Anda di halaman 1dari 20

RINGKASAN

Pengaruh Media Terhadap Kualitas Cabai Hias (Capsicum sp.) dalam Pot.
Cabai (Capsicum sp.) disamping bernilai komersial juga menarik bila dijadikan
sebagai tanaman hias. Kualitas cabai sebagai tanaman hias yang diharapkan diantaranya ialah
mempunyai tinggi tanaman yang proporsional dengan pot, mempunyai banyak cabang
sehingga tanaman terlihat lebih rimbun, mempunyai banyak buah sebagai daya tarik tanaman
hias buah, dan mempunyai keragaan yang disukai oleh konsumen. Tanaman cabai hias
biasanya ditanam dalam pot, oleh karena itu perlu digunakan jenis media yang dapat
menunjang pertumbuhan tanaman, tidak mahal, dan bebas gulma, hama serta patogen
penyakit sehingga menghasilkan tanaman dengan kualitas yang baik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh media terhadap kualitas tiga
genotipe cabai sebagai tanaman hias dalam pot. Penelitian ini dilaksanakan di Agropromo
Nursery Departemen Budidaya Pertanian IPB, Baranang Siang- Bogor, pada elevasi 250 m di
atas permukaan laut. Penelitian dilakukan di bawah atap plastik dan naungan paranet 55%
dengan menggunakan rancangan petak terbagi RAK. Genotipe cabai (G) sebagai petak utama
dan media tanam (M) sebagai anak petak. Petak utama terdiri dari tiga taraf yaitu genotipe
Brazil (G1), genotipe Jepang (G2), dan genotipe Singapura (G3). Anak petak terdiri dari tiga
taraf media dengan perbandingan berdasarkan v/v yaitu arang sekam : tanah : pupuk kandang
dengan perbandingan 2:1:1 (M1), serbuk gergaji:tanah:pupuk kandang dengan perbandingan
2:1:1 (M2), dan kokopit:tanah:pupuk kandang dengan perbandingan 2:1:1 (M3).
Percobaan terdiri dari 9 kombinasi perlakuan dan 4 ulangan, maka terdapat 36 satuan
percobaan. Setiap satuan percobaan terdapat 3 tanaman, maka total tanaman sebanyak 108.
Bibit cabai berasal dari Balai Penelitian Tanaman Hias (Balithi), Cipanas. Tanaman yang
digunakan berumur 6 minggu setelah semai (MSS), tinggi 4-6 cm, dan jumlah daun 6-8 helai.
Perlakuan media berbeda nyata pada peubah tinggi tanaman, jumlah cabang, waktu bunga
pertama muncul, waktu buah pertama muncul, jumlah buah per cabang, jumlah bunga total
dan jumlah buah total. Respon genotipe berbeda nyata pada peubah tinggi tanaman, jumlah
cabang, waktu bunga pertama muncul, waktu buah pertama muncul, rasio panjang dengan
diameter buah, persentase jumlah bunga yang menjadi buah per cabang, dan jumlah buah per
cabang. Respon genotipe terhadap media berbeda nyata pada peubah tinggi tanaman, jumlah
cabang, waktu buah pertama muncul, persentase jumlah bunga yang menjadi buah per
cabang, dan jumlah buah per cabang.
Hasil uji kesukaan menunjukkan respon genotipe terhadap media berbeda nyata pada
pengamatan terhadap proporsional tanaman dengan pot, penampilan fisik tanaman,
penampilan warna daun dan buah, serta keragaan tanaman secara keseluruhan. Media M3
(kokopit:tanah:pupuk kandang) merupakan media terbaik untuk kualitas cabai hias dalam pot.
Genotipe G1 (Brazil) mempunyai jumlah bunga dan buah total terbanyak. Genotipe G2
(Jepang) mempunyai waktu bunga dan buah pertama muncul yang paling cepat. Genotipe G3
(Singapura) mempunyai jumlah cabang terbanyak.
Tanaman cabai hias pada media M3 (kokopit:tanah:pupuk kandang) mempunyai
keragaan terbaik pada 9 MSP (10 MST). Genotipe G1 (Brazil) dan G2 (Jepang) pada media
M3 (kokopit:tanah:pupuk kandang) mempunyai tinggi tanaman yang proporsional dengan
pot, mempunyai banyak cabang dan buah, serta mempunyai keragaan yang disukai oleh
konsumen. Genotipe G3 (Singapura) pada media M3 (kokopit:tanah:pupuk kandang)
mempunyai tinggi tanaman yang tidak proporsional dengan pot tetapi mempunyai banyak
cabang dan buah sehingga tanaman terlihat lebih rimbun, dan keragaannya masih disukai
oleh konsumen.
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Permintaan akan tanaman hias di Indonesia semakin berkembang sejalan dengan
meningkatnya kesadaran akan lingkungan hidup yang indah dan nyaman. Data statistik
menunjukkan bahwa persentase perkembangan volume ekspor tanaman hias tahun 1999-
2004 sebesar 1.13%, sedangkan volume impor sebesar 34.07% *). Oleh karena itu, perlu
diupayakan suatu cara untuk mendapatkan tanaman yang berkualitas baik dan berpotensi
untuk dikembangkan di Indonesia. Cabai (Capsicum sp.) dalam pot, disamping bernilai
komersial juga menarik bila dijadikan sebagai tanaman hias. Tanaman cabai merupakan
salah satu tanaman hias buah yang biasa ditanam dalam pot, dan dapat berfungsi baik
sebagai tanaman hias dalam ruang dan di luar ruangan (Setiadi, 2002). Tanaman cabai
hias dapat dinikmati segi estetikanya baik dari daun, bunga maupun buahnya (Hessayon,
1993).
Penanaman cabai sebagai tanaman hias mempunyai tujuan yang berbeda dengan
penanaman cabai untuk produksi. Cabai sebagai tanaman hias harus mempunyai kualitas
tanaman yang dapat menambah keindahan. Kualitas yang diharapkan diantaranya ialah
mempunyai tinggi tanaman yang proporsional dengan pot, mempunyai banyak cabang
sehingga tanaman terlihat lebih rimbun, mempunyai banyak buah sebagai daya tarik
tanaman hias buah, dan mempunyai keragaan yang disukai oleh konsumen. Menurut
Macmillan’s (1991) banyak varietas cabai yang dapat diusahakan. Buahnya berwarna
hijau sampai orange atau merah terang. Menurut Bosland dan Votava (1999) tanaman
cabai dibedakan berdasarkan tipe atau bentuk buah, warna buah, tingkat kepedasan,
aroma, dan rasa serta kegunaannya. Tanaman cabai hias dikenal sebagai tanaman pot
yang sangat populer di Eropa dan mulai dikenal di Amerika Serikat
Keuntungan menanam cabai hias dalam pot ialah penanamannya yang mudah,
waktu penanaman relatif pendek, toleransi pada suhu tinggi dan rendah, dan mempunyai
kualitas yang sangat baik (Bosland dan Votava, 1999). Purwono (2003) menambahkan
bahwa keuntungan menanam cabai dalam pot adalah perawatan tanaman menjadi lebih
mudah karena syarat tumbuh tanaman dapat dipenuhi, dan praktis karena tanaman dalam
pot mudah dipindahkan dari satu tempat ke tempat yang lain. Banyak alternatif media
selain tanah yang mulai digunakan sebagai media tanam dalam pot. Hal yang menjadi
pertimbangan konsumen dalam memilih media yang akan digunakan, diantaranya
ketersediaan bahan media, harga, dan mudah tidaknya media ditangani. Harjadi (1989)
menyatakan bahwa memproduksi tanaman dalam pot memerlukan media tanam dengan
sifat yang mudah dikelola, tidak mahal, bebas gulma dan patogen penyakit. Oleh karena
itu media tanam harus merupakan bahan yang memungkinkan akar berpegang kuat, ada
aerasi, dan mempunyai daya pegang air yang baik. Menurut Wuryaningsih et al. (2001)
pemanfaatan kokopit dan serbuk gergaji sebagai media tanpa tanah mempunyai beberapa
keuntungan, antara lain mempunyai kemampuan menahan air tinggi, kualitas media
cukup baik, mudah didapat, harganya murah, dan ramah terhadap lingkungan. Sumarni
dan Rosliani (2001) menyatakan bahwa media arang sekam mudah didapat dan
mempunyai sifat fisik dan kimia yang baik sebagai media tumbuh.

1.2. Tujuan
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh media terhadap kualitas tiga
genotipe cabai sebagai tanaman hias dalam pot.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskripsi Umum


Cabai (Capsicum spp.) adalah salah satu anggota famili Solanaceae. Genus
Capsicum mempunyai beberapa spesies yang umum di Indonesia, diantaranya Capsicum
annum, Capsicum frutescens L., Capsicum pubescens Ruiz & Pavon. Cabai termasuk
dalam Kingdom plantae, Divisi Magnoliophyta, Kelas Magnoliosida, dan Ordo Solanales
(Bosland dan Votava, 1999). Menurut Macmillan’s (1991) cabai merupakan tanaman
annual atau perennial dan merupakan tanaman yang menyemak. Bentuk daun umumnya
bulat telur, lonjong, dan oval dengan ujung runcing tergantung pada jenis dan
varietasnya. Bosland dan Votava (1999) menyatakan bahwa daun cabai mempunyai
banyak variasi bentuk, ukuran, dan warna. Daunnya bisa tipis licin atau berkerut, dan
glabrous atau subglabrous. Yamaguchi dan Rubatzky (1999) menambahkan bahwa
tanaman cabai biasanya tegak lurus dan bercabang banyak. Siemonsma dan Piluek
(1994) menyatakan bahwa biji cabai berkecambah pada umur 6-21 hari setelah disemai
dan mulai berbunga pada umur 60-90 hari. Bunga mekar selama 2-3 hari dan buah
matang pada umur 4-5 minggu setelah berbunga.
Genus Capsicum dapat dibedakan berdasarkan karakteristik bunga dan buahnya.
Capsicum annum mempunyai bunga berwarna putih, serbuk sari berwarna biru atau
ungu, calyx yang bergerigi, dan mempunyai bunga dan buah tunggal pada ketiak batang.
Capsicum frutescens mempunyai bunga berwarna putih kehijauan, calyx tidak bergerigi,
serbuk sari berwarna biru, dan mempunyai buah tunggal tetapi dengan bunga yang lebih
dari satu pada ketiak cabang. Capsicum pubescens mempunyai bunga berwarna ungu,
buah berwarna kuningorange, dan mempunyai biji yang unik berwarna hitam (Greenleaf,
1986). Bosland dan Votava (1999) menyatakan bahwa cabai berbunga hermaprodit dan
mempunyai mahkota dengan 5-7 petal bunga. Menurut Macmillan’s (1991) buah cabai
mempunyai bentuk yang bundar hingga lonjong. Yamaguchi (1999) menambahkan
bahwa warna buah cabai sangat bervariasi antara lain hijau, kuning, atau kadang-kadang
ungu saat buah masih muda dan kemudian berubah menjadi merah, orange, kuning, atau
percampuran dari warna-warna tersebut saat perkembangan lebih lanjut.
2.2. Syarat Tumbuh
Siemonsma dan Piluek (1994) menyatakan bahwa biji cabai dapat berkembang
baik pada suhu 25-30oC dan suhu yang optimal untuk pertumbuhannya ialah antara 18-
30oC. Pada suhu lingkungan di bawah 15oC dan di atas 30oC dapat menyebabkan
tanaman cabai mengalami gugur bunga dan viabilitas serbuk sari menjadi turun. Menurut
El-Aidy et al. (1989) tanaman cabai merah dibawah naungan akan tumbuh lebih vigor,
yaitu dengan memperlihatkan tinggi tanaman yang lebih tinggi, bobot kering dan luas
daun yang meningkat. Naungan dapat meningkatkan jumlah klorofil dan juga
meningkatkan efisiensi fotosintesis pada tanaman.
Hessayon (1993) menyatakan bahwa tanaman cabai hias memerlukan cahaya
matahari yang terang pada pagi atau sore hari. Menurut Siemonsma dan Piluek (1994)
tanaman cabai toleran pada kondisi naungan mencapai 45% radiasi sinar matahari pada
umumnya, walaupun naungan mungkin dapat menunda pembungaan. Yamaguchi dan
Rubatzky (1999) menambahkan bahwa cabai merupakan tanaman yang tidak sensitif
terhadap fotoperiode. Siemonsma dan Piluek (1994) menyatakan bahwa tanaman cabai
dapat tumbuh baik pada tanah lembab dengan drainase yang baik pada pH berkisar 5.5 –
6.8. Tanaman cabai dapat tumbuh pada ketinggian tempat dengan kisaran yang luas dan
curah hujan antara 600-1250 mm. Kebutuhan hara makro pada media yang diperlukan
untuk mendukung pertumbuhan tanaman cabai yaitu unsur N sebanyak 4-6%, unsur P
sebanyak 0.35-1%, dan unsur K sebanyak 4-6% (Jones et al., 1991).

2.3. Media Tanam


Media tanam merupakan salah satu unsur penting dalam menunjang pertumbuhan
tanaman secara baik. Tanaman mengambil air dan nutrisi dari media pertumbuhan
melalui akar (Adams et al., 1995). Menurut Arifin dan Arifin (2002) sebagian besar
unsur-unsur hara yang dibutuhkan tanaman dipasok melalui media tanam yang
selanjutnya diserap oleh perakaran dan digunakan untuk proses fisiologi tanaman. Media
tanam yang baik antara lain yang bersifat dapat menyerap air secara baik, cukup
memiliki ruang yang porous, sehingga pada saat tanah basah diharapkan oksigen masih
cukup diperoleh melalui perakaran.
Menurut Soepardi (1983) banyak bahan yang dapat digunakan sebagai media
tumbuh tanaman, dengan atau tanpa tanah. Media tanam terdiri dari dua tipe yaitu
campuran tanah (soil-mixes) yang mengandung tanah alami dan campuran tanpa tanah
(soilles-mixes) yang tidak mengandung tanah alami. Pada prinsipnya suatu media
tumbuh harus mempunyai empat fungsi pokok untuk memberikan pertumbuhan yang
baik bagi tanaman, yaitu harus dapat menunjang tanaman, mempunyai aerasi yang baik,
menahan air tersedia dan menyimpan hara bagi tanaman. Jenis tanah dengan sifat ideal
tersebut sangatlah terbatas, oleh karena itu pencampuran tanah dengan bahan-bahan lain
seperti kompos, pasir, dan pupuk ditujukan agar keempat fungsi pokok di atas dapat
dicapai.
Edmond et al. (1957) menyatakan bahwa pertumbuhan tanaman dalam pot atau
wadah berbeda dengan pertumbuhan tanaman di bedengan pada kebun atau lapang.
Volume tanah dalam pot sangat kecil sehingga sangat membatasi sistem perakaran,
persediaan hara, dan pemberiaan air yang sering dapat menyebabkan pencucian nitrat
dan hara lainnya. Oleh sebab itu tanah dalam pot ditingkatkan kesuburannya dengan
pemakaian bahan organik. Tjia (2000) menyatakan bahwa tanah dengan kandungan
lempung tinggi harus dicampur dengan bahan organik dan bahan anorganik. Bahan
organik seperti serbuk sabut kelapa dan sekam bakar, serta bahan anorganik seperti
zeolit, batu apung dan pasir dapat digunakan sebagai campuran tanah. Penambahan
bahan organik dan anorganik juga dapat memperbaiki sifat fisik tanah dengan kandungan
pasir tinggi sehingga sesuai untuk media pot.
BAB III
BAHAN DAN METODE

3.1. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian dilakukan dari bulan Februari 2005 sampai Mei 2005 di Agropromo
Nursery Departemen Budidaya Pertanian IPB, Baranang Siang- Bogor, pada elevasi 250
m di atas permukaan laut.

3.2. Bahan dan Alat


Bahan yang digunakan ialah bibit cabai hias yang berumur 6 minggu setelah semai
(MSS) dari tiga genotipe cabai hias yaitu genotipe Brazil, genotipe Jepang, dan genotipe
Singapura. Media tanam yang digunakan adalah tanah, pupuk kandang kambing, arang
sekam, serbuk gergaji dan kokopit. Pupuk yang digunakan adalah TSP, Urea, KCl, NPK
15:15:15, dan Growmore 32:10:10. Insektisida yang digunakan adalah Canon dan
Curacron, sedangkan fungisida yang digunakan adalah Dithane M-45. Alat-alat yang
digunakan ialah pot dengan diameter 15 cm, paranet 55% sebagai naungan, plastik PE
(polyethylene), rak tanaman, hand sprayer, meteran, alat budidaya dan alat tulis.

3.3. Metode percobaan


Penelitian ini dilakukan di bawah atap plastik dan naungan paranet 55 % dengan
menggunakan rancangan petak terbagi RAK. Genotipe cabai (G) sebagai petak utama
dan media tanam (M) sebagai anak petak Petak utama terdiri dari tiga taraf yaitu
genotipe Brazil (G1), genotipe Jepang (G2), dan genotipe Singapura (G3). Anak petak
terdiri dari tiga taraf media dengan perbandingan sama yaitu 2:1:1 berdasarkan v/v yaitu
arang sekam:tanah:pupuk kandang (M1), serbuk gergaji:tanah:pupuk kandang (M2), dan
kokopit:tanah:pupuk kandang (M3). Percobaan terdiri dari 9 kombinasi perlakuan dan 4
ulangan maka terdapat 36 satuan percobaan. Setiap satuan percobaan terdapat 3 tanaman,
maka total tanaman sebanyak 108. Model linier untuk setiap pengamatan pada percobaan
adalah : Yijk : μ+ ρi+ Gj+ (ρ*G)ij+Mk + (G*M)jk + εijk
Keterangan :
Yijk = Respon perlakuan
μ = Rataan umum
ρi = Pengaruh ulangan
Gj = Pengaruh faktor utama (genotipe cabai)
(ρ*G)ij = Galat 1 (Interaksi ulangan x petak utama)
Mk = Pengaruh faktor anak petak (media)
(G*M)jk = Pengaruh interaksi faktor utama dan faktor anak petak
εijk = Pengaruh galat

Data diolah dengan uji F pada nilai α = 5%, apabila terdapat pengaruh perlakuan
yang berbeda nyata, selanjutnya data diuji dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) pada
taraf 5%.
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1. Keadaan Umum


Keadaan iklim selama penelitian sejak bulan Februari 2005 sampai Mei 2005
secara umum mengalami fluktuasi yaitu menunjukkan rata-rata suhu harian 21.4oC
sampai 33.4oC, dengan kelembaban 55.1% dan curah hujan rata-rata 400.67 mm/bulan.
Kondisi bibit cabai berumur 2 MSS yang diambil dari Balai Penelitian Tanaman Hias
(Balithi) pada awalnya mengalami pertumbuhan yang terhambat. Hal ini diduga sebagai
respon tanaman terhadap lingkungan yang baru karena pemindahan bibit secara langsung
dari daerah dataran tinggi ke dataran yang lebih rendah.
Persentase pertumbuhan bibit tanaman cabai mencapai 100% karena digunakan
bibit cabai yang vigor. Beberapa tanaman ada yang tumbuh kerdil karena masih
melakukan adaptasi sampai 1 MSP. Tanaman cabai merupakan tanaman yang rentan
terhadap serangan hama dan penyakit. Hama yang menyerang tanaman selama penelitian
yaitu sekitar 10% antara lain kutu daun (Aphis gossypii), thrips (Thrips tabaci), ulat
jengkal (Chrysodeixis chalcites), dan semut. Penyakit yang menyerang tanaman selama
penelitian yaitu sekitar 15% antara lain penyakit busuk pucuk (Choanephora
cucurbitarum), bercak daun (Cercospora capsici), dan embun tepung (Powdery mildew).
Pengamatan terhadap hama dan penyakit berdasarkan Ratna (2004). Selama penelitian
serangan hama dan penyakit tersebut tidak sampai mengganggu pertumbuhan tanaman
karena penyemprotan yang dilakukan secara rutin sehingga serangan hama dan penyakit
masih dapat dikendalikan.
Perbedaan dari ketiga genotipe ialah keragaan tanaman. Genotipe Brazil (G1)
mempunyai tajuk yang kompak, tidak terlalu tinggi, dan bentuk buah agak panjang yang
menjuntai ke bawah berwarna hijau muda yang berubah menjadi orange dan merah tua
saat matang. Genotipe Jepang (G2) mempunyai tajuk yang kompak, pendek, dan bentuk
buah yang oval bulat ke atas berwarna hijau muda pada awal perkembangan kemudian
terdapat semburat ungu lalu berubah menjadi warna orange dan merah tua saat matang.
Genotipe Singapura (G3) mempunyai tajuk yang menyebar, tinggi, bentuk buah yang
oval besar panjang ke atas, dan warna buah yang khas yaitu warna ungu pada awal
perkembangan yang berubah menjadi orange dan merah tua saat matang. Buah pada
genotipe G3 sebagian besar masih berwarna ungu atau belum mengalami perubahan
warna menjadi merah hingga akhir pengamatan (10 MSP). Beberapa buah genotipe G3
pada media M3 ada yang berwarna agak orange pada akhir pengamatan dan berubah
warna menjadi merah pada 7 hari setelah akhir pengamatan.
Kesegaran tanaman genotipe Jepang (G2) dan genotipe Brazil (G1) mulai
berkurang pada 10 MSP, sedangkan genotipe Singapura (G3) masih tampak segar hingga
akhir penelitian. Kesegaran yang berkurang terlihat dari daun tanaman yang mulai
kuning dan mengering.
Berikut merupakan gambar tanaman yang diambil pada akhir pengamatan

Gambar 1. Keragaan Tanaman Cabai Hias Genotipe Brazil (G1) pada 10 MSP
Keterangan:
G1M1: Genotipe Brazil pada media arang sekam:tanah:pupuk kandang
G1M2: Genotipe Brazil pada media sebuk gergaji:tanah: pupuk kandang
G1M3: Genotipe Brazil pada media kokopit:tanah:pupuk kandang

Gambar 2. Keragaan Tanaman Cabai Hias Genotipe Jepang (G2) pada 10 MSP
Keterangan:
G2M1: Genotipe Jepang pada media arang sekam:tanah:pupuk kandang
G2M2: Genotipe Jepang pada media sebuk gergaji:tanah: pupuk kandang
G2M3: Genotipe Jepang pada media kokopit:tanah: pupuk kandang

Gambar 3. Keragaan Tanaman Cabai Hias Genotipe Singapura (G2) pada 10 MSP
Keterangan:
G3M1: Genotipe Singapura pada media arang sekam:tanah:pupuk kandang
G3M2: Genotipe Singapura pada media sebuk gergaji:tanah: pupuk kandang
G3M3: Genotipe Singapura pada media kokopit:tanah: pupuk kandang

a. Pertumbuhan Vegetatif
Pertumbuhan dan perkembangan merupakan gejala-gejala yang saling
berhubungan. Pertumbuhan tanaman ditunjukkan dengan pertambahan ukuran (dan
biasanya dalam bobot kering) yang tidak dapat balik (irreversible). Sedangkan
perkembangan mencakup diferensiasi, dan ditunjukkan oleh perubahan yang lebih tinggi,
menyangkut spesialisasi secara anatomi dan fisiologis (Harjadi, 1996). Dalam penelitian
ini, pertumbuhan tanaman cabai hias ditunjukkan oleh perkembangan tinggi tanaman dan
jumlah cabang. Respon genotipe berbeda nyata pada peubah tinggi tanaman pada 1-10
MSP (Tabel Lampiran 3). Diduga karena genotipe yang digunakan memang mempunyai
keragaan tinggi yang berbeda. Perlakuan media berbeda nyata pada peubah tinggi
tanaman pada 1-7 MSP. Media M3 memberikan tinggi tanaman yang paling tinggi yaitu
18.82 cm pada 7 MSP.
Respon genotipe terhadap media berbeda nyata pada peubah tinggi tanaman pada
3-6 MSP (Tabel Lampiran 3). Genotipe G1 dan G2 mempunyai tinggi tanaman yang
paling tinggi pada media M3 yaitu 17.91 cm dan 10.06 cm, sedangkan genotipe G3
mempunyai tinggi tanaman yang paling tinggi pada media M2 yaitu 25.62 cm pada 6
MSP seperti disajikan pada Tabel 1. Grafik pertambahan tinggi tanaman genotipe G1
terlihat pada Gambar 4.
Tanaman genotipe G1 yang ditanam pada media M3 memberikan tinggi tanaman
yang paling tinggi. Grafik pertambahan tinggi tanaman genotipe G2 terlihat pada
Gambar 5. Tanaman genotipe G2 yang ditanam pada media M3 memberikan tinggi
tanaman yang paling tinggi. Grafik pertambahan tinggi tanaman genotipe G3 terlihat
pada Gambar 6. Tanaman genotipe G3 yang ditanam pada media M2 memberikan tinggi
tanaman yang paling tinggi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk parameter
pertumbuhan vegetatif tanaman (tinggi tanaman dan jumlah cabang), perlakuan media
M3 pada setiap genotipe memberikan respon paling baik yang ditunjukkan dengan
memiliki tinggi tanaman dan jumlah cabang terbaik. Media M1 memberikan respon
terendah yang ditunjukkan dengan memiliki tinggi tanaman dan jumlah cabang paling
rendah. Damayanti (2004) dalam penelitiannya mengemukakan bahwa bibit mangga
yang diberi perlakuan media arang sekam menghasilkan ratarata pertambahan tinggi
tanaman total yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan media kokopit.
Hasil pengamatan menunjukkan media M1 memiliki respon pertumbuhan vegetatif
yang paling rendah. Diduga tanaman yang ditanam pada media M1 tidak menyerap hara
sebaik tanaman yang ditanam pada media M2 dan M3, selain itu karena media arang
sekam yang digunakan terlalu sarang. Damayanti (2004) menyatakan bahwa media arang
sekam yang sarang selain menyebabkan bibit mangga mudah rebah juga menyebabkan
menurunnya daya pegang terhadap air sehingga jenis pupuk yang bersifat cepat tersedia
lebih banyak terbawa oleh air siraman daripada terserap oleh tanaman. Kualitas cabai
hias yang diinginkan yaitu mempunyai tinggi tanaman yang proporsional dengan pot dan
jumlah cabang yang banyak. Respon genotipe G1 dan G2 terhadap media M3
menghasilkan tanaman yang proporsional dengan pot.
Keragaan tanaman genotipe G1 dan G2 yang pendek memerlukan media yang
dapat memberikan tinggi tanaman paling tinggi dan mempunyai jumlah cabang yang
banyak agar proporsional. Genotipe G3 mempunyai keragaan tanaman yang tinggi
dengan tajuk yang menyebar. Tanaman genotipe G3 yang ditanam pada media M1
menghasilkan tanaman sesuai kualitas yang diinginkan karenamenghasilkan tanaman
yang tidak terlalu tinggi tetapi mempunyai jumlah cabang yang banyak. Menurut Bonar
et al. (1994) ukuran tanaman merupakan faktor yang penting dalam memilih tanaman
dalam pot.
b. Pertumbuhan Generatif
Respon genotipe berbeda nyata pada peubah waktu bunga pertama muncul (Tabel
Lampiran 4). Genotipe G2 mempunyai waktu bunga pertama muncul yangntercepat yaitu
29.66 HSP. Perlakuan media berbeda nyata pada peubah waktu bunga pertama muncul.
Media M3 memberikan waktu bunga pertama muncul yang tercepat yaitu selama 29.32
HSP seperti disajikan pada Tabel 3. Respon genotipe terhadap media tidak berbeda nyata
pada peubah waktu bunga pertama muncul (Tabel Lampiran 4). Ketiga genotipe
mempunyai waktu bunga pertama muncul yang terlama pada media M1. Genotipe G2
dan G3 mempunyai waktu bunga pertama muncul yang tercepat pada media M3 yaitu
25.99 HSP dan 33.58 HSP. Genotipe G1 mempunyai waktu bunga pertama muncul yang
tercepat pada media M2 yaitu 28.08 HSP walaupun tidak berbeda nyata dengan M3
(28.41 HSP) seperti disajikan pada Tabel 3.

Respon genotipe berbeda nyata pada peubah waktu buah pertama muncul (Tabel
Lampiran 4). Genotipe G2 mempunyai waktu buah pertama muncul yang tercepat yaitu
33.47 HSP. Perlakuan media berbeda nyata pada peubah waktu buah pertama muncul.
Media M3 memberikan waktu buah pertama muncul yang tercepat yaitu 33.33 HSP
seperti disajikan pada Tabel 4. Respon genotipe terhadap media berbeda nyata pada
peubah waktu buah pertama muncul. Ketiga genotipe memberikan waktu buah pertama
muncul terlama pada media M1. Genotipe G2 dan G3 mempunyai waktu buah pertama
muncul tercepat pada media M3 yaitu 29.25 HSP dan 39.00 HSP. Genotipe G1
mempunyai waktu buah pertama muncul tercepat pada media M2 yaitu selama 31.66
HSP seperti disajikan pada Tabel 4.
Media M3 selain memberikan pertumbuhan vegetatif yang baik, ternyata juga
mempunyai waktu pembungaan dan pembuahan yang tercepat. Diduga pertumbuhan
yang baik tersebut mengakibatkan penimbunan karbohidrat yang lebih cepat sehingga
tanaman lebih cepat memasuki fase generatif. Menurut Harjadi (1996) pada fase
vegetatif tanaman, karbohidrat digunakan dan tanaman menggunakan sebagian besar
karbohidrat yang dibentuknya, dan pada fase reproduktif, karbohidrat disimpan
(ditimbun) dan tanaman tersebut menyimpan sebagian besar karbohidrat yang
dibentuknya. Bosland dan Votava (1999) menyatakan bahwa terdapat hubungan
langsung antara pertumbuhan vegetatif dan pembentukan buah pada cabai. Cabai
membutuhkan pertumbuhan yang baik agar dapat menghasilkan buah lebih cepat dan
kualitas lebih baik. Hasil analisis media pada Tabel Lampiran 1 menunjukkan unsur P
pada media M3 paling tinggi diantara media yang lain. Diduga unsur P yang 23
mendorong tanaman pada media M3 cepat melakukan pembungaan.
Menurut Setyamidjaja (1986) unsur P mempunyai peranan mempercepat
pembungaan dan pemasakan buah dan biji. Marschner (1995) menyatakan bahwa
penundaan pematangan buah terdapat pada tanaman tomat yang mengalami defisiensi
unsur P. Hasil penelitian Fitriasari (2002) melaporkan bahwa kadar P yang tinggi pada
tanaman violcesdapat mendorong pembentukan jumlah bunga yang banyak. Respon
genotipe berbeda nyata pada peubah rasio panjang dengan diameter buah (Tabel
Lampiran 4). Diduga karena bentuk buah pada ketiga genotipe memang berbeda.
Genotipe G1 mempunyai rasio panjang dengan diameter buah yang paling besar yaitu
sebesar 4.33. Genotipe G2 mempuyai rasio panjang dengan diameter buah yang
terkecilyaitu 1.78 seperti yang tersaji pada Tabel 5. Semakin besar rasio panjang dengan
diameter buah, maka bentuk buah semakin panjang dan kurus. Perlakuan media tidak
berpengaruh nyata pada rasio panjang dengan diameter buah.

Respon genotipe berbeda nyata pada peubah persentase jumlah bunga yang
menjadi buah per cabang pada 1-4 MSA dan 6 MSA (Tabel Lampiran 4). Genotipe G1
mempunyai persentase jumlah bunga menjadi buah per cabang yang tertinggi yaitu
77.64% pada 6 MSP. Perlakuan media tidak berbeda nyata pada peubah persentase
jumlah bunga yang menjadi buah per cabang. Media M1 24 memberikan persentase
jumlah bunga menjadi buah per cabang yang tertinggi yaitu sebesar 64.17% pada 6 MSA
seperti yang tersaji pada Tabel 6.
Respon genotipe terhadap media berbeda nyata pada peubah persentase jumlah
bunga yang menjadi buah per cabang pada 2 dan 6 MSA (Tabel Lampiran 4). Genotipe
G1 dan G3 mempunyai persentase jumlah bunga yang menjadi buah per cabang tertinggi
pada media M2 yaitu sebesar 96.67% dan 35.39%, sedangkan genotipe G2 mempunyai
persentase jumlah bunga yang menjadi buah per cabang tertinggi pada media M3 yaitu
sebesar 90.62% pada 6 MSA seperti disajikan pada Tabel 6.
Grafik persentase jumlah bunga yang menjadi buah per cabang setiap genotipe
terlihat pada Gambar 7. Tanaman genotipe G1 yang ditanam pada media M2
memberikan persentase jumlah bunga menjadi buah per cabang yang rata-rata tinggi
pada 1 MSA hingga 6 MSA. Tanaman genotipe G2 yang ditanam pada media M1 dan
M3 memberikan persentase jumlah bunga menjadi buah per cabang 25 yang tinggi pada
6 MSA. Tanaman genotipe G3 yang ditanam pada media M2 memberikan persentase
jumlah bunga menjadi buah per cabang yang rata-rata lebih tinggi daripada media lain
pada 2-4 MSA.
Media M3 selain memberikan pertumbuhan vegetatif yang baik, ternyata juga
mempunyai waktu pembungaan dan pembuahan yang tercepat. Diduga pertumbuhan
yang baik tersebut mengakibatkan penimbunan karbohidrat yang lebih cepat sehingga
tanaman lebih cepat memasuki fase generatif. Menurut Harjadi (1996) pada fase
vegetatif tanaman, karbohidrat digunakan dan tanaman menggunakan sebagian besar
karbohidrat yang dibentuknya, dan pada fase reproduktif, karbohidrat disimpan
(ditimbun) dan tanaman tersebut menyimpan sebagian besar karbohidrat yang
dibentuknya. Bosland dan Votava (1999) menyatakan bahwa terdapat hubungan
langsung antara pertumbuhan vegetatif dan pembentukan buah pada cabai. Cabai
membutuhkan pertumbuhan yang baik agar dapat menghasilkan buah lebih cepat dan
kualitas lebih baik. Hasil analisis media pada Tabel Lampiran 1 menunjukkan unsur P
pada media M3 paling tinggi diantara media yang lain. Diduga unsur P yang mendorong
tanaman pada media M3 cepat melakukan pembungaan. Menurut
Setyamidjaja (1986) unsur P mempunyai peranan mempercepat pembungaan dan
pemasakan buah dan biji. Marschner (1995) menyatakan bahwa penundaan pematangan
buah terdapat pada tanaman tomat yang mengalami defisiensi unsur P. Hasil penelitian
Fitriasari (2002) melaporkan bahwa kadar P yang tinggi pada tanaman violces dapat
mendorong pembentukan jumlah bunga yang banyak. Respon genotipe berbeda nyata
pada peubah rasio panjang dengan diameter buah (Tabel Lampiran 4). Diduga karena
bentuk buah pada ketiga genotipe memang berbeda. Genotipe G1 mempunyai rasio
panjang dengan diameter buah yang paling besar yaitu sebesar 4.33. Genotipe G2
mempuyai rasio panjang dengan diameter buah yang terkecil yaitu 1.78 seperti yang
tersaji pada Tabel 5. Semakin besar rasio panjang dengan diameter buah, maka bentuk
buah semakin panjang dan kurus.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1. Kesimpulan
Media mempengaruhi tinggi tanaman, jumlah cabang, waktu bunga pertama
muncul, waktu buah pertama muncul, jumlah buah per cabang, jumlah bunga total, dan
jumlah buah total. Media M3 (kokopit:tanah:pupuk kandang) merupakan media yang
terbaik untuk kualitas cabai hias dalam pot. Genotipe G1 (Brazil) mempunyai jumlah
bunga dan buah total terbanyak. Genotipe G2 (Jepang) mempunyai waktu bunga dan
buah pertama muncul yang paling cepat. Genotipe G3 (Singapura) mempunyai jumlah
cabang terbanyak.
Perlakuan media M3 (kokopit:tanah:pupuk kandang) memberikan kualitas cabai
hias paling baik yaitu memberikan respon terbaik pada peubah tinggi tanaman pada
genotipe G1 (Brazil) dan G2 (Jepang), serta jumlah cabang, jumlah bunga total, dan
jumlah buah per cabang pada setiap genotipe. Tanaman cabai hias pada media M3
(kokopit:tanah:pupuk kandang) mempunyai keragaan terbaik pada 9 MSP (10 MST).
Genotipe G1 (Brazil) dan G2 (Jepang) pada media M3 (kokopit:tanah:pupuk kandang)
mempunyai tinggi tanaman yang proporsional dengan pot, mempunyai banyak cabang
dan buah, serta mempunyai keragaan yang disukai oleh konsumen. Genotipe G3
(Singapura) pada media M3 (kokopit:tanah:pupuk kandang) mempunyai tinggi tanaman
yang tidak proporsional dengan pot tetapi mempunyai banyak cabang dan buah sehingga
tanaman terlihat lebih rimbun, dan keragaannya masih disukai oleh konsumen.

5.2. Saran
Disarankan untuk menanam cabai hias genotipe Brazil, Jepang, dan Singapura
pada media campuran kokopit:tanah:pupuk kandang.
DAFTAR PUSTAKA

Adams, C. R., K. M Benford, M. P Early. 1995. Principles of Horticulture. 2nd. Butterworth-


Heinemann Ltd. Oxford. 204 hal.
Arifin, N. H. S. dan H. S. Arifin. 2002. Taman Dalam Ruang. Penebar Swadaya. Jakarta. 168
hal.
Bonar, A., A. Toogood, D. G Adams, R. Waite. 1994. Indoor, Conservatory and Greenhouse
Gardening. Cassell Educational Limited, The Royal Hort. Society. London. 192 p.
Bosland, P. W. dan E. J. Votava. 1999. Peppers:Vegetable and Spice Capsicums. CABI Pub.
New York. 204 p.
Damayanti, R. 2004. Pengaruh Komposisi Media dan Jenis Pupuk terhadap Pertumbuhan
Bibit Mangga. Skripsi. Departemen Budidaya Pertanian,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Edmond, J. B., A. M. Musser, F. S.
Andrews. 1957. Fundamentals of Horticulture. McGraw – Hill Book co. Inc. New
York. 476 p.
El-Aidy, F., M. El-Afry, F. Ibrahiem. 1989. The influence of shade nets on the growth and
yield of sweet pepper. p 345-348. In : S. K. Green (Ed). Tomato and Pepper
Production in the Tropics. Asian Vegetable Research and Development Center.
Tainan
Evans, M. R., S. Konduru, R. H. Stamps. 1996. Source variation in physical and properties of
coconut coir dust. Hort Science. 31(16):965-967.
Fitriasari. 2002. Pengaruh Media Tanam dan SHDH terhadap Pertumbuhan dan
Perkembangan Tanaman Violces (Saint paulia Ionantha). Skripsi. Jurusan Budidaya
Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Gourley, J. H. dan F. S. Howlett. 1957. Modern Fruit Production. The Macmillan Co. New
York.
Greenleaf, W. H. 1986. Pepper breeding. p 69-134. In : M. J. Bassett (Ed). Breeding
Vegetables Crops. Avi Publishing company, Inc. Connecticut
Harjadi, S. S. 1989. Dasar-dasar Hortikultura. Jurusan Budidaya Pertanian, Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 500 hal.
Harjadi, S. S. 1996. Pengantar Agronomi. PT Gramedia Pustaka. Jakarta. 197 hal.
Hartmann, H. T. dan D. E. Kester. 1978. Plant Propagation, Principles and Practise. 2nd.
Prentice-Hall Inc., New Jersey.

Anda mungkin juga menyukai