Anda di halaman 1dari 15

POTENSI PENGEMBANGAN CANDI GUNUNG GANGSIR

SEBAGAI WISATA WARISAN BUDAYA

ABSTRAK
Eksistensi kehidupan manusia di masa lalu dapat ditelusuri melalui peninggalan
sejarahnya. Peninggalan berupa hasil cipta manusia di masa lalu yang dapat dikembangkan
dan dimanfaatkan menjadi sebuah wisata cagar budaya. Pasuruan dalam lintasan sejarah
merupakan salah daerah yang memiliki peninggalan cagar budaya masa Hindhu-Budha,
salah satunya berupa Candi Gunung Gangsir peninggalan Kerajaan Medang Kamulan.
Metode pendekatan ini menggunakan metode kualitatif dengan teknik pengumpulan data
menggunakan teknik wawancara dan observasi ke lapangan. Metode analisis data dalam
kajian diawali dengan reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan yang
kemudian dipaparkan dalam artikel ini.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pemanfataan peninggalan bangunan
bersejarah menjadi daya tarik wisata adalah salah satu bagian upaya dari pelestarian
bangunan tersebut. Langkah-langkah konkrit untuk merealisasikannya adalah pemenuhan
daya dukung yang diperlukan dalam bisnis pariwisata yang meliputi Konsep 4A, Attraction,
Amenities, Access dan Ancillary. Beberapa hal yang harus ada adalah bangunan khusus
berteduh, homestay (tempat untuk menginap bagi wisatawan), rumah makan yang
representatif dan fasilitas pariwisata yang memadai serta membentuk organisasi yang secara
khusus bidang kepariwisataan.
Kata Kunci: Potensi Pengembangan, Candi Gunung Gangsir, Wisata Warisan Budaya

Latar Belakang
Eksistensi kehidupan manusia di masa lalu dapat ditelusuri melalui peninggalan
sejarahnya, salah satunya yang terekam dalam kebudayaan [1]. Wujud kebudayaan dapat
berupa ide, aktivitas dan artefak. Bentuk budaya ide dapat berupa nilai dan norma yang
dianut oleh masyarakat, sedangkan wujud aktivitas dapat berupa upacara adat, seni tari dan
mata pencaharian. Adapun bentuk budaya manusia di masa lalu yang berupa artefak adalah
berupa benda, struktur dan bangungan masyarakat [2]. Sebuah struktur, bangunan dan
kawasan yang menjadi tinggalan bersejarah inilah yang sering disebut sebagai cagar budaya.
Cagar budaya yang merupakan warisan dan hasil karya leluhur yang merupakan aset
tidak ternilai harganya, sehingga perlu adaya upaya pelestarian cagar budaya melalui
pendayagunaan yang tepat. Sektor pariwisata nampaknya menjadi opsi yang paling
memungkinkan jika dikaitkan dengan perundang-undangan yang berlaku, yakni pemerintah,
pemerintah daerah dan setiap orang dapat memanfaatkan cagar budaya untuk kepentingan
agama, sosial, pendidikan, ilmu pengetahuan, teknologi, kebudayaan dan pariwisata [3].
Adapun pendekatan yang dapat dilakukan adalah menjadikan tinggalan bersejarah
tersebut menjadi wisata sejarah budaya. Sebab, pariwisata adalah sebuah entitas yang dapat
diandalkan dalam peningkatan pendapatan suatu daerah tanpa membutuhkan modal besar
layaknya sebuah industri, sehingga pariwisata memiliki kontribusi terhadap perkembangan

1
perekonomian suatu negara. Hal itu juga berimbas pada penyediaan lapangan kerja yang
dapat meningkatkan penghasilan dan standar hidup masyarakat.
UNWTO (United Nations World Tourism Organization) mencatat bahwa sejak tahun
2005 kunjungan wisatawan dengan tujuan ke obyek warisan budaya dan sejarah mengalami
pertumbuhan yang cepat, hingga tahun 2009 hampir 65% dari pelancong mencari
pengalaman dengan tujuan utamanya adalah bangunan dan lingkungan yang tetap memiliki
karakter kesejarahan [4]. Sementara data OECD, The Organisation for Economic Co-
Opertaion and Development, trend wisata dengan tujuan budaya di tahun 2009 mencapai
angka 40% [5].
Menurut data riset yang diluncurkan oleh Twitter, Indonesia masuk dalam 10 negara
yang paling sering dikunjungi oleh wisatawan pengguna Twitter dari Asia Pasifik. Ada
beberapa alasan yang melatarbelakangi wisatawan berkunjung, yakni: 1) sebanyak 53 %
mencari tempat yang menawarkan value for money; 2) sebanyak 27 % adalah mencari
warisan budaya, dengan alasan aman dan terjamin, serta bernilai tinggi; 3) lebih dari 19 %
mencari pantai yang bagus [6].
Bali merupakan salah satu wilayah kepulauan Indonesia yang banyak dikunjungi oleh
wisatawan asing, tercatat hanya selama bulan Januari hingga Juli 2019 terdapat 3.462.683
kunjungan [7]. Mereka sebagian besar berasal dari Australia 20,40 %, Tiongkok 18,53 %,
India 4,92 %, Inggris 4,72 %, dan Perancis 4,44 %, Amerika Serikat 4,35 %, Korea Selatan
3,85 %, Jepang 3,39 %, Jerman 3,31 %, Selandia Baru 3,02 % dan sisanya gabungan
sejumlah negara lainnya 29,08 % [8]. Salah satu daya tarik utama Bali adalah wisata budaya.
Wisata budaya dapat dimaknai sebagai perjalanan yang bersifat untuk memahami dan
menjadi terbiasa dengan cara hidup dan sejarah lokasi tertentu disertai dengan berbagai
faktor budaya yang dapat disajikan dalam konteks pariwisata seperti makanan, hiburan,
arsitektur, minuman, kerajinan tangan dan produk manufaktur atau setiap elemen yang
mewakili karakteristik cara hidup di tempat destinasi tertentu [9]. Pariwisata warisan budaya
biasanya bergantung pada unsur-unsur budaya hidup (aktivitas masih berlangsung) dan
bangunan yang mengacu pada penggunaan masa lalu sebagai sumber daya pariwisata. Hal
itu mencakup: 1) budaya dan kebiasaan sekarang, karena mereka juga merupakan warisan
dari masa lalu; 2) elemen warisan immaterial lainnya, seperti musik, tarian, bahasa, agama,
jalur makanan dan masakan, tradisi artistik dan festival; dan 3) sisa-sisa material dari
lingkungan budaya yang dibangun, termasuk monumen, bangunan publik dan rumah
bersejarah, pertanian, istana dan katedral, museum, dan reruntuhan dan peninggalan
arkeologi[10].

2
Pada tahun 2012, pemerintah daerah Provinsi Bali secara khusus sudah menetapkan
Bali sebagai wisata budaya [11]. Adanya peraturan gubernur tentang pariwisata di Bali,
berdampak pada maraknya wisata berbasis warisan budaya dan sejarah di Pulau Dewata,
salah satunya Desa Wisata Bongan Tabanan [12], pariwisata berbasis budaya di Nusa Penida
Bali [13], pemanfaatan budaya Pura Tirta Empul di Bali [14], [15] dan beberapa obyek
wisata budaya lainnya.
Kondisi geografis dan bentang alam Indonesia yang berbeda antar pulau satu dengan
lainnya berdampak pada model berinteraksi dengan alam dan mata pencaharian
masyarakatnya, sehingga terbentuk cara hidup dan budaya yang beragam. Keberagaman cara
hidup dan budaya itulah menjadi salah satu modal besar bagi Indonesia dalam meningkatkan
kesejahteraan warga negaranya melalui sektor kepariwisataan. Kajian ini bertujuan untuk
memotret situs peninggalan bersejarah yang berada di Pasuruan Jawa Timur Indonesia,
yakni berupa Candi Gunung Gangsir yang berada di Desa Gunung Gangsir Kecamatan Beji.
Diharapkan dari kajian wisata sejarah ini nilai sejarah pada cagar budaya tersebut dapat
menjadi nilai edukasi dan pijakan bagi generasi masa kini dan mendatang. Salah satu bentuk
pemanfaatannya adalah pengembangkannya sebagai daya tarik wisata berbasis warisan
budaya.

Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan model penelitian kualitatif, dimana secara umum
penelitian kualitatif dilakukan untuk melihat makna yang tidak dapat diukur dari sisi
kuantitas, jumlah, intensitas atau frekuensinya. Tetapi penelitian tersebut menekankan
realita yang terbangun secara sosial, sehingga terdapat hubungan erat antara peneliti dengan
kajian. Selain itu, penelitian kualitatif umumnya lebih mementingkan sifat sarat-nilai dan
berupaya mencari jawaban atas pertanyaan yang melihat cara munculnya pengalaman sosial
dan mendapatkan makna di dalamnya [16].
Data dalam penelitian ini sebagian besar diperoleh dari kajian pustaka, observasi dan
wawancara. Pada bagian metode kajian pustaka dilakukan dengan mencari data pada buku
dan artikel yang terkait secara langsung maupun tidak, yakni terkait dengan kesejarahan dan
kepariwisataan. Metode observasi ke kawasan peninggalan bersejarah dilakukan oleh
penulis selama tahun 2019 dan 2020. Guna melengkapi data yang diperoleh dari kajian
pustaka dan pengamatan langsung, peneliti juga melakukan wawancara kepada beberapa
sumber di sekitar situs.

3
Aspek Filosofis Candi Gunung Gangsir
Candi Gunung Gangsir terletak di Desa Gunung Gangsir Kecamatan Beji Pasuruan.
Letaknya cukup strategis, yakni di jalur Pantai Utara Jawa yang diapit oleh Kabupaten
Sidoarjo di bagian barat dan Kabupaten Probolinggo di bagian timur. Di sebelah selatan
berbatasan dengan Kabupaten Malang. Keberadaan dari Candi Gunung Gangsir
diperkirakan muncul abad ke-11 M, bersamaan dengan akhir pemerintahan dan peninggalan
Kerajaan Medang Kamulan. Kerajaan ini merupakan kelanjutan dari kerajaan Mataram
Kuno di Jawa Tengah yang dipindah ke Jawa Timur oleh Mpu Sindok. Perpindahan tersebut
disebabkan karena beberapa alasan, yakni pusat kerajaan Mataram Kuno berdekatan dengan
Gunung Merapi, sehingga keberadaannya terancam jika Gunung Merapi meletus dan alasan
kedua adalah ancaman politik dari kerajaan lain [18].
Selain itu, pertimbangan geografis juga menjadi alasan pemindahah ibukota adalah
kondisi berbukit yang menyebabkan sektor agraris kurang berkembang, sehingga memilih
wilayah di Jawa Timur yang terdapat dua sungai besar yang mengalir ke laut, yakni
Bengawan Solo dan Sungai Brantas. Kedua sungai tersebut merupakan jantung pergerakan
perekonomian dan perdagangan bagi daerah subur seperti Mojokerto dan Kediri [19].
Karena alasan tersebut, Mpu Sindok kemudian membangun istana baru Kerajaan
Medang Kamulan di muara Sungai Brantas dengan ibu kotanya bernama Watan Mas.
Adapun wilayah kekuasaan Kerajaan Medang Kamulan pada masa pemerintahan Mpu
Sindok meliputi daerah Kabupaten Nganjuk di sebelah barat, Kabupaten Pasuruan di sebelah
timur, Kota Surabaya di sebelah utara dan Kabupaten Malang di sebelah selatan. Dalam
perkembangan selanjutnya, kekuasaan kerajaan tersebut mencakup hampir seluruh wilayah
Jawa Timur. Candi Gunung Gangsir dibangun pada masa pemerintahan Mpu Sindok yang
terletak di Dusun Kebon Candi, Desa Gunung Gangsir, Kecamatan Beji Kabupaten Pasuruan
[20].
Menurut cerita lisan, Candi Gunung Gangsir Pasuruan dibangun oleh perempuan kaya
bernama Nyai Srigati atau biasa disebut Mbok Rondo Dermo. Istilah Mbok Rondo Dermo
diambil dari tabiat dia yang sangat dermawan terhadap masyarakat sekitar. Sebelum
mengenal Nyai Srigati, masyatakat sekitar hanya mengenal sistem mata pencaharian sebagai
pengembara dan pemakan rumput. Ketika persediaan tanaman dan binatang buruan makin
habis, Nyai Srigati mengajak warga masyarakat untuk berdoa kepada Tuhan. Beberapa hari
kemudian, datang seekor Burung Glatik yang membawa biji padi dan dijatuhkan di daerah
tersebut. Setelah itu, biji-bijian tersebut ditanam di lokasi yang sekarang berada di sebelah
utara Candi Gangsir. Beberapa tahun kemudian, Nyai Srigati menjadi petani yang sangat

4
kaya, sehingga masyarakat lokal menambatkan hidupnya kepada perempuan kaya tersebut.
Karena jasanya, masyarakat lokal membangun Candi Gunung Gangsir sebagai tugu
penghormatan karena keberhasilan Nyai Sri Srigati bidang pertanian dalam mensejahterakan
masyarakat sekitar (Nur Jannah, wawancara tanggal 25 Januari 2017).
Menurut Astania, Candi Gunung Gansir merupakan bentuk akulturasi antara
kebudayaan Hindu dengan kebudayaan animisme (asli Indonesia), yakni dibuktikan dengan
tujuan pendirian candi sebagai bentuk penghormatan kepada Nyai Srigati yang dianggap
sebagai orang yang berjasa bagi masyarakat sekitar. Kebudayaan Hindu nampak dalam
fungsi candi sebagai tempat pemujaan terhadap dewa dan tempat makam raja atau kaum
brahmana. Dengan demikan, dalam kepercayaan Hindu, candi ini berfungsi sebagai tempat
ritual keagamaan, tempat pemakaman dan sebagai tempat penyimpanan harta [21].
Adapun salah satu aktivitas keagamaan yang masih berlangsung adalah upacara atau
yang dikenal dengan istilah “Selametan Dusun” yang dilakukan pada Hari Jum’at Legi,
kecuali pada Bulan Ramadhan. Acara tersebut dilangsungkan di depan atau di halaman
Candi Gunung Gangsir. Ritual tersebut dilakukan untuk menghormatan dan memberi
persembahan kepada arwah Nyai Srigati. Maksud lain dari ritual tersebut adalah agar
terlepas dari segala marabahaya dan mendapat rejeki yang berlimpah [22].

Kondisi Eksisting Candi Gunung Gangsir


Candi Gunung Gangsir mempunyai keunikan dalam hal bentuk arsitekturnya, yakni
memiliki karakteristik bangunan langgam Jawa Tengah dan Jawa Timur. Candi langgam
Jawa Tengah memiliki ciri berikut, yakni berbentuk tambun dengan atap berundak, reliefnya
timbul agak tinggi dengan lukisan naturalis berupa tanaman atau hewan, puncak candi
berbentuk stupa, terbuat dari batu andesit, candi induk terlerak di tengah halaman dan candi
menghadap ke arah timur. Contoh dari candi berlanggam Jawa Tengah adalah Candi
Mendut, Candi Kalasan dan Candi Borobudur. Candi Jawa Timur memiliki karakteristik
sebagai berikut, berbentuk ramping dan atapnya bertingkat, reliefnya timbul sedikit dan
hiasannya menyerupai wayang kulit, puncak candi berbentuk kubus, struktur bangunan
terbuat dari batu bata, candi induk terletak di belakang halaman dan menghadap ke arah barat
[21].

5
Gambar 1. Bagian Depan Candi Gambar 2. Bagian Belakang Candi
Foto: Akhmad Fajar Ma’rufin, 2020

Candi Gunung Gangsir memiliki karakteristik berikut: yakni candi berbentuk tambun
dan berundak-undak dengan puncak berbentuk kubus; reliefnya timbul agak tinggi dan
hiasan lukisan naturalis dan ada yang menyerupai wayang kulit, hal itu terlihat dari dua relief
yang menggambarkan seorang laki-laki dan perempuan yang kepalanya menghilang; relief
ditempelkan di relung-relung sekitar candi; candi menghadap ke arah barat; dan struktur
candi terbuat dari batu bata (Seperti terlihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.).
Pada bagian tubuh candi umumnya menggambarkan batas antara alam manusia dengan
alam seseudah kematian, sehingga pada bagian tersebut sering digunakan sebagai
penempatan abu jenazah atau ritual keagamaan. Adapun di Candi Gunung Gangsir, bagian
tubuh candi terdapat sebuah ruangan berisi pasir yang dapat menampung 50 orang (seperti
pada Gambar 3). Pada bagain kanan dan kiri pintu masuk, terdapat arca dan relief seorang
perempuan. Pada bagian atas atau atap candi terdapat sebuah makam yang tidak diketahui
siapa yang dimakamkan di sana. Pada bagian ini juga ditemukan banyak relief yang salah
satunya adalah relief seorang laki-laki (Observasi, 25 Januari 2020).

6
Gambar 3. Bagian dalam Candi Gunung Gangsir
Foto: Akhmad Fajar Ma’rufin, 2020

Candi Gunung Gangsir memiliki relief dan arca yang terukir di bagian dinding candi.
Pada saat ditemukan, kondisi strukutur candi sudah karena usia sudah tua. Walaupun begitu
candi ini memiliki nilai seni dan budaya yang sangat tinggi, sehingga pada masa pendudukan
di Indonesia, Jepang mengambil lukisan atau relief dan beberapa arca yang diambil lalu di
jual untuk kepentingan perang Asia Timur Raya (Nur Jannah, wawancara tanggal 25 Januari
2017). Pada tahun tahun 2003 hingga 2013, penduduk sekitar melakukan pemugaraan sendiri
tanpa mengetahui pengetahuan dasar-dasar tentang konsep pemugaran candi. Oleh karena
itu, banyak relief yang tempatnya tidak sesuai dengan relungnya. Bahkan pada saat
pemugaran tersebut, banyak para penggali yang menemukan emas dan dijual untuk
kepentingan pribadi. Setelah pemugaran selesai beberapa tahun berselang banyak arca yang
hilang dicuri oleh orang yang tidak bertanggungjawab. Guna mencegah kerusakan atau
hilangnya lukisan atau relief, maka sebagian relief yang lepas dari relung di simpan dalam
sebuah gudang (Nur Jannah, wawancara tanggal 25 Januari 2017).

Gambar 4. Bagian Relief Candi Gunung Gangsir


Foto: Akhmad Fajar Ma’rufin, 2020
7
Pada umumnya di sekitar candi terdapat sebuah pentirtaan berupa kolam yang berisi
air untuk bersuci. Selain itu terdapat pula dua gapura, bentuk gapura pertama terdapat lubang
pintu yang digunakan sebagai tempat keluar masuk. Kemudian gapura kedua berupa berupa
candi yang dibelah menjadi dua untuk jalan keluar masuk, contoh dari candi gapura tersebut
adalah Candi Bentar [22]. Namun pada areal Candi Gunung Gangsir tidak terdapat petirtan
di sekitarnya. Tidak diketahui dengan pasti apakah hal itu sejak awal atau karena ada
penyesuian-penyesuaian (Observasi, 25 Januari 2020).

Analisis Aspek Kepariwisataan di Kawasan Candi Gunung Gangsir


Dari sudut pandang ekonomi dan bisnis, pariwisata dapat mempertemukan berbagai
unit usaha yang memenuhi berbagai macam kebutuhan dan keinginan wisatawan, sejak
mereka berangkat dari tempat asal, saat di lokasi hingga pulang kembali. Oleh karena itu,
kontribusi pariwisata terhadap perekonomian negara cukup besar, sebab pembangunan
sebuah destinasi dapat berdampak pada aspek supply and demand, foreign exchange,
balance of payment, aspek ketenagakerjaan dan faktor moneter lain [23]. Selain itu, industri
pariwisata juga dapat menjadi katalisator bagi tumbuhkembangnya ekonomi masyarakat,
karena tersedia lapangan kerja, peningkatan penghasilan dan standar hidup masyarakat lokal
serta menjadi stimulus bagi munculnya usaha lain [24].
Di era sekarang telah terjadi perubahan model dalam kepariwisataan, yakni adanya
perubahan yang semula bersifat konvensional menjadi wisata minat khusus seperti halnya
desa wisata berbasisi budaya yang cederung lebih menghargai lingkungan, alam, budaya dan
atraksi secara spesial [25]. Wisata minat khusus juga dapat berupa sesuatu yang berbeda dari
pola umum, yang keberadaannya hanya diminati oleh orang-orang tertentu dengan tujuan
khusus, misalnya mencari pengetahuan sejarah, mencari ketengan jiwa dan pikiran.
Bangunan Candi Gunung Gangsir untuk dikembangkan sebagai destinasi wisata
warisan budaya cukup potensial. Hal itu dapat dilihat dari pengakuan juru kunci candi,
bahwa jumlah pengunjung ke candi Gunung Gangsir jumlah berkisar 200 sampai 300 orang
dalam setiap bulan. Pada musim liburan, jumlah pengunjung semakin banyak. Mereka
umumnya datang dengan tujuan untuk mencari kesenangan, mengenal sejarah candi,
melakukan ritual dan sebagian melakukan penelitian (Edy, wawancara 1 Januari 2020).
Guna menganalisis aspek-aspek kepriwisataan pada obyek wisata yang ada di sekitar
Candi Gunung Gangsir, maka diperlukan teori Cooper yang menjelaskan bahwa
keberhasilan sebuah destinasi wisata harus mengacu pada pemenuhan empat hal yang

8
meliputi attraction, amenities, access dan ancillary [26], dengan rincian sebagai berikut:
attraction terkait dengan daya tarik wisatawan untuk mengunjungi obyek dan sebagai
pemberi kepuasan; amenities dapat berupa jasa atau fasilitas yang tersedia, termasuk rumah
makan dan toko penyedia barang khas lokasi; access meliputi aksesibilitas dan moda
transportasi menuju lokasi; dan ancillary meliputi organisasi pariwisata dan kegiatannya
terkait promosi obyek wisata.

Potensi Atraksi Wisata di Kawasan Candi Gunung Gangsir


Berdasarkan penelusuran di lapangan, belum ada atraksi lain yang berada di kawasan
Candi Gunung Gangsir. Dengan demikian, wisatawan yang berkunjung ke sana hanya
melihat bangunan candi, menikmati taman rumput di pelataran halaman candi dan ber-
swafoto (Observasi, 25 Januari 2020). Menurut pengakuan masyarakat sekitar, sebelum
bangunan warisan budaya tersebut ditetapkan sebagai bangunan cagar budaya oleh
pemerintah setempat, masyarakat lokal biasanya mengadakan kegiatan kesenian di areal
bangunan candi. Kegiatan tersebut meliputi pementasan ludruk, wayang dan beberapa
kesenian serta tradisi masyarakat lokal lainnya. Namun setelah adanya penetapan cagar
budaya dan system zonasi bangunan, maka kegiatan tersebut ditiadakan (Sholikhah,
wawancara tanggal 01 Januari 2020).
Dengan demikian, agar kawasan tersebut menjadi daya tarik wisata warisan budaya,
maka di sekitar lokasi tersebut (di luar zonasi) perlu diadakan lagi kegiatan seni dan budaya
tradisional yang masih terkait dengan kesejarahan munculnya candi atau terkait peristiwa
apa saja yang pernah terjadi di lokasi tersebut. Cara-cara demikian akan menambah
pengetahuan masyarakat lokal yang hidup di era sekarang, sehingga mengetahui sejarah
masa lalunya.

9
Pengunjung melakukan swafoto di dinding Candi Gunung Gangsir
Foto: Akhmad Fajar Ma’rufin, 2020

Potensi Fasilitas di Kawasan Candi Gunung Gangsir


Berdasarkan pengamatan di lapangan, fasilitas yang ada di Kawasan Candi Gunung
Gangsir Pasuruan sudah cukup. Namun guna mendukung kegiatan kepariwisataan di sana,
masih banyak hal yang harus dilengkapi, guna memberikan pelayanan yang prima untuk
pengunjung obyek tersebut. Fasilitas umum berupa rest area di sekitar candi belum ada,
sehingga saat panas tiba, wisatawan biasanya berteduh di bawah dinding candi atau mencari
pohon yang rindang. Adapun fasilitas ibadah berupa masjid sudah ada sejak lama, sedangkan
fasilitas lain berupa toilet sudah tersedia namun kurang memadai. Sebab bangunan toilet
tersebut menjadi satu kesatuan dengan bangunan pos penjaga keamanan situs candi. Fasilitas
mesin ATM juga sudah tersedia, namun tempatnya cukup jauh, sekitar 1 km dari Candi
Gunung Gangsir (Observasi, 25 Januari 2020).
Menurut warga, jika ada pengunjung yang ingin menginap dan menikmati suasana
candi atau ada kepeluan lainnya, maka mereka biasanya menyewa home stay yang
disediakan oleh warga setempat. Namun jika tidak menginap, mereka biasanya
memanfaatkan masjid di depan candi untuk beristirahat sejenak, sehingga menjadi opsi lain
sebagai rest area. Agar kondisi masjid tetap terjaga kebersihannya, pihak masyarakat lokal

10
telah menunjuk seorang juru rawat candi dan juru kebersihan candi yang bernama Mukhlis
dan Edi. Mereka berdua adalah penjaga kelestarian Candi Gunung Gangsir (Sholikhah,
wawancara tanggal 01 Januari 2020).
Berdasarkan paparan di atas, ada beberapa fasilitas yang perlu ditambahkan jika ingin
menjadikan kawasan bersejarah tersebut menjadi obyek wisata yang menarik, yakni
disediakan bangunan khusus berteduh atau tempat untuk menginap bagi wisatawan, tempat
penukaran mata uang asing, rumah makan yang representatif dan fasilitas kesehatan yang
memadai, sehingga menjadikan rasa aman dan nyaman bagi wisatawan yang jauh dari rumah
tinggalnya.

Gambar 5. Fasilitas ibadah di lokasi Gambar 6. Fasilitas penjual makanan

Gambar 7. Toilet dan pos penjaga Gambar 8. Fasilitas keuangan


Foto: Akhmad Fajar Ma’rufin, 2020
Aksessibilitas Menuju Kawasan Candi Gunung Gangsir
Berdasarkan data yang diperoleh melalui penelusuran di lapangan, akses jalan menuju
obyek Candi Gunug Gangsir cukup starategis, karena berada di jalan raya Kecamatan Beji

11
Pasuruan. Dengan demikian, transportasi jenis bus kota juga dapat melewati jalan raya
tersebut. Namun untuk menuju, wisatawan yang naik bus harus jalan kaki, karena luas jalan
setapak hanya sekitar 3 meter. Adapun jarak antara jalan raya kecamatan dengan lokasi
obyek adalah 20 meter, sehingga cukup dengan jalan kaki. Namun bagi wisatawan yang
mengendarai kendaraan pribadi dapat langsung diparkir di sekitar obyek. Selain itu, akses
menuju Candi Gunung Gangsir juga dapat ditempuh melalui angkutan kota atau bus umum
serta ojek offline maupun online, sehingga wisatawan yang datang ke lokasi tersebut tidak
kesulitan akses (Observasi, 25 Januari 2020).

Gambar 9. Kondisi akses jalan menuju Candi Gunung Gangsir


Foto: Akhmad Fajar Ma’rufin, 2020

Sistem Organisasi Kepariwisataan di Candi Gunung Gangsir


Secara resmi, organisasi yang mengurus aktivitas kepariwisataan di Kawasan Candi
Gunung Gangsir Pasuruan belum ada, sehingga kegiatan promosi juga belum dilakukan.
Adapun yang menjaga kebersihan dan menjadi pemandu wisatawan di sana adalah seorang
juru kunci candi. Organisasi seperti kelopok sadar wisata (Pokdarwis) belum dibentuk oleh
pemerintah desa setempat. Selain itu, terkait penataan pengunjung biasanya dilakukan oleh
pemerhati situs dan pengurus desa setempat (Edy, wawancara 1 Januari 2020). Dengan
demikian, agar warisan budaya berupa candi tersebut menjadi daya tarik wisata yang
bermanfaat bagi pengetahuan dan pemasukan ekonomi bagi masyarakat lokal, maka langkah
awal yang harus ditempuh adalah membuat organisasi yang secara khusus menangani
pengelolaan dan pemasaran obyek tersebut sebagai daya tarik wisata.

KESIMPULAN
Pemanfataan peninggalan bangunan bersejarah menjadi daya tarik wisata adalah salah
satu bagian upaya dari pelestarian. Dari sudut pandang ekonomi dan bisnis, pariwisata dapat
mempertemukan berbagai unit usaha yang memenuhi berbagai macam kebutuhan dan

12
keinginan wisatawan, sejak mereka berangkat dari tempat asal, saat di lokasi hingga pulang
kembali. Salah satu model pariwisata yang sedang berkembang adalah wisata minat khusus
yang cenderung lebih menghargai lingkungan, alam, budaya dan sejarah.
Bangunan Candi Gunung Gangsir berpotensi menjadi daya tarik wisata warisan
budaya yang menarik di Kabupaten Pasuruan, sehingga perlu langkah-langkah konkrit untuk
merealisasikannya. Salah satunya adalah pemenuhan daya dukung yang diperlukan dalam
bisnis pariwisata yang dikenal Konsep 4A yaitu attraction, amenities, access dan ancillary.
Beberapa fasilitas yang harus ada adalah bangunan khusus berteduh atau tempat untuk
menginap bagi wisatawan, tempat penukaran mata uang asing, rumah makan yang
representative dan fasilitas kesehatan yang memadai.
Selain itu, agar mempermudah akses dan membuat aman wisatawan di lokasi, maka
diperlukan kawasan khusus parkir yang representatif bagi angkutan umum berupa bus kota.
Terakhir, agar warisan budaya tersebut dapat dikelola dengan professional dan ada upaya
pemasaran secara massif, maka harus dibentuk organisasi yang secara khusus bidang
kepariwisataan di sana, sehingga akan terwujud sebuah destinasi wisata warisan budaya
yang bernilai produktif bagi pemerintah daerah dan masyarakat lokal.

13
DAFTAR PUSTAKA
[1] Nuruddin, “Strategi Pengembangan Situs Bersejarah Sebagai Bisnis Pariwisata
Warisan Budaya,” J. Hosp. Tour. STIPAR Triatma Jaya Bali, vol. 8, no. 1, pp. 1–2,
2018.
[2] Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Rineka Cipta, 2009.
[3] Menkumham, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang
Cagar Budaya. 2010.
[4] R. K. Titing Kartika, Khoirul Fajri, “PENGEMBANGAN WISATA HERITAGE
SEBAGAI DAYA TARIK KOTA CIMAHI,” J. Manaj. Resort dan Leis., vol. 14, p.
36, 2017.
[5] I. Wayan Ardika, “Pariwisata Budaya,” 2019, p. 5.
[6] A. M. M. Prahara, “Alasan Utama Turis Asing Berwisata Ke Indonesia,”
Kompas.com, Jakarta, 2019.
[7] Ni Luh Rahmawati, “BPS Catat 604.493 Wisman Berwisata ke Bali,” AntaraNews,
Denpasar, 02-Sep-2019.
[8] BPS, “Perkembangan Pariwisata Provinsi Bali Agustus 2019,” Denpasar, 2019.
[9] H. Richards, G., and Derek, Tourism and Sustainable Community Development. New
York: Routeledge, 2002.
[10] D. J. T. A. G. P. Nyaupane, Cultural Heritage and Tourism In The Developing World:
A Regional Perspective. USA And Canada: Routeledge, 2009.
[11] M. M. Pastika, PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 2 TAHUN 2012
TENTANG KEPARIWISATAAN BUDAYA BALI. Denpasar, 2012.
[12] Nuruddin, “Portrait of tourism object in Bongan Tabanan Bali village : Cultural
studies perspective,” vol. 25, no. 2, pp. 75–85, 2020.
[13] P. E. W. Nuruddin, Sri Pujiastuti, Yohanes Kristianto, I Made Trisna Semara,
“Potential Tourism of Cultural Heritage in Nusa Penida Bali Indonesia,” Int. J.
ofPsychosocial Rehabil., vol. 24, no. 09, pp. 1850–1858, 2020.
[14] I. K. Setiawan, “Pemanfaatan Pusaka Budaya Pura Tirta Empul Sebagai Daya Tarik
Wisata Di Bali,” J. Konserv. Cagar Budaya, vol. 5, no. 1, pp. 51–55, 2011.
[15] A. I. Andriyani, “Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pengembangan Desa Wisata
Dan Implikasinya Terhadap Ketahanan Sosial Budaya Wilayah (Studi di Desa Wisata
Penglipuran Bali).,” J. Ketahanan Nas., vol. 2, 2017.
[16] N. K. D. Y. S. Lincoln, Hand Book Of Qualitative Reseach, Pertama. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2009.
[17] Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang, 2001.
[18] M. D. dan N. N. Poesponegoro, Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Balai Pustaka,
1992.
[19] Soeroto, Mataram 1. Bandung: Sanggabuwana, 1975.
[20] R. Istari, Ragam Hias Candi-Candi di Jawa Motif dan Maknanya. Yogyakarta: Kepel
Press, 2015.
[21] A. P. Atsania, “Gaya Arsitektur dan Fungsi Candi Gunungangsir serta Muatan
Pendidikannya,” Universitas Negeri Malang, 2016.
[22] M. Campbell, “Ngapain ke Candi?” Pengunaan Peninggalan-Peninggalan
Purbakala di Jawa Timur. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang, 2002.
[23] R. K. Judisseno, Tourism Activities and Complexity, Reviewing Tourism Development
Policies. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 2017.
[24] Nuruddin, N. E. Suriyani, A. Umardiono, N. E. Suharno, and S. E. N. Hidayati, “The
portrait of tourism and ‘ngalap berkah’ at Sunan Kalijaga site in Gresik, Indonesia,”
African J. Hosp. Tour. Leis., vol. 9, no. 1, pp. 1–21, 2020.

14
[25] Priyanto and Dyah Safitri, “Development of Potential Cultural-Based Tourism
Villages: An Overview of Tourism Villages in Central Java,” J. Vokasi Indones. J.
Vocat. Progr. Univesity Indones., vol. 4, no. 1, 2016.
[26] C. Cooper, Tourism Principles & Practice. England: Longman Group Limited, 1993.

Daftar Informan:
Nur Jannah, Sesepuh Desa Gunung Gangsir Kecamatan Beji Pasuruan. Wawancara
dilakukan pada 25 Januari 2017, tentang Sejarah Candi Gunung Gangsir.
Edy, Juru Kunci Candi Gunung Gangsir Pasuruan. Wawancara dilakukan pada tanggal 1
Januari 2020.
Sholikhah, Pemilik Warung di Kawasan Candi Gunung Gangsir Pasuruan. Wawancara
dilakukan pada tanggal 1 Januari 2020.

Observasi:
Observasi, ke lokasi Candi Gunung Gangsir Pasuruan pada 25 Januari 2020

15

Anda mungkin juga menyukai