Disusun Oleh:
NIM : 230701010
Kelas : B/2023
SASTRA INDONESIA
MEDAN
2023
[IDENTITAS BUKU]
Penulis : Tenderlova
ISBN : 978-623-355-890-7
[BLURB]
Bulan Juni datang lagi. Padahal sisa-sisa Juni tahun lalu belum sepenuhnya selesai.
Beberapa sedih dan sesal masih tertinggal dan membekas dengan jelas. Tapi setiap kali Nana
mendongak dan menatap langit yang biru, ia selalu merasa, "Aku pikir setelah dia pergi dunia
akan runtuh. Tapi ternyata langit masih tinggi, burung masih terbang dan waktu masih
berlalu."
Tahun depan, bulan Juni pasti akan datang lagi, Nana berharap, dia bisa menyelesaikan
segala yang belum selesai.
[SINOPSIS]
Juni di tahun 2020 menjadi awal dari bagaimana luka batin itu tercipta. Membuat
kekosongan dalam diri seorang Adinata Aileen Caesar atau kerap disapa ‘Mas Nana’ oleh
keluarganya. Kematian Sastra nyatanya membuat Nana kehilangan arah dengan kurun waktu
yang cukup lama. Hanya berlandaskan surat-surat yang dituliskan Sastra untuknya, Nana
menjalani hari-harinya dengan banyak tanda tanya dan kesedihan. Seakan-akan luka yang
diberikan atas kehilangan Sastra belum cukup, Nana juga diberi ujian lain dalam hubungan
percintaannya dengan seorang gadis bernama Gayatri Mandanu.
2021 menjadi tahun yang dipenuhi dengan lorong gelap yang memaksa Nana untuk
tertatih agar lekas keluar. Ditemani oleh keluarga dan orang-orang terdekatnya, Nana
akhirnya mempelajari tentang bagaimana waktu terus menyeretnya berjalan meskipun ia
ingin berhenti saat itu juga. Tentang bagaimana mereka harus tetap melanjutkan
kehidupan meski rasa kehilangan itu belum beranjak dan masih basah dalam ingatan.
Seperti nasihat-nasihat yang selalu dikatakan oleh sang abang ketika masih ada di
dunia. Perlahan-lahan, Nana menyadari bahwa kesedihan itu harusnya hanya dirayakan
seperlunya saja. Karena jika terlalu larut, maka semua kesenangan akan terasa hambar. Dan
Nana juga mempelajari, bahwa apa yang sudah berlalu memang seharusnya tetap berada di
masa lalu, jangan diikutsertakan pada masa kini atau masa depan. Seperti kalimat panjang
dari Sastra di mimpinya:
"Suatu saat ketika kamu tersenyum pada ingatan yang pernah terjadi di antara kita,
senyum yang nggak terasa sakit sama sekali, bisa jadi itulah ikhlas. Itulah saat dimana kamu
mulai menerima semuanya dan mulai berdamai dengan diri kamu sendiri. Jadi ingat Na. Ini
bukan semata-mata tentang waktu, ini tentang diri kamu sendiri. Hanya kamu yang bisa
membuat keadaan jauh lebih baik."[265]
Dan melalui buku ini, Nana akan mengajarkan kita semua bagaimana cara untuk
mengikhlaskan dan menerima sesuatu yang memang sudah sepantasnya hilang.
[REVIEW]
[UNSUR INTRINSTIK]
1. Tema
Tema yang diambil pada novel ini adalah ikhlas atas kehilangan dan bagaimana
seseorang berdamai dengan dirinya sendiri.
2. Tokoh dan Penokohan
Adinata Aileen Caesar yang digambarkan di awal sebagai laki-laki yang hilang arah
setelah kepergian kakaknya dan sedikit tertutup dengan orang-orang di sekitarnya pada
seiring berjalannya waktu berkembang menjadi pribadi yang bijak dalam menanggapi
sesuatu, dan berani mengambil langkah baru.
Bang Tama dan Kak Eros yang digambarkan sebagai pribadi yang bijak, tegas,
bertanggung jawab, dan kakak yang baik. (Terkhusus Bang Tama ditambahkan sifat receh,
memiliki selera humor yang rendah).
Jovan yang digambarkan sebagai playboy kelas kakap yang sudah taubat dan pantang
menyerah.
Cetta dan Jaya yang digambarkan sebagai remaja yang ceria, sayang keluarga, dan
random (khususnya pada Jaya yang memiliki cita-cita ingin menjadi alien namun beralih
profesi menjadi astronom).
Gayatri Mandanu yang digambarkan sebagai perempuan pintar, bijak, memiliki jiwa
kemanusiaan yang kuat, sayang keluarga, dan berhati lembut.
Ibu Gayatri yang digambarkan sebagai orang tua yang banyak menuntut, egois, dan
hanya mementingkan keinginan sendiri.
3. Latar
a. Latar Tempat: Kota Jakarta, Rumpi, Bumi, Jalan Otto Iskandar, Starbuck MT
Haryono, Jalan Jendral A. Yani, Jalan Mahakam (tempat penjual gule kaki lima),
Rumah Suyadi bersaudara, Rumah Gayatri, taman kota, kampus, kantor Gayatri,
dan TPU.
b. Latar Waktu: Tahun 2021, di pagi hari, siang hari, sore hari, malam, dan tengah
malam.
c. Latar Suasana: Bahagia, haru, sedih, dan marah.
4. Alur dan Plot
Alur yang digunakan pada cerita ini adalah alur bolak balik atau alur maju mundur. Itu
dikarenakan novel ini menceritakan tentang kehilangan di masa lalu, sehingga ada beberapa
bagian yang mengajak pembaca untuk flashback. Namun, hal ini tidak mengganggu dan
masih masuk akal.
5. Sudut Pandang
Sudut pandang yang digunakan penulis adalah sudut pandang orang ketiga.
6. Amanat
Dari buku ini kita belajar bahwa kehilangan akan terus terjadi tapi, bagaimana pun juga
kita tidak boleh berlarut dalam kesedihan dan melapangkan dada untuk bersikap ikhlas pada
sebuah kehilangan.
7. Gaya Bahasa
Dinovel ini penulis menggunakan bahasa sehari-hari yang mudah dimengerti oleh
pembacanya. Pemilihan kata-kata yang bagus dan puitis serta kalimat yang tersusun rapi
membuat saya sangat menyukai bahasa yang digunakan oleh penulis.
1. Semiotika
“Kapak yang tajam tidak bisa mencukur rambut. Pisau cukur juga tidak bisa untuk
menebang pohon, padahal keduanya sama-sama tajam.” [3]
Bumi itu sebutan untuk Bukit Mimpi. Maksudnya adalah tumpukan sampah tempat
mereka mengais rezeki yang berubah menjadi awal sebuah mimpi. [59]
Seperti sebuah batu yang terlempar ke telaga, Gayatri adalah sebuah batu yang
tenggelam hingga ke bagian paling dasar. [133]
2. Sosiosastra
“Kamu kalau mau jadi orang baik, jangan pernah menuntut balasan atau
pengakuan apapun…. Apapun yang kamu dapat dari orang lain, menjadi orang baik
bukanlah sebuah kesalahan.” Ternyata, ketika orang-orang rumah berpikir bahwa
Sastra terlalu bodoh dalam mencintai Sahara, sebenarnya anak itu hanya ingin
menjadi dirinya sendiri. Menjadi seseorang yang tak pernah pamrih dalam hal
apapun, termasuk tentang perasaannya sendiri. [53]
“Tapi kebahagiaan dalam definisimu itu isinya cuma materi, materi dan materi.
Kamu lupa kalau definisi bahagia itu bukan cuma uang.” [221]
“Abang bilang kalau menjadi baik enggak perlu nunggu orang lain kan, Bang? Tapi
aku jadi makin baik karena aku selalu lihat Abang selama ini. Abang selalu ngajarin
itu meskipun Abang nggak pernah mendikte bahwa itulah yang harus aku lakukan.
Abang nggak pernah menghakimi mana yang baik dan mana yang buruk, karena
Abang selalu bilang kalau salah dan benarnya manusia itu hanya soal pendapat.”
[282]