Anda di halaman 1dari 23

MENGANALISIS LAKON PANEMBAHAN RESO

1. Pendahuluan Sebagai bagian dari masyarakat dan gerak budaya, sastrawan menempati posisi yang dapat dikatakan menentukan. Sastrawan, di samping sebagai pelaku, juga sebagai pemangku dan sekaligus saksi kehidupan. Dengan demikian, tatkala hendak menuliskan kesaksiaannya itu, sastrawan akan menjabarkannya dalam bentuk karya sastra sebagai perwujudan visinya. Visi itu, karena bersifat intuitif, ketajamannya akan sangat ditentukan oleh ketajaman akal-budi sastrawan dalam melihat situasi dan kondisi sosial, politik, ekonomi, dan budaya (sospolekbud) masyarakat sekitarnya, tidak terkecuali situasi dan kondisi kekuasaan. Sebagai salah satu fenomena yang ada dan hidup di masyarakat (biasanya dianggap sebagai fenomena politik), kekuasaan tidak pernah luput dari perhatian sastrawan (baca: Rendra). Hal itu dapat dilihat pada sebagian besar karya-karyanya. Lakon Panembahan Reso (1988) adalah salah satu karya Rendra, berbentuk drama, yang mencoba mengangkat perebutan kekuasaan (suksesi) sebagai persoalan utamanya. Kekuasaan dalam Panembahan Reso dapat dikatakan kekuasaan yang khas karena, di samping mengangkat kekuasaan ala Jawa dan mengambil latar kerajaan, juga menyajikan tegangan dualistik pemikiran: tegangan antara kebenaran duniawi dan kebenaran nurani. Sesuai dengan judul, tulisan ini akan membicarakan bagaimana konsep kekuasaan, terutama suksesi, itu disajikan Rendra ke dalam lakon Panembahan Reso. Paling tidak ada dua hal yang dapat dicapai oleh tulisan ini, yakni sebagai bahan informasi kesastraan dan sebagai perwujudan gagasan (tafsir) penulis setelah sekian kali berhadapan dengan lakon Panembahan Reso dalam upaya menghayatinya.

2. Rendra dan Karya Dramanya Pria kelahiran Solo, Jawa Tengah, 7 November 1935, yang sering dijuluki sebagai si Burung Merak ini tergolong seniman serba bisa. Ia tidak hanya piawai dalam menulis (puisi, cerpen, drama, dan esai), tetapi juga piawai dalam berakting (seni peran). Atas kepiawaiannya itu Rendra menyandang dua predikat besar sekaligus: sebagai salah satu penyair dan dramawan ternama di Indonesia. Rendra mencurahkan sebagian besar hidupnya dalam dunia sastra dan teater: menggubah sajak sekaligus membacakannya serta menulis naskah drama sekaligus melakoninya sendiri, dikuasainya dengan sangat matang. Sajak, puisi, maupun drama hasil karyanya sudah melegenda di kalangan pecinta seni sastra dan teater di dalam negeri, bahkan di luar negeri. Bakat kesastraan Rendra sudah mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Di samping sudah mulai menunjukkan kemampuannya dalam menulis (puisi, cerita pendek, dan drama), saat itu Rendra juga sudah memperlihatkan bakatnya di atas panggung. Dalam berbagai kegiatan sekolah, ia tidak hanya sering tampil sebagai pembaca puisi, tetapi juga mementaskan beberapa dramanya. Kaki Palsu adalah drama pertama Rendra yang dipentaskan. Ketika itu ia masih duduk di bangku SMP. Pada saat ia duduk di bangku SMA , dramanya yang berjudul Orang-Orang di Tikungan Jalan mendapat penghargaan dan hadiah pertama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Penghargaan itu membuatnya semakin bergairah untuk berkarya. Setamat SMA (1952) Rendra pergi ke Jakarta untuk bersekolah di Akademi Luar Negeri. Karena akademi tersebut telah ditutup, ia pergi ke Yogyakarta dan masuk ke Fakultas Sastra, Universitas Gajah Mada. Walaupun tidak menyelesaikan kuliahnya, tidak berarti ia berhenti untuk

belajar. Pada tahun 1954 ia mendapat beasiswa dari American Academy of Dramatical Art (AADA) untuk memperdalam pengetahuannya dalam bidang drama dan tari di Amerika. Ia juga mengikuti seminar tentang kesusastraan di Universitas Harvard atas undangan pemerintah setempat. Pada tahun 1961, sepulang dari Amerika Serikat, Rendra mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi, grup itu terhenti karena ia pergi lagi ke Amerika Serikat. Ketika kembali lagi ke Indonesia (1968), ia membentuk kembali grup teater yang bernama Bengkel Teater. Bengkel Teater ini memberi suasana baru dalam kehidupan teater di tanah air. Karya-karya Rendra tidak hanya indah untuk didengar dan dilihat, tapi juga dianggap sebagai penggerak aksi para mahasiswa, karena selalu berbau protes dan mengecam pemerintah. Sebagai akibatnya, ia sempat ditahan pada tahun 1978 (AprilOktober). Setelah keluar dari penjara, Rendra menjalani berbagai profesi, seperti menjadi pelayan bar dan buruh percetakan. Semua itu ia jalani, karena larangan pentas masih berlaku. Dari Yogyakarta, Rendra (dengan keluarga dan Bengkel Teater) hijrah ke Jakarta pada tahun 1982. Di Jakarta Rendra kembali dicekal. Baru pada tahun 1998, saat reformasi terjadi, Rendra akhirnya diberi ruang untuk bisa bebas berekspresi lagi. Menekuni dunia sastra baginya memang bukanlah sesuatu yang kebetulan, tetapi sudah menjadi cita-cita dan niatnya sejak dini. Hal tersebut dibuktikan ketika ia bertekad masuk ke Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gajah Mada selepas menamatkan sekolahnya di SMA St. Josef, Solo. Setelah mendapat gelar Sarjana Muda, ia kemudian melanjutkan pendidikannya di American Academy of Dramatical Art, New York, USA. Prestasinya di dunia sastra dan drama selama ini juga telah ditunjukkan lewat banyaknya penghargaan yang telah diterimanya, antara lain Hadiah Pertama Sayembara Penulisan Drama dari Bagian Kesenian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta (1954); Hadiah Sastra Nasional BMKN (1956); Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1970); Hadiah Akademi

Jakarta (1975); Hadiah Yayasan Buku Utama, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1976) ; Penghargaan Adam Malik (1989); The S.E.A. Write Award (1996); dan Penghargaan Achmad Bakri (2006). Sementara itu, berbagai aktifitas pun telah diikuti Rendra. Ia aktif mengikuti festival-festival di luar negeri, di antaranya The Rotterdam International Poetry Festival (1971 dan 1979), The Valmiki International Poetry Festival, New Delhi (1985), Berliner Horizonte Festival, Berlin (1985), The First New York Festival Of the Arts (1988), Spoleto Festival, Melbourne, Vagarth World Poetry Festival, Bhopal (1989), World Poetry Festival, Kuala Lumpur (1992), dan Tokyo Festival (1995). Dalam puluhan tahun perjalanannya berkesenian, entah sudah berapa kali Rendra tercekal, tak boleh manggung. Namun, keberadaannya tidak pernah sirna. Bahkan tahun ini, pada usianya yang sudah hampir genap 73 tahun, Rendra dianugerahi gelar Doktor Honoris Causa Bidang Kebudayaan oleh Universitas Gadjah Mada, hari Selasa, 4 Maret 2008 lalu. Dalam penganugerahan itu, Rendra menyampaikan pidato budaya dengan judul Megatruh Kambuh: Renungan Seorang Penyair dalam Menanggapi Kalabendu. Di samping bergiat dengan Bengkel Teaternya, Rendra juga masih sering tampil di berbagai kegiatan dan pertemuan, baik sebagai pembicara maupun pengisi acara (membawakan karya-karyanya). Berikut ini adalah daftar beberapa drama Rendra yang hampir seluruhnya pernah dipentaskan bersama Bengkel Teater. Orang-orang di Tikungan Jalan (1954) (2) Bip Bop Rambaterata (Teater Mini Kata) (3) Sekda (1977) (4) Selamatan Cucu Sulaiman (dimainkan dua kali)

(5) Mastodon dan Burung Kondor (1972) (6) Hamlet (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama, dimainkan dua kali) (7) Macbeth (terjemahan dari karya William Shakespeare, dengan judul yang sama) (8) Oedipus Sang Raja (terjemahan dari karya Sophokles, aslinya berjudul Oedipus Rex) (9) Odipus di Kolonus (Odipus Mangkat) (terjemahan dari karya Sophokles) (10) Antigone (terjemahan dari karya Sophokles) (11) Kasidah Barzanji (dimainkan dua kali) (12) Perang Troya Tidak Akan Meletus (terjemahan dari karya Jean Giraudoux, aslinya dalam bahasa Prancis, berjudul La Guerre de Troie naura pas lieu) (13) Panembahan Reso (1986) (14) Kisah Perjuangan Suku Naga (dimainkan 2 kali) 3. Gambaran Umum Panembahan Reso Lakon Panembahan Reso karya (drama) Rendra ini, meskipun sudah dipentaskan (pertama kali pada 28 dan 29 Agustus 1986) baru terbit pada 1988 oleh Pustaka Karya Grafika Utama, Jakarta. Perlu diketahui bahwa meskipun berlangsung lebih kurang selama tujuh jam, pementasan Panembahan Reso pertama kali tersebut mampu menyedot sekitar tujuh ribu penonton dan hanya seperempatnya saja yang tidak menonton sampai cerita berakhir (Kompas, 30 Agustus 1986). Drama setebal 242 halaman ini terdiri

atas 43 bagian (adegan). Setiap bagian (adegan) diberi judul secara berbeda, tidak sama antara satu dan yang lain. Konon, drama ini merupakan drama terpanjang, paling tidak di Indonesia. Panembahan Reso berlatarkan sebuah kerajaan yang rapuh. Di kerajaan itu seorang Raja Tua bertahan memerintah hingga usia 85 tahun dengan kekuasaan mutlaknya. Ia bahkan juga tidak mempersiapkan penggantinya sehingga muncul kelompok-kelompok kekuatan di kalangan para pangeran, senapati, maupun panji. Di tengah situasi kacau seperti itu, melalui serangkaian intrik politik: penghasutan, penipuan, persekongkolan, dan bahkan percintaan, Panji Reso (sebelum menjadi Panembahan Reso) menerobos liku-liku kekuasaan yang rapuh itu. Berkat kelicikan, keuletan, dan kepiawiannya dalam berstrategi, ia berhasil mengelabui banyak orang sehingga situasi kacau itu dapat dimanfaatkan sebagai ladang perburuannya. Terhadap Pangeran Gada dan Pangeran Dodot, misalnya, Panji Reso berhasil mengelabui mereka (berpura-pura sepaham) dengan sebuah janji bahwa dirinya akan menyusul kedua pangeran itu, ikut bergabung dengan Panji tumbal untuk melakukan pemberontakan. Namun, janji tersebut tidak pernah dipenuhi. Bahkan sebaliknya, ulah kedua pangeran itu justru dilaporkan kepada Raja Tua. Dengan cara itu, dua keuntungan sekaligus diperoleh Panji Reso: (1) mendapat kepercayaan raja dan (2) mengurangi jumlah pesaingnya. Kelicikan Panji Reso terus berlanjut. Terhadap Raja Tua pun ia berpura-pura taat dan setia. Padahal, ia telah bersekongkol dengan Ratu Dara (salah satu selir Raja Tua) untuk menggulingkannya. Dengan bantuan Asasin (pembeunuh bayaran) akhirnya mereka berhasil membunuh Raja Tua. Kedudukan raja digantikan oleh Pangeran Rebo, putra Raja Tuan dari Ratu Dara. Sementara itu, agar persekongkolan tetap lestari, Panji Reso mengawini Ratu Dara. Sejak saat itu pula Panji Reso diangkat menjadi penasihat raja. Rupanya, ketamakan dan kerakusan terus merasuki otak Panji Reso dan Ratu Dara. Mereka tidak menyetujui rencana Raja Muda (Pangeran Rebo)

untuk memanggil pulang Pangeran Bindi dan Pangeran Kembar yang sudah berhasil menumpas pemberontakan Panji Tumbal. Karena keinginannya tidak dipenuhi, akhirnya Ratu Dara pun tega membunuh Raja Muda, anak semata wayangnya itu. Anehnya, perbuatan keji tersebut disampaikan kepada seluruh punggawa kerajaan di Balai Istana sehingga membuat Panji Sekti marah. Tanpa berpikir panjang, Panji Sekti menghunus keris dan

menghunjamkannya ke jantung Ratu Dara. Isteri Panji Reso itu pun meninggal dunia. Kematian Ratu Dara ternyata tidak membuat Panji Reso bersedih. Ia justru merasa beruntung atas tindakan Panji Sekti karena hal itu berarti sudah tidak ada lagi penghalang baginya untuk menduduki tahta kerajaan. Keinginan Panji Reso itu pun segera terwujud. Oleh para punggawa kerajaan ia dinobatkan sebagai raja dengan gelar Panembahan Reso. Namun sayang, tiba-tiba Ratu Kenari datang. Selir Raja Tua, yang oleh Panembahan Reso dan Panji Sekti telah gila itu, secara tiba-tiba menikam Panji Reso dengan kerisnya. Dengan demikian, terhenti pulalah langkah sang Panembahan Reso itu. 4. Tema Panembahan Reso Seperti telah disebutkan di muka, persoalan utama yang suguhkan Panembahan Reso adalah perihal perebutan kekuasaan (suksesi). Persoalan itu oleh Rendra diolah dan disajikan dalam bentuk intrik-intrik melalui kelicikan tokoh-tokoh Panembahan Reso yang memanfaatkan kesempatan untuk kepeningan diri masing-masing. Mereka (tokoh-tokoh itu) tidak segansegan melakukan penipuan, pengkhianatan, dan bahkan pembunuhan demi kepentingannya. Pendek kata, mereka benar-benar telah lupa daratan. Sebagai punggawa kerajaan, mereka hanya memikirkan bagaimana cara memperoleh kedudukan (kekuasaan) yang lebih tinggi, sekalipun tidak legal.

Bertolak dari persoalan yang disuguhkan, lalu mengaitkannya dengan akhir cerita yang tragis, dapat ditarik simpulan bahwa kedudukan (kekuasaan) yang diperoleh secara tidak legal (tidak melalui jalan dan prosedur yang benar) akan merugikan diri sendiri. Tema itu secara jelas diperagakan melalui tingkah laku tokoh-tokoh Panembahan Reso, terutama Panji (Panembahan) Reso, dalam kepiawiannya melakukan (baca: menciptakan) intrik-intrik. Panembahan Reso memang berhasil mencapai cita-citanya, yakni memegang kekuasaan tertinggi (menjadi raja). Namun, kekuasaan yang baru saja diperolehnya itu tiba-tiba terancam dan bahkan harus terlepas kembali tatkala Ratu Kenari menikamnya. Berikut ini adalah kutipan bagian akhir cerita Panembahan Reso. Masuklah Ratu Kenari yang dianggap seperti telanjang. Berjalan tenang sambil menembang. SEKTI : Ratu Kenari! Kenapa diam Anda? (memaling muka) Apakah sudah hilang kesadaran Anda? Kenapa Anda telanjang? RESO : Kenapa kamu menangis, anakku? Kenapa kamu berdarah, anakku? . KENARI menikam RESO dengan keris. SEKTI melihat tetapi sudah terlambat. RESO tertegun. KENARI menikam dada sendiri dengan keris itu. KENARI : Kerisku beracun! (roboh berlutut) Penjinah! Pembunuh! Kamu tega, aku juga tega! (mati) (Panembahan Reso, 1988:242) Demikianlah, sebelum Ratu Kenari membunuhnya, ternyata

Panembahan Reso telah linglung, dihantui oleh khayalannya sendiri sehingga sudah tidak dapat lagi mengenali segala sesuatu secara baik. Ketika mendengar tembang yang dilantunkan Ratu Kenari, misalnya, Panembahan

Reso justru seolah-seolah melihat kejadian-kejadian yang mengerikan. Ia terhipnotis oleh suara Ratu Kenari. Sebagai akibatnya, Ratu Kenari pun dengan mudah dapat menikamkan kerisnya ke dada Panembahan Reso. Pada kenyataannya, Panembahan Reso memang pengatur strategi yang ulung. Ia tidak perlu menjadi pelaku langsung dalam perebutan kekuasaan. Berkat kepiawiannya, ia mampu membuat rencana dan membangun strategi yang dapat memaksa perebutan kekuasaan itu terjadi. Namun, barangkali benar kata pepatah: untung tak dapat diraih, rugi tak dapat ditolak. Pada akhirnya, Panembahan Reso pun tidak kuasa menolak imbas hasil perbuatan jahatnya. Baru saja akan menikmati hasil jerih payah kejahatannya, ia sudah diteror dan menderita oleh khayalannya sendiri, sebelum Ratu Kenari menjemput ajalnya. 5. Suksesi dalam Panembahan Reso Kekuasaan senantiasa ada di dalam setiap masyarakat, baik yang masih sederhana maupun yang sudah maju dan kompleks susunannya. Akan tetapi, meskipun selalu ada, kekuasaan tidak dapat dibagi rata kepada semua anggota masyarakat. Pembagian yang tidak merata itu, menurut Soemardjan (1984:337) dan bandingkan dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia (1988:468), mengakibatkan timbulnya makna yang pokok dari kekuasaan, yakni kemampuan seseorang (golongan) untuk mempengaruhi orang (golongan) lain. Dalam perkembangannya, kekuasaan dapat dibedakan dalam tiga kelompok: kekuasaan social, kekuasaan ekonomi, dan kekuasaan politik (Max Weber melalui Wahyudi, 1990:184). Sementara itu, apabila kekuasaan menjelma pada seseorang, orang itu disebut pemimpin atau penguasa (Soemardjan, 1984:337). Dalam pandangan tradisional Jawa, menurut Suseno (1992:170), penguasa dipahami sebagai penyadap kekuatan-kekuatan alam semesta adiduniawi yang bersenergi dalam menggerakkan apa saja yang terjadi di

alam lahir. Dalam wilayah kekuasaan penguasa, tidak ada yang dapat terjadi di luar kuasa sang penguasa. Tanda kekuasaan penguasa adalah keselarasan, ketenangan, dan ketenteraman dalam masyarakat dan alam dalam wilayah kekuasaannya itu. Sebaliknya, segala bentuk keresahan dalam alam dan masyarakat selalu diartikan sebagai tanda bahwa kekuasaan penguasa (raja) mulai memudar. Membaca (dan melihat pementasan) lakon Panembahan Reso sebenarnya sama halnya berhadapan dengan tanggapan evaluatif Rendra terhadap konsep kekuasaan seperti itu. Melalui lakon ini, dapat diketahui bagaimana Rendra (sebagai penulis lakon Panembahan Reso) mengantisipasi kecenderungan manusia-manusia yang haus kekuasaan. Dalam hal ini, pengantisipasian itu diwujudkan Rendra dalam berbagai macam cara yang digambarkan melalui sikap dan perilaku tokoh-tokoh dalam lakon Panembahan Reso. Tokoh Panembahan Reso, misalnya, digambarkan sebagai manusia yang lihai berstrategi sehingga, untuk mendapatkan kekuasaan yang diidam-idamkannya, ia tidak perlu mengotori tangannya dengan darah. Semula ia hanyalah seorang panji. Berkat kepiawiannya itu, ia diangkat menjadi arya, sebelum menjadi raja. Sementara itu, tokoh-tokoh lain, seperti Ratu Dara, Pangeran Rebo, Pangeran Bindi, Pangeran Gada, dan Panji Tumbal digambarkan secara berbeda dengan sikap dan perilaku yang berlainan pula. Berikut ini akan dibicarakan gambaran tokoh-tokoh tersebut dengan lebih terinci. 5.1 Panembahan Reso Seperti telah dikemukakan di muka, tokoh ini digambarkan sebagai orang yang lihai dalam berstrategi. Berkat kelihaiannya ituterlepas dari keterkaitannya dengan tokoh lainia berhasil menghipnotis banyak orang sehingga dirinya dianggap sebagai tokoh yang ideal menjadi pemimpin. Kutipan berikut memperlihatkan hal itu.

JAMBU : Jangan lagi kita memilih raja seperti berjudi untung-untungan. Kita harus memilih orang yang sudah terbukti mutu dan

kemampuannya untuk kita rajakan. BOLO : Tepat! Tepat! Marilah kita rajakan orang yang telah terbukti sanggup memimpin, telah terbukti diakui pengaruh kewibawaan

kenegaraannya, telah terbukti ahli mengatur siasat perang, dan juga telah terbukti ikhlas melakukan pengorbanan pribadi demi negara, serta sampai sekarang kehidupannya bersih dari pencemaran noda. Marilah kita rajakan Panembahan Reso. (Panembahan Reso, 1988:234235) Dari percakapan tokoh Jambu dan Bolo itu, dapat diketahui bahwa mereka melihat Panembahan Reso bukan sebagai tokoh yang jelek dan jahat, melainkan sebagai tokoh yang baik dan ideal yang dapat dijadikan idola. Penilaian seperti itu tidak lain disebabkan oleh kelihaian Panembahan Reso dalam mengatur siasat. Padahal, kepada Panji Sekti ia justru mengakui bahwa dalam meraih cita-cita, ia menggunakan cara-cara yang tidak baik. Kutipan dialog berikut memperlihatkan pengakuan Panembahan Reso itu. SEKTI : Kenapa cita-cita segawat itu mesti diungkapkan kepada istri? RESO : Itulah kelemahanku. Semakin ketakutan, tingkahlaku istriku semakin berbahaya untuk keamanan cita-citaku. Lalu aku bunuh dia. SEKTI : Alangkah kotornya isi tengkorang kekuasaan. Itulah sebabnya kepala raja harus dihias dengan mahkota. RESO : Cita-citaku mulia, tetapi cara yang aku tempuh ternyata bersimbah darah dan berlumur noda. (Panembahan Reso, 1988:206)

Meskipun demikian, ketika Panji Sekti menanyakan perihal kebenaran dan kemuliaan cita-citanya itu, Panembahan Reso pun tiba-tiba menjadi orang bijak. Perhatikan kutipan berikut. SEKTI : Apakah Anda berpikir bahwa dunia akan memaafkan cara Anda yang bernoda, karena cita-cita Anda bermanfaat dan bersifat mulia? RESO : Dunia yang mana? Dunia lahir manusia sudah berlumur bedak dan gincu. Tetapi, dunia nurani manusia, tidak akan pernah memaafkan noda-nodaku. (Panembahan Reso, 1988:206) Dialog di atas mengungkapkan bagaimana Panembahan Reso memandang kehidupan manusia. Rupanya, ia memandang manusia dari dua arah: duniawi dan nurani sehingga ia pun berpendapat bahwa ada kebenaran duniawi dan kebenaran nurani. Demikianlah lebih kurang gambaran tokoh Panembahan Reso. Ia tergolong sebagai manusia yang menghalalkan segala cara demi tercapainya tujuan yang dikehendaki. Untuk mewujudkan cita-citanya, ia tidak hanya melakukan pengkhianatan, persekongkolan, dan penipuan, tetapi juga melakukan pembunuhan, bahkan terhadap isterinya sendiri. 5.2 Ratu Dara Menilik sejarahnya (dalam cerita), isteri termuda Raja Tua ini memang haus kekuasaan. Ia bersedia menjadi isteri Raja Tua karena permintaannya agar keturunannya kelak menggantikan Raja Tua sebagai rajadikabulkan. Kutipan berikut memperlihatkan hal itu. REBO : Benarkah saya akan bisa menjadi raja?

DARA : Dahulu Sri Baginda mengambil aku menjadi istrinya karena Ratu Padmi dan Ratu Kenari disangka tidak berputra. Terhadap diriku Sri Baginda sangat mabuk asmara. Setiap menghadapi diriku selalu tidak bisa menguasai dirinya. Aku menyadari kekuasaan diriku ini. Dan, aku memainkan kekuasaan itu. Aku menuntut agar antara ketiga istri kedudukannya sama. Tidak ada yang pertama, kedua, atau ketiga. Baginda menyetujui dan memaklumkan hal itu ke seluruh Negara. Baru setelah itu aku menyerahkan diri, lalu mengandung, akhirnya membuahkan dirimu: putra raja yang pertama. (Panembahan Reso, 1988:34) Oleh karena itu, ketika Raja Tua tidak menugasi Pangeran Rebo (tetapi menugasi Pangeran Bindi dan Pangeran Kembar) untuk memberangus pemberontakan yang dilakukan Panji Tumbal, Ratu Dara tersinggung dan sakit hati. Kuat dugaan, jika berhasil menumpas pemberontakan, Pangeran Bindi dan/atau Pangeran Kembar akan diangkat menjadi raja. Atas peristiwa itu, ia kemudian mencari siasat agar Pangeran Rebo tetap dapat menjadi raja. Akhirnya ia membuat persekongkolan dengan Panji Reso. Persekongkolan itu pun terus berlanjut dan membuahkan hasil: tidak hanya terbatas pada usaha untuk mendapatkan kedudukan (raja), tetapi juga pada hubungan asmara. Setelah Raja Tua terbunuh dan Pangeran Rebo (anaknya) menjadi raja, ia menikah dengan Panji Reso. Kedudukan dan kekuasaan, rupanya, sangat penting buat Ratu Dara. Demi kedudukan dan kekuasaan itu ia tidak pernah mau berspekulasi untuk mempertaruhkannya. Hal itu terlihat pada sikapnya ketika Maharaja (gelar Pangeran Rebo) menyatakan niatnya kepada Ratu Kenari hendak mengajak berunding Pangeran Bindi dan Pangeran Kembar. Ia menentang keras atas niat anaknya (Maharaja) itu. Untuk lebih jelasnya, lihat kutipan berikut.

MAHARAJA : Ratu Kenari! Kenapa putra-putramu jadi begini? Ternyata sudah terbukti bahwa mereka tidak jinak seperti katamu dulu. KENARI : Yang mulia! Hamba yakin mereka sekadar terbawa oleh suasana dan mendapat pengaruh buruk dari Pangeran Bindi. Hamba yakin hamba masih bias berbicara dan mengnsyafkan mereka ke jalan yang benar. MAHARAJA : Baik! Marilah kita membuat Panitia Perundingan dengan Bibi Ratu Kenari di dalamnya. DARA : Apa yang akan dirundingkan? Mereka menghendaki tahta dan kepala paduka! KENARI : Yang mulia! Setidak-tidaknya saya yakin akan bias menginsyafkan kedua putraku, Pangeran Kembar. MAHARAJA : Betul! Setiap kesempatan untuk perdamaian harus kita menfaatkan. DARA : Yang Mulia. Jangan lengah. Pertahankan kepala dan tahta paduka. (Panembahan Reso, 1988:216) Kutipan di atas dengan jelas memperlihatkan betapa besar kekhawatiran Ratu Dara terhadap kelestarian kedudukan Pangeran Rebo, anaknya yang telah bergelar Maharaja itu. Dan, karena Maharaja tetap pada pendiriannya (bersikukuh hendak melakukan perundingan), Ratu Dara tega membunuh anaknya itu. Kutipan berikut memperlihatkan hal itu. Muncul Ratu Dara dalam keadaan yang kumuh dan lusuh. Tangannya berlumuran darah RESO : Istriku, apa yang terjadi?

DARA : Jangan sentuh aku! Aku telah membunuh Sri Baginda Maharaja. Semua orang kaget dan membantu. DARA : Aku telah menikam jantung putra tunggalku dengan kerisnya sendiri. Ia bukan lelaki sejati. Ia tak mampu mempergunakan kerisnya, jadi biarlah keris itu menghunjam di dadanya. Ia membuat aku malu. Kita dudukkan ia di atas tahta, dan di atas tahta itu ia akan mencincang Negara, didorong oleh rasa takutnya. Sekarang aku . (Panembahan Reso, 1988:230231) Demikianlah gambaran tokoh Ratu Dara. Tidak berbeda jauh dengan Panembahan Reso, ia pun meletakkan kedudukan dan kekuasaan di atas segalanya sehingga tega membunuh anaknya sendiri. 5.3 Pangeran Rebo Sebagai putera tertua rajayang seharusnya berhak atas kedudukan raja, menggantikan ayahnya (sesuai dengan kesepakatan Raja Tua dan Ratu Dara sebelum menikah)Pangeran Rebo kurang disukai Raja Tua. Salah satu sebabnya ialah karena ia tidak memiliki keahlian berperang. Hal itu pula, rupanya, yang menyebabkan Raja Tua tidak mempercayakan penumpasan pemebrontakan Panji Tumbal kepadanya. Ketidakpercayaan Raja Tua terhadap Pangeran Rebo memang cukup beralasan. Di samping tidak memiliki keahlian berperang, Pangeran Rebo juga tidak memiliki sikap tegas dalam mengambil keputusan. Hal itu, misalnya, terlihat pada saat menyikapi pemberontakan yang dilakukan oleh Pangeran Bindi. Pada mulanya ia berniat untuk menumpas pemberontakan itu, tetapi setelah dirayu oleh Ratu Kenari, niat itu diurungkan dan bahkan mau berdamai melalui perundingan (lihat kutipan kedua pada gambaran tokoh Ratu

Dara). Sekalipun demikian, jika dilihat dari segi kemanusiaan, sikap seperti itu justru memperlihatkan kearifan Pangeran Rebo sebagai raja. Ia masih dapat memikirkan jalan pemecahan yang terbaik meskipun dalam keadaan terancam. Berkaitan dengan sikapnya itu, sangatlah beralasan jika Pangeran Rebo diidentivikasikan oleh Rendra sebagai boneka. Pengidentivikasian itu dapat dilihat pada lakon Panembahan Reso (1988:163 dan 213), yakni dengan penamaan subbab 34 dan 42: Raja Boneka dan Boneka yang Ngadat. Sementara itu, penamaan subbab 36 dan 37 (Rubah dan Musang Menekan Raja dan Dibawa Badai ke sana kemari)pun dapat dijadikan sebagai bukti pengidentivikasian itu. 5.4 Pangeran Bindi Seperti telah disinggung di muka, Pangeran Bindi adalah putera raja (dari Ratu Padmi) yang oleh Raja Tua dicadangkan sebagai penggantinya. Di antara pangeran-pangeran yang lain, Pangeran Bindilah yang memiliki keahlian berperang terbaik. Sayang, keahliannya itu tidak diimbangi dengan perilaku dan siasat yang baik sehingga banyak orang yang tidak menyukainya. Perilaku dan sikapnya yang kurang baik itu, misalnya, terlihat pada kutipan berikut. DODOT : Heran, kenapa kami berdua tidak diberi tugas apa-apa oleh ayahanda! BINDI : Kamu berdua hidup tanpa juntrungan. Terlalu banyak bergaul dengan orang yang resah. Ini membuat pandangan ayahanda pada kaliyan menjadi kurang mantap. GADA : Bukankah keresahan harus didengar agar segala sesuatau yang tidak beres di masyarakat dapat dibenahi?

BINDI : Jangan mengorbankan kedudukan secara konyol. Nanti kalau kita sudah berkuasa apa yang tidak beres baru bisa kita benahi. (Panembahan Reso, 1988:2829) Dari kutipan itu dapat diketahui bahwa Pangeran Bindi tidak memiliki rasa kesetiakawanan sosial yang tinggi. Sebagai anak raja, ia hanya mementingkan dirinya sendiri dan tidak mau tahu akan penderitaan rakyatnya. Sementara itu, kutipan berikut memperlihatkan kebiasaan jelek Pangeran Bindi lainnya, yakni suka menggoda dan bahkan memerkosa gadisgadis. RESO : Apakah Anda meninggalkan wilayah Watu Songo tanpa pertahanan sama sekali? SIMO : Tentu saja tidak. Pasukan saya tarik mundur dari kota Kadipaten untuk membuat pertahanan di hutan Roban. Di situ membuat pertahanan yang kuat lebih dimungkinkan. Lebih baik kita yang lebih dulu menduduki hutan itu daripada mereka. Jadi, kami mundur dari kota Kadipaten agar bias lebih kuat bertahan. Dan, dengan begitu pula kami menghadang jalan mereka kea rah ibukota. RESO : Syukurlah. Aku membenarkan pertimbangan Anda. JAMBU : Bagaimanapun pasukan Aryo Simo pasti memerlukan bantuan. SIMO : Pangeran Bindi telah memerkosa gadis-gadis desa. Pernah terjadi, dalam tempo sehari sepuluh gadis ia perawani. LEMBU : Jahanam! (Panembahan Reso, 1988:226227)

Demikianlah Pangeran Bindi. Setelah berhasil memenggal kepala Panji Tumbal serta mengetahui bahwa Raja Tua telah meninggal dan diganti oleh Pangeran Rebo, ia pun menyusun kekuatan untuk merebut tahta kerajaan dari saudara tuanya itu. Sayang, usaha itu dinodai dengan perbuatan-perbuatan naifnya sehingga tidak mendapat dukungan dari banyak orang. 5.5 Pangeran Gada dan Pangeran Dodot Dibandingkan dengan Pangeran Bindi, kakaknya, kedua pangeran ini memiliki kepedulian sosial yang tinggi. Oleh karena itu, mereka berdua tidak pernah cocok dengan Pangeran Bindi. Dalam menyikapi pemberontakan Panji Tumbal, misalnya, keduanya justru mendukung dan ingin membantu pemberontakan. Menurut mereka berdua, tindakan Panji Tumbal benar karena memerangi kesewenang-wenangan raja. Hal itu terlihat pada kutipan di bawah ini. GADA : Wajahmu muram. DODOT : Begitu juga wajah kakanda. GADA : Keadaan buruk DODOT : Ya, keadaan memang buruk GADA : Keadaan tidak bisa diteruskan seperti ini. Laporan para adipati harus diindahkan. Kebutuhan setiap kadipaten harus dipenuhi. Kalau tidak, keutuhan justru akan berantakan. Kepala memang penting, tetapi kaki dan tangan tidak boleh diabaikan. Kalau kaki dan tangan rusak, biarpun kepala tetap utuh, diri kita menjadi lumpuh. DODOT : Sudah jelas. Terlalu jelas. GADA : Rupanya kita sepaham.

DODOT : Cara berpikir kita serupa. GADA : Tetapi Sri Baginda Raja, ayahanda kita, sangat berbeda sikap dan pendapatnya. DODOT : Sri Baginda salah. Beliau akan tumbang. . GADA : Apakah Panji Tumbal cukup kuat? DODOT : Harus dibikin kuat. GADA : Apakah kita akan membantu Panji Tumbal? DODOT : Saya tidak ragu-ragu. Apakah kakanda ragu-ragu? GADA : Baik. Kita akan membantu Panji Tumbal. (Panembahan Reso, 1988:3738) Namun sayang, keduanya tidak pandai berstrategi sehingga dengan mudah Aryo Reso dapat menipunya: dengan berpura-pura berada di pihak mereka berdua (bahkan juga berjanji akan menyusul mereka untuk bergabung dengan Panji Tumbal), Aryo Reso menyuruh kedua pangeran yang polos itu untuk berangkat terlebih dahulu dan menunggu di Hutan Roban. Sementara itu, Aryo Reso justru melaporkan ulah kedua pangeran itu kepada Raja Tua. Sebagai akibatnya, Pangeran Gada dan Pangeran Dodot pun tertumpas sebelum dapat bergabung dengan Panji Tumbal. 5.6 Panji Tumbal Sebagai punggawa kerajaan, Panji Tumbal bukanlah penganut paham asal bapak senang (ABS). Setiap kali hati kecilnya merasakan ada ketidakberesan dalam pemerintahan, ia selalu berunjuk gigi, melakukan perlawanan. Baginya,

kepentingan rakyat paling utama untuk diperjuangkan. Namun sayang, seperti halnya Pangeran Gada dan Pengeran Dodot yang polos dan lugu, Panji Tumbal pun dapat dengan mudah dikhianati oleh lawan-lawannya. Hal itu terlihat dengan jelas ketika ia melakukan pemberontakan. Praktis pemberontakan itu ia lakukan sendirian, tidak ada satu kelompok pun yang datang membantunya. Padahal, sebelum pemberontakan itu ia kobarkan, dukungan (dalam bentuk janji) telah diperolehnya dari berbagai pihak: para pangeran, para aryo, dan para panji, termasuk Panji Reso. Kutipan berikut memperlihatkan hal itu. BINDI : Raja yang Anda tentang dengan pemberontakan telah wafat. TUMBAL : Ah! Lalu, bagaimana dengan maksud Anda sekarang? BINDI : Seandainya saat ini kau menang, Anda akan meraih tahtanya bukan? TUMBAL : Tidak! Tidak ada minat dan bakat saya untuk naik tahta. Aku memberontak untuk menuntut pemerataan keadilan. BINDI : Aku punya minat dan bakat untuk naik tahta. Maukah Anda mendukung aku? TUMBAL : Pikiran saya tertegun, Pangeran. BINDI : Lumarah. Sekarang aku bantu Anda berpikir. Yang berhak menjadi raja seorang pangeran. Nah, kecuali kedua pangeran kembar ini, keempat pangeran selebihnya, semua, berminat menjadi raja. Gada dan Dodot sudah dipancung oleh almarhum ayahku. Tinggal dua pangeran lagi, Rebo dan aku. Si Rebo orang yang lemah. Aku telah membuktikan bisa unggul di medan perang. Di bawah

kekuasaanku ada jaminan bahwa kerajaan akan tetap utuh dan sentosa. TUMBAL : Anda seperti Sri Baginda Raja Tua. Seandainya Anda menjadi raja, Anda hanya tertarik pada kekuasaan yang utuh semu. Tetapi,

nanti Anda juga akan kecolongan, tidak tahu bahwa rakyat Anda, dari para pengeran, para senapati, dan para adipati sebenarnya berantakan, gelisah, dan penuh ketidakpuasan. Anda akan . (Panembahan Reso, 1988:192193) Dari kutipan di atas, dapat dikatahui bahwa Panji Tumbal memang benarbenar berjuang untuk keadilan, bukan untuk kedudukan seperti yang diperjuangkan oleh tokoh-tokoh lainnya. Berkat motivasinya yang tulus itu ia sebenarnya mendapat banyak dukungan (setidaknya banyak kalangan yang sependapat dengannya). Namun, karena tidak berbekal keahlian berstrategi, akhirnya Panji Tumbal justru benar-benar dijadikan tumbal korban oleh orangorang yang mengincar tahta kerajaan. 6. Penutup Bertolak dari paparan di muka, dapat diketahui bagaimana pengarang Panembahan Reso (Rendra) menyodorkan tanggapan evaluatifnya atas kekuasaan, dalam hal ini adalah tahta kerajaan. Setidaknya ada dua simpulan yang dapat diutarakan. Partama, tahta kerajaan adalah sebuah pesona yang mampu menyilaukan siapa pun yang memandangnya, tidak terkecuali bagi tokoh seperti Panembahan Reso (orang yang secara hokum tidak memiliki hak untuk menjadi raja). Kedua, tahta kerajaan adalah sebuah zat yang ternyata dapat membentuk seseorang menjadi manusia baru: dari baik menjadi buruk atau sebaliknya, dari buruk menjadi baik. Hal itu dapat dilihat juga pada tokoh Panembahan Reso. Tokoh ini, ketika berhasil menduduki tahta, pernah berujar bahwa tahta bukanlah tempat duduk biasa. Baginya, tahta telah membuatnya merasa memiliki tanggung jawab yang suci dan besar. Tahta telah membuatnya mampu melihat nilai-nilai baik yang harus dipertahankan dan dilaksanakan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan jika Panembahan Reso pun pernah bersumpah untuk memberikan kesejahteraan dan keadilan kepada rakyatnya.

Ucapan dan sumpah seperti itu memiliki nilai lebih bukan karena sematamata keluar dari mulut Panembahan Reso (setelah menjadi raja), melainkan juga karena perilaku Panembahan Reso (sebelum menjadi raja). Ia meraih tahta kerajaan dengan cara-cara yang tidak seluruhnya bersih, bahkan terkadang sangat kotor. Cara-cara seperti itu, dalam kehidupan sehari-hari sekarang ini, bisa jadi juga dilakukan oleh banyak orang (terutama para politisi). Bedanya, jika Panembahan Reso masih berani berkata, Aku merasa sudah mendapat semuanya sehingga aku tak memikirkan diriku lagi. Oh, aku bersumpah untuk memberikan kesejahteraan dan keadilan kepada rakyatku, para pemimpin (penguasa) sekarang ini mungkin akan berkata, Aku harus bias memanfaatkan kekuasaan ini untuk menambah harta duniawiku. Sayang, Panembahan Reso keburu mati dengan tragis di tangan Ratu Kenari sehingga gagallah upayanya untuk mempertahankan dan melaksanakan kekuasaan yang dilandasi dengan niat menyejahterakan dan memberi rasa keadilan kepada rakyatnya itu. Demikianlah, disadari atau tidak, Rendra telah menyodori kita berbagai pemikiran tentang kekuasaan. Dengan dimatikannya Panembahan Reso di akhir cerita, berarti bertambah satu lagi pekerjaan rumah (PR) yang harus kita selesaikan. Daftar Pustaka Damono, Sapardi Djoko. 1979. Sosiologi Sastra: Sebuah Pengantar Ringkas. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. 1988. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Rendra. 1988. Panembahan Reso. Jakarta: PT Pustaka Karya Grafika Utama. Soemardjan, Selo dan Soeleman Sumardi (penghimpun). 1964. Setangkai Bunga Sosiologi. Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

Suara Pembaruan, 2008. UGM Anugerahi WS Rendra Doctor Honoris Causa, 4 Maret. Suseno, Franz Magnis. 1992. Filsafat Kebudayaan Politik: Butir-butir Pemikiran Kritis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Wahyudi, Ibnu (ed.). 1990. Konstelasi Sastra. Jakarta: Devisi Penerbit HISKI Pusat, FSUI.

Anda mungkin juga menyukai