Anda di halaman 1dari 19

KONSEP DRAMATURGI ERVING GOFFMAN DAN RUANG-RUANG RAHASIA

TEATER KONTEMPORER
Petrus Fidelis Ngo
Alumni IFTK Ledalero
email: defringo5@gmail.com

ABSTRAKSI
Perkembangan teater kontemporer membingkai dalam ragam struktur dan bentuk.
Jacques Derrida (1930-2004), seorang filsuf berkebangsaan Prancis menganulir
lahirnya sistem berpikir yang bersifat dekonstruktif dalam tradisi kontemporer.
Batasan-batasan normatif-etis dibongkar dan digantikkan oleh model berpikir yang
lebih cair dan terbuka pada perbedaan pendapat. Penelitian ini bertujuan untuk
membahas konsep dramaturgi dalam pandangan Erving Goffman guna membongkar
“ruang-ruang rahasia” dalam teater kontemporer. Konsep dramaturgi Erving Goffman
dinilai memberikan sumbangan besar untuk membedah sifat dekonstruktif dalam
tradisi teater kontemporer. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang
bermaksud membuat analisis deskriptif terhadap suatu konten (qualitative content
analyis). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa teater kontemporer sesungguhnya
menyimpan banyak isu-isu kunci dalam sebuah aktivitas pertunjukan. Dramaturgi
Goffman mencoba mencermati isu-isu tersebut dengan memperkenalkan tiga
komponen besar pertunjukan, antara lain pemeran atau penonton, ekspresi dan impresi
serta setting atau panggung. Pengenalan terhadap ketiga komponen tersebut akan
memampukan publik untuk mengenal orientasi operasional yang bergerak di balik
pertunjukan teater kontemporer.
Kata kunci: dramaturgi, Erving Goffman, ruang-ruang rahasia, teater kontemporer

PENGANTAR

Pada awal tahun 1990-an, dinamika perkembangan teater di Indonesia berada


pada situasi konfliktual.1 Di satu pihak, para seniman resisten untuk mempertahankan
corak budaya dalam teater-teater tradisional. Mereka mengafirmasi pentingnya
keberpihakan pada budaya sebagai upaya menunjukkan identitas bangsa. Teater
tradisional memiliki kelekatan dengan hidup masyarakat. Ia dirayakan sebagai bagian

1
Riantiarno membagi sejarah perkembangan teater di Indonesia ke dalam beberapa babak mulai dari
teater tradisional sampai teater kontemporer. Secara khusus, ia membuat analisis mendalam tentang
corak teater modern dalam lima babak utama yang bertolak dari masa perintisan sampai masa tearer
kontemporer. Bdk. Riantiarno, Kitab Teater (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2011), hlm. 27.
Penyebutan “situasi konfiktual” dalam kalimat pembuka ini berasal dari pembacaan subjektif penulis
menimbang pergesekan pemahaman dari tradisi teater yang satu ke tradisi teater yang lain.

1
dari hiburan masyarakat luas. Pertunjukan wayang, ludruk dan lenong yang secara
simultan dilakukan di Indonesia menunjukkan kecintaan masyarakat pada budaya. Di
beberapa wilayah Flores dan Timor, masyarakat bahkan rutin membawahkan pantun
secara berbalasan dalam sejumlah upacara adat. Mereka juga aktif menciptakan sajak-
sajak berbahasa daerah dan membacakannya pada kesempatan bersama. Bentuk teater
tradisional berkembang secara organik sesuai dengan tradisi yang diwariskan oleh
nenek moyang orang Indonesia pada zaman dahulu.2

Bertolak belakang dengan teater tradisional, teater modern justru mengusung


ideal yang berbeda. Kelahiran teater modern di Indonesia menandai suatu masa
transisi dari kebudayaan populer yang dibawah oleh kolonialisme. Teater modern
cenderung berkiblat pada teater Barat. Ia berkembang di daerah perkotaan melalui
proses adaptasi dengan kehidupan masyarakat urban. Munculnya masyarakat kota
yang bersifat pluralistis, ekonomis dan modernis mengakibatkan munculnya
permintaan bentuk teater yang sesuai dengan aspirasi budayanya. 3 Teater modern
mengeksplorasi kecenderungan teater Barat yang elitis dan menyusu pada teks. Dalam
bahasa yang sama, teater modern disebut sebagai bentuk teater yang mengabdi kepada
naskah dan menginginkan kesempuraan bermain dalam teknik dan keterampilan
dramaturgi.4 Teks, pelakon dan penonton memiliki jarak yang sangat dekat. Pelakon
bahkan tidak diperkenankan untuk membuat eksplorasi kreatif dalam gerak tubuh dan
mimik yang bebas. Tubuh dan idenya dikonstruksi oleh bangunan tekstual.
Kecenderungan ini bisa dipahami mengingat modernisme selalu menginginkan
tercapainya misi untuk mempengaruhi dan mengubah pemahaman masyarakat.

Pertemuan antara teater tradisional dan teater modern di Indonesia


membingkai munculnya teater kontemporer. Istilah “kontemporer” merujuk pada
situasi dalam ruang dan waktu masa kini dan merupakan cara untuk menunjuk adanya
perkembangan dan perubahan teater di daerah-daerah menjadi bentuk teater kekinian
yang bercita rasa Indonesia.5 Teater kontemporer mengkolaborasikan bentuk-bentuk
umum dalam teater tradisional dan modern. Pertunjukan teater menjadi lebih leluasa

2
Turahmat, Teater: Teori dan Penerapannya (Semarang: Pusta Najwa, 2010), hlm. 2.
3
Sahrul N “Estetika Teater Modern Sumatera Barat”, dalam Mudra: Jurnal Seni Budaya, Vol. 26, No.
2, 2011, hlm. 211.
4
Ibid.,hlm.212.
5
Hj. Yudiaryani, "Identifikasi Teater Indonesia: Inspirasi Teoretis bagi Praktik Teater Kontemporer",
dalam Makalah Seminar Nasional Konstruksi Realitas Teater (Surabaya: Jurusan Seni Drama Tari dan
Musik FBS Ubaya, 2010), hlm. 3.

2
tanpa mengguru pada ketentuan teks. Pelakon dapat meramu pertunjukan
menggunakan imajinasi kreatif yang luwes dan cair. Dalam teater kontemporer,
permainan tanda, simbol dan lambang menjadi lebih dominan. Teater kontemporer
disebut memiliki kekayaan pada unsur semiotik. Pertunjukan teater kontemporer
muncul dalam sebuah brikolase yang menyandingkan tanda-tanda yang semula tidak
dikenal dengan kode-kode yang baru. Kode merupakan intertekstualitas yang sadar
diri, yakni saling kutip antara satu teks dengan yang lain dengan berbagai
kemungkinan individual yang mencerminkan gagasan politik “yang lain”.6

Meski memiliki tempat yang luas di tengah masyarakat modern, keberadaan


teater kontemporer juga dinilai kehilangan substansi. Istilah “kontemporer”
sebagaimana “post-modern” atau “post-kolonial” menunjuk pada peleburan wacana
yang bersifat dinamis. Kondisi kontemporer menyiratkan distorsi makna dan
pegangan dalam hidup bersama. Penonton sebagai penikmat teks tidak memiliki
horison tunggal untuk memahami arti di balik sebuah pertunjukan. Kebebasan sebagai
ciri utama dari dunia kontemporer mengidentifikasi lahirnya relativisme. Dunia
kontemporer (post-modern, post-kolonial) menekankan emosi ketimbang rasio, media
ketimbang isi, tanda ketimbang makna, kemajemukan ketimbang penunggalan,
kemungkinan ketimbang kepastian, permainan ketimbang keseriusan, keterbukaan
ketimbang pemusatan, yang lokal ketimbang yang universal, fiksi ketimbang fakta,
estetika ketimbang etika dan narasi ketimbang teori7 Konektivitas tanda, simbol dan
lambang memiliki penekanan yang lebih penting. Ekspresionisme dirayakan secara
berlebihan tanpa mempertimbangkan unsur fungsionalisme. Jika tidak dibarengi
dengan dialektika yang seimbang antara dinamika teks, pemeran dan penonton, maka
teater kontemporer akan kehilangan maknanya yang otentik.

Ekspresionisme dalam teater kontemporer tentu merupakan fakta yang bersifat


umum. Pementasan yang digarap sutradara dirayakan secara meriah, seolah-olah
dinilai cocok dengan konteks penonton. Meski demikian, pementasan teater
kontemporer ternyata menyimpan intrik tertentu. Selain sebagai upaya untuk
menumbangkan kecenderungan dogmatis dan hegemonik dalam teater modern, teater
kontemporer dinilai menggiring penonton pada narasi-narasi minor yang jauh dari

6
Chris Barker, Cultural Studies: Theory and Prctice, dalam Tim KUNCI Cultural Studies Centre
(penerj), (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005), 203.
7
Ariel Heryanto, The Postmodern Condition: A Report On Knowledge (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm.
80.

3
perhatian bersama. Hal-hal lain seperti penggunaan lighting yang semarak, setting
panggung yang sirkular-diametrial dan tata busana yang menterang adalah beberapa
elemen pertunjukan yang hadir dalam teater kontemporer. Sementara itu, makna dan
substansi cerita hanya berpendar pada perifer lakon. Penonton sebagai penikmat teater
sulit memahami nilai yang terkandung dalam sebuah pertunjukan. Pertanyaannya,
bagaimana memahamai dinamika lakon teater kontemporer? Apakah teater
kontemporer hanya mengandung unsur dekonstruksi tanpa meninggalkan nilai?

Dua pertanyaan di atas akan dijawab dengan menggunakan konsep dramaturgi


Erving Goffman. Dalam bukunya berjudul Presentation of Self in Everyday Life
(1959), Goffman memperjelas pemahamannya tentang konsep dramaturgi dalam
lakon teater. Konsep dramaturgi bermula dari pemahaman bahwa panggung teater
merupakan ruang interaksi sosial yang berisi peran-peran dalam kehidupan
masyarakat. Kehidupan dinilai ibarat teater dengan interaksi sosial yang mirip dengan
pertunjukan di atas panggung dan berisi peran-peran yang dimainkan oleh para aktor.8
Persoalan bermula ketika realitas sosial dipidahkan ke atas sebuah panggung teater.
Realitas yang dipanggungkan memiliki posisi yang ambivalen: entahkah ia
merepresentasikan kenyataan, mereduksi tatanan objek atau justru melampaui
kenyataan. Di sinilah letak persoalan yang terjadi. Bagi Goffman, panggung tidak
sekedar hadir sebagai elemen pendukung teater. Sebaliknya, panggung didefinisikan
sebagai satu area yang terbatas oleh bentukan persepsi tertentu. 9 Konstruksi panggung
dalam dinamika lakon akan menentukan visi operasional pertunjukan teater.

Bertolak dari uraian-uraian terdahulu, penulis coba mencermati “ruang-ruang


rahasia” di balik pementasan teater kontemporer. “Ruang-ruang rahasia” tersebut
umumnya disembunyikan oleh sutradara untuk mewujudkan tujuan pementasan.
Pertanyaannya, bagaimana konsep dramaturgi Erving Goffman dipakai untuk
menjelaskan “ruang-ruang rahasia” dalam teater kontemporer”? Apa sebenarnya yang
dimaksud dengan “ruang-ruang rahasia” tersebut? Apa hal yang bisa diupayakan
untuk memahami hakikat teater kontemporer? Mengapa konsep dramaturgi menjadi
pilihan untuk menjelaskan teater kontemporer? Pertanyaan-pertanyaan ini menjadi

8
D. Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Penelitian Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 114.
9
Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (Edinburgh: University of Edinburgh,
1956), hlm. 66.

4
sangat penting untuk dijelaskan guna memberikan cara pandang baru dalam
memahami hakikat teater kontemporer.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yaitu jenis penelitian untuk


menghasilkan data dalam bentuk deskripsi tentang suatu topik tertentu. Julia Brannen
mengungkapkan bahwa pendekatan kualitatif adalah salah satu model penelitian yang
bersifat naturalistik yang menggunakan metode interpretasi konstruktif dengan
menyelidiki suatu persoalan secara mendalam.10 Metode penelitian kualitatif
ditempuh dengan melakukan penyelidikan sumber-sumber kepustakaan. Penulis
membaca sejumlah buku, artikel, jurnal ilmiah dan berita di laman internet berkaitan
dengan tema tentang konsep dramaturgi Erving Goffman dan teater kontemporer.
Sumber-sumber kepustakaan tersebut dibagi ke dalam dua bagian, yakni sumber data
primer dan sekunder. Sumber data primer berasal dari kajian Goffman tentang konsep
dramaturgi dan teori-teori tentang teater kontemporer. Sedangkan sumber data
sekunder berupa kajian-kajian lain yang mendukung sumber data primer penelitian.

Informasi dari sumber-sumber kepustakaan kemudian dirangkum dan


dianalisis ke dalam tiga tahapan, yaitu reduksi data, penyajian data dan penarikan
kesimpulan atau verifikasi. Tahap reduksi data yaitu tahapan di mana penulis memilah
informasi-informasi penting yang berkaitan dengan tema tentang konsep dramaturgi
Erving Goffman dan teater kontemporer. Tahapan ini dimulai dengan membaca
sejarah kemunculan, konsep-konsep kunci dan tujuan dari dramaturgi Goffman dan
teater kontemporer. Setelah tahap reduksi, penulis kemudian membuat penyajian data.
Penulis mulai menguraikan informasi-informasi tersebut secara detail dan sistematik.
Terakhir, tahap penarikan kesimpulan atau verifikasi dibuat dengan cara merangkum
inti sari yang menjadi uraian dalam tahap penyajian data. Rangkuman tersebut
kemudian diverifikasi untuk melihat validasi dan kesesuaian data dengan tema
penulisan artikel.

10
Julia Brannen, Mixing Method: Qualitative and Quantitative Research (USA: Avebury Aldershoot
Publisher, 1992), hlm. 58.

5
TEMUAN DAN PEMBAHASAN

Konsep Dramaturgi Erving Goffman

Erving Goffman lahir di Meanville, Alberta, Kanada pada tanggal 11 Juni


1922 dari pasangan Max dan Anne Goffman.11 Kedua orangtuanya adalah keturunan
Yahudi-Ukraina yang bermigrasi dan menetap di Kanada. Semula, Goffman tertarik
mendalami ilmu-ilmu sains (naturwischenschaften). Belum lama berkuliah, Goffman
lalu memutuskan untuk mengembangkan ketertarikannya pada dunia sosiologi. Ia
bertemu dengan seorang sosiolog terkenal dari Amerika Utara bernama Dennis
Wrong. Pertemuan mereka membuat Goffman termotivasi untuk mendaftarkan diri ke
Universitas Toronto.12 Di sana, ia secara intens mempelajari sosiologi dan berdialog
dengan banyak pemikir terkemuka. Setelah tamat dari Universitas Toronto, ia
kemudian melanjutkan pendidikan magister dan doktoralnya di Universitas Chicago.
Selama pengerjaan disertasi doktoralnya mulai dari Desember 1949 hingga Mei 1951,
Goffman bekerja mengumpulkan data etnografi di Unset, Pulau Shetland, Skotlandia
yang dibukukan dengan judul The Presentation of Self in Everyday Life (1956).13

Konsep dramaturgi Goffman sesungguhnya bersumber dari publikasi buku


The Presentation of Self in Everyday Life. Konsep ini dikenal luas dalam ilmu
sosiologi untuk membahas interaksi manusia dalam masyarakat. Interaksi antara satu
individu dengan individu lain akan sangat menentukan identitas diri individu tersebut.
Identitasnya berubah dalam proses interaksi yang dibangun bersama orang lain.
Dalam interaksi, orang membangun hubungan yang dialogis dengan rekan bicara.
Keterbukaan sikap, penerimaan dan tanggapan terhadap rekan bicara akan
menentukan sejauh mana konsep diri individu. Bagi Griffin, konsep dramaturgi
sesungguhnya memuat sifat interaksionisme simbolik.14 Penguasaan atas simbol-
simbol dalam percakapan memungkinkan dinamika dramaturgi berlangsung. Goffman
melihat titik singgung dalam interaksionisme simbolik sebagai bagian dari permainan
peran. Dalam The Presentation of Self in Everyday Life, ia menganalogikan panggung

11
George Ritzer, Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern,
dalam S. Pasaribu, Rh. Widada, dan E. Adinugraha (penerj.) (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm.
63.
12
Dmitri N. Shalin, “Interfacing Biography, Theory and History: The Case of Erving Goffman”, dalam
Symbolic Interaction, Vol. 37, No. 1, 2014, hlm. 6.
13
Ibid.,hlm. 9.
14
Eric Griffin, A First Look at Communication Theory 4th Edition (Boston: McGraw Hill Higher
Education, 2000), hlm. 54.

6
sebagai medan interaksi sosial dengan fokus pada aktor, tindakan, dan interaksi.15
Hubungan antara ketiga unsur tersebut bersifat saling mempengaruhi dan memberi
makna.

Asumsi dasar dramaturgi Goffman bertolak dari interaksi tatap muka atau
kehadiran bersama (co-presence) dan bukan pada struktur sosial yang mempengaruhi
individu. Interaksi tatap muka dibatasi hanya pada individu-individu yang saling
mempengaruhi ketika mereka berhadapan secara fisik. Selama interaksi berlangsung,
pelaku-pelaku pada sebuah peristiwa memunculkan pengaruh dari pemain-pemain
lain dengan cara tertentu.16 Perilaku interaksi tidak terpisahkan dari peran tingkah
laku yang saling berhubungan dengan orang lain. Ketika seorang aktor saling
berhubungan, ia membentuk sebuah tim atau susunan individu yang bekerja sama
dalam mementaskan sebuah kebiasaan.17 Keberadaannya menjadi penanda dan
petanda bagi akor lain. Dalam semiotika Saussure, penanda (signifier) dibedakan
dengan petanda (signified). Secara sederhana, signifier adalah bunyi yang bermakna
atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang
ditulis atau dibaca. Sementara itu, signified adalah gambaran mental, yakni pikiran
atau konsep aspek mental dari bahasa.18 Relasi dialektikal individu dalam panggung
dramaturgi bergerak dalam hubungan signifier dan signified.

Konsep dramturgi Goffman terbagi ke dalam tiga modus penting.19 Pertama,


kita mengembangkan bagaimana kita tampil bagai orang lain. Identitas diri individu
dalam panggung dramaturgi adalah wujud diri yang palsu. Individu bergerak bukan
semata-mata karena peranan yang diterima, tetapi tuntuan khalayak penonton. Kedua,
kita membayangkan bagaimana penilaian mereka atas penampilan kita. Bayangan atas
penilaian orang terhadap perilaku individu memperkuat identitas diri “yang lain”
sebagaimana dikehendaki penonton. Panggung menjadi ruang didaktis, alih-alih
berkarakter ekspresionisme yang bebas. Ketiga, kita mengembangkan perasaan diri,
seperti malu, bangga, sebagai akibat mengembangkan penilaian orang lain lewat
imajinasi kita mempersepsikannya. Komponen terakhir dari dramaturgi

15
George Ritzer, op.cit.,hlm.369 -370.
16
Suko Widodo, Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial (Malang: Aditya Media Publishing Widodo,
2010), hlm. 181.
17
Ibid.
18
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan
Analisis Framing (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 125.
19
George Ritzer, op.cit., hlm. 633 -634

7
mengandaikan tercapainya dua komponen terdahulu. Praktisnya, gerak laku aktor di
atas panggung adalah perwujudan kehendak penonton. Aktor menjadi individu yang
pasif dan lakon menjumpai kematian.

Selanjutnya, konsep dramaturgi Goffman dapat diperinci dalam tiga


komponen penting pertunjukan, yakni pemeran atau penonton, ekspresi dan impresi
dan panggung (setting). Pertama, pemeran atau penonton adalah salah satu unsur
kunci dalam sebuah pertunjukkan teater. Dalam dramaturgi, setiap individu wajib
memerankan tokoh yang dimainkan secara baik. Ukuran untuk menilai suksesnya
suatu pementasan bertolak dari seberapa besar apresiasi penonton atas bentuk
pementasan yang dilakukan. Fokus pendekatan dramaturgis adalah bukan apa yang
orang lakukan, bukan apa yang ingin dia lakukan atau mengapa dia melakukan
melainkan bagaimana dia melakukannya.20 Kedua, ekspresi dan impresi. Ekspresi
yang diberikan oleh seorang pemeran teater sangat menentukan impresi penonton.
Proses ini dimaksudkan untuk mempengaruhi atau memanipulasi kesan agar sesuai
dengan yang diinginkan melalui pengaturan kesan (managemen impresi).21 Ketiga,
panggung (setting) adalah unsur pendukung yang menunjang jalannya sebuah
pertunjukan. Goffman mengkategorisasi pemaknaan panggung ke dalam tiga model
yaitu, front stage, back stage dan off stage.

Front stage menjadi panggung depan yang menampilkan peran pelakon. Front
stage merupakan ruang dialektis antara pelakon dan penonton. Pelakon
membawahkan narasi teater, sedangkan penonton aktif mendengar dan mencerna
maksud pemeran. Sedangkan back stage merupakan ruang terbuka sebagai tempat
para aktor untuk bersantai dan mempersiapkan diri sebelum tampil di hadapan
penonton. Panggung ini berbatasan dengan panggung depan, namun tersembunyi dari
pandangan khalayak untuk melindungi rahasia pertunjukkan.22 Terakhir, off stage
merupakan panggung di luar panggung depan dan panggung belakang. Panggung off
stage adalah sebuah ruang privat yang tidak akan ditampilkan di back stage maupun
front stage karena dapat mengakibatkan rusaknya pencitraan yang sudah dibangun.23

20
Diah Retno Dwi Hastuti, M. Saleh Ali, Eymal B. Demmallino, dll, Kumpulan Mazhab Teori Sosial
(Biografi, Sejarah, Teori, dan Kritikan) (Makasar: Pt Nur Lina, 2018), hlm. 113.
21
Ibid.
22
Rini Rinawati, “Dramatugi Poligami”, dalam Jurnal Mediator, Vol. l7, No. 1, 2006, hlm. 149.
23
Diah Retno Dwi Hastuti, M. Saleh Ali, Eymal B. Demmallino, dll, op.cit.

8
Dalam sebuah lakon teater, peran ketiga jenis panggung ini sangat diperhatikan untuk
menciptakan kesan estetis dan membawah makna pertunjukan.

Teater Kontemporer

Kelahiran teater kontemporer di Indonesia memiliki sejarah yang panjang.


Terlepas dari dimensi temporal yang memberi penekanan pada perbedaan waktu,
teater kontemporer juga memiliki orientasi operasional yang berbeda dengan teater
tradisional dan teater modern. Pada tahun-tahun awal sebelum kemerdekaan,
masyarakat Indonesia mengenal jenis teater tradisional yang mengakar pada nilai-nilai
budaya. Kedekatan dengan budaya dan alam sekitar mengafirmasi lahirnya bentuk
teater yang berkarakter kultural serempak pula antropologis. Namun, saat kolonial
mulai memasuki wilayah Indonesia, ada kecenderungan untuk mengeliminasi nilai-
nilai budaya ke dalam suatu wahana modern yang dibawah oleh bangsa penjajah.
Adaptasi terhadap kiblat Barat mempengaruhi jenis lakon, bahasa pertunjukkan dan
orientasi yang bergerak pada kebutuhan pasar. Untuk membangun keutuhan
pertunjukan teater modern, kesadaran dan perhatian terhadap peranan ”bentuk”
menjadi penting.24 Pementasan lakon Sandiwara Penggemar Maya pada tahun 1940-
an yang dilanjutkan pada pertengahan akhir tahun 1950-an mengidentifikasi kuatnya
pengaruh Barat yang secara ekstensif dikenal dengan ‘teater modern’.25

Pasca pemerintahan kolonial, para pegiat teater kembali merumuskan sebuah


model berteater baru yang menampilkan identitas keindonesiaan. W.S Rendra
bersama kawan-kawan seangkatan kemudian memulai sebuah gerakan teater yang
mencari kemungkinan-kemungkinan artistik ‘baru’ melalui eksperimentasi dengan
bahan-bahan tradisi pertunjukan di Nusantara. Bersama Rendra, terdapat banyak
nama yang mewakili lokal-lokal di Indonesia, antara lain: Z. Pangaduan Lubis
(Medan), Wisran Hadi (Padang), Putu Wijaya (Bali), Arifin C. Noer (Cirebon),
Akhudiat (Surabaya), dan Rahman Arge (Makassar), yang oleh sebagian pengamat

24
Hj. Yudiaryani, op.cit.,hlm. 6.
25
Gerakan yang antara lain dipelopori oleh Usmar Ismail, Asrul Sani, Jim Adilimas, dan Suyatna
Anirun, dan di kemudian hari dilanjutkan oleh Wahyu Sihombing dan Teguh Karya memiliki
tanggungjawab atas proses institusionalisasi teater pertama kali di Indonesia, yakni dengan berdirinya
Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Jakarta pada tahun 1955, dan Akademi Seni Drama dan
Film Indonesia (ASDRAFI) di Yogyakarta pada tahun 1956. Bdk. Dede Pramayoza, "Berpentas
Melintas Batas: Memandang Praktik Pementasan Transnasional Pengantar dari Lensa Teater
Postkolonial", dalam Prosiding Konferensi Nasional Pengkajian Seni: Arts And Beyond (Jogjakarta:
Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana, 2015), hlm. 47-48.

9
disebut sebagai generasi teater ‘post-tradisi’.26 Ciri dramaturgikal Rendra dan kawan-
kawan ini mirip dengan yang waktu itu dikenal sebagai teater ‘avant-garde’ atau yang
kemudian juga dinamakan ‘teater kontemporer,’ yang menentang kekakuan tradisi
dan cenderung merekomendasikan eksperimentasi dan sekaligus primitivisme.27

Teater kontemporer adalah bentuk teater baru yang berkembang sejak abad ke-
21 dan masih memainkan peranan penting hingga sekarang. Kelahiran teater
kontemporer mengasimilasi sekaligus membongkar kecenderungan umum dalam
tradisi teater tradisional dan teater modern. Dalam bahasa Pramayoza, teater
kontemporer adalah pembongkaran kembali nilai-nilai estetis dalam kesenian yang
lama.28 Jika teater tradisi dan teater modern bertitik tolak pada lokus tertentu untuk
mencapai tujuan pementasan, maka teater kontemporer justru bergerak dari ruang
bebas; anasir, ideal dan perspektif yang dinamis dan beragam. Teater kontemporer
umumnya mengkombinasikan sebuah lakon dengan bentuk pertunjukkan musikal,
tarian dan seni visual lain. Dari aspek tekstual, teater kontemporer tidak memiliki
aturan baku tentang cara menyusun sebuah naskah. Aktor memiliki kebebasan untuk
menginterpretasi dan mengembangkan naskah yang telah dibaca. Sedangkan pada
aspek panggung (setting), teater kontemporer juga berusaha menjebol demarkasi
antara penonton dan pemeran. Lakon teater bisa dirayakan secara bersama-sama tanpa
ada batasan panggung yang terlampau kaku dan dogmatis. Terakhir, pada aspek
penonton, teater kontemporer memberikan keluasan pada penonton untuk menafisir
sebuah pementasan.

Konsep dasar yang melatari kelahiran teater kontemporer adalah pembebasan


dari kontrak-kontrak penilaian yang sudah, bukan saja kadaluwarsa, akan tetapi juga
bisa berbalik menjadi dehumanisasi, akulturasi dan dekadensi.29 Teater kontemporer
selalu berusaha untuk membebasakan diri dari stagnansi pada satu nilai yang semula
disangka sebagai sumber segalanya, padahal segala sesuatu itu ternyata sudah
bergeser dan menjungkir balik segala-galanya. Oleh karena itu, teater kontemporer
selalu berusaha untuk mengadakan eksperimen guna menggali “jiwa” atau “esensi”

26
Afrizal Malna, Ekologi Teater Indonesia; Anatomi Tubuh Kata: Teater Kontemporer Indonesia
Sebuah Indonesia Kecil (Bandung: Penerbit MSPI, 1999), hlm. 237
27
Dede Pramayoza, op.cit.,hlm. 48.
28
Sahrul N, op.cit., hlm. 212. Dalam bahasa yang sama, Yudiaryani menyebutkan bahwa teater
kontemporer menunjuk pada suatu struktur dan perangkat praktik seni yang berwatak fragmentaris,
serba kemungkinan, serta pengakuan terhadap perbedaan. Bdk. Hj. Yudiaryani, op.cit.,hlm. 11.
29
Ibid.,hlm. 216.

10
yang sesuai dengan perkembangan zaman. Bentuk-bentuk pengungkapan dalam teater
kontemporer juga baru sama sekali sehingga pencapaian kreatifnya semakin tinggi.
Teater yang seperti ini mengungkapkan konsep-konsep baru, seperti yang dilakukan
Putu Wijaya dengan teater terornya.30 Meskipun demikian, keberadaan teater
kontemporer sebagaimana teater “post-modern” dan teater “post-kolonial” dinilai
sebagai gangguan.31 Ideologi kontemporer di Indonesia perlu diwaspadai sebagai
bentuk lanjutan dari kolonialisme atau bahkan gejala kemunculan kekuatan neo-
kolonialisme. Pertanyaannya kini, bagaimana menyibak “ruang-ruang rahasia” dalam
teater kontemporer yang kadang luput dari perhatian publik? Apakah “ruang-ruang
rahasia” tersebut mengandung problem estetis-filosofis?

Ruang-Ruang Rahasia Teater Kontemporer

Istilah “ruang-ruang rahasia” dalam tulisan ini tidak bermaksud membahas


dimensi “keruangan” dalam pengertian tempat, waktu dan kondisi. Istilah ini lebih
khusus menganalisis isu-isu kunci yang bergerak di balik teater kontemporer. Dalam
pandangan dramaturgi Goffman, “ruang-ruang rahasia” dalam teater kontemporer
justru bertalian erat dengan pemanfaatan tiga komponen pentas, yakni pemeran atau
penonton, ekspresi dan impresi, serta panggung (setting). Namun demikian, tanpa
perlu terburu-buru menjelaskan posisi ketiga komponen tersebut, penulis terlebih
dahulu memberikan insigth baru tentang posisi teater kontemporer dalam panggung
kesenian Indonesia. Hal ini perlu dibuat untuk melihat signifikansi teater kontemporer
dalam dunia pertunjukkan.

Dalam pandangan Pramayoza, kajian tentang teater kontemporer perlu dibuat


untuk melihat hubungan antara perjumpaan kolonialisme di masa lalu dengan bentuk
praktik teater di masa kini, serta ‘dampak berkelanjutan’ yang mungkin
ditimbulkannya.32 Kebutuhan untuk membaca perjumpaan antara kolonialisme dalam
praktik teater masa kini membuka kemungkinan untuk mengenal tema seputar

30
Ibid.,hlm. 213.
31
Istilah “post-modern” dan “post-kolonial” dibedakan justru karena sama-sama menggunakan prefiks
‘post,’ yang secara sederhana dapat diartikan sebagai setelah atau melampaui. Sementara prefiks ‘post’
dalam postmodernisme mengisyaratkan terbukanya ruang (space clearing) yang berkonotasi bebas,
prefiks ‘post’ dalam postkolonial justru menghadirkan bayang-bayang masa lalu kolonial serta
mengisyaratkan neo-kolonialisme, di mana negara-negara dunia ketiga terancam untuk selalu menjadi
objek yang dipandang oleh subjek, yang tak lain adalah peradaban Barat. Bdk. Kwame Anthony
Appiah, “Is the Post-in Postmodernism the Post-in Postcolonial?,” dalam Critical Inquiry, Vol. 17, No.
2, 1991, hlm. 348.
32
Dede Pramayoza, op.cit.,hlm. 45.

11
“transnasionalisme” (transnationalism), terutama dalam kaitannya dengan formasi
identitas dan budaya dalam pementasan, serta etika representasi. Tinjauan kritis
terhadap kajian postkolonial akan sangat membantu untuk menilai manfaat dan
dampak serupa dari apa yang dapat timbul dari praktik tersebut. Penilaian itu, pada
gilirannya dapat digunakan untuk melihat dan menimbang-nimbang posisi strategis
seni teater kontemporer di Indonesia. Lebih jauh, penilaian itu dapat digunakan pula
untuk menemukan strategi artistik dan strategi budaya dalam rangka memasuki
pergaulan teater lintas-negara dan lintas-budaya, yang sejatinya merupakan
konsekuensi tak terelakkan dalam dunia yang tengah dilanda globalisasi.33

Penilaian terhadap dinamika teater kontemporer di tengah pengaruh


modernisme dan kolonialisme perlu dilakukan secara tepat sasar untuk melihat
orientasi operasional yang bergerak di belakangnya. Dengan menggunakan konsep
dramaturgi Goffman, ada setidaknya tiga jenis komponen yang perlu digali untuk
mengetahui “ruang-ruang tersembunyi” di balik pementasan teater kontemporer.
Pertama, komponen artistik berupa pemeran dan penonton. Teater kontemporer
memiliki perbedaan spasial dalam hal pendayagunaan tokoh-tokoh teater. Pemeran
dalam teater kontemporer lebih bervariasi ketimbang tokoh-tokoh dalam teater
tradisional dan modern. Mereka bisa saja berbentuk manusia, hewan dan benda-benda
mati yang dikonstruksi mengikuti keinginan pasar. Mereka bergerak menurut
ketentuan teks serempak pula melampaui teks dalam imajinasi kreatifnya. Dalam
bahasa Barbara Hatley, para pemeran dalam teater kontemporer dilihatnya sebagai
pribadi yang cenderung merayakan nilai-nilai pluralisme dan terlibat cukup intensif
dengan berbagai media baru, antara lain telepon seluler, media rekam elektronik, dan
yang paling menonjol, internet.34

Bersamaan dengan kedudukan pemeran, para penonton teater kontemporer


juga memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian. Mereka dapat memberikan
tanggapan, kritik dan saran guna mendukung perkembangan aktivitas berteater.
Pementasan teater tidak “mati” di panggung, tetapi diberikan “nafas baru” dalam
ruang-ruang diskursif. Teater dirayakan sebagai milik bersama; hiburan yang
membawah nasihat dan refleksi untuk kehidupan. Di sini, komponen pemeran dan

33
Ibid, hlm.,46.
34
Barbara Hatley, “Pertunjukan Budaya Indonesia Pasca Orde Baru,” dalam Barbara Hatley, G. Budi
Subanar, Yustina Devi Ardhiani (eds.), Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru (Yogyakarta:
Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2014), hlm. 6.

12
penonton teater kontemporer mengambil peranan besar dalam menentukan dinamika
berteater. Mereka memberikan “nilai lebih” untuk penciptaan karya-karya teater di
masa depan. Dinamika relasional yang sehat antara pemeran sebagai aktor teater di
satu sisi dan penonton teater di sisi lain menjadi penentu arah perkembangan teater.

Kedua, komponen ekspresi dan impresi. Dramaturgi Goffman menempatkan


komponen ekspresi dan impresi sebagai bagian yang tak terpisahkan dari komponen
pemeran dan penonton. Dengan kata lain, komponen ekspresi dan impresi adalah
akibat yang ditimbulkan oleh aktivitas pemeran dan penonton. Seperti halnya teater
tradisional dan teater modern, ekspresi dan impresi dalam teater kontemporer adalah
“dua sisi yang berbeda pada satu kutub yang sama”. Ekspresi para pemeran yang
menarik akan menentukan impresi dari para penonton. Namun demikian, satu hal
yang perlu diperhatikan adalah bahwa ekspresi para pelakon dalam teater
kontemporer lebih cenderung bergulat dalam proses tiruan yang dilebih-lebihkan.
Tujuannya adalah menarik perhatian dari para penonton. Konsekuensinya, panggung
tidak lagi menjadi ruang aktualisasi diri dan representasi kenyataan, tetapi semata
menjadi manipulasi estetik untuk menarik pujian dari penonton.

Ketiga, komponen panggung (setting). Dramaturgi teater kontemporer


memiliki penekanan khusus pada bentuk panggung. Teater kontemporer mengenal
berbagai jenis panggung (setting). Umumnya, panggung dalam teater kontemporer
dibuat tanpa memperhatikan jarak dengan penonton. Bentuk panggung yang demikian
bermaksud agar terjalin relasi yang dekat dan memudahkan penyampaian pesan dari
pelakon kepada penonton. Secara jelas, Pramayoza menulis bahwa teater kontemporer
punya kecendrungan untuk menggali lebih dalam aspek tata rupa panggung dan
kemungkinan-kemungkinan baru ungkapan artistik, yang disadari atau tidak
kemudian mengarah pada praktik yang ‘melintasi’ batas-batas konvensi dan disiplin
seni yang telah baku sebelumnya.35 Bentuk panggung terkadang ditempatkan di
tengah penonton dan menyerupai lingkaran. Ada juga bentuk lain yang menyerupai
bangunan segitiga. Selanjutnya, bentuk lain dibuat menyerupai setengah lingkaran.
Bentuk-bentuk tersebut merupakan upaya untuk mendekatkan lakon dengan
kehidupan penonton.

35
Dede Pramayoza, op.cit.,hlm. 52.

13
Dalam analisis yang lengkap, dramaturgi Goffman membagi tiga bentuk
panggung, yakni panggung depan (front stage), panggung belakang (back stage) dan
panggung luar (off stage). Panggung depan (front stage) berisi gambaran yang
menampilkan peran tokoh-tokoh dalam teater. Bentuk panggung depan (front stage)
dibuat semenarik mungkin sebagai strategi untuk menyampaikan pesan kepada
penonton. Selanjutnya, panggung belakang (back stage) merupakan ruang yang
dipakai oleh para pelakon, sutradara dan penata panggung untuk mempersiapkan
segala sesuatu sebelum tampil di hadapan penonton. Panggung ini didesaian di luar
panggung depan (front stage) dan menjadi ruang internal untuk membicarakan
strategi penting sebelum tampil di hadapan penonton. Terakhir, panggung luar (off
stage) adalah tempat khusus di luar panggung depan (front stage) dan panggung
belakang (back stage). Bagi sutradara dan tim teater, panggung luar (off stage)
menjadi dapur untuk membicarakan segala hal menuju pementasan. Sedangkan bagi
penonton, panggung luar (off stage) dapat menjadi ruang diskusi dan membicarakan
segala hal tentang pementasan.

Teater Kontemporer: Semata Dekonstruksi atau Selamanya Rekonstruksi?

Penjelasan-penjelasan pada bagian terdahulu menghantar kita pada satu


pertanyaan esensial tentang makna teater kontemporer. Dengan menambahkan
analisis dramaturgi Goffman, “ruang-ruang rahasia” dalam teater kontemporer
perlahan disibak untuk diketahui orientasi yang bergerak di balik sebuah pementasan.
Oleh karena itu, sebelum menjawab pertanyaan tentang esensi teater kontemporer,
maka perlu dilakukan pembacaan kembali mengenai visi teater kontemporer. Dalam
pandangan penulis, visi teater kontemporer sebagaimana gagasan umum estetika dan
filsafat paling tidak berpretensi pada dua kecenderungan besar. Pertama, indigenisasi
narasi minor. Teater kontemporer sesungguhnya berusaha untuk mengangkat narasi-
narasi minor yang hadir melalui penggunaan sejumlah idom baru. Praktik ini justru
terjadi karena teater kontemporer mengalami kehilangan lawan abadi atau common
enemies-nya, yakni negara. Paramayoza meminjam bahasa Barbara Hatley (1994)
menyebutkan bahwa “seni pertunjukkan di Indonesia pasca Orde Baru sesungguhnya
mengalami perubahan modus dan isu”36. Hal ini justru berbahaya karena teater
kontemporer kehilangan fokus pada isu tertentu. Teater kontemporer cenderung

36
Ibid.,hlm. 51.

14
merayakan indigenisasi dalam narasi-narasi minor dan lupa pada persoalan yang
sedang dihadapi.

Kedua, kodifikasi tanda. Teater kontemporer umumnya didominasi oleh


permaianan tanda dalam dinamika yang bersifat sirkular. Tanda dijadikan sebagai alat
tutur untuk membongkar pakem berkesenian yang terkesan kaku dalam tradisi kuno
dan modern. Tanda yang umum digunakan dalam teater modern adalah bahasa. Alih-
alih berusaha menciptakan bahasanya sendiri, teater kontemporer justru terjebak
dalam penggunaan bahasa-bahasa baru yang berkarakter Barat. Pengaruh Barat
menjadi begitu kuat meski berusaha dioperasionalisasikan ke dalam model tradisional
yang mengakar pada budaya. Konsekusensinya, makna “kekitaan” sebagai citra diri
dan identitas kultural bangsa menghilang. Teater kontemporer kehilangan akar pada
nilai-nilai budaya. Ferdiansyah Thajib (2010) memperlihatkan bahaya dari
kecenderungan hibrid (mencampuradukan tradisi yang satu dengan tradisi yang lain)
sebagaimana tercermin dalam pertunjukan Waktu Batu oleh Teater Garasi.
Pementasan tersebut dinilainya sebagai situs yang menunjukkan wajah sebuah bangsa
‘yang terbelah,’ yang mencoba menelusuri sejarah dan tradisinya tapi dalam artikulasi
modern yang terbata-bata.37

Dua bentuk pembacaan di atas kemudian mengarahkan kita pada pertanyaan


tentang apakah teater kontemporer hanya sebatas dekonstruksi atas bentuk teater lama
atau justru menjadi rekonstruksi dalam bentuknya yang baru. Pertanyaan ini menjadi
sangat esensial untuk mengetahui kiprah teater kontemporer di tengah perkembangan
zaman modern. Bagi kebanyakan akademisi dan kritikus seni, dinamika teater
kontemporer menampilkan wujud dekonstruksi. Secara umum, dekonstruksi dikenal
sebagai teori untuk membongkar tatanan lama dengan bangunan ide yang baru. Teori
dekonstruksi diperkenalkan pertama kali oleh Jaques Derrida untuk memperlihatkan
posisi “yang lain” dalam sebuah teks.38 Dengan pendasaran ini, metode dekonstruksi
tidak saja berdampak destruktif, tetapi juga mengandung muatan etis. Metode

37
Ibid.,hlm. 57.
38
Teori dekonstruksi sebagaimana dimaksudkan oleh Derrida sesungguhnya tidak bertujuan untuk
mengkuliti atau menghancurkan narasi dalam satu teks. Bagi Derrida, hal itu tidak mungkin dan tidak
efektif, juga tidak bisa tepat sasaran, kecuali dengan mengambil tempat di dalam struktur itu sendiri.
Menempatinya seperti parasit: meminjam semua strategi dan sumber-sumber subversi ekonomi dari
struktur lama secara struktural kemudian mendekonstruksinya. Bdk. Jacques Derrida, Of
Grammatology, dalam Gayatri C. Spivak (penerj) (Baltimore: The John Hopkins University Press,
1976), hlm. 24.

15
dekonstruksi dipakai untuk memisahkan, membongkar untuk menemukan dan
menelanjangi berbagai asumsi, strategi retoris dan ruang kosong teks.39

Dalam teater kontemporer, metode dekonstruksi digunakan secara masif untuk


memperbaiki bentuk dan struktur teater. Teater kontemporer mengadopsi bentuk dan
struktur baru yang berkelindan dalam dinamika teks, pelakon dan penonton. Sebuah
lakon kadang sulit dimengerti karena sutradara membuat percampuran alur,
penggabungan bahasa dan bunyi serta ritme yang naik turun. Pengaruh tradisi dan
modernisasi dicampuraduk untuk mencitrakan karakter teater yang khas dan unik. Tak
ayal, model pencampuran bentuk dan struktur teater yang tidak proporsional
menyebabkan hilangnya nilai-nilai yang hendak diperjuangkan. Teater kontemporer
terkesan mengutamakan bentuk dan tanda serta abai dalam memperjuangkan makna.
Model dekonstruksi yang dibuat dalam teater kontemporer menghadirkan “ruang
kosong” untuk mencapai signifikansi dan maksud pementasan. Konsekuensinya,
rekonstruksi sebagai akibat dari dekonstruksi sulit untuk dicapai. Teater kontemporer
tetap membiarkan “ruang kosong” itu terbuka tanpa ada upaya serius untuk
menjawabinya.

PENUTUP

Konsep dramaturgi Erving Goffman memiliki sumbangan yang besar untuk


mengkaji dinamika teater kontemporer. Dalam pembacaan penulis, ada setidaknya
tiga komponen penting dalam dramaturgi Goffman yang dapat dipakai untuk
mengetahui “ruang-ruang rahasia” teater kontemporer, antara lain komponen pemeran
atau penonton, ekspresi dan impresi, serta panggung (setting). Peran tiga komponen
ini memberi pengaruh yang sangat besar untuk menunjang suksesnya sebuah
pementasan. Kajian terhadap tiga komponen dramaturgi teater kontemporer
menghantarkan publik untuk mengetahui orientasi operasional yang menjadi rahasia
di balik pertunjukan teater kontemporer. Dua model orientasi tersebut, antara lain,
pertama, indigenisasi narasi-narasi minor. Teater kontemporer dinilai sebagai cara
untuk mempopulerkan narasi minor yang selama abad modern didominasi oleh
kecenderungan pada narasi besar yang bersifat dogmatis dan hegemonik. Namun
demikian, proses indigenisasi tersebut justru berdampak besar pada hilangnya fokus

39
Christopher Norris, Membongkar Teori Dekonstruksi, dalam Inyiak Ridwan Muzir (penerj),
(Yogyakarta: Penerbit Ar-ruzz, 2003), hlm. 5.

16
pertunjukkan. Teater jadi panggung hiburan yang kaya akan ekspresionisme, tetapi
lemah dalam pemaknaan.

Kedua, kodifikasi tanda. Pertunjukan teater kontemporer sesungguhnya kaya


akan kodifikasi tanda. Penggunaan bahasa dipelintir oleh maksud untuk menyukakan
hati penonton. Nilai bahasa direduksi oleh tuntutan pada maksud penonton. Identitas
keindonesiaan hilang dan digantikan oleh identitas transnasional yang condong ke
Barat. Berdasarkan dua pandangan ini, maka teater kontemporer sesungguhnya
mengusung kecenderungan dekonstruksi. Teater kontemporer berusaha merombak
bentuk teater lama, namun serempak pula tidak mampu mereproduksinya menjadi
suatu pertunjukkan yang baru dan representatif. Istilah representatif berarti bahwa
pertunjukan teater kontemporer seharusnya mampu mengangkat identitas diri bangsa
Indonesia. Pertunjukan harus menjadi upaya bersama untuk mewujudkan citra bangsa
Indonesia yang kaya akan budaya dan warisan lokal. Dengan tujuan ini, maka teater
kontemporer mampu berkembang dan menunjukkan otentisitasnya berhadapan
dengan pengaruh transnasionalitas yang terkandung dalam globalisasi.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Barker, Chris. Cultural Studies: Theory and Prctice. Tim KUNCI Cultural Studies
Centre. Penerj. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005.

Brannen, Julia. Mixing Method: Qualitative and Quantitative Research. USA:


Avebury Aldershoot Publisher, 1992.

Derrida, Jacques. Of Grammatology. Gayatri C. Spivak. Penerj. Baltimore: The John


Hopkins University Press, 1976.

Goffman, Erving. The Presentation of Self in Everyday Life. Edinburgh: University of


Edinburgh, 1956.

Griffin, Eric. A First Look at Communication Theory 4th Edition. Boston: McGraw
Hill Higher Education, 2000

Hastuti, Diah Retno Dwi, M. Saleh Ali, Eymal B. Demmallino, dll. Kumpulan
Mazhab Teori Sosial (Biografi, Sejarah, Teori, dan Kritikan). Makasar: Pt Nur
Lina, 2018.

Hatley, Barbara. “Pertunjukan Budaya Indonesia Pasca Orde Baru.” Barbara Hatley,
G. Budi Subanar,

17
Heryanto, Ariel. The Postmodern Condition: A Report On Knowledge. Jakarta:
Gramedia, 1994.
Malna, Afrizal. Ekologi Teater Indonesia; Anatomi Tubuh Kata: Teater Kontemporer
Indonesia Sebuah Indonesia Kecil. Bandung: Penerbit MSPI, 1999.

Mulyana, D. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Penelitian Ilmu


Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010.

Norris, Christopher. Membongkar Teori Dekonstruksi. Inyiak Ridwan Muzir. Penerj.


Yogyakarta: Penerbit Ar-ruzz, 2003.

Riantiarno. Kitab Teater. Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2011.

Rinawati, Rini. “Dramatugi Poligami”. Jurnal Mediator, Vol. l7, No. 1, 2006.

Ritzer, George. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern. S. Pasaribu, Rh. Widada, dan E. Adinugraha. penerj. Jogjakarta:
Pustaka Pelajar, 2012.

Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.

Turahmat. Teater: Teori dan Penerapannya. Semarang: Pusta Najwa, 2010.

Widodo, Suko. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Malang: Aditya Media
Publishing Widodo, 2010.

Yustina Devi Ardhiani. eds. Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru.
Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2014.

Jurnal dan Prosiding

Appiah, Kwame Anthony. “Is the Post-in Postmodernism the Post-in Postcolonial?.”
Critical Inquiry. Vol. 17, No. 2, 1991.

N, Sahrul. “Estetika Teater Modern Sumatera Barat”. Mudra: Jurnal Seni Budaya.
Vol. 26, No. 2, 2011.

Pramayoza, Dede. "Berpentas Melintas Batas: Memandang Praktik Pementasan


Transnasional Pengantar Dari Lensa Teater Postkolonial”. Prosiding
Konferensi Nasional Pengkajian Seni: Arts And Beyond. Jogjakarta: Program
Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana, 2015.

Shalin, Dmitri N. “Interfacing Biography, Theory and History: The Case of Erving
Goffman”. Symbolic Interaction. Vol. 37, No. 1, 2014.

18
Yudiaryani, Hj. "Identifikasi Teater Indonesia: Inspirasi Teoretis bagi Praktik Teater
Kontemporer". Makalah Seminar Nasional Konstruksi Realitas Teater.
Surabaya: Jurusan Seni Drama Tari dan Musik FBS Ubaya, 2010.

19

Anda mungkin juga menyukai