Anda di halaman 1dari 13

BAB IV REALITAS KEHIDUPAN DALAM LAKON DRAMA

A. Seluk-beluk Drama

Pengertian Drama

Drama adalah satu bentuk karya sastra yang memiliki bagian untuk diperankan oleh aktor. Kosakata ini
berasal dari Bahasa Yunani yang berarti "aksi", "perbuatan". Drama bisa diwujudkan dengan berbagai
media: di atas panggung, film, dan atau televisi. Drama juga terkadang dikombinasikan dengan musik
dan tarian, sebagaimana sebuah opera. Sandiwara adalah sebutan lain dari drama di mana sandi adalah
rahasia dan wara adalah pelajaran. Orang yang memainkan drama disebut aktor atau lakon.

Sejarah Drama

Sebagai istilah, “drama” dan “teater” dipinjam dari khazanah kebudayaan Barat. Secara lebih khusus,
asal kedua istilah ini adalah dari kebudayaan atau tradisi bersastra di Yunani. Pada awalnya, di Yunani,
“drama” maupun “teater” muncul dari rangkaian upacara keagamaan, suatu ritual pemujaan terhadap
para dewa. Istilah “drama” yang dikemukakan oleh Drs. Boen S. Oemarjati (1971), pada masa Aeschylus
(525-156 SM) –satu dari tiga penyair tragedi Yunani– sudah menyiratkan makna ‘peristiwa’, ‘karangan’,
dan ‘risalah’. Sedangkan istilah “teater” yang berasal dari “théátron” yang juga merupakan turunan dari
kata “theáomai” mengandung makna ‘dengan takjub melihat atau memandang’. Secara khusus lagi,
pada masa Thucydès (471-395 SM) dan Plato (428-348 SM), “teater” juga dimaksudkan sebagai ‘gedung
pertunjukan, panggung’, atau ‘publik auditorium’ pada zaman Herodotus (490-424 SM), dan ‘karangan
tonil’, sebagaimana disebutkan dalam kitab Perjanjian Lama (Wahyudi, 2006:99).

Drama mulai tumbuh sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20, di Hindia Belanda telah tumbuh seni
pertunjukan berbahasa Melayu yang populer terutama di kota-kota besar yang umumnya dikenal
sebagai Komedi Bangsawan atau Komedi Stambul atau Opera Bangsawan. Asal-usul seni pertunjukan itu
tidak begitu jelas, tetapi menurut suatu pendapat berasal dari Tanah Melayu, dibawa oleh sutradara
keliling yang berdarah Rusia. Teater ini bukan sejenis teater rakyat yang diciptakan oleh masyarakat
untuk keperluan tertentu dan kemudian dianggap sebagai miliknya. Komedi Bangsawan adalah produk
kebudayaan populer yang sejak pertengahan abad 19 masuk ke Hindia Belanda.

Pertunjukan atau ritual rakyat yang dulu berlangsung di tempat-tempat yang sangat luas spektrumnya,
mulai dari pasar sampai kuil, sebagian berkembang menjadi berbagai jenis teater yang memerlukan
tempat khusus untuk mementaskannya. Pengaruh drama Barat masuk sejak akhir abad 19, mula-mula
dalam bentuk penulisan naskah yang dipentaskan untuk berbagai kepentingan sosial. Dalam
perkembangan tahap ini, dua jalur perkembangan pun muncul, yang pertama tiruan belaka dari seni
pertunjukan yang dikenal sebagai Komedi Stambul, yang kedua merupakan usaha beberapa kalangan
untuk menyerap pengaruh teater Eropa yang pada masa itu mengembangkan realisme.

Pada perempat abad 20, Kwee Tek Hoay, mencoba mengembangkan realisme yang meneladani Ibsen,
drama yang mengandalkan naskah. Drama pun mulai berkembang, yang khas pada perkembangannya di
Indonesia adalah bahwa berbagai jenis kecenderungan masuk bersama-sama. Kwee Tek Hoay dan
Wiggers mengembangkan gaya realis dalam drama, mereka adalah wartawan. Itu mungkin sebabnya,
drama-drama yang mereka tulis mengungkapkan berbagai masalah yang berkaitan dengan perubahan
sosial dengan gaya realis. Sementara itu, intelektual muda pribumi mengembangkan gaya penulisan
romantik untuk menyampaikan idealisme dalam rangka bangkitnya rasa kebangsaan.

Pergolakan pertama drama Indonesia terjadi pada tahun 1920-an, yang kemudian disusul dengan
kecenderungan yang semakin kuat untuk mengungkapkan idealisme dengan simbol-simbol. Sepanjang
tahun 1930-an, para dramawan pribumi kita umumnya adalah sastrawan yang tidak begitu akrab
dengan seni pertunjukan sehingga naskah-naskahnya bisa digolongkan ke dalam drama kamar.
Perkembangan itu praktis berubah ke arah lain ketika pada awal tahun 1940. Sensor yang sangat ketat
dari pemerintahan militer Jepang menyebabkan dramawan Indonesia tidak bisa berbuat lain kecuali
mematuhinya dengan menghasilkan sejumlah drama yang dianggap bisa menyebarluaskan gagasan dari
Asia Timur Raya. Karya Umar Ismail, dramawan utama Indonesia tahun 1940-an, merupakan tonggak
penting dalam perkembangan drama kita. Sesudah proklamasi kemerdekaan, tumbuh euforia
kebebasan yang mendukung tumbuhnya dramawan kita terhadap nasib kaum lemah dan rakyat kecil.

Kecenderungan yang ada pada awal 1950-an, disebabkan oleh kondisi sosial yang buruk sebagai akibat
revolusi yang mau tidak mau memaksakan perubahan sosial politik yang mendadak dan mendasar. Pada
masa itu, muncul drama-drama yang ditulis oleh Utuy Tatang Sontani, yang sebagian besar mengungkap
kehidupan rakyat kecil dan segala masalahnya. Di samping itu ia juga memanfaatkan cerita rakyat
sebagai sumber dramanya. Pada awal tahun 1960-an, panggung pertunjukan dimuati dengan gagasan
mengenai modernisasi yang tidak jarang diselewengkan kekecenderungan politik tertentu. Yang
kemudian terjadi pada masa sesudahnya adalah masuknya pengaruh jenis baru drama Barat yang di
negeri asalnya berkembang sejak tahun1940-an, yakni drama eksistensialis dan absurd. Dalam
perkembangannya, kecenderungan itu dikenal sebagai eksistensialisme suatu istilah yang bisa saja
dipertanyakan karena tidak pernah secara jernih disampaikan oleh para pendukungnya di Indonesia.
Sejak tahun 1960-an, drama berkembang dengan baik melaui penerjemahan yang menunjukan kualitas
dan gaya yang berbeda-beda.

Dalam perkembangan drama, Rendra boleh dikatakan menjadi tokoh utama yang menggerakkan arah
drama kita lewat sejumlah terjemahan dan pementasannya. Pementasan Rendra yang menggunakan
naskah Samuel Beckett, Menunggu Godot, mempunyai dampak luar biasa terhadap perkembangan
drama Indonesia sejak tahun 1970-an.

Dari pembahasan di atas dapat dilihat bahwa perkembangan drama sangat dipengaruhi oleh
perkembangan politik. Dalam masa akhir abad ke 20, ketika pemerintahan Soeharto disingkirkan muncul
drama-drama sosial dan protes yang tidak berbeda dalam hal gaya dan tema. Namun, Ratna Sarumpaet
berhasil mengusung tema baru dalam dunia drama Indonesia yaitu mengenai perempuan dan Hak Asasi
Manusia (HAM). Hal ini terlihat dari dua karyanya yaitu Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah (1993)
dan sebuah monolog yang berjudul Marsinah Menggugat (1997).
Selain itu, reformasi yang puncaknya adalah peristiwa kerusuhan 13-14 Mei 1998 diangkat oleh Seno
Gumira Ajidarma melalui tiga buah naskah drama yaitu Tumirah: Sang Mucikari (1998), Mengapa Kau
Culik Anak Kami (1999), dan Jakarta 2039 (2000). Ia melukiskan kekejaman politik dan diskriminasi
terhadap etnis Tionghoa. Dalam naskah drama Jakarta 2039 merupakan gabungan dari dua cerpennya
yaitu Clara dan Jakarta suatu Ketika.

Demikianlah drama di Indonesia dan tentunya dimanapun selalu erat kaitannya dengan perubahan
sosial, dan drama yang baik serta mampu bertahan lama tentulah yang berhasil mengangkat inti gejala
itu dan kemudian menyampaikannya.

Ciri-Ciri Drama

1. Harus ada konflik atau plot cerita yang mengandung konflik

2. Harus ada aksi

3. Harus dilakonkan

4. Durasi kurang dari 3 jam

5. Tiada ulangan dalam satu masa

Unsur-Unsur Drama

Secara beruntun akan dibicarakan mengenai anatomi sastra drama, plot atau alur cerita, struktur
dramatic Aristoteles, tokoh cerita atau karakter, bahasa, buah pikiran atau tema, dan dorongan atau
motivasi.

1. Anatomi Sastra Drama

Walaupun tidak semua, namun kebanyakan naskah-naskah drama dibagi-bagi di dalam babak. Suatu
babak dalam naskah drama adalah bagian dari naskah drama itu yang merangkum semua peristiwa yang
terjadi di satu tempat pada urutan waktu tertentu.

Suatu babak biasanya dibagi-bagi lagi dalam adegan-adegan. Suatu adegan ialah bagian dari babak yang
batasnya ditentukan oleh perubahan peristiwa berhubung datangnya atau perginya seorang atau lebih
tokoh cerita ke atas pentas.

Bagian lain yang sangat penting dan secara lahiriah membedakan sastra drama dari jenis fiksi lain adalah
dialog. Dialog adalah bagian dari naskah drama yang berupa percakapan antara satu tokoh dengan yang
lain. Begitu pentinya kedudukan dialog di dalam sastra drama, sehingga tanpa kehadirannya, suatu karya
sastra tidak dapat digolongkan ke dalam karya sastra drama.

Umumnya naskah sastra drama mempunyai bagian lain yang jarang tidak hadir, yaitu petunjuk
pengarang. Petunjuk pengarang adalah bagian dari naskah yang memberikan penjelasan kepada
pembaca atau awak pementasan—misalnya sutradara, pemeran, dan penata seni—mengenai keadaan,
suasana, peristiwa atau perbuatan dan sifat tokoh cerita.

Bagian naskah lainnya ialah prolog, namun tidak semua naskah memiliki prolog. Prolog adalah bagian
naskah yang ditulis pengarang pada bagian awal. Pada dasarnya prolog merupakan pengantar naskah
yang dapat berisi satu atau beberapa keterangan atau pendapat pengarang tentang cerita yang akan
disajikan.

Disamping prolog terdapat pula epilog. Epilog biasanya berisi kesimpulan pengarang mengenai cerita;
kadang-kadang kesimpulan itu disertai pula dengan nasihat atau pesan.

Solilokui adalah bagian lain dari naskah drama. Solilokui merupakan suatu konvensi, yaitu suatu hal yang
diterima pembaca atau penonton sebagai suatu yang wajar di dalam kerangka sastra drama.

Aside adalah bagian naskah drama yang diucapkan oleh salah seorang tokoh cerita dan ditunjukan
langsung kepada penonton dengan pengertian bahwa tokoh lain yang ada di pentas tidak mendengar.

2. Plot atau Alur Cerita

Plot atau alur cerita adalah rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan dengan hukum sebab-
akibat. Seorang dramawan menyusun plot untuk mencapai beberapa tujuan, yang terpanting
diantaranya adalah untuk mengungkapkan buah pikiran. Selain itu plot juga memiliki fungsi menangkap,
membimbing, dan mengarahkan perhatian pembaca atau penonton. Meskipun pesan yang akan
disampaikan dalam sebuah drama adalah pesan yang berharga, kalau penonton tidak merasa tertarik
kepada karya yang dicipta, maka buah pikiran atau pesan yang ingin disampaikan tidak akan sampai
sasaran. Tugas menarik pembaca atau penonton diemban plot dengan mempergunakan unsur-
unsurnya.

Ketegangan (suspense) adalah unsur plot yang pertama. Plot baik akan menimbulkan ketegangan pada
diri pembaca atau penonton melalui kemamuannya untuk menumbuhkan dan memelihara rasa ingin
tahu dan kepenasaran penonton dari awal sampai akhir.

Unsur kedua adalah dadakan (surprise). Pengarang yang baik akan menyusun ceritanya sedemikian rupa
hingga dugaan-dugaan pembaca atau penontonnya selalu keliru dan peristiwa membelok ke arah lain
yang tidak disangka-sangka dan bahkan mengagetkan.

Ironi dramatik dapat berbentuk pernyataan-pernyataan atau perbuatan-perbuatan tokoh cerita yang
seakan-akan meramalkan apa yang akan terjadi kemudian. Ironi diciptakan agar tidak mengganggu
ketegangan dan hilangnya unsur dadakan. Sebaliknya, ironi dramatik justru untuk mendukung kedua
unsur yang lain. Ironi dramatik akan menyebabkan pembaca dan penonton lebih penasaran di satu
pihak, di pihak lain akan memperkuat kesan dadakan kalau kemudian terjadi peristiwa yang ternyata
berhubungan erat dengan apa yang terjadi sebelumnya.

3. Struktur Dramatik Aristoteles


Struktur dramatik digunakana untuk memelihara kesinambungan hukum sebab akibat dari awal sampai
akhir cerita. Di dalam cerita-cerita konvensional, struktur dramatik yang dipergunakan adalah struktur
dramatik aristoteles. (384-322 SM) dari karya-karya Sophocles (495-406 SM).

Struktur adalah suatu kesatuan dari bagian-bagian, yang kalau satu di antara bagiannya diubah atau
dirusak, akan berubah atau rusaklah seluruh struktur itu. adapun bagian-bagian itu ialah eksposisi,
komplikasi, klimaks, resolusi, dan konklusi.

Eksposisi adalah bagian awal atau pembukaan dari suatu karya sastra drama. Komplikasi atau
penggawatan merupakan lanjutan dari eksposisi dan peningkatan daripadanya. Di dalam bagian ini,
salah seorang tokoh cerita mulai mengambil prakarsa untuk mencapai tujuan tertentu. Akan tetapi, hasil
dari prakarsa itu tidak pasti. Denga demikian timbullah kegawatan.

Komplikasi disusl klimaks, bagian selanjutnya dari struktur dramatik aristoteles. Dalam bagian ini pihak-
pihak yang berlawanan atau bertentangan, berhadapan untuk melakukan perhitungan terakhir yang
menentukan. Resolusi menyusul klimaks. Dalam bagian ini semua masalah yang ditimbulkan oleh
prakarsa tokoh.

Bagian terakhir adalah konklusi. Dalam bagian ini nasib-nasib tokoh cerita sudah pasti plot dan alur
cerita, di samping mengembang faal (fungsi) untuk mengungkapkan buah pikiran pengarang dan
menarik serta memelihara perhatian pembaca atau penonton, juga mengungkapkan dan
mengembangkan watak tokoh-tokoh cerita.

4. Tokoh Cerita atau Karakter

Cerita yang disajikan dalam suatu drama umumnya adalah totkoh-tokoh yang berupa manusia, selain
binatang atau makhluk lain. Dengan demikian dapatlah dikatakan bahwa tokoh cerita adalah orang yang
mengambil bagian dan mengalami peristiwa-peristiwa atau sebagian dari peristiwa-peristiwa yang
digambarkan di daam plot.

Sifat dan kedudukan tokoh cerita di dalam suatu karya sastra drama beraneka ragam. Ada yang bersifat
penting (major) dan ada pula yang digolongkan dalam golongan tidak penting (minor). Ada yang
berkedudukan sebagai protagonis, yaitu tokoh yang pertama-tama berprakarsa dan dengan demikian
berperan sebagai penggerak cerita. Protagonis adalah tokoh yang pertama-tama mendapat masalah dan
dihadapkan dengan kesukara-kesukaran. Biasanya kepadanya para pembaca berempati.

Lawan protagonis adalah antagonis, yaitu peran sebagai penghalang dan masalah bagi protagonis.
Tokoh lain adalah confidant, yaitu tokoh yang menjadi penengah atau tokoh kepercayaan dari kedua
tokoh protagonis atau antagonis sehingga keduanya bisa mengungkapkan isi hati di pentas dan oleh
karena itu membuka peluang lebih besar kepada pembaca atau penonton untuk mengenal watak dan
niat-niat tokoh-tokoh dengan lebih baik.

Watak para tokoh bukan saja merupakan pendorong untuk terjadinya peristiwa, akan tetapi juga
merupakan unsur yang menyebabkan gawatnya masalah-masalah yang timbul dalam peristiwa-peristiwa
tersebut. Tingkah laku dan perkataan tokoh-tokoh cerita itu niscaya akan membangkitkan perhatian dan
membimbing pembaca atau penonton yang peka untuk memahami, menghayati, dan menyimpulkan
buah pikiran pengarang.

5. Bahasa

Unsur drama yang sangat penting adalah bahasa. dalam hubungannya dengan plot, bahasa memiliki
beberapa peran. Bahasa juga menggerakkan plot dan alur cerita. Bahasa juga menjelaskan latar
belakang dan suasana cerita. Melalui bahasa yang diucapkan oleh para tokoh cerita atau petunjuk
pengarang, kita mengetahui tentang tempat, waktu atau zaman dan keadaan di mana cerita itu terjadi.

Bahasa juga berperan menciptakan suasana terpenting dalam cerita. Bahasa pun sangat penting
hubungannya dengan tokoh. Di samping oleh perbuatannya, watak tokoh cerita dilukiskan melalui apa
yang dikatakannya atau apa yang dikatakan oleh tokoh lain tentang dia sehingga bahasa berperan besar
dalam mengungkapkan buah pikiran pengarang. Kalaupun tokoh-tokoh tidak mengungkapkan buah
pikiran pengarang secara langsung, pembaca atau penonton akan menyimpulkan buah pikiran itu
terutama melalui bahasa di samping perbuatan tokoh-tokoh cerita.

6. Buah Pikiran atau Tema

Kalau seorang seniman tergolong pada kelompok masyarakat yang disebut cendekiawan, hal itu berarti
bahwa sebagai anggota masyarakat ia senantiasa peka dan memperhatikan apa yang terjadi di
sekelilingnya. Seorang dramawan atau penulis naskah drama pertama kali pasti menemukan masalah,
artinya ia melihat kesenjangan antara kenyataan (das Sein) dan harapan (das Sollen).

Unsur buah pikiran dalam karya sastra drama yang terdiri dari masalah, pendapat, dan pesan pengarang
itu secara langsung dan intuitif disimak oleh pembaca atau penonton yang baik. Buah pikiran merupakan
tujuan akhir yang harus diungkapkan oleh plot, karakter, maupun bahasa. Oleh karena itu, buah pikiran
justru menjadi pedoman dan pemersatu bagi unsur-unsur drama lainnya.

7. Dorongan atau Motivasi

Salah satu unsur yang tidak kalah pentingnya dari unsur-unsur yang lain adalah dorongan atau motivasi.
Motivasi adalah unsur yang menentukan baik terhadap perbuatan maupun terhadap percakapan
(dialog) yang diucapkan oleh tokoh cerita, khususnya tokoh utama atau protagonis. Jika ingin
memahami, menghayati, dan menikmati karya sastra drama, seyogianya berusaha secepat mungkin
untuk menangkap motivasi utama dalam karya itu.

8. Hubungan Langkah-langkah Apresiasi dengan Unsur-unsur Dramatik.

Langkah pertama dalam apresiasi karya drama adalah keterlibatan jiwa, yaitu suatu peristiwa ketika
pembaca atau penonton menyimak pikiran dan perasaan pengarang dalam hubungannya dengan suatu
masalah yang dihadapi di dalam kehidupannya.
Langkah kedua dalam apresiasi karya drama adalah kemampuan pembaca atau penonton untuk melihat
hubungan mantik (logis) antara gerak-gerik pikiran, perasaan, dan khayalnya dengan unsure-unsur
drama yang terdapat di dalam karya itu. Dalam langkah kedua apresiasi initermasuk pula drama sebagai
pengungkap buah pikiran dramawan.

Langkah ketiga dalam apresiasi karya drama dicapai ketika pembaca atau penonton memasalahkan dan
menemukan atau tidak menemukan hubungan (relevansi) antara buah pikiran pengarang dengan
pengalaman pribadinya dan pengalaman kehidupan masyarakat secara umum. Dalam tingkat ini,
pembaca atau penonton menetapkan apakah buah pikiran dramawan itu ada manfaatnya, baik bagi
dirinya maupun bagi masyarakat.

Jenis-Jenis Drama

Drama menurut masanya dapat dibedakan dalam dua jenis yaitu drama baru dan drama lama.

1. Drama Baru / Drama Modern

Drama baru adalah drama yang memiliki tujuan untuk memberikan pendidikan kepada mesyarakat yang
umumnya bertema kehidupan manusia sehari-hari.

2. Drama Lama / Drama Klasik

Drama lama adalah drama khayalan yang umumnya menceritakan tentang kesaktian, kehidupan istanan
atau kerajaan, kehidupan dewa-dewi, kejadian luar biasa, dan lain sebagainya.

Macam-Macam Drama Berdasarkan Isi Kandungan Cerita :

1. Drama Komedi

Drama komedi adalah drama yang lucu dan menggelitik penuh keceriaan.

2. Drama Tragedi

Drama tragedi adalah drama yang ceritanya sedih penuh kemalangan.

3. Drama Tragedi Komedi

Drama tragedi-komedi adalah drama yang ada sedih dan ada lucunya.

4. Opera

Opera adalah drama yang mengandung musik dan nyanyian.

5. Lelucon / Dagelan
Lelucon adalah drama yang lakonnya selalu bertingkah pola jenaka merangsang gelak tawa penonton.

6. Operet / Operette

Operet adalah opera yang ceritanya lebih pendek.

7. Pantomim

Pantomim adalah drama yang ditampilkan dalam bentuk gerakan tubuh atau bahasa isyarat tanpa
pembicaraan.

8. Tablau

Tablau adalah drama yang mirip pantomim yang dibarengi oleh gerak-gerik anggota tubuh dan mimik
wajah pelakunya.

9. Passie

Passie adalah drama yang mengandung unsur agama / relijius.

10. Wayang

Wayang adalah drama yang pemain dramanya adalah boneka wayang. Dan lain sebagainya.

• Unsur-Unsur Drama

• Alur, merupakan rangkaian peristiwa dan konflik yang menggerakkan jalan cerita. Alur drama
mencakup bagian-bagian pengenalan cerita, konflik awal, perkembangan konflik, penyelesaian.

• Penokohan, merupakan cara pengarang menggambarkan karakter tokoh. Dalam sebuah pementasan
drama, tokohlah yang mengambarkan secara langsung naskah drama. Tokoh terbagi dua berdasarkan
perannya, yaitu tokoh utama dan tokoh pembantu. Tokoh utama adalah tokoh yang menjadi sentral
cerita dalam pementasan drama. Sedangkan tokoh pembantu merupakan tokoh yang dilibatkan atau
dimunculkan untuk mendukung jalan cerita.

• Dialog, dalam sebuah dialog terdapat tiga elemen yaitu:

 Tokoh yaitu pelaku yang mempunyai peran lebih dibandingkan pelaku-pelaku lain, sifatnya bisa
protagonis dan antagonis.

 Wawancang adalah dialog atau percakapan yang harus diucapkan oleh tokoh cerita.

 Kramagung adalah petunjuk perilaku, tindakan atau perbuatan yang harus dilakukan oleh tokoh.
• Latar, adalah keterangan mengenai ruang dan waktu. Penjelasan latar dalam drama dinyatakan dalam
petunjuk pementasan. Bagian itu disebut dengan kramagung. Latar juga dapat dinyatakan melalui
pecakapan para tokohnya.

• Bahasa, merupakan media komunikasi antartokoh. Bahasa juga bisa menggambarkan watak tokoh,
latar, ataupun peristiwa yang sedang terjadi.

Jika drama akan dipentaskan, unsurnya akan bertambah yaitu sarana pementasan seperti panggung,
kostum, pencahayaan, dan tata suara.

B. Kaidah Kebahasaan Drama

• Berupa dialog

• Menggunakan tanda petik pada dialog

• Menggunakan kata ganti orang ketiga pada bagian prolog atau epilog (dia, beliau, ia, -nya)

• Menggunakan kata ganti orang pertama dan kedua pada bagian dialog (aku, saya, kami, kita, kamu)

• Banyak menggunakan konjungsi temporal (sebelum, sekarang, setelah itu, mula-mula, kemudian)

• Banyak menggunakan kata kerja yang menggambarkan suatu peristiwa (menyuruh, menobatkan,
menyingkirkan, menghadap, berisitrahat)

• Banyak menggunakan kata kerja yang menyatakan sesuatu yang dipikirkan atau dirasakan oleh tokoh
(merasakan, menginginkan, mengharapkan, mendambakan, mengalami)

• Menggunakan kata-kata sifat untuk menggambarkan tokoh, tempat, atau suasana (ramai, bersih, baik,
gagah, kuat)

C. Analisis Tokoh dalam Drama

Tokoh adalah unsur yang paling penting dalam sebuah pementasan drama, karena tanpa adanya tokoh
pasti tidak akan ada pementasan drama. Penokohan juga dapat digunakan untuk membedakan peran
yang satu dengan peran yang lain, karena antara tokoh yang satu dengan yang lain akan mempunyai
karakter yang berbeda-beda.

1. Peran

Wahyuningtyas dan Santosa (2011:3) membagi tokoh-tokoh cerita dalam sebuah karya dibedakan
menjadi tokoh utama, tokoh tambahan, tokoh protagonis, dan tokoh tambahan. Tokoh utama adalah
tokoh yang diutamakan penceritaannya. Ia merupakan tokoh yang paling banyak diceritakan, baik
sebagai pelaku kejadian maupun yang dikenai kejadian. Tokoh tambahan adalah tokoh yang tidak
sentral kedudukannya dalam cerita tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk mendukung tokoh
utama. Tokoh dalam drama mengacu pada watak (sifat-sifat pribadi seorang pelaku, sementara aktor
atau pelaku mengacu pada peran yang bertindak atau berbicara dalam hubungannya dengan alur
peristiwa (Wiyatmi, 2006:50).

Menurut Santosa, dkk (2008:90), peran merupakan sarana utama dalam sebuah lakon, sebab dengan
adanya peran maka timbul konflik. Konflik dapat dikembangkan oleh penulis lakon melalui ucapan dan
tingkah laku peran. Dalam teater, peran dapat dibagi-bagi sesuai dengan motivasi-motivasi yang
diberikan oleh penulis lakon. Motivasi-motivasi peran inilah yang dapat melahirkan suatu perbuatan
peran. Peran-peran tersebut adalah sebagai berikut.

a. Protagonis

Protagonis adalah peran utama yang merupakan pusat atau sentral dari cerita. Keberadaan peran
adalah untuk mengatasi persoalan-persoalan yang muncul ketika mencapai suatu cita-cita. Persoalan ini
bisa dari tokoh lain, bisa dari alam, bisa juga karena kekurangan dirinya sendiri. Peran ini juga
menentukan jalannya cerita.

b. Antagonis

Antagonis adalah peran lawan, karena dia seringkali menjadi musuh yang menyebabkan konflik itu
terjadi. Tokoh protagonis dan antagonis harus memungkinkan menjalin pertikaian, dan pertikaian itu
harus berkembang mencapai klimaks. Tokoh antagonis harus memiliki watak yang kuat dan kontradiktif
terhadap tokoh protagonis. Pada drama Jangan Menangis indonesia yang berperan sebagai tokoh
protagonis adalah Jendral, hal ini dapat dibuktikan dengan adanya dialog “Brengsek! Konyol! Pemalas!
Bodo kebo! Dasar pribumi! Gelo sia! Begitu saja tidak becus! Mengangkat kardus seperti mengangkat
langit. Semprul! Ayo jangan digondeli. Kerja bukan cari untung! Angkat! Dasar budak! Gotong royong!
Maunya kok menelan. Dasar kemaruk! Otak udang! Angkat bangsat! Kuntilanak. Lihat sendiri ini negeri
kacau. Manusia-manusia tidak memenuhi syarat. Begini mau merdeka? Berdiri saja tidak bisa. Ini mau
mendirikan negara Tahi kerbau! Nggak usah merdeka, belajar jadi budak dulu!”. Dalam dialog tersebut
sudah tergambar jelas bahwa peran yang dibawakan oleh Jendral ini mengandung unsur yang kontra
dengan tokoh Seorang yang menjadi tempat curahan hati tokoh lain.
c. Deutragonis

Deutragonis adalah tokoh lain yang berada di pihak tokoh protagonis. Peran ini ikut mendukung
menyelesaikan permasalahan yang dihadapi oleh tokoh protaganis.

d. Tritagonis

Tritagonis adalah peran penengah yang bertugas menjadi pendamai atau pengantara protagonis dan
antagonis.

e. Foil

Foil adalah peran yang tidak secara langsung terlibat dalam konflik yang terjadi tetapi ia diperlukan guna
menyelesaikan cerita. Biasanya dia berpihak pada tokoh antagonis.

f. Utility

Utility adalah peran pembantu atau sebagai tokoh pelengkap untuk mendukung rangkaian cerita dan
kesinambungan dramatik. Biasanya tokoh ini mewakili jiwa penulis.

2. Jenis Karakter

Kernodle (dalam Dewojati, 2010:170) mengungkapkan bahwa karakter biasanya diciptakan dengan sifat
dan kualitas yang khusus. Karakter tidak hanya berupa pengenalan tokoh melalui umur, bentuk fisik,
penampilan, kostum, tempo atau irama permainan tokoh, tetapi juga sikap batin tokoh yang dimilikinya.
Setiap karakter dalam sebuah lakon selalu berhubungan erat dengan karakter yang lain. Character
adalah orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif, atau drama yang oleh pembaca
ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam
ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan (Abrams (1981) dalam wahyuningtyas (2011:5)).
Menurut Santosa, dkk (2008:91), karakter adalah jenis peran yang akan dimainkan, sedangkan
penokohan adalah proses kerja untuk memainkan peran yang ada dalam naskah lakon. Penokohan ini
biasanya didahului dengan menganalisis peran tersebut sehingga bisa dimainkan. Menurut Saptaria
(2006 dalam Santosa, dkk, 2008:91), jenis karakter dalam teater ada empat macam, yaitu flat character,
round charakter, teatrikal, dan karikatural.

a. Flat Character (Perwatakan Dasar)


Flat character atau karakter datar adalah karakter tokoh yang ditulis oleh penulis lakon secara datar dan
biasanya bersifat hitam putih. Karakter tokoh dalam lakon mengacu pada pribadi manusia yang
berkembang sesuai dengan perkembangan lingkungan. Jadi perkembangan karakter seharusnya
mengacu pada pribadi manusia, yang merupakan akumulasi dari pengalaman-pengalaman dan interaksi-
interaksi yang dilakukannya dan terus berkembang. Penulis lakon adalah orang yang memiliki dunia
sendiri yaitu dunia fiktif, sehingga ketika mencipta sebuah karakter dia bebas menentukan suatu
perkembangan karakter. Flat character ini ditulis dengan tidak mengalami perkembangan emosi
maupun derajat status sosial dalam sebuah lakon. Flat character biasanya ada pada karakter tokoh yang
tidak terlalu penting atau karakter tokoh pembantu, tetapi diperlukan dalam sebuah lakon.

b. Round Character (Perwatakan Bulat)

Round character adalah karakter tokoh dalam lakon yang mengalami perubahan dan perkembangan
baik secara kepribadian maupun status sosialnya. Perkembangan dan perubahan ini mengacu pada
perkembangan pribadi orang dalam kehidupan sehari-hari. Perkembangan inilah yang menjadikan
karakter ini menarik dan mampu untuk mengerakkan jalan cerita. Karakter ini biasanya terdapat
karakter tokoh utama baik tokoh protagonis maupun tokoh antagonis.

c. Teatrikal

Teatrikal adalah karakter tokoh yang tidak wajar, unik, dan lebih bersifat simbolis. Karakter-karakter
teatrikal jarang dijumpai pada lakon-lakon realis, tetapi sangat banyak dijumpai pada lakon-lakon klasik
dan non realis. Karakter ini hanya simbol dari psikologi masyarakat, suasana, keadaan jaman dan lain-
lain yang tidak bersifat manusiawi tetapi dilakukan oleh manusia.

d. Karikatural

Karikatural adalah karakter tokoh yang tidak wajar, satiris, dan cenderung menyindir. Karakter ini segaja
diciptakan oleh penulis lakon sebagai penyeimbang antara kesedihan dan kelucuan, antara ketegangan
dengan keriangan suasana. Sifat karikatural ini bisa berupa dialog-dialog yang diucapkan oleh karakter
tokoh, bisa juga dengan tingkah laku, bahkan perpaduan antara ucapan dengan tingkah laku.

3. Teknik Penggambaran Tokoh

Adapun teknik penggambaran tokoh dalam menentukan suatu tokoh dalam sebuah drama. Teknik
penggambaran tokoh menurut Altenbernd dan Lewis (1966 dalam Wahyuningtyas dan Santosa, 2011:4)
sebagai berikut.
(1) Secara analitik, yaitu pelukisan tokoh cerita yang dilakukan dengan memberikan deskripsi, uraian,
dan penjelasan secara langsung.

(2) Secara dramatik, yaitu pengarang tidak langsung mendeskripsikan sikap, sifat, dan tingkah laku
tokoh, tetapi melalui beberapa teknik lain, yaitu teknik cakapan (percakapan yang dilakukan oleh tokoh-
tokoh cerita untuk menggambarkan sifat-sifat tokoh yang bersangkutan), teknik tingkah laku, teknik
pikiran dan perasaan, teknik arus kesadaran, teknik reaksi tokoh, teknik reaksi tokoh lain, teknik
pelukisan latar, dan teknik pelukisan fisik (teknik melukiskan keadaan fisik tokoh).

Anda mungkin juga menyukai