Anda di halaman 1dari 5

Nama : Nurulita Aghitsni Lihidayati

NIM : 19201241070

Prodi/Kelas : PBSI B 2019

Mata Kuliah : Kritik Sastra

Dosen Pengampu : Esti Swatika Sari, S.Pd., M.Hum.

KRITIK SASTRA:

ULASAN CERPEN “KARTU POS DARI SURGA” KARYA AGUS NOOR

(Dibaca dari PDF “20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009” Terbitan Anugerah
Sastra Pena Kencana)

Di dalam PDF 20 Cerpen Indonesia Terbaik 2009 yang ditugaskan untuk diulas
dalam Mata Kuliah Kritik Sastra kali ini, mata saya sebenarnya tak langsung
tertuju pada judul “Kartu Pos dari Surga” yang akan saya ulas. Ya, sebenarnya,
awalnya saya tak berniat untuk membaca keseluruhan isi kumpulan cerpen ini,
“Formalitas lah, untuk tugas saja, terus selesai.”, begitu kiranya pemikiran malas
yang menggenang dalam otak saya. Melihat jumlah 232 halaman saja sudah
membuat saya, seorang mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia yang
lemah pada bagian sastra ini berpikir bahwa akan sangat berat untuk membaca
keseluruhan isi cerita. Maka awalnya, saya tertarik pada judul “Gerimis yang
Sederhana” karya Eka Kurniawan di daftar isi.

Perjalanan saya membaca daftar isi berlanjut pada bagian “Prolog Penyelenggara”
dan “Beberapa Catatan Perihal Cara Berkisah dalam Cerpen”. Awalnya, seperti
niat utama saya di atas, saya berniat melompat langsung pada bagian cerpen
dengan judul yang membuat saya tertarik itu. Namun untunglah saya menemukan
untaian kalimat-kalimat pendorong bahwa sastra adalah sesuatu yang indah saat
diresapi dalam bagian Prolog Penyelenggara.

Kalimat “Apakah kesusastraan Indonesia hidup dalam suasana yang kondusif?


Apa boleh buat jawabannya: ia masih nelangsa. Ia diproduksi dengan semangat
gegap-gempita, tetapi tetap tak menyihir manusia-manusia di luar dunia teks
untuk membaca karya-karya yang dianggap sangat elitis, tidak bertolak belakang
dari kenyataan sosial, dan kian jauh meninggalkan persoalan-persoalan sejarah
bangsanya itu.” langsung membuat saya memutuskan untuk tidak melewatkan
bagian Prolog Penyelenggara ini. Bayangan tentang “sebenarnya kumpulan cerita
seperti apa, ya, yang disajikan dalam judul dengan embel-embel ‘terbaik’ ini?”.
Mata saya langsung tertegun ketika melihat para juri yang dilibatkan dalam
pemilihan kumpulan cerpen ini. Sapardi Djoko Damono, Putu Wijaya, Sutardji
Calzoum Bachri, Joko Pinurbo, dan juri lain yang luar biasa pula, tetapi belum
sempat saya sambangi karya-karyanya. Nama-nama tersebut, bagi saya, seorang
mahasiswa jurusan sastra yang amatir dengan karya sastra ini cukup menggelegar
dan tertanam dalam batin saya – terkait karya-karya mereka yang pernah saya
baca. Jujur saja, jika saya tidak searching dahulu mengenai karya penulis di atas,
maka saya tidak mengingat apa yang pernah saya baca. Misalnya ketika saya
pernah membaca “Hujan Bulan Juni” karya Sapardi Djoko Damono yang terkenal
untuk formalitas Mata Kuliah Membaca Sastra semester sebelumnya. Bagi saya,
membaca sastra belum menjadi rutinitas yang ingin saya lakukan lagi dan lagi di
tiap waktu luang – tidak sampai saya menulis ulasan ini, dan berhasil membaca
232 halaman dalam sekali duduk.

Perjalanan ‘mencoba’ membaca saya berlanjut pada bagian “Beberapa Catatan


Perihal Cara Berkisah dalam Cerpen” oleh Wicaksono Adi. Disini, saya
menemukan ulasan yang dengan pemikiran malas ‘menggenang’ ini saya pikir
bisa menjadi referensi ulasan saya terhadap suatu cerpen. Maka, seperti daun yang
terombang ambing di tengah laut, saya tertarik pada judul cerpen lain, yang lain
lagi dengan pilihan pertama saya. “Pengantar Singkat untuk Rencana
Pembunuhan Sultan Nurruddin” karya Azhari menjadi target ulasan saya, karena
berpikir ulasan Wicaksono Adi sangat lengkap dan saya tinggal mengubah tata
kalimatnya saja. Namun, bagian yang disuguhkan dalam 39 halaman ini
menyadarkan saya bahwa ‘bahasa saya’ bukan seperti ini, ulasan Wicaksono Adi
memang sangat bagus, tapi bukan untuk saya tiru; bukan untuk saya copy paste.
Maka telah saya putuskan, saya tidak mau jadi daun. Saya manusia, punya otak,
maka saya akan menyelami laut itu, melihat keindahan dan kekayaan di dalamnya.

Kalimat yang panjang lebar di atas seperti mengalun begitu saja dari otak saya,
hingga tak sadar sudah hampir menulis sebanyak 2 halaman hanya dengan spasi
1.15 dan belum sama sekali menyentuh ulasan cerita yang saya pilih. Maka,
paragraf selanjutnya akan saya mulai ulasan saya. Target cerpen saya yang
pertama, “Gerimis yang Sederhana” karya Eka Kurniawan dan target cerpen
kedua “Pengantar Singkat untuk Rencana Pembunuhan Sultan Nurruddin” ini
bukannya tidak bagus. Keduanya sangat bagus, mengisahkan tentang Mei,
seorang gadis yang trauma akan pengemis akan bertemu pertama kali dengan
seorang kenalannya di sosial media, Efendi, yang di akhir cerita ternyata diketahui
bahwa ia sudah memiliki istri karena cincin kawinnya ia berikan pada pengemis
yang sama dengan yang Mei lihat sebelum mereka bertatap muka (“Hampir
sepuluh tahun dan aku belum pernah ketawa serupa ini. Lelaki memang tolol
sekali, ya?”), dalam cerpen “Gerimis yang Sederhana”; juga kisah huru hara
Sultan Nurruddin tentang kepemilikan batu permata bernama Mutiara Tuhan
sebagai permata yang digambarkan akan membawa keberuntungan, namun
ternyata hal itu hanyalah akal bulus Si Ujud yang sebenarnya tahu bahwa permata
itu hanya mendatangkan kutukan (Ia hendak membunuh Sultan dengan kutukan
Mutiara Tuhan, sementara kita lihat dia berdiri dekat sekali dengan
junjungannya itu.), dalam cerpen “Pengantar Singkat untuk Rencana Pembunuhan
Sultan Nurruddin”. Maka jelas, keduanya bukan cerpen yang tak menarik. Hanya
saja, saya jatuh hati dengan cerpen “Kartu Pos dari Surga”, yang sedikit banyak
menggerakkan bulu kuduk saat membacanya.

Awal membaca judul cerpen ini, bayangan tentang hubungan antara kehidupan
dan kematian sudah menyibak dalam benak saya. Cerpen diawali dengan
menggambarkan gesitnya seorang gadis kecil berumur enam tahun bernama
Beningnya. Paragraf demi paragraf saya baca, dan menemukan bahwa cerita ini
pasti akan berkisah tentang seorang anak yang berhubungan dengan Mamanya
yang telah tiada. Penceritaan terfokus pada Beningnya, kartu pos, dan Mama.
Beningnya yang heran karena pada saat itu (awal cerita) surat dari Mamanya yang
biasanya selalu mengabari dengan gambar dan kisah dibaliknya tak datang di
waktu yang telah ia tunggu. Singkatnya, Beningnya selalu menginginkan kartu
pos dari Mamanya, hingga membuat Marwan (Ayah Beningnya) dan Bik Sari
(pembantu rumah) tak tahu harus menjelaskan apa kepada Beningnya. Upaya
terakhir yang bisa Ayahnya lakukan adalah membuat surat palsu, dengan tujuan
menghibur Beningnya yang masih belum paham dengan hal yang terjadi, bila
diceritakan. Tetapi ternyata, gadis cilik itu tahu persis jika itu bukan surat dari
Mamanya. Hingga akhirnya kisah dibalik kepergian Mamanya terungkap dalam
kalimat “Tetapi rasanya jauh lebih mudah menenangkan Beningnya dari
tangisnya ketimbang harus menjelaskan bahwa pesawat Ren jatuh ke laut dan
mayatnya tak pernah ditemukan.”. Hingga peristiwa punca dari cerpen ini
terungkap, saya sudah merasa terbawa oleh kisah di dalamnya.

Dari sudut pandang pembaca amatir seperti saya, karya dengan bahasa yang
sederhana dan pemilihan diksi yang tak sulit dipahami membuat alunan cerita ini
mengalir lancar di dalam relung hati. Tak sulit untuk menebak pokok cerita yaitu
tentang seorang anak yang telah berpisah dari Mamanya yang meninggal dunia.
Namun kilas balik dan alur penceritaan tulisan Agus Noor ini berhasil
menanamkan komplikasi perasaan dalam kisah singkat ini. Rasa iba, sedih,
bahagia, dan haru menusuk bertubi-tubi – menjadi satu dalam paragraf demi
paragraf yang terbaca. Lalu saya mengingat-ingat kembali, bahwa saya pernah
membaca karya lain dari Agus Noor yang berjudul “TUNGGU!”, yang lagi-lagi
untuk formalitas belaka. Yang saya herankan, mengapa tidak dari dulu saya
menemukan bahwa cerpen karya Agus Noor ini memiliki keunikan tersendiri
yang terselip dari cerita yang tak begitu sulit – pun tak begitu mudah dipahami?

“Kartu Pos dari Surga”, memang menjadi judul yang sangat mudah ditebak pokok
kisahnya, karena pola cerpen Agus Noor yang demikian, selalu menggunakan
judul yang dapat menggambarkan pokok cerita. Memang ada cerpen lain dalam
buku ini yang menggambarkan peristiwa tragis secara lebih rinci, seperti dalam
judul “Cincin Kawin” yang menceritakan seorang istri yang pingsan lalu
meninggal karena menemukan cincin kawin suaminya yang telah dipenggal di
dalam tubuh ikan yang dimakannya. Tetapi cerpen “Kartu Pos dari Surga” ini tak
kalah memberikan kesan pengalaman tragis dalam bahasa yang lebih sederhana.
Tak dapat dipungkiri, bahwa kejadian pesawat meledak juga bisa terjadi di dunia
nyata. Peristiwa yang lebih mudah dibayangkan oleh gen-Z dan generasi di
bawahnya lewat televisi, media sosial, atau kesaksian secara langsung. Seperti
peristiwa menggemparkan dari pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan
SJ-182 yang dinyatakan hilang kontak dan diperkirakan jatuh di perairan
Kepulauan Seribu pada tanggal 9 Januari 2021 lalu. Pembaca pasti akan
mengingat bahwa peristiwa jatuhnya pesawat ke laut dan meledak ini dapat
dijumpai di dunia nyata, lebih dari peristiwa pemenggalan dan penghanyutan
orang-orang ke sungai pada tragedi cerpen “Cincin Kawin”. Jika dikaitkan dengan
peristiwa nyata yang terjadi pada tahun pembuatan cerpen, 2008, tahun
sebelumnya juga terjadi peristiwa kecelakaan pesawat Adam Air pada tanggal 28
Agustus 2007. Maka saat cerpen ini diterbitkan pada tahun 2009 pun, pembaca
dapat membayangkan peristiwa yang bisa saja terjadi di dunia nyata itu.

Menuju ke klimaks cerpen, Beningnya yang semakin sedih berhasil ditenangkan


oleh Ayahnya, meski tak dijelaskan secara lebih lanjut di dalam cerpen. Tibalah di
saat lain, Marwan terbangun oleh ketukan gugup Bik Sari di tengah malam.
Hingga kejadian mencekam malam itu digambarkan secara rinci oleh penulis,
yang berhasil membuat bulu kuduk saya berdiri. “Bergegas Marwan mengikuti
Bik Sari. Dan ia tercekat di depan kamar anaknya. Ada cahaya terang keluar dari
celah pintu yang bukan cahaya lampu. Cahaya yang terang keperakan. Dan ia
mendengar Beningnya yang cekikikan riang, seperti tengah bercakap-cakap
dengan seseorang. Hawa dingin bagai merembes dari dinding. Bau wangi yang
ganjil mengambang. Dan cahaya itu makin menggenangi lantai. Rasanya ia
hendak terserap amblas ke dalam kamar.”. Segelintir peristiwa mistis ini berhasil
menancap dalam ingatan saya, membuat bulu kuduk yang berdiri tak kunjung
jatuh dalam sekian puluh menit. Kejadian yang digambarkan sebagai suatu
peristiwa mustahil ini menjadi pengantar dari penutup kisah yang paling
merinding, dari semua kisah yang saya baca. Peristiwa klimaks tersebut memang
bukan sesuatu yang bisa dibayangkan dengan nalar, seperti peristiwa dalam
cerpen lain berjudul “Semua untuk Hindia” karya M. Iksaka Banu yang
menceritakan tentang perang Puputan yang harus dihadapi oleh seorang tokoh
utama bernama Anak Agung Istri Suandani sebagai gadis Bali, dan Tuan de Wit
sebagai wartawan media Belanda. Peristiwa peperangan yang bisa membuat bulu
kuduk merinding dengan segala gambaran kekacauan yang terjadi, “Nyaris aku
terkulai menyaksikan pemandangan ngeri di mukaku: puluhan pria, wanita, anak-
anak, bahkan bayi dalam gendongan ibunya, dengan pakaian termewah yang
pernah kulihat, terus merangsek ke arah Batalyon 11 yang dengan gugup
menembakkan Mauser mereka sesuai aba-aba Komandan Batalyon.”. Peristiwa
seperti ini memang sangat ngeri, namun lagi-lagi ada sesuatu yang membuat
kengerian dalam cerpen “Kartu Pos dari Surga” ini tak lagi dapat saya temui
dalam 19 cerpen lainnya.

Beralih pada bagian akhir cerpen, yang membuat perasaan campur aduk meledak-
ledak, seperti bumbu utama yang akan membuat cerpen ini menancap dalam hati
pembacanya. Yaitu akhir kisah yang mengungkapkan tentang kejadian misterius
yang dialami oleh Beningnya. Ia bercerita bahwa malam itu Mamanya datang,
mengantarkan katu pos terakhir yang didambakan putrinya. Kengerian yang kita
baca sebelumnya juga akan mengalami puncaknya dalam paragraf terakhir.
“Beningnya mengulurkan tangan. Marwan mendapati sepotong kain serupa kartu
pos dipegangi anaknya. Marwan menerima dan mengamati kain itu. Kain kafan
yang tepiannya kecokelatan bagai bekas terbakar.”. Sejak menulis ulasan di
paragraf sebelumnya yang sudah cukup panjang untuk berpikir dan mengetik,
bulu kuduk saya tak kunjung menyudahi ketegangannya, menandakan saya masih
merasa ngeri, berapa kali pun membaca cerpen ini. Di akhir cerita, cerpen ini
memang tidak mengandung sebuah plot twist yang tak disangka-sangka. Tidak
seperti pada cerpen “Hari Ketika Kau Mati” karya Steffany Irawan yang berhasil
menyuguhkan plot twist yang terjejal rapi, bahwa tokoh Maureen yang ternyata
sedang berakting, dan keseluruhan cerita hanyalah kisah karangannya yang ia
maksudkan untuk bersiap-siap apabila suatu saat nanti suaminya, Jeff yang
bekerja sebagai pengacara itu mengalami hal buruk dan meninggalkannya.
Memang bukan jenis cerpen yang demikian, namun tetap saja saya tak berubah
pikiran bahwa cerpen “Kartu Pos dari Surga” ini berhasil menyulut kengerian
hingga paragraf terakhirnya.

Setelah membaca seluruh cerpen, saya juga merasa heran dengan diri saya sendiri,
yang bisa menyelesaikan bacaan dalam sekali duduk, dalam waktu kurang lebih
tiga setengah jam. Saking asyiknya membaca, saya tidak sadar jika sudah
membaca hingga halaman terakhir. Cerpen yang saya pilih menempati urutan
pertama dalam sistematika buku ini, karena jika saya amati, setting oleh Fitri
Yuniar ini menggunakan urutan abjad nama pengarang. Maka pengarang dari
cerpen yang saya pilih, Agus Noor, menempati urutan pertama. Tak dapat
dipungkiri cerpen ini serasa memeluk batin saya dengan begitu erat, sehingga saat
membaca cerpen lain yang mengandung unsur humor seperti “Usaha Menjadi
Sakti” karya Gunawan Maryanto pun masih terbayang-bayang cerpen pertama
yang saya baca dengan utuh dalam buku ini. Saya rasa ada sesuatu hal yang lebih
‘dalam’ dari tulisan tujuh halaman tersebut. Tentang gelagat seorang anak enam
tahun yang sangat mudah ditemui dalam dunia nyata; tentang kebingungan
seorang Ayah yang harus bercerita kepada anaknya terkait istrinya yang telah
meninggal; pun tentang hal mistis karena besarnya kasih sayang Mama kepada
putrinya. Mengantarkan saya pada alasan pemilihan cerpen ini sebagai bahan
ulasan saya dalam tugas Mata Kuliah Kritik Sastra ini.

Anda mungkin juga menyukai