Anda di halaman 1dari 4

PEMAHAMAN KETEATERAN 1

A. Pengertian Teater dan Drama


Teater berasal dari bahasa Yunani: theatron. Mula-mula berarti panggung tempat
penonton. Yaitu sebuah bangunan yang dibangun untuk menjadi tempat berlangsungnya
sebuah peristiwa tontonan, yang kemudian dinamakan teater. Dalam perjalanan
selanjutnya, teater lebih merujuk pada pertunjukan seni drama atau kelompok drama.
Drama juga berasal dari bahasa Yunani, yang berarti dialog dalam bentuk puisi atau
prosa dengan keterangan laku. Di dalam pertunjukan drama, orang berlaku sesuai
dengan peran yang terdapat di dalam cerita, untuk menyampaikan cerita atau maknanya.
Teks tertulis yang berisi rancangan laku itu disebut lakon. Kemudian, lebih dikenal
dengan nama naskah.
Padan kata drama dalam bahasa Indonesia adalah sandiwara. Sandi berarti
“rahasia,” wara berarti “kabar” – kabar yang dirahasiakan. Dalam setiap lakon selalu ada
sesuatu yang disembunyikan, sehingga membuat penonton tertarik untuk menemukan
atau menafsir maknanya. Semakin mengejutkan atau tidak terduganya “rahasia” yang
disembunyikan itu, semakin tinggi daya pikat lakon sebagai tontonan. “Ketakterdugaan”
seperti itu, walau tidak selalu, umumnya dianggap sebagai suatu kekuatan tersendiri
dalam kesenian, sebagai wilayah kreativitas atau kepiawaian senimannya. Kerahasiaan
yang menyebabkan penonton penasaran menunggu akhir cerita itu, disebut plot. Dalam
khazanah lakon Indonesia, lakon Awal dan Mira karya Utuy Tatang Sontany merupakan
contoh plot yang baik untuk kasus tersebut. Demikian juga lakon Pakaian dan Kepalsuan
karya Arkady Timofeevich Averchenko yang disadur oleh Achdiat Karta Mihardja (1956).
Malam Jahanam karya Motinggo Boesje, dan Suara-Suara Mati karya Manuel van
Loggem yang diadaptasi oleh Sunarto Timur, dan juga oleh WS Rendra.

B. Sejarah dan Perkembangan Teater


Asal-usul teater Menurut dramaturgi (Barat), drama lahir di masa Yunani Kuno
berkat adanya upacara penyembahan Dewa Dyonisos, Dewa Anggur dan Kesuburan.
Upacara yang dilaksanakan oleh seorang pendeta itu merupakan puji-pujian dan
pemujaan yang kemudian melahirkan apa yang disebut monolog: pembicaraan oleh satu
orang.
Pada perkembangan selanjutnya, puji-pujian dari pendeta disahut oleh pendeta
yang lain, sehingga lahir apa yang disebut dialog, yaitu percakapan antara dua orang
yang berhubungan dengan upacara. Inilah yang kemudian menjadi cikal-bakal drama.
Upacara memuja Dyonisos di Yunani, disertai dengan pengorbanan kambing—dalam
hubungannya dengan itu pula, lambang Dyonisos adalah kambing atau domba jantan. Di
dalam mengarak korban ke tempat penyembelihan, masyarakat peserta upacara
menirukan ratapan kambing yang hendak disembelih itu. Ini melahirkan drama tragedi.
Yakni jenis drama yang mengungkapkan kesedihan, karena timbulnya penderitaan yang
biasanya tak bisa dielakkan, diikuti dengan kematian pelakunya. Dalam arak-arakan
menuju ke tempat upacara, sering terjadi ejek mengejek, sindir-menyindir, saling

1
Disampaikan dalam DIKLAT UKM TEATER MBURENG 2019 di BBI Ngoro Jombang
mengolok-olok dari para peserta. Situasi tersebut menimbulkan suasana gembira, lucu,
ceria yang kemudian melahirkan bentuk drama komedi. Drama komedi adalah jenis
drama yang penuh dengan canda, situasi lucu dan gembira yang mengajak penonton
untuk tertawa dan merasa senang. Tragedi dan komedi dipisahkan secara ketat dan
tegas di dalam dramaturgi Barat. Sophocles dengan trilogi Oedipusnya, adalah salah satu
monumen drama tragedi yang sampai sekarang sering dipentaskan.
Untuk drama komedi, kita kenal Moliere di Prancis. Salah satu karyanya sudah
diterjemahkan ke bahasa Indonesia berjudul Si Bachil (terbitan Balai Pustaka). Kemudian
berkembang apa yang disebut melodrama, yaitu jenis drama yang menggabungkan
kesedihan dan kegembiraan dalam satu paket. Di dalam drama ini air mata dan tawa,
kesedihan dan humor bercampur. Bentuk ini yang kemudian menjadi populer di
masyarakat dan menjadi formula hiburan yang laku. Dalam khasanah teater tradisi
Indonesia, kesedihan dan kegembiraan tidak pernah terpisah. Keduanya datang silih
berganti sebagai kelengkapan hidup. Di dalam teater rakyat misalnya, selalu dijumpai
adegan sedih yang diselingi dengan adegan lucu, yang membuat penonton tertawa.
Wayang Wong di Jawa selalu memiliki adegan goro-goro yang berada di tengah setiap
pertunjukan. Adegan tersebut merupakan saat para penonton untuk tertawa, setelah dan
sebelum adegan lainnya yang serius, tegang, atau menyedihkan.
Dengan demikian, dalam melihat kehidupan teater di Indonesia tidak bisa
disamakan dengan pandangan konvensional Barat. Juga dalam pandangan
konvensional (klasik) tersebut, yang kemudian banyak diikuti oleh tradisi sekolahan di
Indonesia, teater sebagai seni pertunjukan dianggap sebagai suatu jenis kesenian
tersendiri yang terpisah dari upacara. Akan tetapi, dalam kenyataanya, banyak sekali
ragam teater tradisional yang tidak bisa dipisahkan dari upacara. Upacara kebo-keboan
di Banyuwangi, perang topat di Lombok, ogoh-ogoh di Bali, tabuik di Minangkabau dan
pesta-pesta laut yang terdapat di berbagai pantai Nusantara, misalnya, tidak dianggap
sebagai teater.
Dalam perkembangan selanjutnya, kita dapat mengelompokkan jenis teater
menjadi 2, seperti yang dikemukakan oleh Eko Santosa dkk., dalam bukunya seni teater,
yaitu:
1. Teater Tradisional
Suatu bentuk teater yang bersumber dari tradisi serta budaya daerah setempat,
sesuai adat serta kebiasaan di daerah tersebut seperti misalnya pemilihan jenis alat
musik pengiring (ilustrasi), jenis bahasa yang digunakan serta kisah atau cerita yang
diangkat. Hal ini menyebabkan bentuk pementasannya akan berbeda - beda di
setiap daerah. Di Bali, Gambuh merupakan dasar dari perkembangan seni yang
ada setelahnya, yang kemudian berkembang menjadi bentuk arja, drama gong,
bondres dan sendratari¸ dimana ketiga jenis pementasan ini sudah memiliki alur
cerita serta plot kejadian seperti drama yang menggunakan sebuah naskah, tetapi
masih terikat oleh pakem budaya. Bentuk-bentuk pertunjukan inilah yang kemudian
akan bertransisi menjadi bentuk teater baru
2. Teater Modern
perkembangan teater modern sampai saat ini, telah mengalami beberapa kali
transformasi bentuk. Penjabaran perkembangan teater modern, sebagai berikut:
a. Teater Transisi
Kelompok teater ini merupakan kelompok teater tradisional dengan model
garapan yang mulai memasukkan unsur-unsur teknik teater Barat. Perubahan
tersebut terletak pada cerita yang sudah mulai ditulis, meskipun masih dalam
wujud cerita ringkas atau outline story (garis besar cerita per adegan).
b. Teater Konvensional
Berawal dari Angkatan Pujangga Baru (1920-an), Masa Penjajahan Jepang (1940-
an), Masa Awal Kemerdekaan (1950-an), Masa Akulturasi Etnis dengan Budaya
Barat (1970-an) serta Masa Orde Baru (1980-1990). Dari sisnilah kita mengenal
bentuk baku drama modern seperti yang kita kenal saat ini.
c. Teater Kontemporer
Gerakan ini terus berkembang sejak tahun 80-an sampai saat ini. Konsep dan
gaya baru saling bermunculan. Semangat kolaboratif yang terkandung dalam seni
teater dimanfaatkan secara optimal dengan menggandeng beragam unsur
pertunjukan yang lain. Dengan demikian, wilayah jelajah ekspresi menjadi
semakin luas dan kemungkinan bentuk garapan semakin banyak.
C. Unsur-Unsur yang Terdapat dalam Teater
Teater adalah suatu kegiatan manusia yang secara sadar menggunakan tubuhnya
sebagai alat atau media utama untuk menyatakan rasa dan karsanya, mewujud dalam
suatu karya (seni). Di dalam menyatakan rasa dan karsanya itu, alat atau media tadi
ditunjang oleh unsur gerak, suara (kata atau ucapan pemeran), bunyi (efek bunyi benda-
benda dan musik), dan rupa (cahaya dan sinar lampu, skeneri, kostum, dan tata rias).2
1. Pemeran (tokoh-sutradara)
2. naskah (prompt-book, floor-plan),
3. tempat pertunjukkan (skeneri/tata pentas) bentuk arena pentas: pentas arena,
prosenium, tapal kuda
4. Penonton (manajemen produksi)3
D. Manfaat Teater untuk Mahasiswa dan dalam Kehidupan Nyata
Pengalaman berteater, mulai dari penggalian cerita, latihan pementasan, hingga
pementasan, sangat berguna bagi partisipan maupun pihak-pihak yang terlibat dalam
kegiatan abdimas karena pengalaman berteater dapat mengasah kepekaan sosial dan
melatih bertanggung jawab. Berdasarkan kegiatan abdimas ini, dapat disimpulkan bahwa
teater dapat digunakan sebagai media untuk (a) membentuk kesadaran sosial para
partisipan, seperti yang terlihat dalam proses penggalian ide cerita; (b) membangkitkan
tanggung jawab partisipan sebagai anggota masyarakat (civic responsibility), seperti
yang terlihat dalam pengelolaan produksi, bahwa diperlukan kerja sama untuk

2
(Padmodarmaya (1988)
3
Anirun (1998)
kesuksesan sebuah acara; serta (c) teater sebagai sarana pembentukan agensi budaya
partisipan.4

4
Jurnal Pengabdian Kepada Masyarakat, Vol. 3, No. 1, September 2017 hlm. 106

Anda mungkin juga menyukai