Rendra
mengibaskan ekor
menempuh ke muka
dan tak’kan kunjung diundurkan.
Selusin malaikat
telah turun
untuk ke pesta.
untuk dikawinkan.
Aku melamarmu.
menyergap hatimu
tawananku.
mendesahlah bagiku!
Angin mendesah
selalu mendesah
tergolek lemas
dalam jaringku.
aku menjaringmu
aku melamarmu
karena langit
kuingin dikau
W.S. Rendra dilahirkan di Solo pada tanggal 7 November 1935. Nama lahir WS Rendra
adalah Willibrordus Surendra Broto Rendra, ayahnya bernama R. Cyprianus Sugeng
Brotoatmodjo dan ibunya bernama Raden Ayu Catharina Ismadillah. W.S Rendra bersekolah
di TK Marsudirini, Yayasan Kanisius.SD s.d. SMA Katolik, SMA Pangudi Luhur Santo
Yosef, Solo (tamat pada tahun 1955). Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Sastra dan
Kebudayaan, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Dan mendapat beasiswa American
Academy of Dramatical Art (1964 - 1967). Untuk lebih memfasilitasi dirinya dalam berkarya
maka pada tahun 1967 WS Rendra mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta dan Bengkel
Teater Rendra di Depok. Prestasi dan penghargaan yang berhasil diraih W.S.Rendra
diantaranya, hadiah pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan , Yogyakarta (1954), Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956),
Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970), Hadiah Akademi Jakarta (1975),
Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976, Penghargaan
Adam Malik (1989), The S.E.A. Write Award (1996), Penghargaan Achmad Bakri (2006).
Selain itu, WS Rendra juga sering melakukan pementasan drama dan puisi serta aktif
mengikuti berbagai festival seni dan sastra di luar negeri seperti : The Rotterdam
International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival,
New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival
Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal
(1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995). Beberapa
karya Sajak/Puisi W.S. Rendra : Jangan Takut Ibu, Balada Orang-Orang Tercinta (Kumpulan
sajak), Potret Pembangunan Dalam Puisi, Bersatulah Pelacur-Pelacur Kota Jakarta!, Sajak
Seonggok Jagung,dan lain-lain. Pada pertengahan tahun 2009, WS Rendra menderita sakit
jantung koroner dan akhirnya sang penyair besar Indonesia WS Rendra menghembuskan
nafas terakhir di rumah sakit RS Mitra Keluarga Kelapa Gading, Jakarta Utara pada 6
Agustus 2009 pada umur 73 tahun. Jenazah WS Rendra kemudian dikebumikan di kompleks
Bengkel Teater, Cipayung-Citayam, Depok selepas shalat jum’at,makamnya tak jauh dari
makam Mbah Surip.
Dalam puisi pamflet cinta kebanyakan diksi yang digunakan adalah bahasa sehari-
hari yang menyimpang dari kata baku, seperti kata nyamperin,kalang-kabutan (pada bait 1) ,
bunga-bungaan (bait 2), dan nongol (bait 9). Puisi ini cenderung menggunakan kata-kata
yang bermakna polos, lugas, denotatif tetapi padat dan tepat seperti pada kalimat
“Kampus telah diserbu mobil berlapis baja, Kata-kata telah dilawan dengan senjata”.
Meskipun demikian Rendra tidak mengesampingkan kata-kata yang bermakna konotatif,
hanya saja dalam puisi ini yang paling dominan adalah penggunaan kata-kata yana bermakna
denotatif. Contoh pemakaian kata-kata yang bermakna konotatif “Aku menyaksikan zaman
berjalan kalang kabutan”. Daya Sugesti atau pengimajian dari kata-kata dalam puisi
“pamplet cinta” tersebut mampu menghasilkan puisi yang memiliki keindahan mempesona
dengan keromantisannya.
Diksi yang digunakan sangat cermat, mulai dari urutan kata serta daya sugesti atau
pengimajian dari kata-kata tersebut, sehingga menghasilkan puisi yang memiliki keindahan
mempesona dengan keromantisannya. Seperti terlihat pada bait pertama puisi tersebut
“/Kutulis surat ini / kala hujan gerimis /bagai bunyi tambur mainan /anak-anak peri dunia
yang gaib / Dan angin mendesah /mengeluh dan mendesah / Wahai, Dik Narti,/aku cinta
kepadamu!. Bait tersebut menggambarkan pemilihan diksi yang umumnya bersifat konotatif
pada puisi ini. Puisi ini diawali dengan larik-larik yang kental dengan permainan bunyi, hal
ini dapat terlihat dalam bait pertama. Bait tersebut juga menunjukkan bahwa puisi ini
memiliki gaya bahasa yang kuat, permainan bunyi yang rapi, dan metafora yang mempesona
(menggambarkan keindahan “Narti” sebagai putri duyung dengan segala pesona yang ada)
dengan penggambaran imaji visual yang membangun keutuhan puisi.