DIMENSI KEBIJAKAN
LA YOPI (21072000010)
2021
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini mencakup pendahuluan dari makalah ini, yang terbagi menjadi beberapa
bagian, yaitu: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan manfaat
kebijakan publik, telah menjadi salah satu bidang yang paling berkembang pesat
dalam ilmu sosial selama beberapa dekade terakhir. Analisis kebijakan muncul sebagai cara
untuk lebih memahami proses pembuatan kebijakan dan untuk memberi para pembuat
keputusan berupa kebijakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang andal tentang
masalah-masalah ekonomi dan sosial yang mendesak. Dunn (1981, 35) mendefinisikan
analisis kebijakan sebagai "terapan disiplin ilmu sosial yang menggunakan berbagai metode
penyelidikan dan argumen untuk menghasilkan dan mengubah informasi yang relevan
dengan kebijakan yang dapat digunakan dalam pengaturan politik sebagai penyelesai masalah
kebijakan." Pada umumnya, perkembangan analisis kebijakan publik pertama kali muncul
sebagai fenomena pada Amerika. Selanjutnya, spesialisasi telah diadopsi di Kanada dan
semakin banyak negara seperti Eropa, Belanda dan Inggris yang menjadi contoh sangat
penting.
Selain itu, di Eropa semakin banyak sarjana, terutama sarjana muda, mulai
setua pemerintah itu sendiri, meningkatnya kompleksitas masyarakat modern secara dramatis
kebijakan menggabungkan pengetahuan teknis yang canggih dengan realitas sosial dan
politik yang kompleks, akan tetapi mendefinisikan kebijakan publik itu sendiri telah
menghadapi berbagai masalah. Beberapa sarjana disana hanya memahami kebijakan sebagai
apa pun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. selebihnya telah
menjabarkan definisi yang berfokus pada karakteristik khusus dari kebijakan publik. Lowi
dan Ginsburg (1996, 607), misalnya, yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai "niat
yang diungkapkan secara resmi yang didukung oleh sanksi, yang dapat berupa hadiah atau
hukuman." Sebagai tindakan (atau kelambanan), kebijakan publik dapat berbentuk "hukum,
aturan, undang-undang, dekrit, peraturan atau perintah." Asal-usul fokus kebijakan biasanya
dikaitkan dengan tulisan-tulisan Harold Lasswell, yang dianggap sebagai pendiri ilmu
proses keputusan politik masyarakat industri pasca-Perang Dunia II. Dia menyerukan studi
tentang peran "pengetahuan dalam dan proses kebijakan." Proyek tersebut mengacu pada
disiplin ilmu sosial menyeluruh yang diarahkan untuk menyesuaikan praktik demokrasi
melintasi berbagai spesialisasi, bidang ini mencakup kontribusi dari ilmu politik, sosiologi,
antropologi, psikologi, statistik dan matematika, dan bahkan ilmu fisika dan alam dalam
beberapa kasus. Dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Tetapi pada makalah
ini kita para anggota group 1 sepakat menggunakan metode deskriptif kualitatif sebagai
Dengan konsep umum yang disebutkan dalam latar belakang penelitian sebelumnya,
akuntabilitas kerja?
1.3 Tujuan Penulisan
kerja
Dengan adanya makalah ini, diharapkan bisa memberikan referensi bagi para
peneliti yang membahas tentang dimensi kebijakan yang berlaku di indonesia. adapun
manfaat lainnya berupa sudut pandang kepada peneliti dalam menentukan ukuran-ukuran
keluaran kebijakan, hasil kebijakan, dan dampak kebijakan dengan lebih baik dan membantu
dalam memahami gaya kebijakan (policy style) yang nantinya akan membantu mereka untuk
memahami berbagai latar belakang dan faktor-faktor yang menentukan pilihan pemerintah
PEMBAHASAN
Bab ini bertujuan untuk memperjelas identitas ide dari penelitian ini dan membahas
subjek dan objek yang terkait secara lebih jelas, serta menyajikan teori-teori yang mendukung
suatu negara atau negara bagian atau kebijakan secara umum. kebijakan publik sebagai
pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat. ( David & Easton,
1965). Kebijakan publik juga dapat dilihat sebagai apapun yang dipilih oleh pemerintah
untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Definisi tersebut mungkin cukup untuk wacana biasa,
tetapi jelas tidak memadai untuk analisis sistematis kebijakan publik, maka definisi yang
lebih tepat diperlukan untuk menyusun pemikiran dan memfasilitasi komunikasi yang efektif
antara satu sama lain (Anderson, 1997). Meskipun demikian, masih terdapat titik acuan yang
sama dari berbagai disiplin ilmu. terutama untuk merujuk tentang apa yang dilakukan
keputusan, sikap, untuk bertindak maupun tidak bertindak yang dilakukan oleh para pihak
kebijakan merupakan suatu faktor penting bagi organisasi untuk mencapai tujuannya
(Iskandar, 2012). Lebih lanjut, kebijakan memiliki dua aspek (Thoha, 2012), yakni:
a. Kebijakan merupakan praktika sosial, kebijakan bukan event yang tunggal atau
terisolir. Dengan demikian, kebijakan merupakan sesuatu yang dihasilkan pemerintah yang
dirumuskan berdasarkan dari segala kejadian yang terjadi di masyarakat. Kejadian tersebut
ini tumbuh dalam praktika kehidupan kemasyarakatan, dan bukan merupakan peristiwa yang
b. Kebijakan adalah suatu respon atas peristiwa yang terjadi, baik untuk
menciptakan harmoni dari pihak-pihak yang berkonflik, maupun menciptakan insentif atas
tindakan bersama bagi para pihak yang mendapatkan perlakuan yang tidak rasional atas usaha
bersama tersebut.
Dengan demikian, kebijakan dapat dinyatakan sebagai usaha untuk mencapai tujuan-
tujuan tertentu, sekaligus sebagai upaya pemecahan masalah dengan menggunakan sarana-
sarana tertentu, dan dalam tahapan waktu tertentu. Kebijakan umumnya bersifat mendasar,
karena kebijakan hanya menggariskan pedoman umum sebagai landasan bertindak dalam
usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kebijakan bisa berasal dari seorang pelaku atau
sekelompok pelaku yang memuat serangkaian program/ aktivitas/ tindakan dengan tujuan
tertentu. Kebijakan ini diikuti dan dilaksanakan oleh para pelaku (stakeholders) dalam rangka
Subtantive policy dilihat dari subtansi masalah yang dihadapi oleh pemerintah,
sedangakan procedural policy dilihat dari pihak-pihak yang terlibat dalam perumusannya
(policy stakeholders).
Distributif Policy
Regulatory Policy
adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang pembatasan atau pelarangan terhadap
c. Material Policy
Public goods policy adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan
kompleks karena menggunakan banyak sekali variable untuk mendukung kebijakan yang
akan ditentukan, untuk itu banyak para ahli yang berkecimpung dalam dunia kebijakan
melakukan sebuah kajian untuk menentukan cara tepat dalam melakukan proses kebijakan
karena kebijakan publik memerlukan tahap- tahap dalam proses penyusunannya. Tahap-tahap
kebijakan Publik menurut William N Dunn (2013: 24). Ialah sebagai berikut:
agenda publik. Sebelumnya malah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk masuk kedalam
agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk keagenda kebijakan pada
perumusan kebijakan. Pada tahap ini mungkin suatu masalah tidak disentuh sama sekali,
sementara masalah lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau adapula masalah karena
Masalah yang tidak masuk kedalam agenda kebijakan kemudia ditulis oleh para
masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan
kebijakan yang ada. Dalam perumusan kebijakan masingmasing alternatif bersaing untuk dapat
dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Dalam tahap ini masing-
Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan para perumusan kebijakan.
Pada tahap ini akan ada beberapa analisis dan peramalan untuk mendapatkan alternatif
kebijakan. Pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan
dari 22 mayoritas legislative, konsensus antara direktur lembaga atau putusan peradilan.
Suatu program kebijakan apabila dalam prosesnya tidak sampai pada suatu titik
program tersebut tidak diimplementasikan maka kebijakan tersebut tiadalah berarti. Karena
kebijakan yang telah diambil harus dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang
memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai
melihat seperti apa dampak kebijakan yang dibuat untuk hasil yang ditargetkan. Dalam
prosesnya sebuah kebijakan publik memiliki sebuah tahapan yang saling terkait satu sama
lainnya. Sehingga apabila tahapan tersebut hilang salah satunya. Maka tentunya akan
bagi pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat. Sebagai suatu proses analisis kebijakan
dipahami terdiri atas serangkaian kegiatan atau tahap, yang oleh para penulis kebijakan
publik dikelompokkan secara berbeda. Menurut Abdul Wahab (2012:115) proses analisis
kebijakan pada dasarnya terdiri atas tiga langkah utama sebagai berikut:
kondisi sebagai suatu ketidaknyamanan yang harus dan dapat dicarikan jalan keluarnya.
Dalam perspektif siklus kebijakan, perumusan masalah kebijakan adalah esensi dari tahap
penetapan agenda. Salah satu catatan penting untuk perumusan masalah kebijakan adalah
yaknimemecahkan secara benar masalah yang salah. Oleh karena itu, apabila kebijakan
publik seharusnya memberikan kebahagiaan terbesar untuk sebanyak mungkin orang. Maka
diperlukan keseriusan untuk sejak awal menentukan siapa atau kelompok mana yang
Faktor yang dicermati dalam penyusunan alternatif menurut Dunn dalam Abdul
Wahab (2012:117) mencakup tujuan, biaya, kendala efek samping, resiko atau
hendak dicapai? Dapatkah dampak atau tindakan masa depan dirumuskan secara oprasional?
Bagaimana tujuan tersebut akan diukur? Patton dan Sawacki dalam Abdul Wahab (2012:118)
membuat teknik yang mudah untuk merumuskan alternatif kebijakan. Menurut mereka,
alternatif kebijakan dapat dengan mudah dibuat melalui modifikasi terhadap solusi yang
1. Pembesar (magnify)
2. Perkecil (minify)
3. Penggantian (substitute)
4. Kombinasi (combine)
5. Penyusunan kembali (rearrange)
6. Lokasi (location)
7. Waktu (timing)
8. Pendanaan (financing)
9. Organisasi (organization)
10. Lokasi keputusan (decision sites)
11. Titik pengaruh (influence points)
12. Manajemen resiko (risk management)
Menurut Patton dan Sawicki dal Abdul Wahab (2012:120) faktor pertimbangan
kelayakan politik, dan keterlaksanaan alternatif. Dalam konteks yang luas, ketepatan atau
kelayakan suatu kebijakan publik akan sagat ditentukan oleh suatu sistem nilai yang berlaku.
Untuk Indonesia misalnya dengan sistem nilai yang bermuara dari Pancasila, suatu kebijakan
publik dinilai tepat atau layak manakala ia semakin membawa bangsa Indonesia pada
kehidupan yang adil dan makmur. Dengan demikian fungsi dari kebijakan yang tepat adalah
sebagai sarana mewujudkan sistem nilai bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara. Dengan fungsi itu cirri suatu kebijakan yang dinilai tepat akan dapat disusun
dalam suatu daftar panjang, yang antara lain mencakup efisiensi, efektifitas, kecukupan dan
keadilan.
kebijakan publik adalah tahapan penting dalam realisasi kebijakan publik secara
komprehensif. Dan dalam bagian ini akan disajikan beberapa pendapat mengenai
kebijakan dianggap sebagai suatu proses tindakan administrasi dan politik (a proces of
moving to ward a policy objective by mean admnistrative and political steps)”. Menurut
Hamdi (2014:97), “pelaksanaan atau implementasi kebijakan bersangkut paut dengan ikhtiar-
kebijakan terdapat 2 (dua) aktor yang terlibat, yaitu: (1) Beberapa orang di luar birokrat-
hakim, dan lain-lain, (2) Birokrat-birokrat itu sendiri yang terlibat dalam aktivitas fungsional,
didamping implementasi”.
tindakan, baik yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun individu (atau kelompok)
swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu
usaha-usaha tersebut untuk mencapai perubahan, baik yang besar maupun yang kecil yang
untuk menghasilkan informasi tentang sebab-akibat dari kebijakan publik. Monitoring ini
(Fattah, 2000). Sehingga monitoring menghasilkan klaim yang terencana selama dan sesudah
kebijakan itu diadopsi dan diimplementasikan atau ex post facto. Ada empat fungsi
2.3.3.1 Kepatuhan
apakah kegiatan dari program administrator, staff, dan stakeholder sesuai dengan standarid
dan prosedur yang telah dibuat oleh legislative, lembaga pembuat undnag-undang, dan
lembaga professional.
2.3.3.2 Auditing
apakah sumber-sumber dan jasa yang ditujukan untuk kelompok sasaran dan yang berhak
2.3.3.3 Akunting
Akunting ini dapat membuat kegiatan monitoring dalam menghasilkan informasi
yang membantu dalam akunting social dan perubahan ekonomi yang mengikuti implementasi
2.3.3.4 Penjelasan/Eksplanasi
dapat menjelaskan mengapa outcome dari kebijaka publik dan programnya berbeda.
secara demokratis dan partisipatif. Stakeholders dan pembuat kebijakan harus terus menerus
terlibat dalam dialog untuk menganalisis konsekuensi dari pelaksanaan kebijakan tersebut.
Oleh karena itu, evaluasi pelaksanaan kebijakan perlu dilakukan untuk melihat akuntabilitas
dan peningkatan kinerja suatu kebijakan publik. Model Helmut Wollman menguraikan
evaluasi pelaksanaan kebijakan pada tiga tipe utama, yaitu: ex-ante evaluation, on-going
untuk memilih dan menentukan skala prioritas dari berbagai alternatif dan kemungkinan cara
mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya (Diansari, 2016). Secara hipotetik, tipe
evaluasi ex-ante ditujukan untuk mengantisipasi dan memberikan penilaian awal atas
perkiraan pengaruh, dampak, atau konsekuensi dari kebijakan yang direncanakan atau yang
telah ditetapkan. Tujuannya adalah memberikan informasi yang relevan dengan kebijakan
atau dengan proses pembuatan kebijakan yang sedang berjalan. Tipe evaluasi ex-ante juga
memberikan analisa dampak terhadap lingkungan kebijakan (Lintjewas, Tulusan, & Egetan,
2016).
Evaluasi pada Tahap Pelaksanaan (on-going) Evaluasi on-going yaitu evaluasi
dilakukan pada saat pelaksanaan kebijakan untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan
kebijakan dibandingkan dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya (Diansari, 2016).
Evaluasi on-going secara umum dimaksudkan untuk menjamin agar tindakan yang
dilaksanakan sesuai dengan perencanaan, bukan dimaksudkan untuk evaluasi penilaian akhir
capaian kinerja pelaksanaan kebijakan. Dengan dilakukan evaluasi on-going, jika terjadi
penyimpangan, diharapkan akan dapat dilakukan langkah perbaikan sedini mungkin melalui
sejumlah rancangan/ rekomendasi, sehingga hasil akhir pelaksanaan kebijakan akan sesuai
dengan rencana yang telah ditetapkan (Christiyanto, Nurfitriyah, & Sutadji, 2016). Esensi
dari evaluasi on-going adalah untuk memberikan informasi yang relevan yang dapat
dipergunakan untuk memperbaiki proses pelaksanaan kebijakan ke arah yang ingin dicapai
model evaluasi klasik dari evaluasi pelaksanaan kebijakan. Evaluasi ex-post dimaksudkan
untuk memberikan penilaian terhadap tingkat pencapaian tujuan serta dampak dari kebijakan
yang telah dilaksanakan (Lintjewas, Tulusan, & Egetan, 2016). Evaluasi ex-post adalah
evaluasi yang dilaksanakan setelah pelaksanaan kebijakan berakhir, yang ditujukan untuk
ex-post digunakan untuk menilai efisiensi (keluaran dan hasil dibandingkan masukan),
efektivitas (pencapaian tujuan dan sasaran), ataupun manfaat (dampak pelaksanaan kebijakan
mempertanggungjawabkan tindakan dan pekerjaannya pertama kepada publik dan kedua kepada
organisasi tempat kerjanya. Dengan akuntabilitas publik setiap aparat harus dapat menyajikan
informasi yang benar dan lengkap untuk menilai kinerjanya baik yang dilakukan oleh masyarakat,
yang dipakai untuk melaksanakan tugas, bagaimana realitas pelaksanaannya dan apa dampaknya.
menjamin terciptanya kepatuhan pelaksanaan tugas dan kinerja pegawai sesuai dengan standar
yang telah diterimanya dan sebagai sarana untuk menekan seminimal mungkin penyalahgunaan
kekuasaan dan wewenang. Dan untuk itu setiap aparat pemerintah harus memahami dan mampu
mengembangkan 5 macam akuntabilitas (Jabbra & Dwiedi, 1989) diantaranya adalah akuntabilitas
administratif (organisasional). Dalam akuntabilitas ini, diperlukan adanya hubungan hirarkhis yang
hirarkhis ini biasanya telah ditetapkan dengan jelas baik dalam aturan-aturan organisasi yang
disampaikan secara formal ataupun dalam bentuk hubungan jaringan informal. Prioritas
pertanggung-jawaban lebih diutamakan pada jenjang pimpinan atas dan diikuti terus ke bawah, dan
pengawasan dilakukan secara intensif agar aparat tetap menuruti perintah yang diberikan.
Pelanggaran terhadap perintah akan diberikan peringatan mulai dari yang paling ringan sampai
pemecatan; Kedua adalah akuntabilitas legal. Ini adalah bentuk pertanggungjawaban setiap tindakan
administratif dari aparat pemerintah di badan legislatif dan/atau di depan makamah. Dalam hal
pengadilan ataupun lewat proses revisi peraturan yang dianggap bertentangan dengan undang-
undang (judicial review); Ketiga adalah akuntabilitas politik. Para administrator yang terkait dengan
kewajiban menjalankan tugas-tugasnya mengikuti adanya kewenangan pemegang kekuasaan politik
untuk mengatur, menetapkan prioritas dan pendistribusian sumber-sumber dan menjamin adanya
kepatuhan pelaksanaan perintah-perintahnya. Para pejabat politik itu juga harus menerima
tanggung jawab adminis- tratif dan legal karena mereka punya kewajiban untuk menjalankan
tugastugasnya dengan baik; dan yang Keempat adalah, akuntabilitas profesional. Sehubungan
dengan semakin meluasnya profesionalisme di organisasi publik, para aparat profesional (seperti
dokter, insinyur, pengacara, ekonom, akuntan, pekerja sosial dan sebagainya) mengharap dapat
memperoleh kebebasan yang lebih besar dalam melaksanakan tugas-tugasnya dan dalam
menetapkan kepentingan publik. Dan kalau pun mereka tidak dapat menjalankan tugasnya mereka
antara kode etik profesinya dengan kepentingan publik, dan dalam hal kesulitan mempertemukan
keduanya maka mereka harus lebih mengutamakan akuntabilitasnya kepada kepentingan publik;
Kelima, akuntabilitas moral. Telah banyak diterima bahwa pemerintah memang selayaknya
bertanggung jawab secara moral atas tindakan-tindakannya. Landasan bagi setiap tindakan pegawai
pemerintah seharusnya diletakan pada prinsipprinsip moral dan etika sebagaimana diakui konstitusi
dan peraturan-peraturan lainnya serta diterima oleh publik sebagai norma dan perilaku sosial yang
telah mapan. Oleh karena itu, wajar saja kalau publik menuntut dan mengharapkan perilaku para
politisi dan pegawai pemerintah itu berlandaskan nilai-nilai moral yang telah diterima tadi. Untuk
menghindari perilaku koruptif, masyarakat menuntut para aparatur pemerintah itu mempunyai dan
mengembangkan akuntabilitas moral pada diri mereka. Namun sayangnya, menurut Kumorotomo
(2006), tanggung jawab moral dan tanggung jawab profesional menjadi satu titik lemah yang krusial
publik, yang sadar, terarah, dan terukur yang dilakukan oleh pemerintah yang melibatkan
para pihak yang berkepentingan dalam bidang-bidang tertentu yang mengarah pada tujuan
dalam melaksanakan keputusan kebijakan yang dilakukan oleh individu/ pejabat, kelompok
pemerintah, masyarakat, dan/ atau swasta dalam rangka pencapaian tujuan yang telah
ditetapkan dalam keputusan kebijakan yang akan mempengaruhi hasil akhir suatu kebijakan.
kebijakan perlu dilakukan secara komperhensif, yang meliputi: evaluasi ex-ante, on-going,
dan ex-post. Dalam melakukan inovasi dan terobosan dalam peningkatan pelayanan kepada
publik, dapat dilakukan diskresi pelaksanaan kebijakan publik sepanjang tidak bertentangan
Rosdakarya,
Kabupaten Kutai Barat Tahun 2011-2015. eJournal Administrative Reform, 4(2), 291-300.
undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa: Studi pada Desa Pateken Kecamatan Wonoboyo
from http://repository.upy.ac.id/878/
Dunn, William N. 2013. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, cetakan kelima. Yogyakarta:
Haerul, Akib, H., & Hamdan. (2016). Implementasi Kebijakan Program Makassar Tidak
Rantasa di Kota Makassar . Jurnal Administrasi Publik, 6(2), 21-34. Retrieved from
http://ojs.unm.ac.id/index.php/iap/article/view/2477/1272
Hamdi, Muchlis (2014) Kebijakan Public: Proses, Analisis Dan Partisipasi. Bogor : Ghalia
Indonesia.
Iskandar, J. (2012). Kapita Selekta teori Administrasi Negara. Bandung: Puspaga.
Jabbra, J.G & Dwivedi, O.P. (1989). Public Service Accountability. Conneticut: Kumarian
Press, Inc
Kumorotomo, wahyudi. (2006). Pelayanan yang Akuntable dan Bebas dari KKN, dalam
Lintjewas, O., Tulusan, F., & Egetan, M. (2016). Evaluasi Kebijakan Pemberian Bantuan
Ilmu Sosial & Pengelolaan Sumberdaya Pembangunan, 2(20), 82-95. Retrieved from
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnalilmiahsociety/article/view/12425
Lowi, T and B. Ginsburg (1996). American Government. Freedom and Power (New York:
Norton).
http://repository.unpas.ac.id/1661/
Thoha, M. (2012). Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo
Persada.