Anda di halaman 1dari 59

SOEDIBIO

Salah satu pelukis Maestro terkenal Indonesia " Soedibio " lahir di Madiun, Jawa
Timur, 17 Juni 1912. Belajar melukis dilakoninya secara otodidak. Semasa hidup aktif di
berbagai organisasi kesenian, diantaranya pada tahun 1940 bergabung menjadi anggota
PERSAGI (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) di Jakarta, lalu pada tahun 1946 ikut
mendirikan Seniman Indonesia Muda (SIM) di Madiun, Jawa Timur.
Kemudian pada tahun 1967 menjadi anggota Sanggar Puring di Surabaya, Jawa
Timur, serta pada tahun 1970 menjadi anggota Himpunan Budaya Surakarta (HBS) di Solo,
Jawa Tengah. Pernah bekerja bersama Trisno Sumarjo di Jawatan Kereta Api (1942) di kota
asalnya, Madiun, Jawa Timur. Pada jamannya, ia di kenal sebagai satu-satunya pelukis potret,
yang sanggup membuat potret orang tanpa model. Lukisan tentang pengalamannya di tahanan
Belanda di Yogyakarta pada tahun 1949 adalah salah satu bukti kemahirannya tersebut.
Selain melukis potret orang, ia juga mahir melukis pemandangan alam. Rumah-rumah
orang di desa dan pohon nyiur berkipas-kipas daun bersatu dalam satu ayunan tenang dengan
galengan-galengan sawah di sekitarnya, di gambarkan secara tepat olehnya. Keunikan lain
yang dimilikinya yang membedakan dirinya dengan pelukis lain adalah, ia selalu membuat
perubahan pada gaya lukisannya yang berubah dengan drastis sesuai kisah hidupnya.
Lukisannya pada zaman revolusi bernuansa kelam dan menunjukkan kekerasan.
Kemudian setelah sempat menghilang selama 15 tahun dari dunia seni rupa karena persoalan
pribadi, ia akhirnya kembali lagi, namun dengan gaya lukisan yang lebih lembut.
Di indonesia , aliran surealisme ini diusung oleh beberapa pelukis terkenal salah satu
pelukis yang dikenal kalangan seniman karena karya-karyanya yang khas adalah Soedibio ,
beliau di sebut sebagai bapak surealis di indonesia karena keunikan karyanya
" Dewi Sri " by Soedibio, Medium: oil on canvas, Year: 1971

" Gunungan " by Soedibio, Size: 100 x 80 cm, Medium: Oil on canvas, Year: 1977
Auction House: Christie's Hongkong
" Istri " by Soedibio, Size: 100 cm x 76 cm, Medium: Oil on canvas, Year: 1970

" Kapal di tengah Laut " by Soedibio, Size: 33 cm x 25 cm, Medium: Acrylic on paper, Year:
1986
" Peta " by Soedibio, Size: 90 cm x 200 cm, Medium: Oil on canvas, Year: 1947
*) Dikoleksi oleh Dr. Oei Hong Djien.

" Punakawan dan Pandawa Lima " by Soedibio, Size: 150 cm x 110 cm, Medium: Oil on
canvas, Year: 1973
" Semar " by Soedibio, Medium: Oil on canvas

" Seorang Pelukis by Soedibio " by Soedibio, Size: 65 cm x 86 cm, Medium: Oil on canvas,
Year: 1948
" Peniup Seruling " by Soedibio, Size: 165cm x 55cm, Medium: Oil on canvas, Year: 1979

" To you people of Jogja " by Soedibio, Size: 200cm x 136cm, Medium: Oil on canvas,
Year: 1949
" Untitled " by Soedibio, Size: 134cm x 90 cm, Medium: Oil on canvas, Year: 1969

" Wanita Jawa " by Soedibio, Size: 90cm x 150cm, Medium: Oil on canvas, Year: 1940
" Wayang " by Soedibio, Medium: oil on canvas laid on board
AMRI YAHYA

Amri Yahya lahir di Sukaraja, Ogan Ilir, Palembang, Sumatera Selatan, pada tanggal 29
September 1939. Pendidikan seninya ditempuh di ASRI Yogyakarta (Ijazah I, 1961; Ijazah II,
1963), IKIP Yogyakarta (Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni, Jurusan Seni Rupa, 1971),
Sertifikat Keramik Dinding dari Struktur 68 Bv, The Hague Holland (1980), dan pernah
dianugerahi gelar Kehormatan Doktor Honoris Causa di Bidang Evaluasi Pendidikan Seni
oleh Universitas Negeri Yogyakarta, 2001.

Sejak tahun 1977, tercatat sebagai anggota kehormatan International Association of Art
(IAA) UNESCO Paris. Tahun 1996, Amri Yahya mewakili Indonesia dalam Konferensi Seni
Budaya Islam se-dunia di Hofsra University, New york. Pada tahun 1972, mendirikan Galeri
Amri pada saat Indonesia mempersiapkan diri sebagai tuan rumah Konferensi PATA 1974,
juga mengangkat busana muslim ke kancah nasional (1977), didukung oleh Perwanida DIY.
Tahun 1979, mendirikan HSRI (Himpunan Senirupawan Indonesia). Tahun 1990 bersama
Joop Ave, A. Sadali dan AD Pirous turut menggagas Festival Istiqlal dan mengusulkan
berdirinya museum Al Quran di Jakarta.

Karya-karyanya telah dikoleksi perorangan, pejabat negara dan lembaga, baik di dalam
maupun luar negeri, yang mulai ia pamerkan sejak tahun 1957, di antaranya pameran tunggal
keliling Eropa dan kawasan Timur Tengah pada kurun waktu 1976-1979. Pameran tunggal
terakhir di luar negeri sekaligus untuk yang ke-5 adalah di Amerika, di Asean Art Museum,
San Fransisco (1996). Pameran tunggal terakhir di Indonesia diadakan di Palembang (1999),
di Jakarta (2000) berturut-turut di Taman Ismail Marzuki, dan di Komplek Bidakara.

Pada setiap pameran tunggalnya di luar negeri, Amri Yahya selalu menyertakan acara
diskusi, pemutaran slide tentang kesenian Indonesia, dan demo melukis dengan media batik.

Pada tahun 2004, Galeri Amri terbakar habis dan sebagian besar karyanya tidak dapat
diselamatkan kembali. Keadaan itu berakibat buruk pada kesehatan Amri sehingga pada
bulan Desember 2004, Amri Yahya meninggal dalam usia 65 tahun.
" Basmallah " by Amri Yahya, Batik, Size: 80cm x 60 cm, Year: 1976

" Hutan terbakar " by Amri Yahya, Batik.


" Komposisi " by Amri Yahya, Batik, Size: 80cm x 80 cm, Year: 1974

" Lebak " by Amri Yahya, Batik, Size: 80cm x 80 cm, Year: 1976
" Lebak Minyak " by Amri Yahya, Batik.

" Ombak " by Amri Yahya, Batik, Size: 80cm x 80 cm, Year: 1984
" Pancaroba " by Amri Yahya, Batik.

" Rumput Merah " by Amri Yahya, Batik, Size: 90cm x 100 cm, Year: 1997
ABAS ALIBASYAH

Lahir di Purwakarta, Jawa Barat, 11 Maret 1928. Abas lahir dari keluarga pegawai negeri
sehingga ia mengeyam pendidikan cukup baik. Di HIS (Holandsche Inlandsche School) -
setingkat pendidikan dasar, Abas mulai tertarik dengan menggambar. Selang beberapa tahun
kemudian, Abas belajar di Keimin Bunka Sidhoso, sebuah lembaga kebudayaan yang
didirikan oleh Pemerintah Jepang. Di tempat tersebut ia belajar dan bergaul intens dengan
Affandi, Hendra Gunawan, Sudjana Kerton dan Barli Sasmitawinata. Abas juga dikenal
sebagai bagian dari Sanggar Pelukis Rakyat. Kemudian ia masuk secara formal di Akademi
Seni Rupa (ASRI) Yogyakarta, tahun 1950-1956. Setelah itu ia melanjutkan studi ke negeri
Belanda.

Abas Alibasyah di kenal sebagai pelukis dan pendidik. Sebagai pelukis, ia pernah mendapat
penghargaan, misalnya tahun 1974 menerima hadiah seni lukis terbaik dalam Biennale Seni
Lukis Nasional, Dewan Kesenian Jakarta dan Sanggar Dewata. Menerima Anugerah Seni RI
1985 dan Cultural Award Scheme dari Pemerintah Australia di tahun 1977, juga penghargaan
Satya Lencana Kebudayaan dari pemerintah RI. Sebagai pendidik Abas mengajar di berbagai
sekolah dan perguruan tinggi seni. Dimulai menjadi pamong di Taman Siswa Ibu Pawiyatan
Yogyakarta, guru di SMA Stella Duce dan Padmanaba Yogyakarta. Ia mengajar di ASRI dan
pernah menjadi direktur Akademi Seni Rupa Indonesia Yogyakarta, serta membawa
perubahan ASRI menjadi ISI (Institut Seni Indonesia). Abas Alibasyah di masa tua tinggal di
Jakarta.

Ia bukan hanya dikenal sebagai seorang pelukis, tetapi ia juga dikenal sebagai pejuang,
pemikir dan organisatoris. Di kalangan rekan-rekannya, ia dikenal sebagai pelukis yang
konsisten dengan suara panggilan nuraninya, meskipun pada waktu ada ‘boom’ seni lukis, ia
tidak bergeming dalam memilih apa yang sudah dipilihnya. Dibesarkan dari keluarga mapan.
Ayahnya, Hoesen Adimihardja asal Purwakarta adalah seorang pegawai negeri yang bekerja
pada jawatan pengairan. Awal mula ia menyukai dunia seni lukis adalah saat ia bersekolah di
HIS (Holandsche Inlandsche School). Pelajaran menggambarnya cukup menonjol. Begitu
juga ketika ia meneruskan studinya di Sihan Gakko.

Seperti anak-anak lainnya, saat ia belum merasa tertarik untuk menekuni seni lukis. Apa yang
dilakukannya hanya karena ada pelajaran menggambar. Tetapi lama-kelamaan, ia mulai
tergerak ketika ia melongok di Keimin Bunka Sidhoso sebuah lembaga kesenian yang
didirikan oleh pemerintah Jepang. Ia mulai tertarik dan ikut bergabung, pada waktu itu
usianya baru 15 tahun.

Di tempat itu, tahun 1943, ia mulai merasakan ada sesuatu yang perlu dan patut
dikembangkan. Ia mulai berpikir untuk terjun ke dunia seni lukis. Abas Alibasyah lalu
bergaul dengan pelukis lainnya seperti Hendra Gunawan, Barli Sasmitawinata dan Affandi.
Mereka banyak memberi pengaruh terhadap dirinya. Dari sanalah kemudian Abas mulai
menetapkan langkahnya menjadi seorang pelukis.

Setelah Jepang kalah perang tahun 1945. Ia tidak hanya berdiam dan menekuni dunia lukis
saja. Keaktifannya di medan perang juga ikut mempengaruhi cara berfikir dalam menempuh
strategi dalam menatap masa depannya.

Sepak terjangnya di SMA BOPKRI membuatnya lebih bersemangat dalam menentukan


pilihan hidupnya dalam dunia seni lukis.Karena situasi pada waktu masih dalam kondisi
perang, ia banyak membuat sketsa-sketsa revolusi atau kejuangan yang dapat mengalahkan
penjajah. Disitulah Abbas mulai tertarik dan bergabung di sanggar Pelukis Rakyat bersama
Hendra Gunawan dan Affandi di Yogyakarta

Tahun 1966, ia mulai tertarik pada seni Batik dan giat mengadakan eksperimen-eksperimen
dengan berbagai kemungkinan dalam teknik batik. Tahun 1968, mendapat kesempatan belajar
di Belanda dan berpameran di Den Haag. Tahun 1970, ia mendapat undangan dari
pemerintah Australia untuk study tour dan mengadakan pameran di sana. Tahun 1976, ia
mendapat undangan dari pemerintah Perancis.

Begitu banyak jabatan yang pernah dipikulnya, dan banyak pula penghargaan yang diraihnya,
termasuk pameran lukisan diberbagai belahan dunia sudah pernah dilakoninya. Penghargaan
seni yang pernah diraihnya adalah Anugerah Seni dari pemerintah tahun 80-an, penghargaan
dari DKJ, penghargaan Lempad Prize dari Yayasan Lempad Bali, Cultural Award Scheme
dari pemerintah Australia dan Satya Lencana Kebudayaan dari pemerintah RI. Hingga kini
Abas Alibasyah tak pernah berhenti bekerja dan berkarya.

Menjadi juri diberbagai lomba, seperti pada ajang Anugerah Seni Indonesia, Festival Film
Indonesia, Seni rupa internasional untuk UNESCO di Jepang dan logo AESAN di Singapura.
Pernah menjadi kurator nasional pameran Seni Rupa Indonesia yang diselenggarakan
pemerintah RI, editor buku monografi daerah dan buku seni budaya dan 27 provinsi di
Indonesia. Saat ini ia tinggal di Jl. Taman Pendidikan 1/3, kompleks Depdikbud, Cilandak,
Jakarta Selatan dan masih terus produktif melukis.

Karier :
Tentara Pelajar (1945-1951),
Pamong Kesenian Taman Siswa Ibu Pawiyatan Yogyakarta,
Pengajar ASRI,
Ketua Jurusan Senirupa ASRI (1962),
Guru SMA Stella Deuce dan SMA Negeri III B (Padmanaba) Yogyakarta,
Pegnajar IKIP (Yogyakarta), Pengajar bagian arsitektur di Universitas Gajah Mada,
Direktur ASRI (Yogyakarta) dan ASKI (Surakarta),
Ketua Sekolah Tinggi Seni Rupa Indonesia (Yogyakarta),
Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1971),
Kepala Lembaga Musikologi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Inspektur Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,
Anggota Konsorsium Seni Ditjen Dikti,
Anggota Badan Sensor Film, Anggota Dewan Film,
Ketua Dewan Kesenian Yogyakarta

Penghargaan :
Beasiswa dari pemerintah Belanda untuk belajar di Belanda (1968),
Undangan Study Tour dari Pemerintah Australia (1970),
Anugerah Seni tahun 80-an dari pemerintah RI,
Penghargaan dari DKJ untuk lukisan terbaik pada Biennale I (1974),
Lempad Prize dari Yayasan lempad Bali,
Penghargaan dari ISI Yogyakarta untuk pengabdian dalam dalam pendidikan seni,
Culural Award Scheme dari pemerintah Australia,
Satya Lencana Kebudayaan dari pemerintah RI,
Anugerah Ageng Kesenian dari Lembaga Pendidikan Tinggi Kesenian ISI Yogyakarta
" Dewi perdamaian " by Abas Alibasyah, Size: 145cm x 95cm, Medium: oil on canvas, Year:
1997

" Dua Sejoli " by Abas Alibasyah, Size: 100cm x 150cm, Medium: oil on canvas, Year: 1981
" Garuda " by Abas Alibasyah, Size: 100cm x 66cm, Medium: oil on canvas, Year: 1969

" Ratu Bunga " by Abas Alibasyah, Size: 70 cm x 90 cm, Medium: oil on canvas, Year: 1993
" Tujuh Srikandi " by Abas Alibasyah, Size: 150 cm x 100 cm, Medium: oil on canvas, Year:
2013

" Wanita Pendekar " by Abas Alibasyah, Size: 95cm x 145cm, Medium: oil on canvas, Year:
1996
RADEN SALEH

Raden Saleh lahir di Semarang tahun 1807 – meninggal di Bogor pada tahun 1880.
Raden Saleh dilahirkan dalam sebuah keluarga Jawa ningrat. Dia adalah cucu dari Sayyid
Abdoellah Boestaman dari sisi ibunya. Ayahnya adalah Sayyid Hoesen bin Alwi bin Awal
bin Jahja, seorang keturunan Arab.Ibunya bernama Mas Adjeng Zarip Hoesen, tinggal di
daerah Terboyo, dekat Semarang. Sejak usia 10 tahun, ia diserahkan pamannya, Bupati
Semarang, kepada orang-orang Belanda atasannya di Batavia. Kegemaran menggambar
mulai menonjol sewaktu bersekolah di sekolah rakyat (Volks-School).

Keramahannya bergaul memudahkannya masuk ke lingkungan orang Belanda dan lembaga-


lembaga elite Hindia-Belanda. Seorang kenalannya, Prof. Caspar Reinwardt, pendiri Kebun
Raya Bogor sekaligus Direktur Pertanian, Kesenian, dan Ilmu Pengetahuan untuk Jawa dan
pulau sekitarnya, menilainya pantas mendapat ikatan dinas di departemennya. Kebetulan di
instansi itu ada pelukis keturunan Belgia, A.A.J. Payen yang didatangkan dari Belanda untuk
membuat lukisan pemandangan di Pulau Jawa untuk hiasan kantor Departemen van
Kolonieen di Belanda. Payen tertarik pada bakat Raden Saleh dan berinisiatif memberikan
bimbingan.

Payen memang tidak menonjol di kalangan ahli seni lukis di Belanda, namun mantan
mahaguru Akademi Senirupa di Doornik, Belanda, ini cukup membantu Raden Saleh
mendalami seni lukis Barat dan belajar teknik pembuatannya, misalnya melukis dengan cat
minyak. Payen juga mengajak pemuda Saleh dalam perjalanan dinas keliling Jawa mencari
model pemandangan untuk lukisan. Ia pun menugaskan Raden Saleh menggambar tipe-tipe
orang Indonesia di daerah yang disinggahi.
Terkesan dengan bakat luar biasa anak didiknya, Payen mengusulkan agar Raden Saleh bisa
belajar ke Belanda. Usul ini didukung oleh Gubernur Jenderal G.A.G.Ph. van der Capellen
yang memerintah waktu itu (1819-1826), setelah ia melihat karya Raden Saleh.

Tahun 1829, nyaris bersamaan dengan patahnya perlawanan Pangeran Diponegoro oleh
Jenderal Hendrik Merkus de Kock, Capellen membiayai Saleh belajar ke Belanda. Namun,
keberangkatannya itu menyandang misi lain. Dalam surat seorang pejabat tinggi Belanda
untuk Departemen van Kolonieen tertulis, selama perjalanan ke Belanda Raden Saleh
bertugas mengajari Inspektur Keuangan Belanda de Linge tentang adat-istiadat dan kebiasaan
orang Jawa, Bahasa Jawa, dan Bahasa Melayu. Ini menunjukkan kecakapan lain Raden Saleh.

Semasa belajar di Belanda keterampilannya berkembang pesat. Wajar ia dianggap saingan


berat sesama pelukis muda Belanda yang sedang belajar. Para pelukis muda itu mulai melukis
bunga. Lukisan bunga yang sangat mirip aslinya itu pun diperlihatkan ke Raden Saleh.
Terbukti, beberapa kumbang serta kupu-kupu terkecoh untuk hinggap di atasnya. Seketika
keluar berbagai kalimat ejekan dan cemooh. Merasa panas dan terhina, diam-diam Raden
saleh menyingkir.
Ketakmunculannya selama berhari-hari membuat teman-temannya cemas. Muncul praduga,
pelukis Indonesia itu berbuat nekad karena putus asa. Segera mereka ke rumahnya dan pintu
rumahnya terkunci dari dalam. Pintu pun dibuka paksa dengan didobrak. Tiba-tiba mereka
saling jerit. "Mayat Raden Saleh" terkapar di lantai berlumuran darah. Dalam suasana panik
Raden Saleh muncul dari balik pintu lain. "Lukisan kalian hanya mengelabui kumbang dan
kupu-kupu, tetapi gambar saya bisa menipu manusia", ujarnya tersenyum. Para pelukis muda
Belanda itu pun kemudian pergi.

Itulah salah satu pengalaman menarik Raden Saleh sebagai cermin kemampuannya. Dua
tahun pertama ia pakai untuk memperdalam bahasa Belanda dan belajar teknik mencetak
menggunakan batu. Sedangkan soal melukis, selama lima tahun pertama, ia belajar melukis
potret dari Cornelis Kruseman dan tema pemandangan dari Andries Schelfhout karena karya
mereka memenuhi selera dan mutu rasa seni orang Belanda saat itu. Krusseman adalah
pelukis istana yang kerap menerima pesanan pemerintah Belanda dan keluarga kerajaan.
Raden Saleh makin mantap memilih seni lukis sebagai jalur hidup. Ia mulai dikenal, malah
berkesempatan berpameran di Den Haag dan Amsterdam. Melihat lukisan Raden Saleh,
masyarakat Belanda terperangah. Mereka tidak menyangka seorang pelukis muda dari Hindia
dapat menguasai teknik dan menangkap watak seni lukis Barat.

Saat masa belajar di Belanda usai, Raden Saleh mengajukan permohonan agar boleh tinggal
lebih lama untuk belajar "wis-, land-, meet- en werktuigkunde (ilmu pasti, ukur tanah, dan
pesawat), selain melukis. Dalam perundingan antara Menteri Jajahan, Raja Willem I (1772-
1843), dan pemerintah Hindia Belanda, ia boleh menangguhkan kepulangan ke Indonesia.
Tapi beasiswa dari kas pemerintah Belanda dihentikan.
Saat pemerintahan Raja Willem II (1792-1849) ia mendapat dukungan serupa. Beberapa
tahun kemudian ia dikirim ke luar negeri untuk menambah ilmu, misalnya Dresden, Jerman.
Di sini ia tinggal selama lima tahun dengan status tamu kehormatan Kerajaan Jerman, dan
diteruskan ke Weimar, Jerman (1843). Ia kembali ke Belanda tahun 1844. Selanjutnya ia
menjadi pelukis istana kerajaan Belanda.
Wawasan seninya pun makin berkembang seiring kekaguman pada karya tokoh romantisme
Ferdinand Victor Eugene Delacroix (1798-1863), pelukis Perancis legendaris. Ia pun terjun
ke dunia pelukisan hewan yang dipertemukan dengan sifat agresif manusia. Mulailah
pengembaraannya ke banyak tempat, untuk menghayati unsur-unsur dramatika yang ia cari.

Saat di Eropa, ia menjadi saksi mata revolusi Februari 1848 di Paris, yang mau tak mau
memengaruhi dirinya. Dari Perancis ia bersama pelukis Prancis kenamaan, Horace Vernet, ke
Aljazair untuk tinggal selama beberapa bulan pada tahun 1846. Di kawasan inilah lahir ilham
untuk melukis kehidupan satwa di padang pasir. Pengamatannya itu membuahkan sejumlah
lukisan perkelahian satwa buas dalam bentuk pigura-pigura besar. Negeri lain yang ia
kunjungi: Austria dan Italia. Pengembaraan di Eropa berakhir tahun 1851 ketika ia pulang ke
Hindia bersama istrinya, wanita Belanda yang kaya raya.

Tak banyak catatan sepulangnya di Hindia. Ia dipercaya menjadi konservator pada "Lembaga
Kumpulan Koleksi Benda-benda Seni". Beberapa lukisan potret keluarga keraton dan
pemandangan menunjukkan ia tetap berkarya. Yang lain, ia bercerai dengan istri terdahulu
lalu menikahi gadis keluarga ningrat keturunan Keraton Solo.
Di Batavia ia tinggal di rumah di sekitar Cikini. Gedungnya dibangun sendiri menurut teknik
sesuai dengan tugasnya sebagai seorang pelukis. Sebagai tanda cinta terhadap alam dan
isinya, ia menyerahkan sebagian dari halamannya yang sangat luas pada pengurus kebun
binatang. Kini kebun binatang itu menjadi Taman Ismail Marzuki. Sementara rumahnya
menjadi Rumah Sakit PGI Cikini, Jakarta.

Tahun 1875 ia berangkat lagi ke Eropa bersama istrinya dan baru kembali ke Jawa tahun
1878. Selanjutnya, ia menetap di Bogor sampai wafatnya pada 23 April 1880 siang hari,
konon karena diracuni pembantu yang dituduh mencuri lukisannya. Namun dokter
membuktikan, ia meninggal karena trombosis atau pembekuan darah.
Tertulis pada nisan makamnya di Bondongan, Bogor, "Raden Saleh Djoeroegambar dari Sri
Padoeka Kandjeng Radja Wolanda". Kalimat di nisan itulah yang sering melahirkan banyak
tafsir yang memancing perdebatan berkepanjangan tentang visi kebangsaan Raden Saleh.

Tokoh romantisme Delacroix dinilai memengaruhi karya-karya berikut Raden Saleh yang
jelas menampilkan keyakinan romantismenya. Saat romantisme berkembang di Eropa di awal
abad 19, Raden Saleh tinggal dan berkarya di Perancis (1844 - 1851).
Ciri romantisme muncul dalam lukisan-lukisan Raden Saleh yang mengandung paradoks.
Gambaran keagungan sekaligus kekejaman, cerminan harapan (religiusitas) sekaligus
ketidakpastian takdir (dalam realitas). Ekspresi yang dirintis pelukis Perancis Gerricault
(1791-1824) dan Delacroix ini diungkapkan dalam suasana dramatis yang mencekam, lukisan
kecoklatan yang membuang warna abu-abu, dan ketegangan kritis antara hidup dan mati.
Lukisan-lukisannya yang dengan jelas menampilkan ekspresi ini adalah bukti Raden Saleh
seorang romantisis. Konon, melalui karyanya ia menyindir nafsu manusia yang terus
mengusik makhluk lain. Misalnya dengan berburu singa, rusa, banteng, dll. Raden Saleh
terkesan tak hanya menyerap pendidikan Barat tetapi juga mencernanya untuk menyikapi
realitas di hadapannya. Kesan kuat lainnya adalah Raden Saleh percaya pada idealisme
kebebasan dan kemerdekaan, maka ia menentang penindasan.
Wajar bila muncul pendapat, meski menjadi pelukis kerajaan Belanda, ia tak sungkan
mengkritik politik represif pemerintah Hindia Belanda. Ini diwujudkannya dalam lukisan
Penangkapan Pangeran Diponegoro.

Meski serupa dengan karya Nicolaas Pieneman, ia memberi interpretasi yang berbeda.
Lukisan Pieneman menekankan peristiwa menyerahnya Pangeran Diponegoro yang berdiri
dengan wajah letih dan dua tangan terbentang. Hamparan senjata berupa sekumpulan tombak
adalah tanda kalah perang. Di latar belakang Jenderal de Kock berdiri berkacak pinggang
menunjuk kereta tahanan seolah memerintahkan penahanan Diponegoro.
Berbeda dengan versi Raden Saleh, di lukisan yang selesai dibuat tahun 1857 itu pengikutnya
tak membawa senjata. Keris di pinggang, ciri khas Diponegoro, pun tak ada. Ini
menunjukkan, peristiwa itu terjadi di bulan Ramadhan. Maknanya, Pangeran dan pengikutnya
datang dengan niat baik. Namun, perundingan gagal. Diponegoro ditangkap dengan mudah,
karena Jenderal de Kock tahu musuhnya tak siap berperang di bulan Ramadhan. Di lukisan
itu Pangeran Diponegoro tetap digambarkan berdiri dalam pose siaga yang tegang. Wajahnya
yang bergaris keras tampak menahan marah, tangan kirinya yang mengepal menggenggam
tasbih.

Lukisan tentang peristiwa penangkapan Pangeran Diponegoro oleh Jendral De Cock pada
tahun 1830 yang terjadi di rumah kediaman Residen Magelang. Dalam lukisan itu tampak
Raden Saleh menggambarkan dirinya sendiri dengan sikap menghormat menyaksikan
suasana tragis tersebut bersama-sama pengikut Pangeran Diponegoro yang lain. Jendral De
Kock pun kelihatan sangat segan dan menghormat mengantarkan Pangeran Diponegoro
menuju kereta yang akan membawa beliau ke tempat pembuangan.
Pada saat penangkapan itu, beliau berada di Belanda. Setelah puluhan tahun kemudian
kembali ke Indonesia dan mencari informasi mengenai peristiwa tersebut dari kerabat
Pangeran Diponegoro. Dari usaha dan karya tersebut, tidaklah terlalu berlebihan bila beliau
mendapat predikat sebagai Pahlawan Bangsa. Akhirnya, reputasi karya yang ditunjukkan oleh
prestasi artistiknya, membuat Raden Saleh dikenang dengan rasa bangga.

Dari beberapa yang masih ada, salah satunya lukisan kepala seekor singa, kini tersimpan
dengan baik di Istana Mangkunegaran, Solo. Lukisan ini dulu dibeli seharga 1.500 gulden.
Berapa nilainya sekarang mungkin susah-susah gampang menghitungnya. Sekadar
perbandingan, salah satu lukisannya yang berukuran besar, Berburu Rusa, tahun 1996 terjual
di Balai Lelang Christie's Singapura seharga Rp 5,5 miliar.

Tahun 1883, untuk memperingati tiga tahun wafatnya diadakan pameran-pameran lukisannya
di Amsterdam, di antaranya yang berjudul Hutan Terbakar, Berburu Kerbau di Jawa, dan
Penangkapan Pangeran Diponegoro. Lukisan-lukisan itu dikirimkan antara lain oleh Raja
Willem III dan Ernst dari Sachsen-Coburg-Gotha.
Memang banyak orang kaya dan pejabat Belanda, Belgia, serta Jerman yang mengagumi
pelukis yang semasa di mancanegara tampil unik dengan berpakaian adat ningrat Jawa
lengkap dengan blangkon. Di antara mereka adalah bangsawan Sachsen Coburg-Gotha,
keluarga Ratu Victoria, dan sejumlah gubernur jenderal seperti Johannes van den Bosch, Jean
Chrétien Baud, dan Herman Willem Daendels.
Tak sedikit pula yang menganugerahinya tanda penghargaan, yang kemudian selalu ia
sematkan di dada. Di antaranya, bintang Ridder der Orde van de Eikenkoon (R.E.K.),
Commandeur met de ster der Frans Joseph Orde (C.F.J.), Ksatria Orde Mahkota Prusia
(R.K.P.), Ridder van de Witte Valk (R.W.V.), dll.
Sedangkan penghargaan dari pemerintah Indonesia diberikan tahun 1969 lewat Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan, secara anumerta berupa Piagam Anugerah Seni sebagai Perintis
Seni Lukis di Indonesia. Wujud perhatian lain adalah, pembangunan ulang makamnya di
Bogor yang dilakukan oleh Ir. Silaban atas perintah Presiden Soekarno, sejumlah lukisannya
dipakai untuk ilustrasi benda berharga negara, misalnya akhir tahun 1967, PTT mengeluarkan
perangko seri Raden Saleh dengan reproduksi dua lukisannya bergambar binatang buas yang
sedang berkelahi.
Berkat Raden Saleh, Indonesia boleh berbangga melihat karya anak bangsa menerobos
museum akbar seperti Rijkmuseum, Amsterdam, Belanda, dan dipamerkan di museum
bergengsi Louvre, Paris, Perancis.

"A Flood on Java" by Raden Saleh, Year: 1865-1876


Salah satu lukisan karya Raden Saleh berjudul " Berburu (Hunt), 1811-1880" media lukisan
cat minyak diatas canvas, dikoleksi oleh Museum Mesdag, Belanda.

"Lion and Tiger Fighting" by Raden Saleh, Year: 1811-1880


"Arab attacked by Lion" by Raden Saleh, Year: 1811 - 1880

"Berburu Singa" by Raden Saleh, Size: 74cm x 115cm, Medium: oil on canvas, Year: 1839
"Fighting with a Lion" by Raden Saleh, Year: 1870

"Forest Fire and fleeing Animals" by Raden Saleh, Year: 1811 - 1880
"Lion and Horse Fighting" by Raden Saleh, Year: 1811 - 1880

"Lion Hunt on Java" by Raden Saleh, Year: 1811 - 1880


"Lion Hunt" by Raden Saleh, Year: 1811 - 1880

"Lion, Horse and Snake" by Raden Saleh, Year: 1811 - 1880


"Nursing Tiger" by Raden Saleh, Year: 1811 - 1880

"Penangkapan Diponegoro I" by Raden Saleh, Medium: Oil on canvas, Size: 77cm x 110cm,
Year: 1830
"Penangkapan Diponegoro II" by Raden Saleh, Medium: Oil on canvas, Size: 112cm x
178cm, Year: 1857

"Ship in Storm I" by Raden saleh, Year: 1811 - 1880


"Ship in Storm II" by Raden saleh, Year: 1811 - 1880

"Javanese Landscape, with tiger listening to the sound of a travelling group" by Raden-Saleh,
Medium: oil on canvas, Size: 112cm x 156,5cm, Year: 1810 – 1880
S. SUDJOJONO

lahir di Kisaran, Sumatera Utara 14 Desember 1913, dan wafat di Jakarta 25 Maret 1985.
Soedjojono lahir dari keluarga transmigran asal Pulau Jawa. Ayahnya, Sindudarmo, adalah
mantri kesehatan di perkebunan karet Kisaran, Sumatera Utara, beristrikan seorang buruh
perkebunan. Ia lalu dijadikan anak angkat oleh seorang guru HIS, Yudhokusumo. Oleh bapak
angkat inilah, Djon (nama panggilannya) diajak ke Jakarta (waktu itu masih bernama
Batavia) pada tahun 1925. Ia menamatkan HIS di Jakarta, lalu melanjutkan SMP di Bandung,
dan menyelesaikan SMA di Perguruan Taman Siswa di Yogyakarta. Di Yogyakarta itulah ia
sempat belajar montir sebelum belajar melukis kepada R.M. Pringadie selama beberapa
bulan. Sewaktu di Jakarta, ia belajar kepada pelukis Jepang, Chioji Yazaki.

S. Sudjojono sempat menjadi guru di Taman Siswa seusai lulus dari Taman Guru di
perguruan yang didirikan oleh Ki Hajar Dewantara itu. Ia ditugaskan oleh Ki Hajar
Dewantara untuk membuka sekolah baru di Rogojampi, Banyuwangi, tahun 1931. Namun ia
kemudian memutuskan untuk menjadi pelukis. Pada tahun 1937, ia ikut pameran bersama
pelukis Eropa di Kunstkring Jakarya, Jakarta. Inilah awal namanya dikenal sebagai pelukis,
Pada tahun itu juga ia menjadi pionir mendirikan Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi).
Oleh karena itu, masa itu disebut sebagai tonggak awal seni lukis modern berciri Indonesia.
Ia sempat menjabat sebagai sekretaris dan juru bicara Persagi. Selain sebagai pelukis, ia juga
dikenal sebagai kritikus seni rupa pertama di Indonesia.

Lukisanya memiliki karakter Goresan ekspresif dan sedikit bertekstur, goresan dan sapuan
bagai dituang begitu saja ke kanvas, pada periode sebelum kemerdekaan, karya lukisan
S.Sudjojono banyak bertema tentang semangat perjuangan rakyat Indonesia dalam mengusir
penjajahan Belanda, namun setelah jaman kemerdekaan kemudian karya Lukisanya banyak
bertema tentang pemandangan Alam, Bunga, aktifitas kehidupan masayarakat, dan cerita
budaya.
"Ngaso" by S. Sudjojono, Size: 140cm x 100 cm, Medium: Oil on canvas, Year: 1964

"Pertemuan di Tjikampek yang Bersedjarah" by S. Sudjojono, Size: 104cm x 152 cm,


Medium: Oil on canvas, Year: 1964
"Kami" by S.-Sudjojono, Auction by Sotheby's Hongkong

"Pelabuhan Tanjung Priok" by S.Sudjojono, Auction by Sotheby's Hongkong


"Didalam kampung" by S.Sudjojono, Medium: Oil on canvas, Size: 130cm x 150,5cm, Year:
1950

"Didepan kelambu terbuka" by S.Sudjojono, Medium: Oil on canvas, Size: 86cm x 66cm
"Kawan-kawan revolusi" by S.Sudjojono, Medium: oil on canvas, Size: 95cm x 149cm

"Mengungsi" by S.Sudjojono, Medium: oil on canvas, Size: 104cm x 144cm, Year: 1947
"Potret Seorang Tetangga" by S.Sudjojono, Medium: Oil on Canvas, Size: 120,5cm x 151cm,
Year: 1950

"Seko (perintis gerilya)" by S.Sudjojono, Medium: oil on canvas, Size: 173,5cm x 194cm
"Figur lelaki" by S.Sudjojono, Size: 55cm x 45cm, Medium: oil on canvas, Year: 1976

"Still life" by S.Sudjojono, Medium: oil on board, Size: 74,5cm x 54,5cm, Year: 1963
"Kampung Nelayan Kalibaru" by S.Sudjojono, Medium: oil on board, Size: 100cm x 165cm,
Year: 1970

"Pura Kembaran, Sanur" by S.Sudjojono, Medium: oil on board, Size: 102cm x 81cm, Year:
1972
DULLAH

Pelukis Dullah lahir di Solo, Jawa Tengah, 17 September 1919, ia dikenal sebagai seorang
pelukis realis. Corak lukisannya realistik. Mempunyai kegemaran melukis portrait (wajah)
dan komposisi-komposisi yang menampilkan banyak orang (group). Diakui, Dullah belajar
melukis dari dua orang Gurunya yang sekaligus merupakan pelukis ternama, yaitu S.
Sudjojono dan Affandi. Meskipun demikian corak lukisannya tidak pernah mempunyai
persamaan dengan dua orang gurunya tersebut.

Pernah dikenal sebagai pelukis istana selama 10 tahun sejak awal tahun 1950-an, dengan
tugas merestorasi lukisan (memperbaiki lukisan-lukisan yang rusak) dan menjadi bagian
dalam penyusunan buku koleksi lukisan Presiden Soekarno. Dullah juga dikenal sebagai
pelukis revolusi, karena dalam karya-karyanya banyak menyajikan lukisan dengan tema-tema
perjuangan selama masa mempertahankan kemerdekaan.
Pada waktu perang kemerdekaan II, saat Yogyakarta diduduki oleh tentara Belanda pada 19
Desember 1949 hingga 29 Juni 1950, Dullah memimpin anak didiknya yang masih belum
berumur 17 tahun untuk melukis langsung peristiwa-peristiwa selama pendudukan
Yogyakarta sebagai usaha pendokumentasian sejarah perjuangan bangsa. Lukisan-lukisan
yang dihasilkan ketika itu diulas di surat-surat kabar, bahkan oleh Affandi dinilai sebagai
karya satu-satunya di dunia.

Dullah merupakan salah seorang pelukis realis yang jarang berpameran. Tapi pamerannya
bersama anak-anaknya di Gedung Agung (Istana Kepresidenan Yogya) tahun 1978, berhasil
menarik puluhan ribu orang. Meskipun pameran diperpanjang satu hari, pintu gerbang
Gedung Agung bagian Utara sempat pula jebol. Pameran itu dilanjutkan 20 Desember 1979
hingga 2 Januari 1980, di Aldiron Plaza, Jakarta. Banyak orang kecewa karena ia tak menjual
lukisannya.
Bagi Dullah, melukis adalah media untuk berkomunikasi dengan masyarakat. Dullah
termasuk pendiri Himpunan Budaya Surakarta (HBS). Kemudian didirikannya sebuah
sanggar di Pejeng, Bali. Pada setiap pameran baik didalam atau diluar negeri, karya murid-
muridnya ikut disertakan.

Ia juga menulis sajak, beberapa sajaknya dimuat dalam bunga rampai sastra Indonesia yang
di himpun oleh H.B Jassin. Pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan terbit dalam
sebuah kumpulan di Pakistan. Sebuah puisinya yang berjudul Anak Rakyat ditulis tahun 1943
dan dimuat dalam Gema Tanah Air, barangkali sudah mengisyaratkan kegandrungannya
kepada tema perjuangan dalam lukisan-lukisannya. Dullah mendirikan museum pribadi di
Solo pada tahun 70-an, dan hingga kini museum tersebut masih representatif dan dikelola
oleh pemerintah Kotamadya Surakarta.

Banyak lukisan-lukisannya yang menjadi koleksi pejabat-pejabat penting pemerintahan,


kolektor seni baik dalam maupun luar negeri, tokoh masayarakat dan orang terkemuka,
diantaranya Presiden pertama RI Soekarno, Wakil Presiden pertama RI Muhammad Hatta,
Adam Malik, mantan Presiden Amerika Serikat Eisenhower, mantan Wakil Presiden Amerika
Serikat Walter Mondale, mantan Perdana Menteri Australia Rudolf Menzies dan museum
seni lukis di Ceko.
"Di depan pura" by Dullah, Size: 68cm x 54cm, Medium: Oil on canvas, Year: 1969

"Gadis Bali" by Dullah, Size: 60cm x 50cm, Medium: Oil on canvas


"Gunung Lawu-Jawa Tengah" by Dullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 130cm X 180cm,
Year: 1953

"Halimah gadis Aceh" by Dullah, Medium: oil on canvas, Size: 94,5cm X 74cm
"Hutan di Gunung Merapi-Jawa Tengah" by Dullah, Medium: oil on canvas, Size: 221cm x
122cm

"Kebun Sayur" by Dullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 96cm x 151cm


"Landscape Ngarai" by Dullah, Size: 70cm x 135cm, Medium: Oil on canvas

"Ngarai Minagkabau-Sumatera" by Dullah, Medium: oil on canvas, Size: 140cm x 72cm

"Pemadangan di Kintamani" by Dullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 174cm x 349cm,


Year: 1952
"Pemuda lampung berpakain adat" by Dullah, Medium: Oil on canvas, Size: 120cm x 59cm,
Year: 1952

"Persiapan gerilya" by Dullah, Medium: oil on canvas, Size: 178cm x 197cm


"Persiapan Kebun Istana Presiden Soekarno sewaktu di Jogja" by Dullah, Medium: oil on
canvas, Size: 90cm x 125cm

"Pintu gerbang suatu kampung di Bali" by Dullah, Medium: oil on canvas, Size: 66cm x
84cm
"Praktek tentara pendudukan asing" by Dullah, Medium: Oil on canvas, Size: 136,5cm x
199cm

"Sawah dikaki gunung Lawu" by Dullah, Medium: Oil on canvas, Size: 92cm x 148cm
"Sebuah pintu gerbang pura di Bali" by Dullah, Medium: Oil on canvas, Size: 159cm x
119cm

"Seorang model wanita" by Dullah, Medium: Oil on Canvas, Size: 90cm x 120cm
"Smoking old fellow" by Dullah, Size: 98cm x 67cm, Medium: Oil on canvas, Year: 1975

"Telaga Sarangan-Jawa Timur" by Dullah, Medium: oil on canvas, Size: 87cm x 114cm
"Gadis Bali" by Dullah, Medium: oil on canvas, Size: 60cm x 50cm

"Girl with offering passing the tample" by Dullah, Medium: Oil on canvas, Size: 90cm x
60cm
"Kakek" by Dullah , Size: 50cm x 40cm, Medium: oil on canvas

"Penari Bali"by Dullah , Size: 556 x 60cm, Medium: oil on canvas


HENDRA GUNAWAN

Hendra Gunawan lahir di Bandung, Jawa Barat pada tahun 1918, dan Wafat di Denpasar,
Bali. 17 Juli 1983.
Hendra Gunawan adalah seorang pelukis, penyair, pematung dan pejuang gerilya. Selama
masa mudanya ia bergabung dengan tentara pelajar dan merupakan anggota aktif dari Poetera
(Pusat Tenaga Rakyat) dan organisasi yang dipimpin oleh Sukarno dan lain-lain. Ia juga aktif
dalam Persagi (Asosiasi Pelukis Indonesia, sebuah organisasi yang didirikan oleh S.
Soedjojono dan Agus Djaya pada tahun 1938.

Hendra Gunawan memiliki komitmen dalam pandangan politiknya, mengabdikan hidupnya


untuk memerangi kemiskinan, ketidak adilan dan kolonialisme. Dia dipenjara di Kebon Waru
atas keterlibatannya di Institut Budaya Populer (Lekra), sebuah organisasi budaya yang
berafiliasi dengan komunis sekarang sudah tidak berfungsi, Partai Indonesia (PKI).
Penahanan Hendra Gunawan selama 13 Tahun dimulai pada tahun 1965 hingga tahun 1978.
Selama di dalam penjara beliau tetap aktif berkarya membuat lukisan bertema tentang
kehidupan masyarakat pedesaan pada jamanya, seperti: Panen Padi, berjualan buah,
kehidupan nelayan, suasana panggung tari-tarian, dll. Hampir disemua Lukisanya berlatar
belakang alam.

Dengan talenta sebagai seorang Pelukis senior dan memiliki karakter karya Lukisan yang
khas, menjadikan namanya masuk dalam daftar Pelukis Maestro Legendaris ternama
Indonesia.

Karakter Lukisan beliau sangat berani dengan ekspresi goresan cat tebal, dan ekspresi warna
kontras apa adanya, karya Lukisanya banyak dikoleksi oleh para kolektor dalam negeri.
Perjalanan Aliran Lukisan karya Hendra Gunawan pada awalnya adalah realism yang
melukiskan tema-tema tentang perjuangan sebelum kemerdekaan, namun setelah era
kemerdekaan, karya-karya lukisan ber metamorfosa kedalam aliran lukisan ekspresionism,
tema-tema lukisanya tentang sisi-sisi kehidupan masyarakat pedesaan.
" Ali Sadikin " by Hendra Gunawan, Medium: oil on canvas

"Mencari kutu rambut" by Hendra Gunawan, Medium: oil on canvas, Size: 84cm x 65cm,
Year: 1953
"Buffalo Cowboy" by Hendra Gunawan

"Flower Vendor" by Hendra Gunawan


"Landscape" by Hendra Gunawan

"Nude by the River" by Hendra Gunawan


"Snake Dancer" by Hendra Gunawan

"Pohon besar di tepi pantai" by Hendra Gunawan, Medium: oil on canvas, Size: 146cm x
90cm, Year: 1974
"Hendra Gunawan, Banana vendors" by Hendra Gunawan, Medium: oil on canvas,
Size: 88cm x 147 cm, Year: 1981

"Pemain musik jalanan" by Hendra Gunawan, Medium: oil on canvas, Size: 118cm x 132 cm
"Seated woman with an umbrella" by Hendra Gunawan, Medium: oil on canvas, Size: 133cm
x 94cm

"Urbanite" by Hendra Gunawan, Medium: oil on canvas, Size: 107cm x 129cm, Year: 1975

Anda mungkin juga menyukai