TEATER KONTEMPORER
Petrus Fidelis Ngo
Alumni IFTK Ledalero
email: defringo5@gmail.com
ABSTRAKSI
Perkembangan teater kontemporer membingkai dalam ragam struktur dan bentuk.
Jacques Derrida (1930-2004), seorang filsuf berkebangsaan Prancis menganulir
lahirnya sistem berpikir yang bersifat dekonstruktif dalam tradisi kontemporer.
Batasan-batasan normatif-etis dibongkar dan digantikkan oleh model berpikir yang
lebih cair dan terbuka pada perbedaan pendapat. Penelitian ini bertujuan untuk
membahas konsep dramaturgi dalam pandangan Erving Goffman guna membongkar
“ruang-ruang rahasia” dalam teater kontemporer. Konsep dramaturgi Erving Goffman
dinilai memberikan sumbangan besar untuk membedah sifat dekonstruktif dalam
tradisi teater kontemporer. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang
bermaksud membuat analisis deskriptif terhadap suatu konten (qualitative content
analyis). Hasil penelitian menyimpulkan bahwa teater kontemporer sesungguhnya
menyimpan banyak isu-isu kunci dalam sebuah aktivitas pertunjukan. Dramaturgi
Goffman mencoba mencermati isu-isu tersebut dengan memperkenalkan tiga
komponen besar pertunjukan, antara lain pemeran atau penonton, ekspresi dan impresi
serta setting atau panggung. Pengenalan terhadap ketiga komponen tersebut akan
memampukan publik untuk mengenal orientasi operasional yang bergerak di balik
pertunjukan teater kontemporer.
Kata kunci: dramaturgi, Erving Goffman, ruang-ruang rahasia, teater kontemporer
PENGANTAR
1
Riantiarno membagi sejarah perkembangan teater di Indonesia ke dalam beberapa babak mulai dari
teater tradisional sampai teater kontemporer. Secara khusus, ia membuat analisis mendalam tentang
corak teater modern dalam lima babak utama yang bertolak dari masa perintisan sampai masa tearer
kontemporer. Bdk. Riantiarno, Kitab Teater (Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia, 2011), hlm. 27.
Penyebutan “situasi konfiktual” dalam kalimat pembuka ini berasal dari pembacaan subjektif penulis
menimbang pergesekan pemahaman dari tradisi teater yang satu ke tradisi teater yang lain.
1
dari hiburan masyarakat luas. Pertunjukan wayang, ludruk dan lenong yang secara
simultan dilakukan di Indonesia menunjukkan kecintaan masyarakat pada budaya. Di
beberapa wilayah Flores dan Timor, masyarakat bahkan rutin membawahkan pantun
secara berbalasan dalam sejumlah upacara adat. Mereka juga aktif menciptakan sajak-
sajak berbahasa daerah dan membacakannya pada kesempatan bersama. Bentuk teater
tradisional berkembang secara organik sesuai dengan tradisi yang diwariskan oleh
nenek moyang orang Indonesia pada zaman dahulu.2
2
Turahmat, Teater: Teori dan Penerapannya (Semarang: Pusta Najwa, 2010), hlm. 2.
3
Sahrul N “Estetika Teater Modern Sumatera Barat”, dalam Mudra: Jurnal Seni Budaya, Vol. 26, No.
2, 2011, hlm. 211.
4
Ibid.,hlm.212.
5
Hj. Yudiaryani, "Identifikasi Teater Indonesia: Inspirasi Teoretis bagi Praktik Teater Kontemporer",
dalam Makalah Seminar Nasional Konstruksi Realitas Teater (Surabaya: Jurusan Seni Drama Tari dan
Musik FBS Ubaya, 2010), hlm. 3.
2
tanpa mengguru pada ketentuan teks. Pelakon dapat meramu pertunjukan
menggunakan imajinasi kreatif yang luwes dan cair. Dalam teater kontemporer,
permainan tanda, simbol dan lambang menjadi lebih dominan. Teater kontemporer
disebut memiliki kekayaan pada unsur semiotik. Pertunjukan teater kontemporer
muncul dalam sebuah brikolase yang menyandingkan tanda-tanda yang semula tidak
dikenal dengan kode-kode yang baru. Kode merupakan intertekstualitas yang sadar
diri, yakni saling kutip antara satu teks dengan yang lain dengan berbagai
kemungkinan individual yang mencerminkan gagasan politik “yang lain”.6
6
Chris Barker, Cultural Studies: Theory and Prctice, dalam Tim KUNCI Cultural Studies Centre
(penerj), (Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005), 203.
7
Ariel Heryanto, The Postmodern Condition: A Report On Knowledge (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm.
80.
3
perhatian bersama. Hal-hal lain seperti penggunaan lighting yang semarak, setting
panggung yang sirkular-diametrial dan tata busana yang menterang adalah beberapa
elemen pertunjukan yang hadir dalam teater kontemporer. Sementara itu, makna dan
substansi cerita hanya berpendar pada perifer lakon. Penonton sebagai penikmat teater
sulit memahami nilai yang terkandung dalam sebuah pertunjukan. Pertanyaannya,
bagaimana memahamai dinamika lakon teater kontemporer? Apakah teater
kontemporer hanya mengandung unsur dekonstruksi tanpa meninggalkan nilai?
8
D. Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru Penelitian Ilmu Komunikasi dan
Ilmu Sosial Lainnya (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 114.
9
Erving Goffman, The Presentation of Self in Everyday Life (Edinburgh: University of Edinburgh,
1956), hlm. 66.
4
sangat penting untuk dijelaskan guna memberikan cara pandang baru dalam
memahami hakikat teater kontemporer.
METODOLOGI PENELITIAN
10
Julia Brannen, Mixing Method: Qualitative and Quantitative Research (USA: Avebury Aldershoot
Publisher, 1992), hlm. 58.
5
TEMUAN DAN PEMBAHASAN
11
George Ritzer, Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir Postmodern,
dalam S. Pasaribu, Rh. Widada, dan E. Adinugraha (penerj.) (Jogjakarta: Pustaka Pelajar, 2012), hlm.
63.
12
Dmitri N. Shalin, “Interfacing Biography, Theory and History: The Case of Erving Goffman”, dalam
Symbolic Interaction, Vol. 37, No. 1, 2014, hlm. 6.
13
Ibid.,hlm. 9.
14
Eric Griffin, A First Look at Communication Theory 4th Edition (Boston: McGraw Hill Higher
Education, 2000), hlm. 54.
6
sebagai medan interaksi sosial dengan fokus pada aktor, tindakan, dan interaksi.15
Hubungan antara ketiga unsur tersebut bersifat saling mempengaruhi dan memberi
makna.
Asumsi dasar dramaturgi Goffman bertolak dari interaksi tatap muka atau
kehadiran bersama (co-presence) dan bukan pada struktur sosial yang mempengaruhi
individu. Interaksi tatap muka dibatasi hanya pada individu-individu yang saling
mempengaruhi ketika mereka berhadapan secara fisik. Selama interaksi berlangsung,
pelaku-pelaku pada sebuah peristiwa memunculkan pengaruh dari pemain-pemain
lain dengan cara tertentu.16 Perilaku interaksi tidak terpisahkan dari peran tingkah
laku yang saling berhubungan dengan orang lain. Ketika seorang aktor saling
berhubungan, ia membentuk sebuah tim atau susunan individu yang bekerja sama
dalam mementaskan sebuah kebiasaan.17 Keberadaannya menjadi penanda dan
petanda bagi akor lain. Dalam semiotika Saussure, penanda (signifier) dibedakan
dengan petanda (signified). Secara sederhana, signifier adalah bunyi yang bermakna
atau coretan yang bermakna (aspek material), yakni apa yang dikatakan dan apa yang
ditulis atau dibaca. Sementara itu, signified adalah gambaran mental, yakni pikiran
atau konsep aspek mental dari bahasa.18 Relasi dialektikal individu dalam panggung
dramaturgi bergerak dalam hubungan signifier dan signified.
15
George Ritzer, op.cit.,hlm.369 -370.
16
Suko Widodo, Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial (Malang: Aditya Media Publishing Widodo,
2010), hlm. 181.
17
Ibid.
18
Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan
Analisis Framing (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004), hlm. 125.
19
George Ritzer, op.cit., hlm. 633 -634
7
mengandaikan tercapainya dua komponen terdahulu. Praktisnya, gerak laku aktor di
atas panggung adalah perwujudan kehendak penonton. Aktor menjadi individu yang
pasif dan lakon menjumpai kematian.
Front stage menjadi panggung depan yang menampilkan peran pelakon. Front
stage merupakan ruang dialektis antara pelakon dan penonton. Pelakon
membawahkan narasi teater, sedangkan penonton aktif mendengar dan mencerna
maksud pemeran. Sedangkan back stage merupakan ruang terbuka sebagai tempat
para aktor untuk bersantai dan mempersiapkan diri sebelum tampil di hadapan
penonton. Panggung ini berbatasan dengan panggung depan, namun tersembunyi dari
pandangan khalayak untuk melindungi rahasia pertunjukkan.22 Terakhir, off stage
merupakan panggung di luar panggung depan dan panggung belakang. Panggung off
stage adalah sebuah ruang privat yang tidak akan ditampilkan di back stage maupun
front stage karena dapat mengakibatkan rusaknya pencitraan yang sudah dibangun.23
20
Diah Retno Dwi Hastuti, M. Saleh Ali, Eymal B. Demmallino, dll, Kumpulan Mazhab Teori Sosial
(Biografi, Sejarah, Teori, dan Kritikan) (Makasar: Pt Nur Lina, 2018), hlm. 113.
21
Ibid.
22
Rini Rinawati, “Dramatugi Poligami”, dalam Jurnal Mediator, Vol. l7, No. 1, 2006, hlm. 149.
23
Diah Retno Dwi Hastuti, M. Saleh Ali, Eymal B. Demmallino, dll, op.cit.
8
Dalam sebuah lakon teater, peran ketiga jenis panggung ini sangat diperhatikan untuk
menciptakan kesan estetis dan membawah makna pertunjukan.
Teater Kontemporer
24
Hj. Yudiaryani, op.cit.,hlm. 6.
25
Gerakan yang antara lain dipelopori oleh Usmar Ismail, Asrul Sani, Jim Adilimas, dan Suyatna
Anirun, dan di kemudian hari dilanjutkan oleh Wahyu Sihombing dan Teguh Karya memiliki
tanggungjawab atas proses institusionalisasi teater pertama kali di Indonesia, yakni dengan berdirinya
Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI) di Jakarta pada tahun 1955, dan Akademi Seni Drama dan
Film Indonesia (ASDRAFI) di Yogyakarta pada tahun 1956. Bdk. Dede Pramayoza, "Berpentas
Melintas Batas: Memandang Praktik Pementasan Transnasional Pengantar dari Lensa Teater
Postkolonial", dalam Prosiding Konferensi Nasional Pengkajian Seni: Arts And Beyond (Jogjakarta:
Program Studi Pengkajian Seni Pertunjukan dan Seni Rupa Sekolah Pascasarjana, 2015), hlm. 47-48.
9
disebut sebagai generasi teater ‘post-tradisi’.26 Ciri dramaturgikal Rendra dan kawan-
kawan ini mirip dengan yang waktu itu dikenal sebagai teater ‘avant-garde’ atau yang
kemudian juga dinamakan ‘teater kontemporer,’ yang menentang kekakuan tradisi
dan cenderung merekomendasikan eksperimentasi dan sekaligus primitivisme.27
Teater kontemporer adalah bentuk teater baru yang berkembang sejak abad ke-
21 dan masih memainkan peranan penting hingga sekarang. Kelahiran teater
kontemporer mengasimilasi sekaligus membongkar kecenderungan umum dalam
tradisi teater tradisional dan teater modern. Dalam bahasa Pramayoza, teater
kontemporer adalah pembongkaran kembali nilai-nilai estetis dalam kesenian yang
lama.28 Jika teater tradisi dan teater modern bertitik tolak pada lokus tertentu untuk
mencapai tujuan pementasan, maka teater kontemporer justru bergerak dari ruang
bebas; anasir, ideal dan perspektif yang dinamis dan beragam. Teater kontemporer
umumnya mengkombinasikan sebuah lakon dengan bentuk pertunjukkan musikal,
tarian dan seni visual lain. Dari aspek tekstual, teater kontemporer tidak memiliki
aturan baku tentang cara menyusun sebuah naskah. Aktor memiliki kebebasan untuk
menginterpretasi dan mengembangkan naskah yang telah dibaca. Sedangkan pada
aspek panggung (setting), teater kontemporer juga berusaha menjebol demarkasi
antara penonton dan pemeran. Lakon teater bisa dirayakan secara bersama-sama tanpa
ada batasan panggung yang terlampau kaku dan dogmatis. Terakhir, pada aspek
penonton, teater kontemporer memberikan keluasan pada penonton untuk menafisir
sebuah pementasan.
26
Afrizal Malna, Ekologi Teater Indonesia; Anatomi Tubuh Kata: Teater Kontemporer Indonesia
Sebuah Indonesia Kecil (Bandung: Penerbit MSPI, 1999), hlm. 237
27
Dede Pramayoza, op.cit.,hlm. 48.
28
Sahrul N, op.cit., hlm. 212. Dalam bahasa yang sama, Yudiaryani menyebutkan bahwa teater
kontemporer menunjuk pada suatu struktur dan perangkat praktik seni yang berwatak fragmentaris,
serba kemungkinan, serta pengakuan terhadap perbedaan. Bdk. Hj. Yudiaryani, op.cit.,hlm. 11.
29
Ibid.,hlm. 216.
10
yang sesuai dengan perkembangan zaman. Bentuk-bentuk pengungkapan dalam teater
kontemporer juga baru sama sekali sehingga pencapaian kreatifnya semakin tinggi.
Teater yang seperti ini mengungkapkan konsep-konsep baru, seperti yang dilakukan
Putu Wijaya dengan teater terornya.30 Meskipun demikian, keberadaan teater
kontemporer sebagaimana teater “post-modern” dan teater “post-kolonial” dinilai
sebagai gangguan.31 Ideologi kontemporer di Indonesia perlu diwaspadai sebagai
bentuk lanjutan dari kolonialisme atau bahkan gejala kemunculan kekuatan neo-
kolonialisme. Pertanyaannya kini, bagaimana menyibak “ruang-ruang rahasia” dalam
teater kontemporer yang kadang luput dari perhatian publik? Apakah “ruang-ruang
rahasia” tersebut mengandung problem estetis-filosofis?
30
Ibid.,hlm. 213.
31
Istilah “post-modern” dan “post-kolonial” dibedakan justru karena sama-sama menggunakan prefiks
‘post,’ yang secara sederhana dapat diartikan sebagai setelah atau melampaui. Sementara prefiks ‘post’
dalam postmodernisme mengisyaratkan terbukanya ruang (space clearing) yang berkonotasi bebas,
prefiks ‘post’ dalam postkolonial justru menghadirkan bayang-bayang masa lalu kolonial serta
mengisyaratkan neo-kolonialisme, di mana negara-negara dunia ketiga terancam untuk selalu menjadi
objek yang dipandang oleh subjek, yang tak lain adalah peradaban Barat. Bdk. Kwame Anthony
Appiah, “Is the Post-in Postmodernism the Post-in Postcolonial?,” dalam Critical Inquiry, Vol. 17, No.
2, 1991, hlm. 348.
32
Dede Pramayoza, op.cit.,hlm. 45.
11
“transnasionalisme” (transnationalism), terutama dalam kaitannya dengan formasi
identitas dan budaya dalam pementasan, serta etika representasi. Tinjauan kritis
terhadap kajian postkolonial akan sangat membantu untuk menilai manfaat dan
dampak serupa dari apa yang dapat timbul dari praktik tersebut. Penilaian itu, pada
gilirannya dapat digunakan untuk melihat dan menimbang-nimbang posisi strategis
seni teater kontemporer di Indonesia. Lebih jauh, penilaian itu dapat digunakan pula
untuk menemukan strategi artistik dan strategi budaya dalam rangka memasuki
pergaulan teater lintas-negara dan lintas-budaya, yang sejatinya merupakan
konsekuensi tak terelakkan dalam dunia yang tengah dilanda globalisasi.33
33
Ibid, hlm.,46.
34
Barbara Hatley, “Pertunjukan Budaya Indonesia Pasca Orde Baru,” dalam Barbara Hatley, G. Budi
Subanar, Yustina Devi Ardhiani (eds.), Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru (Yogyakarta:
Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2014), hlm. 6.
12
penonton teater kontemporer mengambil peranan besar dalam menentukan dinamika
berteater. Mereka memberikan “nilai lebih” untuk penciptaan karya-karya teater di
masa depan. Dinamika relasional yang sehat antara pemeran sebagai aktor teater di
satu sisi dan penonton teater di sisi lain menjadi penentu arah perkembangan teater.
35
Dede Pramayoza, op.cit.,hlm. 52.
13
Dalam analisis yang lengkap, dramaturgi Goffman membagi tiga bentuk
panggung, yakni panggung depan (front stage), panggung belakang (back stage) dan
panggung luar (off stage). Panggung depan (front stage) berisi gambaran yang
menampilkan peran tokoh-tokoh dalam teater. Bentuk panggung depan (front stage)
dibuat semenarik mungkin sebagai strategi untuk menyampaikan pesan kepada
penonton. Selanjutnya, panggung belakang (back stage) merupakan ruang yang
dipakai oleh para pelakon, sutradara dan penata panggung untuk mempersiapkan
segala sesuatu sebelum tampil di hadapan penonton. Panggung ini didesaian di luar
panggung depan (front stage) dan menjadi ruang internal untuk membicarakan
strategi penting sebelum tampil di hadapan penonton. Terakhir, panggung luar (off
stage) adalah tempat khusus di luar panggung depan (front stage) dan panggung
belakang (back stage). Bagi sutradara dan tim teater, panggung luar (off stage)
menjadi dapur untuk membicarakan segala hal menuju pementasan. Sedangkan bagi
penonton, panggung luar (off stage) dapat menjadi ruang diskusi dan membicarakan
segala hal tentang pementasan.
36
Ibid.,hlm. 51.
14
merayakan indigenisasi dalam narasi-narasi minor dan lupa pada persoalan yang
sedang dihadapi.
37
Ibid.,hlm. 57.
38
Teori dekonstruksi sebagaimana dimaksudkan oleh Derrida sesungguhnya tidak bertujuan untuk
mengkuliti atau menghancurkan narasi dalam satu teks. Bagi Derrida, hal itu tidak mungkin dan tidak
efektif, juga tidak bisa tepat sasaran, kecuali dengan mengambil tempat di dalam struktur itu sendiri.
Menempatinya seperti parasit: meminjam semua strategi dan sumber-sumber subversi ekonomi dari
struktur lama secara struktural kemudian mendekonstruksinya. Bdk. Jacques Derrida, Of
Grammatology, dalam Gayatri C. Spivak (penerj) (Baltimore: The John Hopkins University Press,
1976), hlm. 24.
15
dekonstruksi dipakai untuk memisahkan, membongkar untuk menemukan dan
menelanjangi berbagai asumsi, strategi retoris dan ruang kosong teks.39
PENUTUP
39
Christopher Norris, Membongkar Teori Dekonstruksi, dalam Inyiak Ridwan Muzir (penerj),
(Yogyakarta: Penerbit Ar-ruzz, 2003), hlm. 5.
16
pertunjukkan. Teater jadi panggung hiburan yang kaya akan ekspresionisme, tetapi
lemah dalam pemaknaan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Barker, Chris. Cultural Studies: Theory and Prctice. Tim KUNCI Cultural Studies
Centre. Penerj. Yogyakarta: Bentang Pustaka, 2005.
Griffin, Eric. A First Look at Communication Theory 4th Edition. Boston: McGraw
Hill Higher Education, 2000
Hastuti, Diah Retno Dwi, M. Saleh Ali, Eymal B. Demmallino, dll. Kumpulan
Mazhab Teori Sosial (Biografi, Sejarah, Teori, dan Kritikan). Makasar: Pt Nur
Lina, 2018.
Hatley, Barbara. “Pertunjukan Budaya Indonesia Pasca Orde Baru.” Barbara Hatley,
G. Budi Subanar,
17
Heryanto, Ariel. The Postmodern Condition: A Report On Knowledge. Jakarta:
Gramedia, 1994.
Malna, Afrizal. Ekologi Teater Indonesia; Anatomi Tubuh Kata: Teater Kontemporer
Indonesia Sebuah Indonesia Kecil. Bandung: Penerbit MSPI, 1999.
Rinawati, Rini. “Dramatugi Poligami”. Jurnal Mediator, Vol. l7, No. 1, 2006.
Ritzer, George. Teori Sosiologi dari Sosiologi Klasik sampai Perkembangan Terakhir
Postmodern. S. Pasaribu, Rh. Widada, dan E. Adinugraha. penerj. Jogjakarta:
Pustaka Pelajar, 2012.
Sobur, Alex. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis
Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004.
Widodo, Suko. Anatomi dan Perkembangan Teori Sosial. Malang: Aditya Media
Publishing Widodo, 2010.
Yustina Devi Ardhiani. eds. Seni Pertunjukan Indonesia Pasca Orde Baru.
Yogyakarta: Penerbit Universitas Sanata Dharma, 2014.
Appiah, Kwame Anthony. “Is the Post-in Postmodernism the Post-in Postcolonial?.”
Critical Inquiry. Vol. 17, No. 2, 1991.
N, Sahrul. “Estetika Teater Modern Sumatera Barat”. Mudra: Jurnal Seni Budaya.
Vol. 26, No. 2, 2011.
Shalin, Dmitri N. “Interfacing Biography, Theory and History: The Case of Erving
Goffman”. Symbolic Interaction. Vol. 37, No. 1, 2014.
18
Yudiaryani, Hj. "Identifikasi Teater Indonesia: Inspirasi Teoretis bagi Praktik Teater
Kontemporer". Makalah Seminar Nasional Konstruksi Realitas Teater.
Surabaya: Jurusan Seni Drama Tari dan Musik FBS Ubaya, 2010.
19