Anda di halaman 1dari 14

Segala puji dan rasa sukur kami panjatkan kepada ALLAH SWT.

Karna atas rahmat


dan hidayah nya kami dapat menyelesaikan tugas dari guru bidang studi seni budaya dan
keterampilan di SMAN 7 PANDEGLANG.

Alhamdulillah dengan segala keterbatsan, saya dapat menyelesaikan tugas pembuatan


biografi maestro seni dalam rangka memenuhi tugas praktek USP.

Biografi ini menceritakan tentang seorang tokoh seni terkenal yang dapat di jadikan
motifasi untuk membuat karangan sastra, lukisan, kaligrafi, patung, macramé dan lain-lain.
semoga sikap dan keteladanan dapat menjadikan sumber untuk membuka imajinasi yang bisa
diaplikasikan menjdi suatu maha karya yang bermakna di masa yang akan dating sehingga
menjadkani seorang maestro seni yang terkenal.

SMAN 7 PANDEGLANG
Nasjah Djamin lahir pada tanggal 24 September 1924 di
Perbaungan, Sumatra Utara dengan nama asli Noeralamsyah. Ia merupakan
anak ketujuh dari delapan bersaudara dari pasangan kedua orang tua yang
berasal dari Minangkabau, Padang. Ayahnya bernama Haji Djamin dan
ibunya bernama Siti Sini.

Haji Djamin bekerja sebagai mantri candu (pengawas perdagangan


1.0 Nasjah jamin candu, [Candu Legal di Masa Kolonial]) dan garam di Deli. Haji Djamin terus
menetap di tanah Deli sehingga anak-anaknya disebut anak Deli yang sudah
terlepas dari susunan adat dan kehidupan Minangkabau. Nasjah Djamin dan
orang tuanya tinggal di daerah perkebunan di daerah Deli.

Orang tua Nasjah Djamin tidak mempunyai darah seni. Di antara


saudara-saudara Nasjah Djamin, Nasjah Djamin saja yang mempunyai
bakat seni. Bakat seni Nasjah Djamin yang muncul lebih dahulu adalah
bakat melukis, Ia senang sekali melukis pemandangan sekitar perkebunan
serta pedati dan kusirnya.
1.1 isyarat spiritual
kary nasjah jamil
Meski orang tua Nasjah Djamin adalah Setelah berhenti bekerja di Balai Pustaka,
pegawai rendah. Namun, hal itu tidak Nasjah Djamin kembali ke Yogyakarta. Pada
menjadikan Nasjah Djamin untuk berdiam diri. tahun 1952 Nasjah Djamin bekerja sebagai
Ia berhasil menamatkan sekolah HIS pegawai rendah pada Bagian Kesenian,
(Hollandas Inlandse School). Ia juga berhasil Jawatan Kebudayaan, Departemen
melanjutkan sekolah Mulo tahun 1941. Setelah Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Ia
keluar dari Mulo, Nasjah Djamin memutuskan bekerja di bagian seni rupa. Di samping itu,
bekerja. Ia mengawali bekerja sebagai kuli ia juga menjadi anggota redaksi majalah
kasar di lapangan terbang Pulonia, Medan. Budaya (1953). Karya yang ditulisnya
selama bekerja di majalah itu, antara lain,
Dengan bekal kepandaian melukis, “Titik-Titik Hitam” (1956), “Sekelumit
kemudian Nasjah Djamin bekerja di kantor Nyanyian Sunda” (1957), dan “Jembatan
Bukaka, kantor propaganda Jepang. Selain Gondolayu” (1957). Ketiganya merupakan
bekerja, di tempat bekerjanya itu, Nasjah drama. Judul drama “Sekelumit Nyanyian
Djamin juga belajar melukis. Sunda:” memenangkan juara kedua
Pada tahun 1947 Nasjah Djamin di Jakarta sayembara menulis drama yang diadakan
bergabung dengan para seniman di Jalan oleh Departemen Pendidikan dan
Garuda yang dipimpin oleh Pak Said. Kebudayaan tahun 1956. Pada tahun 1953
Kalangan pelukis yang hadir Nasjah Djamin bersama-sama dengan
adalah Affandi dan Basuki Rosobowo, Kirjomulyo mendirikan Teater Indonesia.
sedangkan kalangan sastrawan yang hadir Pada tahun 1961—1964, atas biaya kantor
adalah Chairil Anwar, H.B. Jassin, Rivai Apin, tempat ia bekerja, Nasjah Djamin dikirim ke
dan Sitor Situmorang. Di tempat itu, kemudian Jepang untuk memperdalam dekorasi
Nasjah Djamin berkenalan dengan para panggung, dekorasi TV, pemroduksian TV
sastrawan dan mulai tertarik dalam tulis- cerita, dan pertunjukan.
menulis.
Pada tahun 1949 Nasjah Djamin bekerja di
Balai Pustaka sebagai ilustrator. Di kantor itu
Nasjah Djamin sering mendengar diskusi
antarpengarang, seperti Idrus dan Chairil
Anwar. Keadaan itu membuat Nasjah tertarik
pada kesastraan. Hal itu dibuktikan dengan
tulisan yang diciptakannya selama ia bekerja
di Balai Pustaka, seperti puisinya yang
berjudul “Pengungsi”. H.B. Jassin memuat
puisi itu ke dalam Gema Tanah Air. Karya lain
yang diciptakan adalah cerita bergambar bagi
anak-anak, yaitu Hang Tuah (1952) dan Si Pai
Bengal (1952), dan telah diterbitkan oleh Balai
Pustaka.
Nasjah Djamin menikah pada tahun 1967 dengan
Umi Naftiah. Sejak itu bersama istri dan anak-
anaknya, bertempat tinggal di Yogyakart. Dia
meninggal dunia pada tanggal 4 September 1997,
tepatnya pada hari Kamis pukul 12.30 pada usia 73
tahun. Dia dimakamkan di Bukit Saptorenggo,
Imogiri, Yogyakarta.
Nasjah Djamin memulai menulis novel tahun 1950. Novel yang dihasilkan
pertama adalah Hilanglah Si Anak Hilang. Karya itu telah diterjemahkan oleh
Farida Soemargono Labrousse ke dalam bahasa Prancis dengan judul Le Depart
de L”Enfant Proddigue (1979)

Tempat kegiatan menulis selain di majalah Budaya, Nasjah


melakukannya di majalah Minggu Pagi dan surat kabar Kedaulatan Rakyat. Salah
satu novelnya Gairah untuk Hidup dan untuk Mati yang merupakan cerita
bersambung dalam majalah Minggu Pagi nomor 1—24 tahun 1967 berhasil
memperoleh Anugerah Seni dari pemerintah Republik Indonesia pada tahun
1970.

Anugerah lain yang diterima Nasjah berasal dari Yayasan Buku Utama
atas karya Ombak Parangtritis (1983) yang dinyatakan sebagai buku fiksi remaja
terbaik tahun 1983 dan dari Dewan Kesenian Jakarta mendapatkan hadiah sastra
atas novelnya Bukit Harapan (1984).
 Hilanglah Si Anak Hilang (1963)
 Helai-Helai Sakura Gugur (1965)
 Gairah untuk Hidup dan untuk  Sekelumit Nyanyian
Mati (1968) Sunda (1962)
 Sebuah
 Malam Kuala Lumpur (1968)
 Yang Ketemu Jalan (1979) Perkawinan (1974)
 Di Bawah Kaki Pak
 Dan Senja pun Turun (1981)
 Ombak Parangtritis (1983) Dirman (1986)
 Tresna Atas Tresna (1983)
 Bukit Harapan (1984)
 Tiga Puntung Rokok (1985)
 Ombak dan Pasir (1988)
 Di Sebuah Pondokan” (dalam majalah
Sarinah, 1987)
 Biografi Chairil Anwar yang berjudul Hari-Hari
Akhir Si Penyair (1982)
 Biografi Affandi dalam bukunya Affandi
Pelukis (1977)

 “Berat” (dalam majalah Seniman,


1947)
 “Bunga” dan “Pengungsi” (dalam
majalah Seniman, 1948)
 “Yati Kecil” (dalam majalah Budaya,
1954)

Anda mungkin juga menyukai