terbentuknya pusat kota yang dikenal dengan nama Alun-alun. Ketika masa kolonialisme, Alun-alun dijadikan pusat administrasi Kolonial Belanda dan pusat perdagangan. 2. Kota Semarang Pasca Kemerdekaan Indonesia
Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia dan dengan keberhasilan bangsa Indonesia
melenyapkan penjajahan dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), maka tahun 1950 Kota Semarang menjadi Kotapraja di Propinsi Jawa Tengah.Pada tahun 1976 dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah (PP) No. 16 tahun 1976 wilayah Semarang mengalami pemekaran sampai ke Mijen, Gunungpati dan Tembalang di wilayah Selatan, Genuk di wilayah Timur dan Tugu di wilayah Barat. Seluruh wilayah Semarang meliputi 273,7 Km2. Dari semula 5 Kecamatan menjadi 9 Kecamatan. Adanya perkembangan dan perluasan wilayah ini maka pertumbuhan kawasan diperhatikan. Pusat-pusat industri, perdagangan, pendidikan, pennukiman, pertahanan keamanan mulai diatur dalam lokasi-lokasi yang tepat dan strategis. Kota bawah cepat berkembang menjadi pusat perdagangan, jasa dan pemerintahan. Wilayah perluasan atau pinggiran menjadi pusat pendidikan. Ini juga dimaksudkan penyebaran pusat-pusat aktivitas bisa merata di semua kawasan sehingga semua wilayah mengalami peitumbuhan yang sama. Perkembangan selanjutnya yang tampak menonjol adalah industri dan pernukiman penduduk. Industri dikembangkan di wilayah Kaligawe-Terboyo, Bugangan (Genuk) dan Tugu, s edangkan permukiman banyak dikembangkan di daerah Selatan. 3. Kota Semarang Masa Kini Perkembangan kota adalah proses perubahan keadaan perkotaan dari suatu keadaan ke keadaan yang lain dalam waktu yang berbeda. Sehubungan dengan hal ini, tinjauan perkembangan akan ditinjau dari kehidupan ekonomi, politik dan budaya. Sebagai ibukota Provinsi Jawa Tengah, Semarang terletak pada posisi strategis di jalur pantai utara dan sebagai simpul regional dan nasional. Sebagai simpul nasional, karena Semarang memiliki bandar udara dan pelabuhan serta dilewati arus lalu lintas menuju ibukota negara Jakarta, sedangkan sebagai simpul regional, karena Semarang memiliki hinterland atau daerah belakang yang meliputi kawasan Kedungsapur (Kendal, Demak, Ungaran, dan Purwodadi). Daerah Kedungsapur tersebut merupakan simpul strategis. Wilayah Kabupaten Semarang dengan ibukota di Ungaran merupakan penyangga air bersih, sedangkan daerah Demak dan Purwodadi merupakan daerah penyangga permukiman dan penyedia tenaga kerja bagi berlangsungnya kegiatan industri di Semarang. Berbagai industri yang tumbuh di Semarang yang meliputi kawasan Tugu, Genuk maupun di sekitar Jalan Kaligawe, merupakan potensi besar yang kemudian menjadikan Semarang tumbuh sebagai kota besar. Mulai kaburnya garis batas non-administratif tersebut seakan menyatukan wilayah Semarang dengan kota-kota di sekitarnya, sehingga membentuk suatu ''megaurban''. Sudah pasti, banyak akibat yang harus ditanggung oleh Semarang berkaitan dengan semakin besarnya kota ini, di antaranya masalah lingkungan, lalu lintas, permukiman, sampai ke masalah-masalah sosial lainnya. Keseimbangan ekologis, tata lingkungan, dan pertumbuhan kota memerlukan perencanaan yang komprehensif. Masalah spesifik di Jalan Kaligawe adalah soal lingkungan hidup, yakni banjir dan rob yang hingga saat ini belum dapat dipecahkan. Tampaknya proses pertumbuhan kota masih lepas dari kontrol pemerintah sebagaimana telah dituangkan dalam Rencana Tata Ruang Kota. Dengan kata lain, permasalahan yang dihadapi Semarang sangat kompleks karena tidak hanya menyangkut masalah ekologis, namun juga masih lemahnya manajemen pembangunan kota. Apalagi dengan jumlah penduduk lebih dari 1,5 juta jiwa, sudah pasti Semarang menghadapi berbagai permasalahan yang serius. Persoalan yang lain adalah berkaitan dengan peluang kerja. Menurut Terry McGee (1971) ada dua kenyataan yang menyolok di negara-negara Dunia Ketiga. Pertama, kota-kota di negara-negara Dunia Ketiga tumbuh luar biasa. Diagram Sejarah Perkembangan Kota Semarang