Anda di halaman 1dari 4

Review Buku Kumpulan Cerpen “Pengakuan Bayang-Bayang”

Ketika Elunnar Publisher mulai menerbitkan buku kumpulan cerpen yang berjudul
“Pengakuan Bayang-Bayang”, banyak pencinta cerpen menggandrunginya khususnya para
siswa-siswi yang menunjukkan ketertarikannya dengan cara berbondong-bondong menyerbu
buku tersebut. Namun, sampul buku yang dicetak oleh Elunnar Publisher kurang menarik,
terlalu monoton, dan kurang menggairahkan minat pembaca, tetapi isinya tidak
mengecewakan. “Pengakuan Bayang-Bayang” merupakan salah satu cerpen yang sangat
menarik karya Dian Ariani yang tampaknya sengaja dipamerkan untuk para pembaca. Saya
merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang menyatakan kertertarikan pada salah
satu cerpen yang dijadikan sebagai judul buku tersebut, yaitu “Pengakuan Bayang-Bayang”.

Cerpen yang akan saya review berjudul “Pengakuan Bayang-Bayang” merupakan


cerpen yang sangat menonjol diantara cerpen yang lainnya. Menurut saya, cerpen ini
mempunyai nilai kehidupan dan paling berkesan di antara cerpen yang lain wajar saja jika
judulnya diangkat menjadi judul bukunya. Cerpen ini juga memakai bahasa yang mudah
dipahami sehingga pembaca bisa mudah mengerti makna yang tersirat pada cerpen tersebut.
Kekuatan cerpen berdurasi pendek ini terletak pada settingnya. Deskripsi yang mengalir
tentang kondisi saat itu, kelebatan yang menguar dari kepala si tokoh serta renik-renik
lainnya yang melatari momentum, menjadi kekuatan agar pembaca terpaku dan tak cepat
berpindah ke karya lainnya. Kekuatan visualisasinya lewat kata mampu mencengkeram
pikiran pembaca. Gaya bercerita monolog memang sangat pas untuk cerpen jenis ini.

Dari judulnya saja bisa ditebak bahwa cerita ini mengangkat tentang seseorang yang
merasa dirinya hanyalah bayangan yang tidak disadari bahkan tidak diharapkan
kedatangannya oleh banyak orang. Kisah ini bermula ketika sebuah keluarga yang
bertokohkan Ibu, aku, Mas Budi, Dik Tari yang akan berlibur ke vila bersama Bapaknya.
Awalnya, pembaca akan merasa binggung dan penasaran karena pada awal paragraf
diceritakan bahwa tokoh aku sedang menangis tanpa alasan yang jelas. Sehingga, pembaca
akan terdorong untuk membacanya sampai usai. Banyak sekali hal-hal yang bisa kita petik
dari kisah ini, terutama pada sikap Sang Ibu yang hanya menjadi istri kedua yang sering
dicemooh oleh banyak orang tetapi ia tetap mencoba memahaminya dan selalu mencintai
suaminya sampai akhir. Selain itu, dapat kita perhatikan bahwa penulis lihai sekali dalam
mengungkapkan peristiwa-peristiwa yang cukup tragis lewat tulisan sehingga membuat
pembacanya turut merasakan kesedihan yang sama dengan apa yang dirasakan tokoh yang
ada di dalamnya. Meskipun penulis cukup sukses dalam hal menarik ulur perasaan si
pembaca, namun alur yang digunakan oleh penulis cukup mudah ditebak. Selain itu, tidak
digambarkan dengan jelas tentang hal-hal yang terjadi dengan tokoh Bapak yang tiba-tiba
terbaring lemah di rumah sakit dan juga tidak dijelaskan dengan jelas alasan Ibu yang
berstatus sebagai istri kedua selalu dihina oleh orang-orang sebagai perusak rumah tangga.

Cerpen berjudul “Karena Aku Lebih Suka Jalan Setapak” karya Anggita Arief
Febriandia juga tidak kalah menarik dari cerpen yang sebelumnya. Cerita pendek kali ini
bertemakan tentang cita-cita seseorang laki-laki yang sangat sederhana namun memiliki
makna yang mendalam. “Karena Aku Lebih Suka Jalan Setepak” memiliki judul yang cukup
menarik dan memiliki alur cerita yang tidak kalah menarik pula. Namun, alur cerita begitu
cepat sehingga ada beberapa peristiwa yang tidak diceritakan secara jelas, salah satunya tidak
ada alasan yang jelas mengapa seseorang lelaki kaya raya tiba-tiba mendekati tokoh
perempuan yang bernama Hana. Saya menunjukkan ketertarikan pada cerpen ini karena
memiliki kisah romansa yang berbeda dari cerpen romansa yang lainnya. Mungkin kisah ini
tidak cocok untuk dikatakan kisah romansa tetapi kisah cinta yang bertepuk sebelah tangan.

Kisah ini bermula ketika seorang pemuda yang sedang menikmati indahnya dunia
dengan cara berjalan di trotoar diiringi daun-daun kering yang nampak semakin indah,
pemuda tersebut bernama Wawan. Indahnya dunia semakin sempurna ketika pemuda tersebut
berjalan kaki bersama oleh wanita yang merupakan adik tingkatnya, Hana. Konflik
berlangsung ketika Hana menanyakan kepada pemuda tersebut apa yang dicita-citakannya.
Tanpa berpikir panjang Wawan menjawabnya dengan enteng, cita-cita yang sangat sederhana
tetapi menurutnya tidak mudah untuk dicapainya. Cita–cita tersebut adalah ia hanya ingin
hidup bahagia dan bisa bersyukur. Berbeda dengan Hana yang masih memiliki cita-cita yang
sangat tinggi, yaitu ingin menjadi orang yang kaya-raya. Dari situlah, Hana berpikir bahwa
dia tidak cocok dengan Wawan, Hana menganggap bahwa di dalam hidup Wawan tidak ada
hal yang perlu dipermasalahkan, tidak seperti hidupnya, penuh dengan derita.

Konflik dalam cerpen ini semakin kompleks ketika Hana didekati oleh lelaki muda
yang kaya-raya dan juga dikenal baik oleh banyak orang, namanya adalah Hedi yang
merupakan kakak tingkatnya seumuran dengan Wawan tetapi bedanya Wawan sering berjalan
kaki dan Hedi sering membawa mobil Pajero. Siapa yang tidak ingin dengan lelaki seperti
Hedi yang baik hati dan juga memiliki harta yang berlimpah. Konflik semakin klimaks ketika
ayah Hana yang sangat ia sayangi dan merupakan satu-satunya orang yang paling berharga
dikabarkan kecelakaan. Hana semakin menjauh dari Wawan dan mendekatkan dirinya kepada
Hedi. Kisah “Karena Aku Lebih Suka Jalan Setapak” memiliki banyak pesan moral yang
berharga. Si penulis terlihat ingin sekali mengungkapkan bahwa banyak orang yang terlihat
santai di dunia ini, tetapi bukan berarti mereka hidupnya mulus-mulus saja, terkadang mereka
tidak ingin mengungkapkan masalah yang dihadapinya dan lebih memilih untuk diam dan
membiarkan masalah itu selesai seiring berjalannya waktu, mereka tidak ingin hidupnya
dipenuhi oleh kata-kata mengeluh dan patah semangat, mereka hanya ingin bersyukur dan
melewati hidup ini dengan bahagia.

Cerpen ketiga yang saya pilih berjudul “Suara Ayah” juga karangan Anggita Arief
Febriandia. Ketika saya membaca cerita ini, jiwa saya seperti tersedot dan masuk ke dalam
cerita, di sana saya berjalan di sebuah lorong yang menyajikan ornamen-ornamen yang
fantastis, menarik dan membuat pembaca enggan menjauh. Ornamen cerita tersebut memiliki
makna dan nilai yang sangat mendalam. Karakteristik tokoh dalam cerita cukup menarik dan
konflik yang ditawarkanpun menggugah ketertarikan pembaca.

Cerita ini menceritakan sesosok ayah yang tidak mensyukuri apa yang telah
dianugerahkan oleh Allah. Ayah yang merasa kecewa karena sosok anak pertama yang ia
harapkan bukanlah laki-laki melainkan perempuan. Ayah yang tidak berlaku adil kepada
kedua buah hatinya dan bertindak semena-mena kepada anak perempuannya. Seorang anak
merupakan anugerah terindah dari Allah. Lahirnya anak ke dunia pastinya akan membawa
kebahagian yang tak terhingga hingga tetesan air mata bahagiapun tak mampu
mengungkapkan besarnya kebahagian tersebut. Kebanyakan orang beranggapan begitu,
berbeda dengan sesosok ayah dalam cerpen ini yang merasa kecewa akan kehadiran putrinya.
Putri berparas cantik dengan kulit putih yang bernama Fatimah. Fatimah adalah sesosok gadis
yang sabar dan pandai mengerjakan pekerjaan rumah seperti memasak, mencuci, dan lainnya.

Sejak awal ayah tak suka dengan Fatimah, namun keadaan menjadi semakin
memburuk ketika Rudi lahir. Apalagi kemampuan Fatimah dan Rudi di bidang akademik
seperti langit dan bumi, tak pernah sama, Rudi selalu lebih unggul bagaikan langit dan
fatimah bagaikan bumi. Fatimah bagaikan ladang penghinaan bagi ayahnya, namun ia tetap
sabar. Hingga suatu hari Fatimah bertemu dengan sesosok laki-laki sholeh, baik hati nan
tampan yang bernama Pawitra. Disinilah kisah asmara nan romantis dimulai. Hari berganti
hari, bulan berganti bulan, timbullah benih-benih cinta di hati mereka. Cinta suci nan tulus
yang tersembunyi. Hingga akhirnya keduanya mengetahui bahwa mereka saling jatuh cinta.
Laki-laki bernama Pawitra melamar Fatimah dan betapa bahagianya hati mereka, karena cinta
mereka akan disatukan dengan ikatan suci pernikahan. Namun secercah kebahagian itu tiba-
tiba lenyap dan hilang ditelan kegelapan. Ayah Fatimah menolak lamaran Pawitra karena ia
merasa Fatimah belum siap. Sungguh hancur hati mereka berdua, hancur menjadi berkeping-
keping.

Fatimah yang sedih dan gundah gulana pergi ke pasar atas permintaan ibunya, dengan
harapan kejadian menyedihkan itu tidak terbesit untuk sementara di pikiran Fatimah. Fatimah
melangkah menapaki jalan menuju ke sebrang. Pikirannya kalut, hanya kata-kata ayahnya
yang terbayang dipikirannya. Ia merasa tak adil dengan perlakuan ayahnya. Lamunan
Fatimah membuatnya tuli, ia tak mendengar bunyi klakson mobil hingga ia tertabrak,
terpental dan darah mengalir deras dari telinya. Sungguh akhir yang tragis, namun samar dan
membuatku merasa tak mendapatkan kejelasan atas penyelesaian cepen “Suara Ayah”. Saya
merasa kecewa, karena saya merasa judul yang dipilih kurang bisa menggambarkan
keseluruhan isi cerita. Namun, cerpen “Suara Ayah” termasuk cerpen yang wajib dibaca oleh
para pembaca karena cerita yang disajikan mengandung banyak pesan moral. Penulis ingin
menyampaikan bahwa, orang tua harusnya mensyukuri bagaimanapun buah hati mereka,
karena sifat buah hati berasal dari orang tua, bersikaplah adil dan sayangilah buah hati kita
dengan tulus serta jangan biarkan kita sebagai orang tua merasa menyesal pada akhirnya.

Nama : Ananda Kautsar Nadia Faya

Kelas : X MIPA 1

No. Absen : 02

Anda mungkin juga menyukai