Anda di halaman 1dari 19

TEORI KEBIJAKAN PUBLIK PADA

DIMENSI KEBIJAKAN

ABDUL MAHMUD (21072000006)

GUSTI ACHMAD FIRDAUS (21072000005)

LA YOPI (21072000010)

MAGISTER ADMINISTRASI PUBLIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN POLITIK

UNIVERSITAS MERDEKA MALANG

2021
BAB I
PENDAHULUAN
Bab ini mencakup pendahuluan dari makalah ini, yang terbagi menjadi beberapa

bagian, yaitu: latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penulisan, dan manfaat

penulisan makalah ini

1.1 Latar Belakang Masalah

kebijakan publik, telah menjadi salah satu bidang yang paling berkembang pesat

dalam ilmu sosial selama beberapa dekade terakhir. Analisis kebijakan muncul sebagai cara

untuk lebih memahami proses pembuatan kebijakan dan untuk memberi para pembuat

keputusan berupa kebijakan pengetahuan yang relevan dengan kebijakan yang andal tentang

masalah-masalah ekonomi dan sosial yang mendesak. Dunn (1981, 35) mendefinisikan

analisis kebijakan sebagai "terapan disiplin ilmu sosial yang menggunakan berbagai metode

penyelidikan dan argumen untuk menghasilkan dan mengubah informasi yang relevan

dengan kebijakan yang dapat digunakan dalam pengaturan politik sebagai penyelesai masalah

kebijakan." Pada umumnya, perkembangan analisis kebijakan publik pertama kali muncul

sebagai fenomena pada Amerika. Selanjutnya, spesialisasi telah diadopsi di Kanada dan

semakin banyak negara seperti Eropa, Belanda dan Inggris yang menjadi contoh sangat

penting.

Selain itu, di Eropa semakin banyak sarjana, terutama sarjana muda, mulai

mengidentifikasi analisis kebijakan. Memang, banyak dari mereka telah memberikan

kontribusi penting untuk pengembangan lapangan. Meskipun pemberian nasihat kebijakan

setua pemerintah itu sendiri, meningkatnya kompleksitas masyarakat modern secara dramatis

membuat peningkatan kebutuhan para pembuat keputusan akan informasi. Keputusan

kebijakan menggabungkan pengetahuan teknis yang canggih dengan realitas sosial dan

politik yang kompleks, akan tetapi mendefinisikan kebijakan publik itu sendiri telah
menghadapi berbagai masalah. Beberapa sarjana disana hanya memahami kebijakan sebagai

apa pun yang dipilih pemerintah untuk dilakukan atau tidak dilakukan. selebihnya telah

menjabarkan definisi yang berfokus pada karakteristik khusus dari kebijakan publik. Lowi

dan Ginsburg (1996, 607), misalnya, yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai "niat

yang diungkapkan secara resmi yang didukung oleh sanksi, yang dapat berupa hadiah atau

hukuman." Sebagai tindakan (atau kelambanan), kebijakan publik dapat berbentuk "hukum,

aturan, undang-undang, dekrit, peraturan atau perintah." Asal-usul fokus kebijakan biasanya

dikaitkan dengan tulisan-tulisan Harold Lasswell, yang dianggap sebagai pendiri ilmu

kebijakan. Lasswell membayangkan sebuah perusahaan multidisiplin yang mampu memandu

proses keputusan politik masyarakat industri pasca-Perang Dunia II. Dia menyerukan studi

tentang peran "pengetahuan dalam dan proses kebijakan." Proyek tersebut mengacu pada

disiplin ilmu sosial menyeluruh yang diarahkan untuk menyesuaikan praktik demokrasi

dengan realitas masyarakat tekno-industri yang sedang berkembang, dirancang untuk

melintasi berbagai spesialisasi, bidang ini mencakup kontribusi dari ilmu politik, sosiologi,

antropologi, psikologi, statistik dan matematika, dan bahkan ilmu fisika dan alam dalam

beberapa kasus. Dengan menggunakan metode kuantitatif dan kualitatif. Tetapi pada makalah

ini kita para anggota group 1 sepakat menggunakan metode deskriptif kualitatif sebagai

metode pendekatan paada dimensi kebijakan.

1.2 Rumusan Masalah

Dengan konsep umum yang disebutkan dalam latar belakang penelitian sebelumnya,

diharapkan permasalahan tersebut dapat diselesaikan secara tuntas. Adapun rumusan

masalah diuraikan sebagai berikut:

1. Apa itu dimensi kebijakan?

2. Apakah terdapat keterkaitan antara dimensi kebijakan dengan dimensi

akuntabilitas kerja?
1.3 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan penelitian di atas, adapun tujuan penulisan ini adalah:


1. Mencari tau dimensi kebijakan

2. Mencari tau keterkaitan antara dimensi kebijakan dengan dimensi akuntabilitas

kerja

1.4 Manfaat Penulisan

Dengan adanya makalah ini, diharapkan bisa memberikan referensi bagi para

peneliti yang membahas tentang dimensi kebijakan yang berlaku di indonesia. adapun

manfaat lainnya berupa sudut pandang kepada peneliti dalam menentukan ukuran-ukuran

keluaran kebijakan, hasil kebijakan, dan dampak kebijakan dengan lebih baik dan membantu

dalam memahami gaya kebijakan (policy style) yang nantinya akan membantu mereka untuk

memahami berbagai latar belakang dan faktor-faktor yang menentukan pilihan pemerintah

dalam mengambil suatu kebijakan.


BAB II

PEMBAHASAN

Bab ini bertujuan untuk memperjelas identitas ide dari penelitian ini dan membahas

subjek dan objek yang terkait secara lebih jelas, serta menyajikan teori-teori yang mendukung

penelitian ini sebagai berikut:

2.1 Dimensi Kebijakan Publik

Kebijakan publik adalah kebijakan pemerintah yang memengaruhi setiap orang di

suatu negara atau negara bagian atau kebijakan secara umum. kebijakan publik sebagai

pengalokasian nilai-nilai secara paksa kepada seluruh anggota masyarakat. ( David & Easton,

1965). Kebijakan publik juga dapat dilihat sebagai apapun yang dipilih oleh pemerintah

untuk dilakukan atau tidak dilakukan. Definisi tersebut mungkin cukup untuk wacana biasa,

tetapi jelas tidak memadai untuk analisis sistematis kebijakan publik, maka definisi yang

lebih tepat diperlukan untuk menyusun pemikiran dan memfasilitasi komunikasi yang efektif

antara satu sama lain (Anderson, 1997). Meskipun demikian, masih terdapat titik acuan yang

sama dari berbagai disiplin ilmu. terutama untuk merujuk tentang apa yang dilakukan

pemerintah untuk memenuhi kebutuhan warga negara.

Kebijakan dapat didefinisikan sebagai serangkaian rencana program, aktivitas, aksi,

keputusan, sikap, untuk bertindak maupun tidak bertindak yang dilakukan oleh para pihak

(aktor-aktor), sebagai tahapan untuk penyelesaian masalah yang dihadapi. Penetapan

kebijakan merupakan suatu faktor penting bagi organisasi untuk mencapai tujuannya

(Iskandar, 2012). Lebih lanjut, kebijakan memiliki dua aspek (Thoha, 2012), yakni:

a. Kebijakan merupakan praktika sosial, kebijakan bukan event yang tunggal atau

terisolir. Dengan demikian, kebijakan merupakan sesuatu yang dihasilkan pemerintah yang

dirumuskan berdasarkan dari segala kejadian yang terjadi di masyarakat. Kejadian tersebut
ini tumbuh dalam praktika kehidupan kemasyarakatan, dan bukan merupakan peristiwa yang

berdiri sendiri, terisolasi, dan asing bagi masyarakat.

b. Kebijakan adalah suatu respon atas peristiwa yang terjadi, baik untuk

menciptakan harmoni dari pihak-pihak yang berkonflik, maupun menciptakan insentif atas

tindakan bersama bagi para pihak yang mendapatkan perlakuan yang tidak rasional atas usaha

bersama tersebut.

Dengan demikian, kebijakan dapat dinyatakan sebagai usaha untuk mencapai tujuan-

tujuan tertentu, sekaligus sebagai upaya pemecahan masalah dengan menggunakan sarana-

sarana tertentu, dan dalam tahapan waktu tertentu. Kebijakan umumnya bersifat mendasar,

karena kebijakan hanya menggariskan pedoman umum sebagai landasan bertindak dalam

usaha mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Kebijakan bisa berasal dari seorang pelaku atau

sekelompok pelaku yang memuat serangkaian program/ aktivitas/ tindakan dengan tujuan

tertentu. Kebijakan ini diikuti dan dilaksanakan oleh para pelaku (stakeholders) dalam rangka

memecahkan suatu permasalahan tertentu (Haerul, Akib, & Hamdan, 2016).

2.2 Jenis kebijakan publik

Anderson (1970) mengelompokkan jenis-jenis kebijakan publik sebagai berikut :

a. Subtantive and procedural Policies

Subtantive policy dilihat dari subtansi masalah yang dihadapi oleh pemerintah,

sedangakan procedural policy dilihat dari pihak-pihak yang terlibat dalam perumusannya

(policy stakeholders).

b. Distributif, redistributif, and Regulatory Policies

 Distributif Policy

adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang pemberian pelayanan/keuntungan

kepada individu-individu, kelompok-kelompok atau perusahaan-perusahaan.


 Redistributif policies

adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang pemindahan alokasi kekayaan,

pemilikan atau hak-hak.

 Regulatory Policy

adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang pembatasan atau pelarangan terhadap

perbuatan dan tindakan.

c. Material Policy

Suatu kebijakan yang mengatur tentang pengalokasian/penyediaan sumber-sumber

material yang nyata bagi penerimanya.

d. Public Goods and Private Goods Policies

Public goods policy adalah suatu kebijakan yang mengatur tentang penyediaan

barang-barang/pelayanan- pelayanan oleh pemerintah untuk kepentingan orang banyak.

2.3 Prinsip-Prinsip Kebijakan Publik

Adapun prinsip-prinsip yang tertera pada kebijakan publik sebagai berikut :

2.3.1 Tahap Kebijakan

Publik Kebijakan publik dalam prosesnya memerlukan sebuah tahapan yang

kompleks karena menggunakan banyak sekali variable untuk mendukung kebijakan yang

akan ditentukan, untuk itu banyak para ahli yang berkecimpung dalam dunia kebijakan

melakukan sebuah kajian untuk menentukan cara tepat dalam melakukan proses kebijakan

karena kebijakan publik memerlukan tahap- tahap dalam proses penyusunannya. Tahap-tahap

kebijakan Publik menurut William N Dunn (2013: 24). Ialah sebagai berikut:

2.3.1.1 Tahap penyusunan agenda


Disini para pejabat yang dipilih dan diangkatmenempatkan masalah kebijakan pada

agenda publik. Sebelumnya malah ini berkompetisi terlebih dahulu untuk masuk kedalam

agenda kebijakan. Pada akhirnya, beberapa masalah masuk keagenda kebijakan pada

perumusan kebijakan. Pada tahap ini mungkin suatu masalah tidak disentuh sama sekali,

sementara masalah lain ditetapkan menjadi fokus pembahasan, atau adapula masalah karena

alasan-alasan tertentu yang ditunda untuk waktu yang lama.

2.3.1.2 Tahap formulasi kebijakan

Masalah yang tidak masuk kedalam agenda kebijakan kemudia ditulis oleh para

pembuat kebijakan. Masalah-masalah yang tadi didefenisikan kemudian diberi pemecahan

masalah terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan

kebijakan yang ada. Dalam perumusan kebijakan masingmasing alternatif bersaing untuk dapat

dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah. Dalam tahap ini masing-

masing aktor dapat bersaing untuk mengusulkan pemecahan masalah terbaik.

2.3.1.3 Tahap Adopsi kebijakan

Dari sekian banyak alternatif kebijakan yang ditawarkan para perumusan kebijakan.

Pada tahap ini akan ada beberapa analisis dan peramalan untuk mendapatkan alternatif

kebijakan. Pada akhirnya salah satu alternatif kebijakan tersebut diadopsi dengan dukungan

dari 22 mayoritas legislative, konsensus antara direktur lembaga atau putusan peradilan.

2.3.1.4 Tahap Implementasi kebijakan

Suatu program kebijakan apabila dalam prosesnya tidak sampai pada suatu titik

program tersebut tidak diimplementasikan maka kebijakan tersebut tiadalah berarti. Karena

kebijakan yang telah diambil harus dilaksanakan oleh unit-unit administrasi yang

memobilisasikan sumber daya finansial dan manusia. Pada tahap implementasi ini berbagai

kepentingan akan bersaing.

2.3.1.5 Tahap Penilaian kebijakan


Dalam tahap ini kebijakan yang telah dijalankan akan dinilai atau dievaluasi, untuk

melihat seperti apa dampak kebijakan yang dibuat untuk hasil yang ditargetkan. Dalam

prosesnya sebuah kebijakan publik memiliki sebuah tahapan yang saling terkait satu sama

lainnya. Sehingga apabila tahapan tersebut hilang salah satunya. Maka tentunya akan

mempengaruhi kebijakan publik itu sendiri

2.3.2 Analisis Kebijakan

Analisis kebijakan pada dasarnya adalah proses untuk menghasilkan rekomendasi

bagi pemecahan masalah yang dihadapi masyarakat. Sebagai suatu proses analisis kebijakan

dipahami terdiri atas serangkaian kegiatan atau tahap, yang oleh para penulis kebijakan

publik dikelompokkan secara berbeda. Menurut Abdul Wahab (2012:115) proses analisis

kebijakan pada dasarnya terdiri atas tiga langkah utama sebagai berikut:

2.3.2.1 Perumusan Masalah Kebijakan

Perumusan masalah kebijakan merupakan suatu proses untuk mendefinisikan suatu

kondisi sebagai suatu ketidaknyamanan yang harus dan dapat dicarikan jalan keluarnya.

Dalam perspektif siklus kebijakan, perumusan masalah kebijakan adalah esensi dari tahap

penetapan agenda. Salah satu catatan penting untuk perumusan masalah kebijakan adalah

kecermatan dan ketetapan untuk menghindari terjadinya kesalahan tipe ketiga

yaknimemecahkan secara benar masalah yang salah. Oleh karena itu, apabila kebijakan

publik seharusnya memberikan kebahagiaan terbesar untuk sebanyak mungkin orang. Maka

diperlukan keseriusan untuk sejak awal menentukan siapa atau kelompok mana yang

merupakan jumlah terbesar untuk memetik manfaat kebijakan.

2.3.2.2 Perumusan Alternatif Kebijakan

Faktor yang dicermati dalam penyusunan alternatif menurut Dunn dalam Abdul

Wahab (2012:117) mencakup tujuan, biaya, kendala efek samping, resiko atau

ketidakpastian. Pencermatan mengenai tujuan berkaitan dengan jawaban terhadap pertanyaan


pertanyaan, seperti: apa yang diinginkan? Apa kebutuhan, nilai, atau kesempatan yang

hendak dicapai? Dapatkah dampak atau tindakan masa depan dirumuskan secara oprasional?

Bagaimana tujuan tersebut akan diukur? Patton dan Sawacki dalam Abdul Wahab (2012:118)

membuat teknik yang mudah untuk merumuskan alternatif kebijakan. Menurut mereka,

alternatif kebijakan dapat dengan mudah dibuat melalui modifikasi terhadap solusi yang

berlalu. Modifikasi tersebut mencakup 12 cara berikut:

1. Pembesar (magnify)
2. Perkecil (minify)
3. Penggantian (substitute)
4. Kombinasi (combine)
5. Penyusunan kembali (rearrange)
6. Lokasi (location)
7. Waktu (timing)
8. Pendanaan (financing)
9. Organisasi (organization)
10. Lokasi keputusan (decision sites)
11. Titik pengaruh (influence points)
12. Manajemen resiko (risk management)

2.3.2.3 Pemilihan Alternatif Kebijakan

Menurut Patton dan Sawicki dal Abdul Wahab (2012:120) faktor pertimbangan

pembanding alternative terdiri atas kelayakan teknis, kemungkinan ekonomi keuangan,

kelayakan politik, dan keterlaksanaan alternatif. Dalam konteks yang luas, ketepatan atau

kelayakan suatu kebijakan publik akan sagat ditentukan oleh suatu sistem nilai yang berlaku.

Untuk Indonesia misalnya dengan sistem nilai yang bermuara dari Pancasila, suatu kebijakan

publik dinilai tepat atau layak manakala ia semakin membawa bangsa Indonesia pada

kehidupan yang adil dan makmur. Dengan demikian fungsi dari kebijakan yang tepat adalah

sebagai sarana mewujudkan sistem nilai bangsa dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
bernegara. Dengan fungsi itu cirri suatu kebijakan yang dinilai tepat akan dapat disusun

dalam suatu daftar panjang, yang antara lain mencakup efisiensi, efektifitas, kecukupan dan

keadilan.

2.3.3 Implementasi Kebijakan

Implementasi kebijakan publik merupakan salah satu tindakan untuk mencapai

tujuan yang telah direncanakan sebelumnya terhadap pengambilan keputusan. Implementasi

kebijakan publik adalah tahapan penting dalam realisasi kebijakan publik secara

komprehensif. Dan dalam bagian ini akan disajikan beberapa pendapat mengenai

implementasi kebijakan publik. Menurut Cleaves (Waluyo, 2007:49), “implementasi

kebijakan dianggap sebagai suatu proses tindakan administrasi dan politik (a proces of

moving to ward a policy objective by mean admnistrative and political steps)”. Menurut

Hamdi (2014:97), “pelaksanaan atau implementasi kebijakan bersangkut paut dengan ikhtiar-

ikhtiar untuk mencapai tujuan dari ditetapkannya suatu kebijakan tertentu”.

Sedangkan menurut Jones (Waluyo, 2007:50), “dalam membahas implementasi

kebijakan terdapat 2 (dua) aktor yang terlibat, yaitu: (1) Beberapa orang di luar birokrat-

birokrat yang mungkin terlibat dalam aktivitas-aktivitas implementasi seperti legislatif,

hakim, dan lain-lain, (2) Birokrat-birokrat itu sendiri yang terlibat dalam aktivitas fungsional,

didamping implementasi”.

Menurut Matland (Hamdi, 2014:98) menambahkan, adanya empat paradigma

implementasi kebijakan, yakni seperti berikut:

1. Konflik rendah-ambigiutas rendah (implementasi administratif).

2. Konflik tinggi-ambigiutas rendah (implementasi politis).

3. Konflik tinggi-ambigiutas tinggi (implementasi simbolik).

4. Konflik rendah-ambigiutas tinggi (implementasi eksperimental).


Dengan demikian, implementasi kebijakan bisa dikatakan menekan pada suatu

tindakan, baik yang dilakukan oleh pihak pemerintah maupun individu (atau kelompok)

swasta yang diarahkan untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan dalam suatu

keputusan kebijakan sebelumnya. Pada suatu saat tindakan-tindakan ini, berusaha

mentransformasikan keputusankeputusan menjadi pola-pola operasional serta melanjutkan

usaha-usaha tersebut untuk mencapai perubahan, baik yang besar maupun yang kecil yang

diamanatkan oleh keputusan-keputusan kebijakan tertentu.

2.3.3 Monitoring dan Evaluasi Kebijakan

Monitoring kebijakan merupakan prosedur analisis kebijakan yang digunakan

untuk menghasilkan informasi tentang sebab-akibat dari kebijakan publik. Monitoring ini

memerlukan analisis yang menggambarkan hubungan antara pelaksanaan program kebijakan

dan outcome-nya dengan sumber utamanya pengetahuan tentang pelaksanaan kebijakan

(Fattah, 2000). Sehingga monitoring menghasilkan klaim yang terencana selama dan sesudah

kebijakan itu diadopsi dan diimplementasikan atau ex post facto. Ada empat fungsi

monitoring ini, fungsi ini menjelaskan bahwa:

2.3.3.1 Kepatuhan

Kepatuhan ini dapat membuat kegiatan monitoring dalam membantu menentukan

apakah kegiatan dari program administrator, staff, dan stakeholder sesuai dengan standarid

dan prosedur yang telah dibuat oleh legislative, lembaga pembuat undnag-undang, dan

lembaga professional.

2.3.3.2 Auditing

Auditing ini dapat membuat kegiatan monitoring dalam membantu menentukan

apakah sumber-sumber dan jasa yang ditujukan untuk kelompok sasaran dan yang berhak

menerimanya (individu, keluarga, pemerintah daerah) telah sampai kepada mereka.

2.3.3.3 Akunting
Akunting ini dapat membuat kegiatan monitoring dalam menghasilkan informasi

yang membantu dalam akunting social dan perubahan ekonomi yang mengikuti implementasi

seperangkat kebijakan publik dan program yang lalu.

2.3.3.4 Penjelasan/Eksplanasi

Eksplantasi ini dapat membantu monitoring dalam menghasilkan informasi yang

dapat menjelaskan mengapa outcome dari kebijaka publik dan programnya berbeda.

Keberhasilan implementasi kebijakan membutuhkan keterlibatan stakeholders

secara demokratis dan partisipatif. Stakeholders dan pembuat kebijakan harus terus menerus

terlibat dalam dialog untuk menganalisis konsekuensi dari pelaksanaan kebijakan tersebut.

Oleh karena itu, evaluasi pelaksanaan kebijakan perlu dilakukan untuk melihat akuntabilitas

dan peningkatan kinerja suatu kebijakan publik. Model Helmut Wollman menguraikan

evaluasi pelaksanaan kebijakan pada tiga tipe utama, yaitu: ex-ante evaluation, on-going

evaluation, dan ex-post evaluation (Lintjewas, Tulusan, & Egetan, 2016).

Evaluasi pada Tahap Perencanaan (ex-ante) Evaluasi ex-ante adalah evaluasi

kebijakan yang dilakukan sebelum kebijakan tersebut diimplementasikan dengan tujuan

untuk memilih dan menentukan skala prioritas dari berbagai alternatif dan kemungkinan cara

mencapai tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya (Diansari, 2016). Secara hipotetik, tipe

evaluasi ex-ante ditujukan untuk mengantisipasi dan memberikan penilaian awal atas

perkiraan pengaruh, dampak, atau konsekuensi dari kebijakan yang direncanakan atau yang

telah ditetapkan. Tujuannya adalah memberikan informasi yang relevan dengan kebijakan

atau dengan proses pembuatan kebijakan yang sedang berjalan. Tipe evaluasi ex-ante juga

memberikan analisa dampak terhadap lingkungan kebijakan (Lintjewas, Tulusan, & Egetan,

2016).
Evaluasi pada Tahap Pelaksanaan (on-going) Evaluasi on-going yaitu evaluasi

dilakukan pada saat pelaksanaan kebijakan untuk menentukan tingkat kemajuan pelaksanaan

kebijakan dibandingkan dengan rencana yang telah ditentukan sebelumnya (Diansari, 2016).

Evaluasi on-going secara umum dimaksudkan untuk menjamin agar tindakan yang

dilaksanakan sesuai dengan perencanaan, bukan dimaksudkan untuk evaluasi penilaian akhir

capaian kinerja pelaksanaan kebijakan. Dengan dilakukan evaluasi on-going, jika terjadi

penyimpangan, diharapkan akan dapat dilakukan langkah perbaikan sedini mungkin melalui

sejumlah rancangan/ rekomendasi, sehingga hasil akhir pelaksanaan kebijakan akan sesuai

dengan rencana yang telah ditetapkan (Christiyanto, Nurfitriyah, & Sutadji, 2016). Esensi

dari evaluasi on-going adalah untuk memberikan informasi yang relevan yang dapat

dipergunakan untuk memperbaiki proses pelaksanaan kebijakan ke arah yang ingin dicapai

(Lintjewas, Tulusan, & Egetan, 2016).

Evaluasi pada Tahap Pasca-Pelaksanaan (ex-post) Ex-post evaluation merupakan

model evaluasi klasik dari evaluasi pelaksanaan kebijakan. Evaluasi ex-post dimaksudkan

untuk memberikan penilaian terhadap tingkat pencapaian tujuan serta dampak dari kebijakan

yang telah dilaksanakan (Lintjewas, Tulusan, & Egetan, 2016). Evaluasi ex-post adalah

evaluasi yang dilaksanakan setelah pelaksanaan kebijakan berakhir, yang ditujukan untuk

menganalisa tingkat pencapaian (keluaran/ hasil/ dampak) pelaksanaan kebijakan. Evaluasi

ex-post digunakan untuk menilai efisiensi (keluaran dan hasil dibandingkan masukan),

efektivitas (pencapaian tujuan dan sasaran), ataupun manfaat (dampak pelaksanaan kebijakan

terhadap penyelesaian masalah) (Diansari, 2016).

2.3.4 Dimensi Kebijakan Pada Akuntabilitas

Akuntabilitas Setiap aktivitas pelaksanaan kebijakan publik harus dapat

dipertanggungjawabkan baik secara administratif maupun substantif, sesuai dengan ketentuan


peraturan perundang- undangan (Rohman, 2016). akuntabilitas publik merupakan landasan bagi

proses penyelenggaraan pemerintahan. Ia diperlukan karena aparatur pemerintah harus

mempertanggungjawabkan tindakan dan pekerjaannya pertama kepada publik dan kedua kepada

organisasi tempat kerjanya. Dengan akuntabilitas publik setiap aparat harus dapat menyajikan

informasi yang benar dan lengkap untuk menilai kinerjanya baik yang dilakukan oleh masyarakat,

organisasi/instansi kerjanya, kelompok pengguna pelayanannya, maupun profesinya. Tujuannya

adalah untuk menjelaskan bagaimanakah pertanggungjawaban hendak dilaksanakan, metode apa

yang dipakai untuk melaksanakan tugas, bagaimana realitas pelaksanaannya dan apa dampaknya.

Sebagai suatu kebijakan strategis, akuntabilitas harus dapat diimplementasikan untuk

menjamin terciptanya kepatuhan pelaksanaan tugas dan kinerja pegawai sesuai dengan standar

yang telah diterimanya dan sebagai sarana untuk menekan seminimal mungkin penyalahgunaan

kekuasaan dan wewenang. Dan untuk itu setiap aparat pemerintah harus memahami dan mampu

mengembangkan 5 macam akuntabilitas (Jabbra & Dwiedi, 1989) diantaranya adalah akuntabilitas

administratif (organisasional). Dalam akuntabilitas ini, diperlukan adanya hubungan hirarkhis yang

tegas diantara pusatpusat pertanggungjawaban dengan unit-unit di bawahnya. Hubungan hubungan

hirarkhis ini biasanya telah ditetapkan dengan jelas baik dalam aturan-aturan organisasi yang

disampaikan secara formal ataupun dalam bentuk hubungan jaringan informal. Prioritas

pertanggung-jawaban lebih diutamakan pada jenjang pimpinan atas dan diikuti terus ke bawah, dan

pengawasan dilakukan secara intensif agar aparat tetap menuruti perintah yang diberikan.

Pelanggaran terhadap perintah akan diberikan peringatan mulai dari yang paling ringan sampai

pemecatan; Kedua adalah akuntabilitas legal. Ini adalah bentuk pertanggungjawaban setiap tindakan

administratif dari aparat pemerintah di badan legislatif dan/atau di depan makamah. Dalam hal

pelanggaran kewajibankewajiban hukum ataupun ketidakmampuannya memenuhi keinginan

legislatif, maka pertanggungjawaban aparat atas tindakan-tindakannya dapat dilakukan di depan

pengadilan ataupun lewat proses revisi peraturan yang dianggap bertentangan dengan undang-

undang (judicial review); Ketiga adalah akuntabilitas politik. Para administrator yang terkait dengan
kewajiban menjalankan tugas-tugasnya mengikuti adanya kewenangan pemegang kekuasaan politik

untuk mengatur, menetapkan prioritas dan pendistribusian sumber-sumber dan menjamin adanya

kepatuhan pelaksanaan perintah-perintahnya. Para pejabat politik itu juga harus menerima

tanggung jawab adminis- tratif dan legal karena mereka punya kewajiban untuk menjalankan

tugastugasnya dengan baik; dan yang Keempat adalah, akuntabilitas profesional. Sehubungan

dengan semakin meluasnya profesionalisme di organisasi publik, para aparat profesional (seperti

dokter, insinyur, pengacara, ekonom, akuntan, pekerja sosial dan sebagainya) mengharap dapat

memperoleh kebebasan yang lebih besar dalam melaksanakan tugas-tugasnya dan dalam

menetapkan kepentingan publik. Dan kalau pun mereka tidak dapat menjalankan tugasnya mereka

mengharapkan mememperoleh masukan untuk perbaikan. Mereka harus dapat menyeimbangkan

antara kode etik profesinya dengan kepentingan publik, dan dalam hal kesulitan mempertemukan

keduanya maka mereka harus lebih mengutamakan akuntabilitasnya kepada kepentingan publik;

Kelima, akuntabilitas moral. Telah banyak diterima bahwa pemerintah memang selayaknya

bertanggung jawab secara moral atas tindakan-tindakannya. Landasan bagi setiap tindakan pegawai

pemerintah seharusnya diletakan pada prinsipprinsip moral dan etika sebagaimana diakui konstitusi

dan peraturan-peraturan lainnya serta diterima oleh publik sebagai norma dan perilaku sosial yang

telah mapan. Oleh karena itu, wajar saja kalau publik menuntut dan mengharapkan perilaku para

politisi dan pegawai pemerintah itu berlandaskan nilai-nilai moral yang telah diterima tadi. Untuk

menghindari perilaku koruptif, masyarakat menuntut para aparatur pemerintah itu mempunyai dan

mengembangkan akuntabilitas moral pada diri mereka. Namun sayangnya, menurut Kumorotomo

(2006), tanggung jawab moral dan tanggung jawab profesional menjadi satu titik lemah yang krusial

dalam birokrasi pelayanan di Indonesia.


BAB III
KESIMPULAN

Kebijakan publik adalah serangkaian keputusan yang menyangkut kepentingan

publik, yang sadar, terarah, dan terukur yang dilakukan oleh pemerintah yang melibatkan

para pihak yang berkepentingan dalam bidang-bidang tertentu yang mengarah pada tujuan

tertentu. Sedangkan pelaksanaan kebijakan merupakan tahapan aktivitas/ kegiatan/ program

dalam melaksanakan keputusan kebijakan yang dilakukan oleh individu/ pejabat, kelompok

pemerintah, masyarakat, dan/ atau swasta dalam rangka pencapaian tujuan yang telah

ditetapkan dalam keputusan kebijakan yang akan mempengaruhi hasil akhir suatu kebijakan.

Pelaksanaan kebijakan publik dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya: aspek

kewenangan, sumberdaya, komunikasi, dan disposisi. Dimensi-dimensi yang dapat digunakan

untuk mengevaluasi pelaksanaan kebijakan publik diantaranya: konsistensi, transparansi,

akuntabilitas, keadilan, efektivitas, dan efisiensi. Sementara itu evaluasi pelaksanaan

kebijakan perlu dilakukan secara komperhensif, yang meliputi: evaluasi ex-ante, on-going,

dan ex-post. Dalam melakukan inovasi dan terobosan dalam peningkatan pelayanan kepada

publik, dapat dilakukan diskresi pelaksanaan kebijakan publik sepanjang tidak bertentangan

dengan norma dan peraturan yang berlaku.


REFERENSI

Fattah, Nanang. (2000) Ekonomi dan Pembiayaan Pendidikan. Bandung: Remaja

Rosdakarya,

Christiyanto, F., Nurfitriyah, & Sutadji. (2016). Faktor-Faktor yang Mempengaruhi

Kelancaran Implementasi Program Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah

Kabupaten Kutai Barat Tahun 2011-2015. eJournal Administrative Reform, 4(2), 291-300.

Retrieved from http://ar.mian.fisip-unmul.ac.id/site/?p=960

Diansari, R. E. (2016). Analisis Kesiapan Desa dalam Implementasi Penerapan Undang-

undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa: Studi pada Desa Pateken Kecamatan Wonoboyo

Kabupaten Temanggung Jawa Tengah. Jogyakarta: Universitas PGRI Yogyakarta. Retrieved

from http://repository.upy.ac.id/878/

Dunn, W. N. (1981). Public Policy Analysis. Englewood Cliffs, NJ: Prentice-Hall.

Dunn, William N. 2013. Pengantar Analisis Kebijakan Publik, cetakan kelima. Yogyakarta:

Gajah Mada Universitas Press.

Haerul, Akib, H., & Hamdan. (2016). Implementasi Kebijakan Program Makassar Tidak

Rantasa di Kota Makassar . Jurnal Administrasi Publik, 6(2), 21-34. Retrieved from

http://ojs.unm.ac.id/index.php/iap/article/view/2477/1272

Hamdi, Muchlis (2014) Kebijakan Public: Proses, Analisis Dan Partisipasi. Bogor : Ghalia

Indonesia.
Iskandar, J. (2012). Kapita Selekta teori Administrasi Negara. Bandung: Puspaga.

Jabbra, J.G & Dwivedi, O.P. (1989). Public Service Accountability. Conneticut: Kumarian

Press, Inc

Kumorotomo, wahyudi. (2006). Pelayanan yang Akuntable dan Bebas dari KKN, dalam

Agus Dwiyanto,ed .(2006). Mewujudkan Good Governance Melalui Pelayanan Publik.

Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Lintjewas, O., Tulusan, F., & Egetan, M. (2016). Evaluasi Kebijakan Pemberian Bantuan

Pengembangan Usaha Mina Perdesaan di Kabupaten Minahasa Selatan. Society: Jurnal

Ilmu Sosial & Pengelolaan Sumberdaya Pembangunan, 2(20), 82-95. Retrieved from

http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/jurnalilmiahsociety/article/view/12425

Lowi, T and B. Ginsburg (1996). American Government. Freedom and Power (New York:

Norton).

Rohman, A. T. (2016). Implementasi Kebijakan melalui Kualitas Pelayanan Penerimaan

Pajak Daerah dan Implikasinya terhadap Kepuasan Masyarakat di Dinas Pendapatan

Kabupaten Kuningan. Bandung: Universitas Pasundan. Retrieved from

http://repository.unpas.ac.id/1661/

Thoha, M. (2012). Dimensi-dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo

Persada.

Waluyo. (2007). Manajemen Publik (Konsep, Aplikasi, Dan Implementasi) Dalam

Pelaksanaan Otonomi Daerah. Bandung: Mandarmaju.

Anda mungkin juga menyukai