Anda di halaman 1dari 4

Antara Bengkel Teater dan Si Burung Merak Burung Merak kami sudah hilang dua tahun, itu kiranya

komposisi kalimat yang tepat untuk menggambarkan pilunya kehilangan Mas Willy. Ya Mas Willy atau lebih dikenal dengan WS Rendra sudah pergi meninggalkan sarangnya sebagai camar dua tahun yang lalu. Penyair dan Dramawan itu pergi tepat pada hari kamis tanggal 6 Agustus 2009. Saya masih ingat seorang kawan berkata setelah melihat sebuah berita terbaru di televisi. Rendra meninggal, saya pikir itu adalah judul sebuah karya yang kembali akan lahir dari si burung camar. Tapi nyatanya itu adalah akhir dari syair yang si burung camar tawarkan kepada nusantara. Belum lekas lagi hilang di ingatan saya puisi-puisi Rendra menjadi bahan untuk pelajaran bahasa dan sastra Indonesia di sekolah. Ketika sajak sebatang lisongnya menjadi pegangan dan hafalan setiap siswa di rumah. Bakat sastra Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu ia sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerita pendek dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mementaskan beberapa dramanya, dan terutama tampil sebagai pembaca puisi yang sangat berbakat. Selepas tamat dari sekolah ia melanjutkan ke Fakultas sastra dan kebudayaan di Universitas Gajah Mada sebelum pada akhirnya ia bermuara ke luar negeri di American Academy of Dramatical Art, New York, USA (1967). "Kaki Palsu" adalah drama pertamanya, dipentaskan ketika ia di SMP, dan OrangOrang di Tikungan Jalan adalah drama pertamanya yang mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Pada saat itu ia sudah duduk di SMA. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk berkarya. Prof. A. Teeuw, di dalam bukunya Sastra Indonesia Modern II (1989), berpendapat bahwa dalam sejarah kesusastraan Indonesia modern Rendra tidak termasuk ke dalam salah satu angkatan atau kelompok seperti Angkatan 45, Angkatan 60-an, atau Angkatan 70-an. Dari karya-karyanya terlihat bahwa ia mempunyai kepribadian dan kebebasan sendiri. Pada awalnya kecintaan rendra pada dunia sastra masih belum begitu luar biasa namun karena kemampuannya yang kritis dalam melemparkan sajak dan dramanya dan terhitung sebagai anak muda yang berani membuatnya cepat terkenal. Menonton pertunjukan rendra pada masa itu sama dengan menonton konser grup band rock papan atas sekelas God

Bless. Sungguh merupakan pukulan yang keras dihantam oleh rendra sehingga sastra bisa menjadi sebuah konsumsi yang dipahami oleh publik. Baru pada usia 24 tahun, ia menemukan cinta pertama pada diri Sunarti Suwandi. Dari wanita yang dinikahinya pada 31 Maret 1959 itu, Rendra mendapat lima anak: Theodorus Setya Nugraha, Andreas Wahyu Wahyana, Daniel Seta, Samuel Musa, dan Clara Sinta. Satu di antara muridnya adalah Raden Ayu Sitoresmi Prabuningrat, putri darah biru Keraton Yogyakarta, yang bersedia lebur dalam kehidupan spontan dan urakan di Bengkel Teater. Tugas Jeng Sito, begitu panggilan Rendra kepadanya, antara lain menyuapi dan memandikan keempat anak Rendra-Sunarti. Ujung-ujungnya, ditemani Sunarti, Rendra melamar Sito untuk menjadi istri kedua, dan Sito menerimanya. Dia dinamis, aktif, dan punya kesehatan yang terjaga, tutur Sito tentang Rendra, kepada Kastoyo Ramelan dari Gatra. Satu-satunya kendala datang dari ayah Sito yang tidak mengizinkan putrinya, yang beragama Islam, dinikahi seorang pemuda Katolik. Tapi hal itu bukan halangan besar bagi Rendra. Ia yang pernah menulis litani dan mazmur, serta memerankan Yesus Kristus dalam lakon drama penyaliban Cinta dalam Luka, memilih untuk mengucapkan dua kalimat syahadat pada hari perkawinannya dengan Sito, 12 Agustus 1970, dengan saksi Taufiq Ismail dan Ajip Rosidi. Peristiwa itu, tak pelak lagi, mengundang berbagai komentar sinis seperti Rendra masuk Islam hanya untuk poligami. Terhadap tudingan tersebut, Rendra memberi alasan bahwa ketertarikannya pada Islam sesungguhnya sudah berlangsung lama. Terutama sejak persiapan pementasan Kasidah Barzanji, beberapa bulan sebelum pernikahannya dengan Sito. Tapi alasan yang lebih prinsipil bagi Rendra, karena Islam bisa menjawab persoalan pokok yang terus menghantuinya selama ini: kemerdekaan individual sepenuhnya.Terlihat kehidupannya dalam satu atap dengan dua istri menyebabkan Rendra dituding sebagai haus publisitas dan gemar popularitas. Tapi ia menanggapinya dengan ringan saja. Seperti saat ia menjamu seorang rekannya dari Australia di Kebun binatang Gembira Loka, Yogyakarta. Ketika melihat seekor burung merak berjalan bersama dua betinanya, Rendra berseru sambil tertawa terbahak-bahak, Itu Rendra! Itu Rendra!. Sejak itu, julukan Burung Merak melekat padanya hingga kini. Dari Sitoresmi, ia mendapatkan empat anak: Yonas Salya, Sarah Drupadi, Naomi Srikandi, dan Rachel Saraswati

Sang

Burung

Merak

kembali

mengibaskan

keindahan

sayapnya

dengan

mempersunting Ken Zuraida, istri ketiga yang memberinya dua anak: Isaias Sadewa dan Mikriam Supraba. Tapi pernikahan itu harus dibayar mahal karena tak lama sesudah kelahiran Maryam, Rendra diceraikan Sitoresmi pada 1979, dan Sunarti pada tahun 1981. Akhirnya sejak tahun 1977 ketika ia sedang menyelesaikan film garapan Sjumanjaya, "Yang Muda Yang Bercinta" ia dicekal pemerintah Orde Baru. Semua penampilan di muka publik dilarang. Ia menerbitkan buku drama untuk remaja berjudul "Seni Drama Untuk Remaja" dengan nama Wahyu Sulaiman. Tetapi di dalam berkarya ia menyederhanakan namanya menjadi Rendra saja sejak 1975 dan pernah membuat karya film fenomenal Lari dari Blora. Pada tahun 1967, sepulang dari Amerika Serikat, ia mendirikan Bengkel Teater yang sangat terkenal di Indonesia dan memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Namun sejak 1977 ia mendapat kesulitan untuk tampil di muka publik baik untuk mempertunjukkan karya dramanya maupun membacakan puisinya. Kelompok teaternyapun tak pelak sukar bertahan. Untuk menanggulangi ekonominya Rendra hijrah ke Jakarta, lalu pindah ke Depok. Pada 1985, Rendra mendirikan Bengkel Teater Rendra yang masih berdiri sampai sekarang dan menjadi basis bagi kegiatan keseniannya.Bengkel teater ini berdiri di atas lahan sekitar 3 hektar yang terdiri dari bangunan tempat tinggal Rendra dan keluarga, serta bangunan sanggar untuk latihan drama dan tari. Bisa kita lihat di lahan tersebut tumbuh berbagai jenis tanaman yang dirawat secara asri, sebagian besar berupa tanaman keras dan pohon buah yang sudah ada sejak lahan tersebut dibeli, juga ditanami baru oleh Rendra sendiri serta pemberian teman-temannya. Puluhan jenis pohon antara lain, jati, mahoni, ebony, bambu, turi, mangga, rambutan, jengkol, tanjung, singkong dan lain-lain. Di bengkel teaterlah rendra mengembangkan karya-karyanya dan membentuk budayawan-budayawan. Kini budayawan-budayawan itu telah berpencar ke daerah dan membangun kesenian dan budaya. Profesor Harry Aveling, seorang pakar sastra dari Australia yang besar perhatiannya terhadap kesusastraan Indonesia, telah membicarakan dan menerjemahkan beberapa bagian puisi Rendra dalam tulisannya yang berjudul A Thematic History of Indonesian Poetry: 1920 to 1974. Karya Rendra juga dibicarakan oleh seorang pakar sastra dari Jerman bernama Profesor Rainer Carle dalam bentuk disertasi yang berjudul Rendras

Gedichtsammlungen (19571972): Ein Beitrag Zur Kenntnis der Zeitgenossichen Indonesischen Literatur. Verlag von Dietrich Reimer in Berlin: Hamburg 1977. Jelas kita kehilangan si burung merak belakangan ini. Dua tahun sudah si burung merak pergi dan kabarnya ia tak kembali. Lalu siapakah burung-burung lain yang mampu berbuat sama atau lebih?. Itu tentu saja menjadi pekerjaan yang besar bagi negara ini sebab rendra telah membentuk cikal dari penggantinya lewat bengkel teater. Mungkin pementasan yang akan tampil dari masterpiece Rendra Mastodon dan Burung Kondor yang akan pentas pada tanggal 9-14 Agustus di Taman Ismail Marzuki bisa menjadi refleksi kita. Di bawah bendera Ken Zuraida sang istri tercinta yang coba memoles langsung karya tersebut. Rendra masih ada di sekitar kita dan ini cerita antara bengkel dan si burung merak.
Rian Kurniawan Hrp (Rian Harahap) Mahasiswa Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia di Umsu. Aktor dan Sutradara di Teater Sisi UMSU, Medan.

Anda mungkin juga menyukai