Anda di halaman 1dari 104

BAB I

PENGERTIAN DAN ASAL MULA TEATER

PENDAHULUAN

 Deskripsi Singkat
- Pengertian teater secara etimologis dan terminologis.
- Asal mula teater.
- Jenis-jenis teater yang berkembang di Indonesia.

 Manfaat
- Mahasiswa mendapatkan pemahaman mengenai pengertian
teater baik dari sisi etimologis dan terminologis berdasarkan
pendapat para ahli.
- Mahasiswa mendapatkan pemahaman mengenai sejarah asal
mula teater dan jenis-jenis teater yang berkembang di
Indonesia.

 TIK (Kompentensi Pendukung)


- Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa dapat menjelas-
kan pengertian, sejarah kemunculan, dan jenis-jenis teater
yang berkembang di Indonesia.

1
PENYAJIAN
 Uraian

A. Pengertian Teater

Teater merupakan bagian dari seni pertunjukan. Pertunjukan


memberi arti sebuah peristiwa keindahan yang dengan sengaja diciptakan
oleh seseorang untuk disajikan di depan publik. Oleh karena itu seni
pertunjukan setidaknya harus mengandung tiga unsur penting yaitu,
orang yang menciptakan (seniman), unsur keindahan yang diciptakan
(karya), dan orang yang menikmati (penonton). Ketiga hal itulah yang
membedakan sebuah peristiwa seni pertunjukan dengan peristiwa
keseharian. Sebuah peristiwa tabrakan kendaraan bermotor meskipun
tampak dramatik dengan orang-orang berkerumun menyaksikan, tetapi
apakah peristiwa tersebut termasuk seni pertunjukan?. Jawabanya adalah
tidak, karena peristiwa tabrakan tersebut tidak ada orang yang
menciptakannya, terjadi secara tidak disengaja tanpa dipersiapkan
sebelumnya. Aspek penting dari seni pertunjukan adalah bahwa peristiwa
yang tersaji tersebut ada orang yang menciptakannya atau ada
kreatornya. Maka pertunjukan teater juga harus memenuhi ketiga aspek
dasar tersebut, yaitu sutradara (kreator), peristiwa yang diciptakan, dan
penonton yang menyaksikan.

Secara etimologis (asal kata), teater berasal dari bahasa Yunani


theatron (Harymawan, 1988: 2; Soemanto, 2001: 8; Yudiaryani, 2002:
1; Dewojati, 2010: 11) yang berarti seeing place, tempat menonton
pertunjukan (gedung pertunjukan). Dahulu penyebutan theatron memang
digunakan untuk menggambarkan bangku-bangku tempat duduk
penonton yang ditata setengah lingkaran dan mendaki kearah lereng
bukit untuk menonton pementasan drama Yunani Klasik. Oleh karena itu
kata teater juga sering digunakan untuk menyebut sebuah gedung
pertunjukan, seperti Teater Tanah Airku di Taman Mini Indonesia Indah

2
Jakarta, Teater Kecil dan Teater Besar di Taman Ismail Marzuki Jakarta
dan ISI Surakarta. Kata teater juga digunakan untuk menyebut sebuah
kelompok atau komunitas, seperti Teater Koma, Teater Gandrik, Teater
Garasi, Bengkel Teater, dan lain sebagainya. Pemakaian kata teater untuk
digunakan sebagai penyebutan gedung pertunjukan ataupun nama
komunitas atau kelompok menunjukkan pemaknaan teater sebagai kata
benda.

Gambar. Sketsa theatron, tempat pertunjukan pada zaman Yunani Klasik.


Kondisi tempat pertunjukan yang masih terawat sampai saat ini.
Sumber : www.daviddarling.info & www.culturalweekly.com

3
Secara terminologis (batasan konsepsional), Cohen (1983: 50)
menyebutkan bahwa teater adalah wadah kerja artistik dengan aktor
menghidupkan tokoh, tidak direkam tetapi dipertunjukan langsung dan
biasanya, berangkat dari naskah sebagai sumber penciptaan. Sedangkan
Harymawan (1988: 2) mendefinisikan teater menjadi dua yaitu dalam arti
sempit dan luas. Dalam arti luas teater ialah sebagai segala tontonan
yang dipertunjukkan di depan orang banyak, sedangkan dalam arti
sempit diartikan sebagai drama kisah hidup manusia yang diceritakan di
atas pentas, disaksikan oleh orang banyak dengan media: percakapan,
gerak dan laku, dengan atau tanpa dekor, didasarkan pada naskah yang
tertulis dengan atau tanpa musik, nyanyian, dan tarian.

Yudiaryani dalam bukunya Panggung Teater Dunia (2002: 2)


merinci terdapat enam wilayah pengertian teater. Pengertian pertama,
teater adalah kerja. Pengertian kedua, teater adalah kerja seni.
Pengertian ketiga, teater adalah wadah aktor menghidupkan tokoh.
Pengertian keempat, teater adalah pertunjukan. Pengertian kelima, teater
adalah pertunjukan langsung. Pengertian keenam, teater terkait dengan
naskah tertulis. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan
bahwa teater adalah segala tontonan yang mengkisahkan rekayasa
kehidupan manusia yang diperankan oleh seorang aktor di atas pentas
baik dengan menggunakan naskah ataupun tidak.

4
B. Asal Mula Teater

Beberapa sumber referensi menyebutkan bahwa terdapat tiga teori


asal mula teater tercipta (Brockett, 1959: 49-72; Sumardjo, 1986: 1-3;
Sumanto, 2001: 12-15; Yudiaryani, 2002: 36, Dewojati, 2010: 32-33).
Teori pertama menyebutkan bahwa teater berasal dari upacara agama
primitif. Unsur cerita ditambahkan pada upacara agama yang kemudian
berkembang menjadi pertunjukan drama. Meskipun upacara agama ini
telah ditinggalkan oleh komunitasnya, namun kisah-kisah tersebut tetap
hidup hingga sekarang.

Gambar. Lukisan di dinding gua yang menggambarkan seorang Shaman


(dukun) yang menggunakan kostum rusa dalam melakukan ritual untuk
pengobatan dan tujuan lainnya.
Sumber: www.ericwedwards.files.wordpress.com

5
Teori kedua menyebutkan bahwa teater berasal dari pujian atau
himne yang dinyayikan bersama di depan makam seorang pahlawan.
Dalam upacara ini seorang pencerita akan mengisahkan riwayat hidup
sang pahlawan yang lama-kelamaan diperagakan dalam bentuk teater.
Dialog mulai terjadi saat terdapat dua pembicara di atas panggung.

Teori yang ketiga menyatakan bahwa asal mula teater berasal dari
kegemaran manusia mendengarkan cerita. Kisah-kisah tentang
perburuan, peperangan, dan kepahlawanan yang kemudian diperagakan.
Dari ketiga teori tersebut dapat dilihat bahwa masing-masing teori
menekankan tentang adanya action (tindakan). Action menjadi dasar
terciptanya teater.

C. Jenis-Jenis Teater di Indonesia

Teater merupakan ekspresi dari kebudayaan masyarakat tertentu.


Perubahan kebudayaan di suatu masyarakat akan berubah pula ekspresi
seni yang dihasilkan. Kebudayaan di nusantara telah melalui sejarah yang
panjang. Claire Holt mencatat setidaknya terjadi dalam empat fase yaitu
pengaruh animisme dan dinamisme sekitar 2500 SM – 1 M, pengaruh
Hindia pada abad 1 sampai 1000, pengaruh agama Islam sekitar tahun
1300 sampai 1750, dan pengaruh Barat dari tahun 1750 sampai Perang
Dunia II (1945) (Holt, 2000: 3; Soedarsono, 2002: ). Dari masing-masing
fase perkembangan kebudayaan di nusantara itu menghasilkan ekspresi-
ekspresi seni teater yang beragam. Pengaruh animisme dan dinamisme
telah melahirkan suatu bentuk teater primitif, suatu pertunjukan teater
yang dipergelarkan untuk persembahan bagi dewa dan roh nenek
moyang. Pengaruh Hindia pada tarikh abad pertama telah menghasilkan
suatu bentuk teater tradisional. Selanjutnya pengaruh agama Islam telah
menghasilkan suatu bentuk teater Stamboel, dimana cerita-cerita yang
dihadirkan berasal dari Timur Tengah, dan pengaruh Barat telah

6
menghasilkan bentuk teater Miss Riboet’s Orion dan Dardanalla yang
menjadi peletak dasar bagi teater modern di Indonesia.

Berbagai bentuk teater dari masing-masing fase perkembangan


kebudayaan di nusantara itu masih dapat dijumpai jejaknya sampai hari
ini. Dalam sejarah seni pertunjukan di Indonesia menunjukkan bahwa
munculnya bentuk teater yang baru sebagai ekspresi budaya tertentu,
bukan berarti sebagai anti tesis atas bentuk teater yang telah ada
sebelumnya. Berbagai bentuk teater di nusantara muncul berdasarkan
pada aspek kepentingan yaitu, persembahan (primitif), legitimasi
kekuasaan (tradisional), hiburan (modern), dan ekspresi diri
(kontemporer). Dalam hal ini justru menunjukkan perbedaan dengan
perkembangan sejarah teater di Barat, munculnya berbagai gaya teater di
Barat dapat dilihat sebagai akibat dari pertarungan ideologis yang sedang
berkembang saat itu. Misalnya, kemunculan gaya teater realisme di Barat
pada awal abad ke-20 yang dipengaruhi oleh ideologi positivisme dan
humanisme adalah sebagai anti tesis terhadap dogma teologis pada Abad
Kegelapan, dimana seluruh aspek kehidupan dikuasai oleh kebenaran
gereja.

Teater primitif dan tradisional di nusantara selalu digerakkan oleh


kepentingan bersama sebagai ekspresi kolektif suatu masyarakat
tertentu, baik kepentingan untuk memenuhi kebutuhan religi
(persembahan kepada dewa dan roh leluhur) maupun sosial (inisiasi),
sedangkan teater modern dan kontemporer di Indonesia dibangun atas
dasar ekspresi personal atau individual. Segala unsur pertunjukan yang
dihadirkan baik struktur dramatik maupun artistik selalu terkait dengan
nilai dasar yang dianut oleh masyarakat tersebut. Nilai dasar itulah yang
mendominasi nilai-nilai lain dalam kebudayaan (Sumardjo, 2000: 229).
Dalam masyarakat agraris nilai dasarnya adalah kesuburan tanah dan
kemakmuran bersama. Maka, ekspresi seni masyarakat agraris akan
mengacu kepada nilai dasar ini, yakni bentuk pertunjukan teater yang

7
mampu mendorong kesuburan tanah dan kemakmuran bersama. Hal ini
akan berbeda dengan ekspresi seni pada masyarakat pesisiran yang nilai
dasarnya adalah laut dan ikan, maka eskpresi seni yang dihasilkan juga
akan mengacu pada nilai dasar itu.

Dalam masyarakat pertanian yang tradisional dan feodal, fungsi


teater yang utama adalah sebagai pengikat solidaritas masyarakat serta
sebagai penjabar nilai-nilai yang berlaku dalam masyarakat. Dalam
masyarakat pertanian yang sederhana, teater langsung berhubungan
dengan siklus upacara yang memuliakan pertanian, roh halus atau dewi
yang melindunginya, dan nenek moyang serta para pendiri atau danyang
desa. Dalam masyarakat feodal atau kerajaan, teater berfungsi sebagai
wahana solidaritas dan penyampai sistem nilai, akan tetapi “solidaritas” di
sini berarti solider kepada raja sebagai dewa yang mengejawantah, atau
kalifatullah, sedangkan dalam masyarakat kota yang telah mencipta
teater kontemporer, sistem nilai disini tidak selalu merupakan nilai-nilai
yang berlaku dalam masyarakat, atau yang digariskan untuk diberlakukan
dalam masyarakat. Tetapi nilai itu adalah nilai-nilai alternatif, nilai-nilai
bayangan, konsep-konsep yang direkonstruksi untuk dipertimbangkan,
untuk mengganggu pikiran, untuk direnungkan, untuk menggoyahkan
kepercayaan, untuk apa saja selain untuk “dicamkan”, “dihayati”, dan
“dilaksanakan” (Kayam, 1985: 141-144).

8
PENUTUP

 Rangkuman

Secara etimologis (asal kata), teater berasal dari bahasa Yunani


theatron yang berarti seeing place, tempat menonton pertunjukan
(gedung pertunjukan). Beberapa sumber referensi menyebutkan
bahwa terdapat tiga teori asal mula teater tercipta. Teori pertama
menyebutkan bahwa teater berasal dari upacara agama primitif. Unsur
cerita ditambahkan pada upacara agama yang kemudian berkembang
menjadi pertunjukan drama. Meskipun upacara agama ini telah
ditinggalkan oleh komunitasnya, namun kisah-kisah tersebut tetap
hidup hingga sekarang.

Teori kedua menyebutkan bahwa teater berasal dari pujian atau


himne yang dinyayikan bersama di depan makam seorang pahlawan.
Dalam upacara ini seorang pencerita akan mengisahkan riwayat hidup
sang pahlawan yang lama-kelamaan diperagakan dalam bentuk teater.
Dialog mulai terjadi saat terdapat dua pembicara di atas panggung.

Teori yang ketiga menyatakan bahwa asal mula teater berasal dari
kegemaran manusia mendengarkan cerita. Kisah-kisah tentang
perburuan, peperangan, dan kepahlawanan yang kemudian
diperagakan. Dari ketiga teori tersebut dapat dilihat bahwa masing-
masing teori menekankan tentang adanya action (tindakan). Action
menjadi dasar terciptanya teater.

Secara terminologis (batasan konsepsional), teater adalah wadah


kerja artistik dengan aktor menghidupkan tokoh, tidak direkam tetapi
dipertunjukan langsung dan biasanya, berangkat dari naskah sebagai
sumber penciptaan. Berbagai bentuk teater dari masing-masing fase
perkembangan kebudayaan di nusantara itu masih dapat dijumpai

9
jejaknya sampai hari ini. Dalam sejarah seni pertunjukan di Indonesia
menunjukkan bahwa munculnya bentuk teater yang baru sebagai
ekspresi budaya tertentu, bukan berarti sebagai anti tesis atas bentuk
teater yang telah ada sebelumnya. Berbagai bentuk teater di
nusantara muncul berdasarkan pada aspek kepentingan yaitu,
persembahan (primitif), legitimasi kekuasaan (tradisional), hiburan
(modern), dan ekspresi diri (kontemporer).

 Tes Formatif

1. Jelaskan pengertian teater secara etimologi dan terminologi !


2. Jelaskan teori asal mula teater !
3. Jelaskan tentang teater tradisional beserta contoh !
4. Jelaskan tentang teater modern beserta contoh !
5. Jelaskan tentang teater kontemporer beserta contoh !

DAFTAR PUSTAKA

Brockett, Oscar G. 1965. The Theatre an Introduction. USA. Holt, Rinehart


and Winston Inc.

Dewojati, Cahyaningrum. 2010. Drama, Sejarah, Teori, Dan


Penerapannya. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

Harymawan. RMA. 1988. Dramaturgi. Bandung. CV. Rosda.

Holt, Claire. 2000. Melacak Jejak Perkembangan Seni Di Indonesia.


Bandung. Arti.line

Kayam, Umar.1985. Nilai-Nilai Tradisi dan Teater Kontemporer Kita dalam


buku Menengok Tradisi: Sebuah alternatif bagi Teater
Modern. Jakarta. Dewan Kesenian Jakarta.

10
Soedarsono. 2002. Seni Pertunjukan Indonesia di Era Globalisasi.
Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

Sumanto, Bakdi. 2001. Jagat Teater. Yogyakarta. Media Pressindo.

Sumardjo, Jakob. 1999. Ikhtisar Sejarah Teater Barat. Bandung.


Angkasa.

Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni. Bandung. Penerbit ITB.

Yudiaryani. 2002. Panggung Teater Dunia, Perkembangan dan Perubahan


Konvensi. Yogyakarta. Pustaka Gondho Suli.

Sumber Gambar :

www.ericwedwards.files.wordpress.com
www.daviddarling.info
www.culturalweekly.com

11
BAB II
PERBEDAAN TEATER DAN DRAMA

PENDAHULUAN

 Deskripsi Singkat
- Esensi teater adalah peristiwa dan esensi drama adalah konflik.
- Teater sebagai karya seni pertunjukan dan drama sebagai karya
sastra.
- Bentuk dan aliran drama.

 Manfaat
- Mahasiswa mendapatkan pemahaman mengenai esensi teater
dan drama.
- Mahasiswa mendapatkan pemahaman mengenai teater sebagai
karya seni pertunjukan dan drama sebagai karya sastra.
- Mahasiswa dapat memahami bentuk dan aliran drama.

 TIK (Kompentensi Pendukung)


- Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa dapat
membedakan antara teater dan drama, serta memahami bentuk
dan aliran drama.

12
PENYAJIAN
 Uraian

A. Pengertian Drama

Drama merupakan bagian dari cerita fiksi, selain puisi, cerpen, dan
novel. Perbedaan drama dengan cerita fiksi yang lain adalah drama ditulis
untuk dipertunjukkan, sedangkan yang lain tidak. Oleh karena itu,
diantara cerita fiksi yang lain drama memiliki karakteristik khusus, yaitu
berdimensi sastra pada satu sisi dan berdimensi seni pertunjukan pada
sisi yang lain (Damono, 1983: 149-150). Penulis naskah tidak hanya
berkomunikasi dengan pembaca melalui penggambaran tokoh dan
peristiwa yang dituliskan tetapi juga hendak melanjutkan proses
komunikasi itu dengan menghidupkan tokoh dan peristiwa di atas
panggung, sehingga tokoh dan peristiwa yang awalnya hanya dapat
diimajinasikan itu dapat terlihat (visual), terdengar (audible), dan
terasakan (tangible) (Soemanto, 2002: 6).

Secara etimologis (asal kata), drama berasal dari kata Yunani


draomai yang berarti ‘berbuat’, ‘berlaku’, ‘bertindak’, ‘bereaksi’, dan
sebagainya (Harymawan, 1988: 1), sedangkan secara terminologis,
Aristoteles berpendapat bahwa drama sebagai imitasi perbuatan manusia
(Whiting, 1961: 130). Ferdinand dan Balthaza Verhagen (dalam
Hassanudin, 1996: 3) mengemukakan bahwa drama merupakan seni
yang melukiskan sifat dan sikap manusia dan harus melahirkan kehendak
manusia dengan action dan perilaku. Pandangan yang lain dikemukakan
oleh Clay Hemilton dan Koning (Kanzunnudin, 1995: 20) menyebut
bahwa drama sebagai karya sastra yang ditulis dalam bentuk percakapan
dan dimaksudkan untuk dipertunjukkan oleh aktor. Astone dan George
Savona (1991: 51-52), mengatakan bahwa drama merupakan susunan

13
dialog para tokoh (haupttext) dan petunjuk pementasan untuk pedoman
sutradara (nebentext) dalam menciptakan peristiwa di atas panggung.

Pendapat yang lain dikemukakan oleh Harymawan (1988: 1-2),


menyatakan bahwa drama adalah cerita konflik manusia dalam bentuk
dialog yang diproyeksikan pada pentas dengan menggunakan percakapan
dan action di hadapan penonton (audience). Dalam pengertian yang lebih
ketat, sebuah drama adalah lakon serius yang menggarap satu masalah
yang punya arti penting , meskipun mungkin berakhir dengan bahagia
atau tidak bahagia (Dewojati, 2010: 8). Secara umum, istilah drama
dapat digunakan untuk; a) karya tulis untuk teater, b) setiap situasi yang
mempunyai konflik dan penyelesaian, c) jenis sastra berbentuk dialog
untuk ditunjukan di atas pentas (Riantiarno, 2011:3-4). Dari beberapa
pengertian drama di atas dapat disimpulkan bahwa drama adalah suatu
kisah manusia yang berupa dialog-dialog para tokoh untuk diperankan
oleh aktor di atas panggung melalui besutan tangan sutradara.

Drama terdiri dari dua bentuk, yaitu tragedi dan komedi. Tragedi
mengisahkan pergulatan manusia melawan takdirnya yang menyiratkan
rasa duka. Sedangkan komedi adalah kisah penuh tawa dan kegembiraan
yang berakhir dengan sukacita serta menyiratkan keceriaan. Perjalanan
perkembangan sejarah teater, dua bentuk ini berkembang menjadi tujuh
bentuk drama lainnya yaitu tragikomedi, melodrama, farce, parodi, satire,
musikal dan opera (Riantiarno, 2011:5-6).

Ditinjau dari perspektif aliran, (sastra) drama dalam


perkembangannya berdasarkan pada sikap yang tumbuh pada zaman
tertentu dapat digolongkan menjadi beberapa pembagian, yaitu klasik,
neoklasik, romantik, realisme, simbolisme, ekspresionisme, epik, dan
absurd (Riantiarno, 2011: 7-8).

14
B. Hakikat Drama dan Teater

Dalam perkembangan selanjutnya, saat ini drama lebih identik


dengan karya sastra. Drama adalah hasil seni sastra (naskah) yang
ungkapannya dalam wujud teater, yang menekankan pada kekuatan
unsur suara (kata, ucapan, dialog) baik yang tersurat maupun tersurat.
Sastra drama adalah sebuah karya tulis berupa rangkaian dialog yang
tercipta dari konflik batin atau fisik yang memiliki kemungkinan untuk
dipentaskan. Drama adalah ide/ jalan pikiran yang berkisah tentang
manusia ditulis dalam bentuk dialog dan penjelasannya (Riantiarno,
2011:3-4). Istilah lain untuk menyebut karya sastra drama adalah
naskah, lakon, naskah lakon, naskah drama dan play (dalam bahasa
Inggris).

Inti dari drama adalah konflik. Konflik yang terjalin dalam hukum
sebab-akibat yang dirangkai menjadi sebuah plot (alur). Permasalahan
yang dirangkai dalam pola sebab-akibat ini muncul dari motivasi manusia
sebagai makhluk yang berhasrat dan berfikir.

Proses berhasrat dan berfikir manusia sebagai individu


memunculkan motivasi yang berwujud menjadi keinginan dan tindakan.
Akan tetapi, tidak semua dari keinginan manusia bisa dicapai dengan
mudah karena akan menemui berbagai penghalang. Adakalanya
keinginan itu juga berbenturan dengan keinginan individu lain.
Ketidaksesuaian antara keinginan dan kenyataan inilah yang kemudian
menjadi konflik yang bermula dari dalam diri individu dan kemudian
berkembang menjadi sebuah konflik dengan sesuatu di luar dirinya
(eksternal). Proses muncul, berkembang, dan penyelesaian konflik
tersebut akan menjadi sebuah plot (alur) yang menarik bagi manusia.
Plot ini kemudian menjadi sebuah cerita yang akan diapresiasi oleh
manusia demi mendapatkan sesuatu untuk kebutuhan jiwanya (bersifat

15
rohani) dan untuk kebutuhan yang berhubungan dengan kehidupan
sehari-hari.

Hakikat dari teater adalah peristiwa. Dalam hal ini, peristiwa yang
dimaksud berhubungan dengan peristiwa yang dipersiapkan sebagai
sebuah tontonan. Teater sebagai peristiwa tontonan ditentukan oleh tiga
syarat yaitu adanya pekerja (pelaku), tempat (panggung), dan penonton
(apresiator), serta memenuhi tiga unsur yaitu berlangsung secara
berkelanjutan (kontiniu), bersamaan dalam saat (waktu), dan tempat
(ruang).

Drama sebagai karya sastra menyajikan konflik dan aksi yang


berlangsung dalam imajinasi. Ia dapat dinikmati dengan membaca sambil
duduk santai atau berbaring di dalam kamar. Menikmatinya bisa dijeda
sementara, dipercepat, diperlambat, dipilah-pilah, berloncatan secara
acak, dan sebagainya. Sedangkan dalam teater, konflik dan aksi hadir
sebagai peristiwa dramatik yang terjadi secara langsung (live) di atas
panggung, dinikmati secara audio-visual oleh segenap indera, di ruang
dan waktu tertentu, terbatas, berkelanjutan dan terjadi secara
bersamaan.

Drama menjadi terwujud bentuknya di dalam teater. Semua ide


penulis drama tentang konflik dan peristiwa imajinatif menjadi wujud
nyata yang bisa dinikmati secara inderawi oleh apresiator.

PENUTUP

16
 Rangkuman

Inti dari drama adalah konflik. Konflik yang terjalin dalam hukum
sebab-akibat yang dirangkai menjadi sebuah plot (alur). Permasalahan
yang dirangkai dalam pola sebab-akibat ini muncul dari motivasi manusia
sebagai makhluk yang berhasrat dan berfikir.

Hakikat dari teater adalah peristiwa. Dalam hal ini, peristiwa yang
dimaksud berhubungan dengan peristiwa yang dipersiapkan sebagai
sebuah tontonan. Teater sebagai peristiwa tontonan ditentukan oleh tiga
syarat yaitu adanya pekerja (pelaku), tempat (panggung), dan penonton
(apresiator), serta memenuhi tiga unsur yaitu berlangsung secara
berkelanjutan (kontiniu), bersamaan dalam saat (waktu), dan tempat
(ruang).

Drama terdiri dari dua bentuk, yaitu tragedi dan komedi. Tragedi
mengisahkan pergulatan manusia melawan takdirnya yang menyiratkan
rasa duka. Sedangkan komedi adalah kisah penuh tawa dan kegembiraan
yang berakhir dengan sukacita serta menyiratkan keceriaan. Perjalanan
perkembangan sejarah teater, dua bentuk ini berkembang menjadi tujuh
bentuk drama lainnya yaitu tragikomedi, melodrama, farce, parodi, satire,
musikal dan opera.

Ditinjau dari perspektif aliran, (sastra) drama dalam


perkembangannya berdasarkan pada sikap yang tumbuh pada zaman
tertentu dapat digolongkan menjadi beberapa pembagian, yaitu klasik,
neoklasik, romantik, realisme, simbolisme, ekspresionisme, epik, dan
absurd (Riantiarno, 2011: 7-8).

 Tes Formatif

17
1. Jelaskan pengertian drama secara etimologi dan terminologi !
2. Jelaskan perbedaan antara teater dan drama !
3. Jelaskan hakekat teater dan drama !
4. Jelaskan tentang bentuk drama !
5. Jelaskan tentang aliran drama !

DAFTAR PUSTAKA

Damono, Sapardi Joko. 1983. Kesusastraan Indonesia Modern. Jakarta.


Gramedia.

Dewojati, Cahyaningrum. 2010. Drama, Sejarah, Teori, Dan


Penerapannya. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

Harymawan. RMA. 1988. Dramaturgi. Bandung. CV. Rosda.

Hasanuddin WS. 1996. Drama, Karya Dalam Dua Dimensi, Kajian Teori,
Sejarah dan Analisa. Bandung. Angkasa.

Riantiarno, N.. 2011. Kitab Teater, Tanya Jawab Seputar Seni


Pertunjukan. Jakarta. Grasindo.

Sumanto, Bakdi. 2001. Jagat Teater. Yogyakarta. Media Pressindo.

Whiting, Frank M. 1961. An Introduction to The Theatre. New York.


Harper & Row Publisher.

BAB III

18
ASPEK PENDUKUNG PERTUNJUKAN TEATER

PENDAHULUAN

 Deskripsi Singkat

- Aspek pendukung dalam pertunjukan teater.

- Pengertian dan fungsi aktor, penonton, dan tempat


pertunjukan.

- Jenis-jenis penonton dan tempat pertunjukan.

 Manfaat

- Mahasiswa dapat memahami aspek pendukung dalam


pertunjukan teater.

- Mahasiswa dapat memahami pengertian, fungsi dan jenis aktor,


penonton, dan tempat pertunjukan.

 TIK (Kompentensi Pendukung)

- Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa dapat memahami


aspek penting dalam pertunjukan teater serta menjelaskan
pengertian, fungsi dan jenis aktor, penonton, dan tempat
pertunjukan.

PENYAJIAN

19
 Uraian

Teater sebagai sebuah pertunjukan memiliki beberapa unsur yang


menjadi aspek pendukungnya. Di bawah ini akan dijelaskan secara
singkat beberapa diantaranya, yaitu :

A. Aktor

Aktor adalah orang yang melakukan tindakan (acting) menjadi


tokoh/ identitas dalam jalinan sebuah penceritaan tertentu untuk
keperluan pertunjukan. Seorang aktor dituntut untuk mengerahkan
seganap kemapuan jiwa dan raganya untuk berganti peran/ memerankan
sebuah tokoh/ identitas yang bukan pribadinya di keseharian. Tugas
utamanya adalah untuk menyakinkan orang lain (make believe) bahwa ia
sedang memerankan orang lain untuk membawakan sebuah kisah/
informasi yang hendak dikomunikasikan kepada penontonnya. Dalam
proses berlatih, aktor dituntut untuk bisa membaca dan menyerap
informasi dari realita keseharian, kemudian menganalisis dan
mengutarakan pikiran dan perasaannya kepada orang lain (Riantiarno,
2011: 107).

Proses produksi sebuah pertunjukan teater merupakan wilayah kerja


antara aktor dan seniman lainnya seperti penulis naskah, sutradara,
penata, dan tim artistik lainnya. Aktor menjadi ujung tombak dalam
menyampaikan pesan pertunjukan kepada penonton. Oleh sebab itu,
kerjasama antara aktor dan divisi lainnya sangat menentukan
keberhasilan sebuah pertunjukan. Aktor dituntut untuk memiliki wawasan
yang luas, pengalaman hidup yang dalam serta teknik akting yang
mumpuni dalam mengaplikasikan penafsirannya terhadap karakter yang
akan diperankannya. Perkembangan ilmu psikologi dan pendekatan akting
saat ini membuat peranan aktor dalam sebuah produksi semakin
kompleks. Ia bisa memilih dan mencoba mengaplikasikan beberapa

20
metode pelatihan akting yang sudah diformulasi oleh beberapa ahlinya
(Sitorus, 2003: 15-16).

Seni drama mengalami tranformasi yang membuat seni keaktoran


berkembang dan semakin kompleks sehingga tidak mudah untuk
dilakukan sembarang orang. Berbeda dengan zaman Yunani Klasik yang
membuat kemampuan individu terbenam dalam kerumunan koor, saat ini
drama sudah beralih untuk menganalisis jiwa dan sifat manusia, sehingga
peran individu lebih muncul. Akibatnya, prosfesi sebagai aktor menjadi
lebih menantang dan posisinya dalam sebuah pertunjukan menjadi lebih
dominan.

Tugas utama aktor dalam sebuah pertunjukan adalah untuk


“menghidupkan” tokoh yang dimainkannya. Dalam drama, tokoh
merupakan unsur yang paling aktif yang menjadi penggerak cerita. Oleh
sebab itu, seorang tokoh haruslah memiliki karakter, agar dapat berfungsi
sebagai penggerak cerita yang baik. Untuk mengetahuinya, terdapat tiga
dimensi yang menentukan yaitu :

1. Dimensi fisiologis, yaitu ciri-ciri badani (fisik) yang dilekatkan


kepada tokoh. Seperti usia, jenis kelamin, keadaan dan
bentuk tubuh, bentuk raut muka, rambut, kondisi fisik
tertentu, ciri khas fisik, dan sebagainya.

2. Dimensi sosiologis, yaitu latar belakang sosial-


kemasyarakatan tokoh, misalnya status sosial, pendidikan,
pekerjaan, peranan dalam masyarakat, kehidupan pribadi,
pandangan hidup, agama, hobi, keadaan lingkungan sekitar
tempat tinggalnya, bangsa-suku-keturunan, dan sebagainya.

3. Dimensi psikologis, yaitu latar belakang kejiwaan tokoh,


misalnya temperamen, mentalitas, sifat, sikap dan kelakuan,

21
tingkat kecerdasan, keahlian dalam bidang tertentu,
kecakapan, dan lain sebagainya (Harymawan, 1993: 25-26).

B. Penonton

Penonton adalah orang yang menyaksikan/ mengapresiasi sebuah


pertunjukan dan memiliki keterlibatan dalam perhatian (pikiran & audio-
visual) dan emosi baik secara penuh atau sebagian. Sebuah karya
pertunjukan harus dapat memenuhi setidaknya empat kebutuhan
penikmatan penonton yaitu filsafat, imajinasi, audio, dan visual. Penonton
datang dari berbagai latar belakang budaya yang berbeda, penonton yang
memiliki latar belakang pemikir akan lebih tertarik pada persoalan filsafat,
penonton yang berlatar belakang sastrawan akan lebih menikmati aspek
imajinasi, penonton yang berlatar belakang pemusik akan menikmati
pada aspek suasana dan irama yang dihadirkan, sedangkan penonton
yang berlatar belakang perupa akan lebih tertarik pada persoalan visual.

Berdasarkan jenis penonton dapat dibagi menjadi: penonton awam,


penonton amatir, penonton profesioanal. Penonton awam adalah jenis
penonton yang bisa jadi baru pertama kali menyaksikan sebuah
pertunjukan teater. Penonton amatir datang menyaksikan sebuah
pertunjukan teater hanya untuk memenuhi kebutuhan hiburan semata,
sedangkan penonton profesional datang menyaksikan sebuah pertunjukan
teater karena memang atas kebutuhan apresiasi.

C. Tempat Pertunjukan

22
Teater sebagai sebuah tontonan tentu memerlukan tempat yang
dipergunakan untuk keperluan pertunjukan yang dengan sadar
mengisyaratkan sebuah nilai kesenian. Lazimnya adalah sebuah tempat/
gedung pertunjukan dengan panggung yang memang dipersiapkan untuk
kegiatan pertunjukan. Tetapi sebenarnya tempat pertunjukan bisa di
mana saja, seperti lapangan, arena terbuka, aula, auditorium, pelataran,
teras, halaman, taman, dan sebagainya. Beberapa tempat juga sengaja
dipersiapkan untuk kegiatan pertunjukan, sehingga tempat tersebut diberi
batas dan ditinggikan untuk memudahkan penonton untuk melihatnya.
Beberapa pertunjukan juga menjadikan tempat-tempat tertentu yang
tidak lazim digunakan untuk pertunjukan dengan menciptakan dan
mempersiapkan batasan yang sifatnya imajinatif sesuai dengan
kebutuhan. Bahkan, tidak tertutup kemungkinan ada pertunjukan yang
berusaha membaurkan pelaku dan penontonnya dalam satu tempat yang
sama. Semua ini tergantung pada konsep dan tujuan yang dikehendaki
oleh kreatornya.

Panggung dalam sebuah gedung pertunjukan adalah tempat ideal


untuk pertunjukan dengan konsep indoor. Di dalamnya terdapat
bermacam peralatan untuk mendukung sebuah pertunjukan. Tempat
duduk bagi penonton disusun sedemikian rupa sehingga dapat memberi
kenyamanan. Gedung pertunjukan didesain dengan memperhatikan
hukum akustika ruang untuk memaksimalkan kualitas sebuah
pertunjukan. Berdasarkan bentuk dan fungsinya, panggung terbagi
menjadi beberapa macam yaitu prosenium, arena, traverse, dan thrust.

23
Gambar. Beberapa bentuk panggung : prosenium, thrust, traverse, dan
arena. Sumber : http.www.bbc.co.uk

Panggung prosenium adalah jenis panggung yang hanya dapat


dilihat dari sisi depan saja. Penataan set-dekor dan pemain perlu ditata
sedemikian rupa untuk menyiasati keterbatasan pandangan penonton.
Panggung ini berbentuk kotak dan bagian kiri, kanan, serta belakangnya
bisa dijadikan sebagai jalan untuk keluar-masuk pemain. Pamain hanya
fokus ke satu arah untuk berkomunikasi secara efektif dengan penonton.
Interaksi antara pemain dan penonton agak kurang karena panggung
jenis ini menciptakan jarak imajinatif antara realitas panggung dan
realitas penonton (Riantiarno, 2011: 148 ).

24
Gambar. Panggung prosenium.
Sumber : http.danceappreciation4.files.wordpress.com

Panggung arena adalah panggung yang dikelilingi penonton sehingga


pertunjukan bisa disaksikan dari semua arah. Panggung berbentuk bulat
sehingga sekeliling pentas dapat dipakai untuk keluar-masuk pemain.
Penataan set-dekor juga perlu diperhatikan karena semua bagian akan
terlihat oleh penonton dan agar benda-benda yang berukuran besar tidak
menghalangi pemain dan pandangan penonton (Riantiarno, 2011: 149).
Berbeda dengan pemain di panggung prosenium, pada panggung arena
pemain harus bersiasat agar bisa berkomuniksi secara efektif dengan
keselurahan penonton di sekelilingnya. Panggung jenis ini lebih cocok
digunakan untuk pertunjukan yang menuntut interaksi yang intens antara
penonton dan pemainnya, seperti pada pementasan teater tradisional.

25
Gambar. Denah panggung arena tampak atas.
Sumber : http.blogs.swa-jkt.com

Gambar. Beberapa variasi bentuk panggung arena.


Sumber : http.novitaevi37.files.wordpress.com

26
Lantai panggung prosenium secara imajiner dapat dibagi menjadi
beberapa bagian untuk memudahkan pengaturan blocking pemain,
penempatan set-dekor, penataan cahaya, dan keperluan lainnya. Berikut
adalah contoh pembagian lantai panggung tersebut.

Gambar. Pembagian imajiner lantai panggung prosenium yang digunakan


untuk pengaturan blocking pemain, pencahayaan, dan penempatan set-
dekor. Sumber : www.rmwebed.com.

27
Gambar. Desain panggung thrust dan traverse. Sumber :
http.www.bbc.co.uk

Gambar. Contoh panggung thrust. Sumber : http.blogs.swa-jkt.com

28
Gambar. Contoh varian lain panggung thrust.
Sumber : www.donolsonphotography.com

Gambar. Contoh panggung traverse yang biasa digunakan untuk


pertunjukan teater atau peragaan busana. Sumber :
http.www.wsd2013.com

29
Gambar. Pertunjukan Sedulur Mulur Tangga Eca (2011) yang dilakukan
Komunitas “Sego Gurih” di luar ruangan (lapangan terbuka).
Sumber: http.komunitassegogurih.files.wordpress.com

30
PENUTUP
 Rangkuman

Aktor adalah orang yang melakukan tindakan (acting) menjadi


tokoh/ identitas dalam jalinan sebuah penceritaan tertentu untuk
keperluan pertunjukan. Seorang aktor dituntut untuk mengerahkan
seganap kemapuan jiwa dan raganya untuk berganti peran/ memerankan
sebuah tokoh/ identitas yang bukan pribadinya di keseharian. Tugas
utamanya adalah untuk menyakinkan orang lain (make believe) bahwa ia
sedang memerankan orang lain untuk membawakan sebuah kisah/
informasi yang hendak dikomunikasikan kepada penontonnya.

Seni drama mengalami tranformasi yang membuat seni keaktoran


berkembang dan semakin kompleks sehingga tidak mudah untuk
dilakukan sembarang orang.

Penonton adalah orang yang menyaksikan/ mengapresiasi sebuah


pertunjukan dan memiliki keterlibatan dalam perhatian (pikiran & audio-
visual) dan emosi baik secara penuh atau sebagian. Sebuah karya
pertunjukan harus dapat memenuhi setidaknya empat kebutuhan
penikmatan penonton yaitu filsafat, imajinasi, audio, dan visual.

Berdasarkan jenis penonton dapat dibagi menjadi: penonton awam,


penonton amatir, penonton profesioanal.

Teater sebagai sebuah tontonan memerlukan tempat yang


dipergunakan untuk keperluan pertunjukan. Lazimnya adalah sebuah
tempat/ gedung yang memang dipersiapkan untuk kegiatan pertunjukan.
Tempat pertunjukan bisa di mana saja, seperti lapangan, arena terbuka,
aula, auditorium, pelataran, teras, halaman, taman, dan sebagainya.
Beberapa tempat juga sengaja dipersiapkan untuk kegiatan pertunjukan,

31
sehingga tempat tersebut diberi batas dan ditinggikan untuk
memudahkan penonton untuk melihatnya. Beberapa pertunjukan juga
menjadikan tempat-tempat tertentu yang tidak lazim digunakan untuk
pertunjukan dengan menciptakan dan mempersiapkan batasan yang
sifatnya imajinatif sesuai dengan kebutuhan. Bahkan, tidak tertutup
kemungkinan ada pertunjukan yang berusaha membaurkan pelaku dan
penontonnya dalam satu tempat yang sama. Semua ini tergantung pada
konsep dan tujuan yang dikehendaki oleh kreatornya.

Jenis tempat pertunjukan (panggung) yaitu : panggung prosenium,


panggung arena dan variannya, panggung trust, panggung traverse, dan
sebagainya.

 Tes Formatif

1. Jelaskan aspek penting dalam pertunjukan teater !


2. Jelaskan pengertian dan fungsi aktor !
3. Sebutkan jenis-jenis penonton !
4. Jelaskan jenis-jenis tempat pertunjukan !
5. Jelaskan empat macam kebutuhan penikmatan penonton !

32
DAFTAR PUSTAKA

Riantiarno, N.. 2011. Kitab Teater, Tanya Jawab Seputar Seni


Pertunjukan. Jakarta. Grasindo.

Sitorus, Eka D. 2002. The Art of Acting Seni Peran untuk Teater, Film &
TV. Jakarta. Gramedia.

Harymawan. RMA. 1993. Dramaturgi. Bandung. PT. Remaja Rosdakarya.

Sumber Gambar :

www.donolsonphotography.com

www.rmwebed.com.

http.danceappreciation4.files.wordpress.com

http.novitaevi37.files.wordpress.com

http.blogs.swa-jkt.com

http.komunitassegogurih.files.wordpress.com

http.www.wsd2013.com

www.rmwebed.com.

http.www.bbc.co.uk

33
BAB IV

NASKAH DRAMA

PENDAHULUAN

 Deskripsi Singkat

- Fungsi naskah drama dalam proses penciptaan pertunjukan


teater.

- Proses penciptaan naskah drama.

- Penulis naskah drama di Indonesia.

 Manfaat

- Mahasiswa mendapatkan pemahaman mengenai fungsi naskah


drama dalam proses penciptaan pertunjukan teater.

- Mahasiswa dapat memahami tentang proses penciptaan naskah


drama.

- Mahasiswa dapat mengetahui tentang penulis naskah drama di


Indonesia.

 TIK (Kompentensi Pendukung)

- Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa dapat


menjelaskan tentang fungsi dan proses penciptaan naskah
drama beserta penulis naskah drama di Indonesia.

34
PENYAJIAN
 Uraian

Naskah drama sebagai salah satu elemen dari sebuah pertunjukan


teater adalah kumpulan pikiran, gagasan dan perasaan pengarang dalam
bentuk teks tertulis yang berisi pesan untuk disampaikan kepada
khalayak. Untuk itu pengarang melakukan seleksi dan verifikasi terhadap
persoalan kehidupan yang akan diceritakan, menciptakan karakter,
kemudian menjalinnya dalam plot dan pola dramatisasi yang disesuaikan
dengan kebutuhan.

Naskah drama adalah ide yang menjadi rancangan awal dari sebuah
pertunjukan teater, yang lazim disebut juga dengan istilah drama, lakon,
naskah lakon, naskah drama, dan sebagainya. Dalam istilah bahasa asing
dikenal dengan sebutan play, drama, dan lain-lain. Naskah berisi dialog
tokoh-tokoh dan petunjuk laku dari penulis (author direction) yang
menjadi dasar penggarapan pertunjukan teater.

Peran naskah dalam pertunjukan teater adalah sebagai sumber,


acuan, pedoman, petunjuk dari pertunjukan teater. Untuk beberapa
pertunjukan teater konvensional, naskah drama menjadi dasar dan
panduan kerja bagi seluruh unsur dalam proses penggarapan.

Sebuah pertunjukan bisa berasal dari naskah yang sudah ada dari
seorang dramawan (penulis naskah). Ada penulis naskah yang tugasnya
hanya menulis naskah lalu digarap oleh orang lain, dan ada juga naskah
yang ditulis dan kemudian langsung disutradarai oleh penulisnya.

Penulis naskah biasa disebut dramawan (playwright). Di Yunani pada


abad 5 SM penulis drama disebut didaskalas (guru; didactic-pendidik).
Dramawan berproses dengan menyeleksi permasalahan manusia sehari-
hari. Kemudian ia berfokus terhadap masalah yang diseleksi dengan

35
sudut pandang yang dipilihnya. Ia mengembangkan karakter-karakter
yang dilengkapi dengan struktur dramatis. Proses ini dilanjutkan menjadi
proses penulisan naskah drama (Riantiarno, 2011: 47).

Penulis naskah adalah pencipta konsep pertama dalam bentuk teks


yang berisi visi, pesan, situasi-situasi yang ingin disampaikan.
Selanjutnya sutradara akan menganalisis teks serta menyesuaikannya
dengan lingkungan & tradisi-tradisi teater yang sudah ada pada saat
naskah tersebut ditulis. Ia membentuknya menjadi sebuah konsep
produksi dan dibagikan kepada setiap seniman yang terlibat sehingga
mereka dapat memakai konsep tersebut untuk melakukan penafsiran
sendiri terhadap naskah. Penafsiran ini digunakan untuk mendukung
konsep sutradara untuk bersama-sama diaplikasikan dalam produksi
(Sitorus, 2003: 9-10).

Bagi penggarap pertunjukan (sutradara dan tim artistik), naskah


dapat disikapi dengan ketat atau fleksibel. Ketat dalam artian benar-
benar setia mengikuti apa yang sudah ditentukan pengarangnya. Hal ini
berlaku jika penggarap ingin menghadirkan pertunjukan yang sesuai
dengan ide dan harapan dari penulisnya. Di sisi lain, bagi penggarap yang
berkeinginan melakukan penyesuaian, adaptasi dan menghadirkan
interpretasi baru, tentu ia akan menyikapi tuntutan penulis naskah
dengan lebih fleksibel, dengan cara dan pendapatnya sendiri.

Berdasarkan sejarah perkembangan teater di indonesia, naskah


menjadi penanda awal lahirnya teater modern. Naskah pertama di
Indonesia adalah Bebasari karya Rustam Effendi (tahun 1926).
Sebelumnya masyarakat Nusantara mengembangkan pertunjukan yang
bersumber dari sastra lisan.

Berdasarkan proses penciptaannya, naskah pertunjukan dapat


diciptakan sebelum pertunjukan, ketika proses penggarapan
pertunjukan,atau setelah pertunjukan. Poin pertama adalah hal yang

36
lazim terjadi. Poin kedua biasa dilakukan oleh penggarap yang
merangkap tugas sebagai penulis dan sutradara sekaligus pada
pertunjukan yang sedang dipersiapkan. Sedangkan poin ketiga sedikit
unik, karena naskah pertunjukan dibuat ketika sebuah pementasan sudah
selesai dipertunjukan. Hal ini terjadi karena penggarap ingin
mendokumentasikan karyanya – yang mungkin saja sebelumnya digarap
dengan spontanitas dan mengunakan metode improvisasi - secara tertulis
untuk kepentingan literasi atau penggarapan ulang di lain waktu.

Secara umum, proses menulis naskah pertunjukan hampir sama


dengan proses menulis karya sastra lainnya seperti puisi, cerpen, novel,
dll. Bedanya, naskah pertunjukan dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk
dari pengarang (author direction) mengenai tindakan tokoh, deskripsi
tempat dan waktu, serta penghadiran unsur-unsur pendukung lainnya
(musik, bunyi, aksi dan posisi aktor, pencahayaan, intensitas, dan
sebagainya). Penggambaran suasana dari peristiwa dihadirkan melalui
dialog tokoh-tokoh dan penataan unsur pendukung yang dikehendaki.
Penulis juga melengkapinya dengan catatan pengadeganan. Di sinilah
terletak tantangan bagi penulis naskah pertunjukan dibanding karya
sastra lainnya. Selain menguasai pengisahan melalui dialog, ia juga
dituntut untuk menguasai teknis pertunjukan sebagai pendukung
keberhasilan pertunjukan dari spektakel yang hendak dihadirkan.
Peristiwa itu hendak dihadirkan harus memenuhi kaidah-kaidah
pertunjukan, seperti adanya pembagian babak dan adegan, plot,
suspense (tegangan dramatik), surprise (kejutan dramatik), irama, dan
dinamika.

Drama yang merupakan sumber dari pertunjukan teater berisi


tindakan (tabiat) manusia dalam menghadapi (menyikapi) realita
kehidupan. Tindakan yang dilakukan manusia ada yang disampaikan
secara verbal sebagaimana peristiwa sehari-hari, dan ada yang

37
disampaikan secara simbolis. Dua hal ini menciptakan jenis naskah drama
realis dan post-realis.

Tema dalam naskah drama bersumber dari realita kehidupan


manusia sehari-hari, khayalan dan impian manusia, fenomena, sejarah,
ajaran, pengetahuan, dan budaya yang berkembang di suatu komunitas
manusia. Sifatnya manipulatif dengan melebih-lebihkan dari realita
keseharian. Kisah yang dihadirkan merupakan pendapat kreator terhadap
realita yang sedang diperjuangkannya.

Teater modern menjadikan naskah drama sebagai salah satu bahan


untuk proses kreatifnya. Semangatnya adalah untuk terus mencari,
layaknya filsafat. Oleh sebab itu eksperimen menjadi ujung tombak
prosesnya, dan naskah tertulis sebagai dokumentasinya.

Adakalanya sebuah pertunjukan teater tidak berangkat dari sebuah


naskah, tetapi langsung dari pikiran kreator yang menuangkan idenya
menjadi sebuah pemaparan berupa skrip, premis-premis pendek, alur
(plot) cerita yang kemudian dikembangkan. Ada juga pertunjukan teater
yang tidak menggunakan naskah tertulis dalam proses penggarapannya.
Contohnya pertunjukan teater tradisional yang menggunakan sastra lisan,
cerita-cerita yang sudah dikenal, dan kemampuan improvisasi. Dalam
perkembangan selanjutnya, terdapat juga kelompok dan bentuk teater
tradisi yang menggunakan naskah sebagai salah satu bahan proses
kreatif dan pendokumentasian karya.

Genre teater yang menjadikan spontanitas dan improvisasi sebagai


pilihan berkarya (happening art/ performance art), stand-up comedy, dan
sebagainya, bukan berarti mereka menolah atau tidak menganggap
penting sebuah naskah. Akan tetapi mereka lebih mementingkan gagasan
sebagai hal utama yang akan disampaikan menggunakan media yang
dipilih (misalnya tubuh, gambar, benda-benda, multimedia, kata-kata,
kemampuan lisan, musik, dan lain-lain). Teater konvensional menuliskan

38
gagasan menjadi tulisan (naskah drama). Realitas yang terdari dari
konflik dan proses penyelesaiannya kemudian dihadirkan secara apa
adanya, secara simbolis, atau berbentuk draf susunan peristiwa yang
dikembangkan sedemikian rupa. Sedangkan pada teater non-
konvensional, gagasan seringkali menjadi bahan pertunjukan yang diolah
langsung menjadi pertunjukan.

Beberapa dramawan Indoenesia yaitu ; Arifin C. Noer, WS Rendra,


Usmar Ismail, D. Djayakusuma, Wisran Hadi, Saini KM, Kirdjomulyo,
Motinggo Boesye, Utuy Tatang Sontani, Iwan Simatupang, Nano
Riantiarno, Putu Wijaya, Heru Kesawa Mukti, Danarto, Agus Noor, Joni
Aryadinata, Benny Yohanes, Arthur S. Nalan, Bambang Widoyo SP, Afrizal
Malna, Whani Darmawan, Raudal Tanjung Banua, Emha Ainun Nadjib,
Indra Tranggono, Hanindawan, dan lain-lain. Beberapa dramawan
tersebut juga merangkap sebagai sutradara yang mempertunjukan
naskah hasil karya mereka dan karya-karya dramawan lainnya.

Gambar. (Alm.) WS. Rendra


Sumber : http.www.ferrahasmawati.files.wordpress.com

39
Gambar. Putu Wijaya
Sumber : www.indonesianfilmcenter

Gambar. Nano Riantiarno


Sumber : www.intisari-online.com

40
Gambar. (Alm.) Arifin C. Noer
Sumber : www.upload.wikimedia.org & www.kepustakaan-
tokoh.perfilman.pnri.go.id

Gambar. (Alm.) Heru Kesawa Murti


Sumber: www.a2.img.mobypicture.com

41
Gambar. Benny Yohanes
Sumber: http://www.tamanismailmarzuki.co.id

Gambar. (Alm.) Wisran Hadi


Sumber: wisranhadi.files.wordpress.com

42
PENUTUP
 Rangkuman

Naskah drama adalah ide yang menjadi rancangan awal dari sebuah
pertunjukan teater, yang lazim disebut juga dengan istilah drama, lakon,
naskah lakon, naskah drama, dan sebagainya. Dalam istilah bahasa asing
dikenal dengan sebutan play, drama, dan lain-lain. Naskah berisi dialog
tokoh-tokoh dan petunjuk laku dari penulis (author direction) yang
menjadi dasar penggarapan pertunjukan teater.

Peran naskah dalam pertunjukan teater adalah sebagai sumber,


acuan, pedoman, petunjuk dari pertunjukan teater. Untuk beberapa
pertunjukan teater konvensional, naskah drama menjadi dasar dan
panduan kerja bagi seluruh unsur dalam proses penggarapan.

Penulis naskah adalah pencipta konsep pertama dalam bentuk teks


yang berisi visi, pesan, situasi-situasi yang ingin disampaikan.
Selanjutnya sutradara akan menganalisis teks serta menyesuaikannya
dengan lingkungan & tradisi-tradisi teater yang sudah ada pada saat
naskah tersebut ditulis.

Secara umum, proses menulis naskah pertunjukan hampir sama


dengan proses menulis karya sastra lainnya seperti puisi, cerpen, novel,
dll. Bedanya, naskah pertunjukan dilengkapi dengan petunjuk-petunjuk
dari pengarang (author direction) mengenai tindakan tokoh, deskripsi
tempat dan waktu, serta penghadiran unsur-unsur pendukung lainnya
(musik, bunyi, aksi dan posisi aktor, pencahayaan, intensitas, dan
sebagainya). Penggambaran suasana dari peristiwa dihadirkan melalui
dialog tokoh-tokoh dan penataan unsur pendukung yang dikehendaki.
Penulis juga melengkapinya dengan catatan pengadeganan.

Tema dalam naskah drama bersumber dari realita kehidupan


manusia sehari-hari, khayalan dan impian manusia, fenomena, sejarah,

43
ajaran, pengetahuan, dan budaya yang berkembang di suatu komunitas
manusia.

Beberapa dramawan Indoenesia yaitu ; Arifin C. Noer, WS Rendra,


Usmar Ismail, D. Djayakusuma, Wisran Hadi, Saini KM, Kirdjomulyo,
Motinggo Boesye, Utuy Tatang Sontani, Iwan Simatupang, Nano
Riantiarno, Putu Wijaya, Heru Kesawa Mukti, Danarto, Agus Noor, Joni
Aryadinata, Benny Yohanes, Arthur S. Nalan, Bambang Widoyo SP, Afrizal
Malna, Whani Darmawan, Raudal Tanjung Banua, Emha Ainun Nadjib,
Indra Tranggono, Hanindawan, dan lain-lain.

 Tes Formatif

1. Sebutkan jenis-jenis karya sastra !


2. Jelaskan perbedaan antara novel dan naskah drama !
3. Jelaskan fungsi naskah drama dalam pertunjukan !
4. Jelaskan proses penulisan naskah drama!
5. Sebutkan minimal 5 tokoh penulis naskah drama di Indonesia !

DAFTAR PUSTAKA

Riantiarno, N.. 2011. Kitab Teater, Tanya Jawab Seputar Seni


Pertunjukan. Jakarta. Grasindo.

Sitorus, Eka D. 2002. The Art of Acting Seni Peran untuk Teater, Film &
TV. Jakarta. Gramedia.

44
BAB V

AKTING

PENDAHULUAN
 Deskripsi Singkat

- Pengertian akting.

- Hubungan antara aktor dan akting.

- Pendekatan akting.

 Manfaat

- Mahasiswa mendapatkan pemahaman mengenai pengertian


akting dan hubungannya dengan aktor.

- Mahasiswa dapat memahami tentang pendekatan akting, contoh


dan tokoh-tokohnya.

 TIK (Kompentensi Pendukung)

- Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa dapat


menjelaskan tentang pengertian dan pendekatan akting, serta
hubungannya aktor.

45
PENYAJIAN
 Uraian

A. Akting

Ommanney dalam Hamzah (1985:64) merumuskan bahwa akting


adalah keselarasan yang sempurna antara suara (ketika melontarkan
berbagai dialog) dan tubuh (ketika melahirkan gerak) untuk memberi
gambaran tokoh yang diperankannya dan menampilkan orang
sebagaimana adanya.

Lebih lanjut Usmar Ismail menjelaskan tentang seni akting (the art
of acting) adalah seni menafsirkan kehidupan secara kreatif
menggunakan peralatan tubuh, pikiran, dan perasaannya. Akting
merupakan peragaan sebuah peran yang menyebabkan penonton hanyut
dalam ilusi yang diciptakan aktor. Movement, gesture, ekspresi wajah,
keterampilan kaki, interpretasi naskah, improvisasi, business, kepekaan,
persepsi, imajinasi, dan lain sebagainya, adalah sarana untuk pendukung
akting.

Riantiarno (2011:113) menjelaskan bahwa modal penting seorang


aktor adalah tubuh, vokal, dan sukmanya (emosi, imajinasi, interpretasi,
penghayatan, ekspresi, penyerapan). Selain itu, aktor juga harus
memperhatikan motivasi yang melatarbelakangi sebuah movement.
Akting harus didukung oleh movement perwatakan (dilandasi motivasi
untuk menggambarkan watak) dan movement yang dilakukan
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan teknis.

Riantiarno (2011:115) menjelaskan bahwa ada empat hal yang


penting dilakukan oleh seorang aktor, yaitu melatih konsentrasi untuk
mendukung proses menghafal naskah dan menyampaikan pesan secara
efektif kepada penonton, melatih dan mengembangkan imajinasi,

46
melakukan kerjasama dengan baik, dan mengoptimalkan momentum.
Selain itu aktor juga harus mengetahui berbagai hal dengan sering
melakukan pengamatan dan menganalisis terhadap lingkungan sekitarnya
untuk mengetahui hal-hal yang dapat menambah wawasan serta
mendukung proses pembangunan karakter.

Henning Nelms menasehati agar aktor jangan melakukan sesuatu


tanpa tujuan. Melakukan gerakan yang berlebihan dan melampaui
takaran yang seharusnya dapat menimbulkan apa yang disebut over
acting. Sebaliknya, gerakan yang kurang dapat menunjukkan kepasifan.
Keduanya harus dihindari untuk dapat menciptakan komposisi akting
yang sesuai takarannya (Hamzah, 1985: 65-77).

Aktor harus melatih jiwa, raga, dan pikirannya sebagai modal utama
untuk bermain peran, dibantu dengan pengamatan (observasi) terhadap
lingkungan yang menjadi rujukan dalam memerankan suatu tokoh.
Misalnya dengan membaca, mendengar, melihat, bahkan mengalami
secara langsung. Ia juga dituntut untuk tekun melatih kepekaan, daya
ingat, konsentrasi, imajinasi dan ekspresinya. Dalam bersikap, aktor
diwajibkan memiliki kedisiplinan, rendah hati, keterbukaan, jujur,
bertanggung jawab dan menghargai orang lain. Yang paling penting,
aktor dituntut untuk selalu belajar demi memperluas wawasan dan
pemahamannya tentang karakter-karakter manusia.

1. Karakterisasi

Karakterisasi adalah suatu usaha untuk menampilkan karakter atau


watak dari tokoh yang diperankan. Tokoh-tokoh dalam drama, adalah
orang-orang yang berkarakter. Jadi seorang pemain drama yang baik
harus bisa menampilkan karakter dari tokoh yang diperankannya dengan
tepat. Dengan demikian penampilannya akan menjadi sempurna karena
ia tidak hanya menjadi figur dari seorang tokoh saja, melainkan juga
memiliki watak dari tokoh tersebut.

47
Agar kita dapat memainkan tokoh yang berkarakter seperti yang
dituntut naskah, maka kita harus terlebih dahulu mengenal watak dari
tokoh tersebut. Suatu misal, kita dapat peran menjadi seorang pengemis.
Nah, kita harus mengenal secara lengkap bagaimana sifat-sifatnya,
tingkah lakunya, dan lain-lain. Apakah dia seorang yang licik, pemberani,
atau pengecut, alim, ataukah hanya sekedar kelakuan yang dibuat-buat.

Untuk memperdalam mengenai karakteristik, dapat dilakukan


dengan melakukan observasi serta mempelajari, ilusi, imajinasi dan
emosi sebagai berikut:

a. OBSERVASI
Observasi adalah suatu metode untuk mempelajari /
mengamati seorang tokoh. Bagaimana tingkah lakunya, cara
hidupnya, kebiasaannya, pergaulannya, cara bicaranya, dan
sebagainya. Setelah kita mengenal segala sesuatu tentang
tokoh tersebut, kita akan mengetahui wujud dari tokoh itu.
Setelah itu baru kita menirukannya. Dengan demikian kita
akan menjadi tokoh yang kita inginkan.

b. ILUSI
Ilusi adalah bayangan atas suatu peristiwa yang akan terjadi
maupun yang telah terjadi, baik yang dialami sendiri maupun
yang tidak. Kejadian itu dapat berupa pengalaman, hasil
observasi, mimpi, apa yang dilihat, dirasakan, ataupun angan-
angan, kemungkinan-kemungkinan, ramalan, dan lain
sebagainya.Cara-cara melatihnya antara lain: menyampaikan
data-data tentang suatu kecelakaan, kebakaran, bercerita
tentang perjalanan yang berkesan, ketika dimarahi guru,
menyampaikan pendapat tentang lingkungan hidup,
menyampaikan keinginan untuk menjadi raja, polisi, dewa,

48
burung, artis, berangan-angan bahwa kelak akan terjadi
perang antar planet, dan lain-lain.

c. IMAJINASI
Imajinasi adalah suatu cara untuk menganggap sesuatu yang
tidak ada menjadi seolah-olah ada. Kalau ilusi obyeknya
adalah peristiwa, maka imajinasi obyeknya benda atau
sesuatu yang dibendakan. Tujuannya adalah agar kita tidak
hanya selalu menggantungkan diri pada benda-benda yang
kongkrit. Juga diatas pentas, penonton akan melihat bahwa
apa yang ditampilkan tampak benar-benar terjadi walaupun
sesungguhnya tidak terlihat, benar-benar dialami sang pelaku.
Kemampuan untuk berimajinasi benar-benar diuji bilamana
kita sedang memainkan sebuah pantomim.
Sebagai contoh, dalam naskah OBSESI, terjadi dialog antara
pemimpin koor dengan roh suci. Roh suci disini hanya
terdengar suaranya, tetapi pemain harus menganggap bahwa
roh suci benar-benar ada. Dalam contoh lain dapat kita lihat
pada sebuah naskah yang didalamnya terdapat sebuah dialog,
sebagai berikut: "Hei Letnan, coba perhatikan perempuan
berkaca mata gelap di depan toko itu. Perhatikan topi dan tas
hitam yang dipakainya. Rasa-rasanya aku pernah melihat tas
dan topi itu dipakai Nyonya Lisa beberapa saat sebelum
terjadi pembunuhan". Yang dibicarakan tokoh diatas
sebenarnya hanya khayalan saja. Perempuan berkaca mata
gelap, bertopi, dan bertas hitam tidak terlihat atau tidak
tampak dalam pentas.
Telah disebutkan bahwa obyek imajinasi adalah benda atau
sesuatu yang dibendakan, termasuk disini segala sifat dan
keadaannya. Sebagai latihan dapat dipakai cara-cara sebagai
berikut:

49
Sebutkan sebanyak mungkin benda-benda yang terlintas di
otak kita. Jangan sampai menyebutkan sebuah benda lebih
dari satu kali. Sebutkan sebuah benda yang tidak ada
disekitar kita kemudian bayangkan dan sebutkan bentuk
benda itu, ukurannya, sifatnya, keadaannya, warna, dan lain-
lain. Menganggap atau memperlakukan sebuah benda lain dari
yang sebenarnya. Contohnya, menganggap sebuah batu
adalah suatu barang yang sangat lucu, baik itu bentuknya,
letaknya, dsb. Sehingga dengan memandang batu tersebut
kita jadi tertawa terpingkal-pingkal. Menganggap sesuatu
benda memiliki sifat yang berbeda-beda. Misalnya sebuah
pensil rasanya menjadi asin, pahit, manis kemudian berubah
menjadi benda yang panas, dingin, kasar, dan sebagainya.

d. EMOSI
Emosi dapat diartikan sebagai ungkapan perasaan. Emosi
dapat berupa perasaan sedih, marah, benci, bingung, gugup,
dsb. Dalam drama, seorang pemain harus dapat
mengendalikan dan menguasai emosinya. Hal ini penting
untuk memberikan warna bagi tokoh yang diperankan dan
untuk menunjang karakter tokoh tersebut. Emosi juga sangat
mempengaruhi tubuh, yaitu tingkah laku, roman muka
(ekspresi), pengucapan dialog, pernapasan, niat. Niat disini
timbul setelah emosi itu terjadi, misalnya setelah marah maka
tinbul niat untuk memukul, dsb.

e. PENGHAYATAN
Penghayatan adalah mengamati serta mempelajari isi dari
naskah untuk diterpakan tubuh kita. Misalnya pada waktu kita
berperan sebagai Pak Usman yang berprofesi sebagai polisi,
maka saat itu kita tidak lagi berperan sebagai diri kita sendiri

50
melainkan menjadi Pak Usman yang berprofesi sebagai polisi.
Hal inilah yang harus kita terapkan dengan baik jika kita akan
memainkan sebuah naskah drama. Cara-cara yang
dipergunakan dalam penghayatan seperti : mempelajari
naskah secara keseluruhan, supaya dapat mengetahui apa
yang dikehendaki oleh naskah, problema apa yang
ditonjolkan, serta apa titik tolak dan inti dari naskah.
Melakukan gerak serta dialog yang terdapat dalam naskah.
Jadi disini kita sudah mendapat gambaran tentang akting dari
tokoh yang akan kita perankan. Sebagai latihan cobalah
membaca sebuah naskah/ dialog dengan diiringi musik
sebagai pembantu pemberi suasana. Hayati dulu musiknya
baru mulailah membaca.

2. Olah Rasa

Pemeran teater membutuhkan kepekaan rasa. Dalam menghayatai


karakter tokoh, semua emosi tokoh yang ditokohkan harus mampu
diwujudkan. Oleh karena itu, latihan-latihan yang mendukung kepekaan
rasa perlu dilakukan. Terlebih dalam konteks aksi dan reaksi. Seorang
pemeran tidak hanya memikirkan ekspresi karakter tokoh yang
ditokohkan saja, tetapi juga harus memberikan respon terhadap ekspresi
tokoh lain.

Banyak pemeran yang hanya mementingkan ekspresi yang


ditokohkan sehingga dalam benaknya hanya melakukan aksi. Padahal
akting adalah kerja aksi dan reaksi. Seorang pemeran yang hanya
melakukan aksi berarti baru mengerjakan separuh dari tugasnya. Tugas
yang lain adalah memberikan reaksi. Dengan demikian, latihan olah rasa
tidak hanya berfungsi untuk meningkatkan kepekaan rasa dalam diri

51
sendiri, tetapi juga perasaan terhadap karakter lawan main. Latihan olah
rasa dimulai dari konsentrasi, mempelajari gesture, dan imajinasi.

a. KONSENTRASI
Pengertian konsentrasi secara harfiah adalah pemusatan
pikiran atau perhatian. Makin menarik pusat perhatian, makin
tinggi kesanggupan memusatkan perhatian. Pusat perhatian
seorang pemeran adalah sukma atau jiwa tokoh atau karakter
yang akan dimainkan. Segala sesuatu yang mengalihkan
perhatian seorang pemeran, cenderung dapat merusak proses
pemeranan. Maka, konsentrasi menjadi sesuatu hal yang
penting untuk pemeran. Tujuan dari konsentrasi ini adalah
untuk mencapai kondisi kontrol mental maupun fisik di atas
panggung. Ada korelasi yang sangat dekat antara pikiran dan
tubuh. Seorang pemeran harus dapat mengontrol tubuhnya
setiap saat. Langkah awal yang perlu diperhatikan adalah
mengasah kesadaran dan mampu menggunakan tubuhnya
dengan efisien. Dengan konsentrasi pemeran akan dapat
mengubah dirinya menjadi orang lain, yaitu tokoh yang
dimainkan. Dunia teater adalah dunia imajiner atau dunia
rekaan. Dunia tidak nyata yang diciptakan seorang penulis
lakon dan diwujudkan oleh pekerja teater. Dunia ini harus
diwujudkan menjadi sesuatu yang seolah-olah nyata dan
dapat dinikmati serta menyakinkan penonton. Kekuatan
pemeran untuk mewujudkan dunia rekaan ini hanya bias
dilakukan dengan kekuatan daya konsentrasi. Misalnya
seorang pemeran melihat sesuatu yang menjijikan (meskipun
sesuatu itu tidak ada di atas pentas) maka ia harus
menyakinkan kepada penonton bahwa sesuatu yang dilihat
benar-benar menjijikkan. Kalau pemeran dengan tingkat

52
konsentrasi yang rendah maka dia tidak akan dapat
menyakinkan penonton.

b. GESTURE
Gesture adalah sikap atau pose tubuh pemeran yang
mengandung makna. Latihan gesture dapat digunakan untuk
mempelajari dan melahirkan bahasa tubuh. Ada juga yang
mengatakan bahwa gesture adalah bentuk komunikasi non-
verbal yang diciptakan oleh bagian-bagian tubuh yang dapat
dikombinasikan dengan bahasa verbal.
Bahasa tubuh dilakukan oleh seseorang terkadang tanpa
disadari dan keluar mendahului bahasa verbal. Bahasa ini
mendukung dan berpengaruh dalam proses komunikasi. Jika
berlawanan dengan bahasa verbal akan mengurangi kekuatan
komunikasi, sedangkan kalau selaras dengan bahasa verbal
akan menguatkan proses komunikasi. Seorang pemeran harus
memahami bahasa tubuh, baik bahasa tubuh budaya sendiri
maupun bahasa tubuh budaya lainnya. Pemakaian gesture ini
mengajak seseorang untuk menampilkan variasi bahasa atau
bermacam-macam cara mengungkapkan perasaan dan
pemikiran. Akan tetapi, gesture tidak dapat menggantikan
bahasa verbal sepenuhnya. Sedang beberapa orang
menggunakan gesture sebagai tambahan dalam kata-kata
ketika melakukan proses komunikasi.
Manfaat mempelajari dan melatih gesture adalah mengerti
apa yang tidak terkatakan dan yang ada dalam pikiran lawan
bicara. Selain itu, dengan mempelajari bahasa tubuh, akan
diketahui tanda kebohongan atau tanda-tanda kebosanan
pada proses komunikasi yang sedang berlangsung. Bahasa
tubuh semacam respon atau impuls dalam batin seseorang
yang keluar tanpa disadari. Sebagai seorang pemeran,

53
gesture harus disadari dan diciptakan sebagai penguat
komunikasi dengan bahasa verbal.
Sifat bahasa tubuh adalah tidak universal. Misalnya, orang
India, mengangguk tandanya tidak setuju sedangkan
mengeleng artinya setuju. Hal ini berlawanan dengan bangsa-
bangsa lain. Tangan mengacung dengan jari telunjuk dan
jempol membentuk lingkaran, bagi orangtokohcis artinya nol,
bagi orang Yunani berarti penghinaan, tetapi bagi orang
Amerika artinya bagus. Jadi bahasa tubuh harus dipahami
oleh pemeran sebagai pendukung bahasa verbal.
Macam-macam gesture yang dapat dipahami orang lain
adalah gesture dengan tangan, gesture dengan badan,
gesture dengan kepala dan wajah, dan gesture dengan kaki.
Bahasa tubuh atau gesture dengan tangan adalah bahasa
tubuh yang tercipta oleh posisi maupun gerak kedua tangan.
Bahasa tubuh yang tercipta oleh kedua tangan merupakan
bahasa tubuh yang paling banyak jenisnya. Bahasa tubuh
dengan tubuh adalah bahasa tubuh yang tercipta oleh pose
atau sikap tubuh seseorang. Bahasa tubuh dengan kepala dan
wajah adalah bahasa tubuh yang tercipta oleh posisi kepala
maupun ekspresi wajah. Sedangkan bahasa tubuh dengan
kaki adalah bahasa tubuh yang tercipta oleh posisi dan
bagaimana meletakkan kaki.

c. IMAJINASI
Imajinasi adalah proses pembentukan gambaran-gambaran
baru dalam pikiran, dimana gambaran tersebut tidak pernah
dialami sebelumnya. Belajar imajinasi dapat menggunakan
fungsi ”jika” atau dalam istilah metode pemeranan
Stanislavski disebut magic-if. Latihan imajinasi bagi pemeran
berfungsi mengidentifikasi tokoh yang akan dimainkan. Selain

54
itu, seorang pemeran juga harus berimajinasi tentang
pengalaman hidup tokoh yang akan dimainkan.

Hal-hal yang perlu diketahui ketika berlatih imajinasi yaitu :

 Imajinasi menciptakan hal-hal yang mungkin ada atau


mungkin terjadi, sedangkan fantasi membuat hal-hal
yang tidak ada, tidak pernah ada, dan tidak akan
pernah ada.

 Imajinasi tidak bisa dipaksa, tetapi harus dibujuk


untuk bisa digunakan. Imajinasi tidak akan muncul
jika direnungkan tanpa suatu objek yang menarik.
Objek berfungsi untuk menstimulasi atau merangsang
pikiran. Baik hal yang logis maupun yang tidak logis.
Dengan berpikir, maka akan terjadi proses imajinasi.

 Imajinasi tidak akan muncul dengan pikiran yang


pasif, tetapi harus dengan pikiran yang aktif. Melatih
imajinasi sama dengan memperkerjakan pikiran-
pikiran untuk terus berpikir.

 Pikiran bisa disuruh untuk mempertanyakan segala


sesuatu. Dengan stimulus pertanyaan-pertanyaan
atau menggunakan stimulus ”seandainya”, maka akan
memunculkan gambaran pengandaiannya. Belajar
imajinasi harus menggunakan plot yang logis, dan
jangan menggambarkan suatu objek yang tidak pasti
(perkiraan). Untuk membangkitkan imajinasi tokoh
gunakan pertanyaan; siapa, dimana, dan apa.
Misalnya, “siapakah Hamlet itu ?”, maka pikiran
dipaksa untuk menjawab pertanyaan tersebut. Usaha

55
menjawab pertanyaan itu akan membawa pikiran
untuk mengimajinasikan sosok Hamlet.

B. Pendekatan Akting

Eka D. Sitorus (2003: 18-36) menjelaskan bahwa secara garis


besar, sejak abad ke-17 pendekatan akting yang muncul dibedakan oleh
ahli sejarah teater menjadi 2 yaitu akting representasi (formalisme) dan
akting presentasi (realisme). Akting represetasi (formalisme) berusaha
untuk mengimitasikan dan menggambarkan tingkah laku karakter. Aktor
representasi percaya bahwa bentuk karakter diciptakan untuk dilihat dan
dieksekusi di atas panggung. Akting representasi berusaha memindahkan
“psyche” (jiwanya) sendiri untuk mengilustasikan tingkah laku karakter
yang dimainkan, sehingga penonton teralienasi dari si aktor.

Kecenderungan akting representasi adalah formal dan cenderung


mengikuti kebiasaan yang ada, tetapi tidak memiliki empati dengan
tingkah laku manusia sehingga emosi antara aktor dan penonton tidak
ada. Aktor menentukan terlebih dahulu tindakan-tindakan untuk karakter
yang dimainkannya. Secara sengaja ia memperhatikan bentuk yang
diciptakannya sambil melakukannya di atas panggung. Dalam sejarah,
aktor terkenal yang berhasil secara ilmiah menyatakan pendekatan ini
adalah Benoit Constant Coquelin dan Sarah Bernhardt. Keduanya berasal
dari Perancis. Keduanya memiliki pendekatan yang sama dengan metode
yang berbeda.

Coquelin berpendapat bahwa aktor memiliki dua kepribadian dalam


dirinya. Kepribadian pertama memperhatikan kepribadian kedua dan
bekerjasama menciptakan karakter yang diharapkan. Kepribadian
pertama akan mempelajari gerak, cara berbicara, bergaya, berfikir dan
mendengar seperti karakter yang diharapkan. Setelah itu ia mulai
mengadaptasikannya ke dalam karakter kedua, dengan memakai kostum

56
dari sebuah karakter yang ingin diciptakan. Kepribadian kedua dilihat oleh
kepribadian pertama yang bertindak sebagai tuan sampai ia puas dengan
proses ini dan yakin dengan hasilnya. Coquelin menolak pengalaman
yang realistis di atas panggung karena ia menganggap bahwa proses
tersebut akan merusak proses aktingnya.

Ketika mencipta peran baru, Coquelin memulai dengan membaca


naskah berulangkali secara tekun. Ia kemudian mempertimbangkan posisi
karakternya dan di tingkat mana ia hendak diciptakan. Lalu Coquelin
mempelajari psikologi, proses berfikir dan keadaan moralnya. Ia mulai
membayangkan bentuk fisik, cara membawakan diri, cara berbicara dan
gestur-gestur dari karakter tersebut. Setelah semuanya ditentukan,
Coquelin mulai menutup mata dan menyuruh karakternya menyampaikan
dialog, sehingga ia mulai melihat peran itu hidup dan bergerak. Kemudian
Coquelin mengimitasi semua itu.

Sarah Bernhardt berpendapat bahwa ketika ia berada di atas


panggung, dirinya menjadi karakter yang dimainkan. Ia sudah tidak ada
dan karakterlah yang hidup di atas panggung. Ia berpendapat bahwa
tugas utama aktor adalah studi menyeluruh sebelum menciptakan
perannya, menggunakan imajinasinya dengan bebas. Kebenaran sejarah
menjadi rujukan untuk mengetahui lingkungan kehidupan dari karakter
yang akan diperankan. Selanjutnya, studi tentang karakter tersebut
diperlukan untuk mengetahui masa lalu, tradisi, bahasa, cara berjalan,
keadaan tubuh, kebiasaan dan sikapnya.

Aktor juga harus menjadi orang yang serba bisa, memiliki sifat ingin
tahu yang tinggi, belajar tentang banyak hal, dan menyatukan semua
data dengan harmonis, kemudian menyampaikannya melalui representasi
menyeluruh tentang karakter tersebut. Aktor juga dituntut untuk memiliki
keinginan kuat untuk mengontrol diri ketika memainkan peranan yang
berbeda-beda agar selalu segar pendekatannya ketika memainkan

57
karakter baru. Selain itu, aktor harus mampu memproyeksikan
kepribadiannya, melupakan dirinya dan masuk ke dalam karakter tokoh
yang dimainkan agar bisa merasakan seperti apa yang dirasakannya,
sehingga si aktor bisa merepresentasikan karakter yang sedang ia
mainkan.

Akting presentasi (realisme) adalah akting yang berusaha


menyuguhkan tingkah laku manusia melalui diri si aktor, melalui
pengertian terhadap dirinya sendiri sehingga ia mengerti dengan karakter
yang dimainkannya. Aktor percaya bahwa dengan mengidentifikasi diri
dan aksi-aksinya dengan peran yang akan dimainkannya, maka suatu
bentuk karakter akan tercipta, sesuai dengan situasi-situasi yang
diberikan oleh penulis naskah. Dapat disimpulkan bahwa kerja yang
dilakukan aktor di atas panggung adalah proses dari waktu ke waktu
sesuai dengan pengalaman hidupnya sendiri.

Pendekatan ini mengutamakan identifikasi antara jiwa si aktor dan


jiwa si karakter, sambil memberi kesempatan untuk perkembangan
tingkah laku dengan memperhatikan situasi-situasi yang diberikan oleh
penulis naskah. Aktor dengan sengaja menggunakan nalurinya untuk
memainkan peran dan memilih aksi-aksi yang jujur dengan tetap
mempertahankan ekspresi spontan ketika bertindak.

Salah seorang pelopor pendekatan ini adalah seorang sutradara dan


aktor Rusia bernama Konstantin Stanislavsky. Ia bersama aktor-aktornya
menyelidiki metode yang mereka lakukan untuk mendefinisikan
perbedaan pendekatan ini dengan pendekatan formalisme yang sudah
dikenal sebelumnya. Tujuannya untuk mengetahui kekuatan konsentrasi
mereka dalam membawakan aksi-aksi yang jujur. Ia ingin agar para aktor
dapat bekerja sama, mampu mempertunjukan serta mengkomunikasikan
keseluruhan pesan yang ingin disampaikan penulis naskah melalui konsep
yang diciptakan oleh sutradara. Ia berniat untuk mengangkat harkat

58
keaktoran sehingga aktor menjadi penting dalam proses produksi.
Temuan Stanislavsky didasari oleh pengertiannya tentang aktor-aktor
yang mengaplikasikan suasana psikologi dari perjuangan hidup mereka ke
atas panggung, respon terhadap stimuli emosional, fisikal dan mental
serta tindakan mereka yang menjadi akibat dari respon-respon tersebut.

PENUTUP

 Rangkuman

Akting adalah keselarasan yang sempurna antara suara (ketika


melontarkan berbagai dialog) dan tubuh (ketika melahirkan gerak) untuk
memberi gambaran tokoh yang diperankannya dan menampilkan orang
sebagaimana adanya.

Seni akting (the art of acting) adalah seni menafsirkan kehidupan


secara kreatif menggunakan peralatan tubuh, pikiran, dan perasaannya.
Akting merupakan peragaan sebuah peran yang menyebabkan penonton
hanyut dalam ilusi yang diciptakan aktor. Movement, gesture, ekspresi
wajah, keterampilan kaki, interpretasi naskah, improvisasi, business,
kepekaan, persepsi, imajinasi, dan lain sebagainya, adalah sarana untuk
pendukung akting.

Modal penting seorang aktor adalah tubuh, vokal, dan sukmanya


(emosi, imajinasi, interpretasi, penghayatan, ekspresi, penyerapan).
Selain itu, aktor juga harus memperhatikan motivasi yang
melatarbelakangi sebuah movement. Akting harus didukung oleh
movement perwatakan (dilandasi motivasi untuk menggambarkan watak)
dan movement yang dilakukan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan
teknis.

59
Ada empat hal yang penting dilakukan oleh seorang aktor, yaitu
melatih konsentrasi untuk mendukung proses menghafal naskah dan
menyampaikan pesan secara efektif kepada penonton, melatih dan
mengembangkan imajinasi, melakukan kerjasama dengan baik, dan
mengoptimalkan momentum. Selain itu aktor juga harus mengetahui
berbagai hal dengan sering melakukan pengamatan dan menganalisis
terhadap lingkungan sekitarnya untuk mengetahui hal-hal yang dapat
menambah wawasan serta mendukung proses pembangunan karakter.

Pendekatan akting yang muncul dibedakan oleh ahli sejarah teater


menjadi 2 yaitu akting representasi (formalisme) dan akting presentasi
(realisme). Akting represetasi (formalisme) berusaha untuk
mengimitasikan dan menggambarkan tingkah laku karakter. Aktor
representasi percaya bahwa bentuk karakter diciptakan untuk dilihat dan
dieksekusi di atas panggung. Akting representasi berusaha memindahkan
“psyche” (jiwanya) sendiri untuk mengilustasikan tingkah laku karakter
yang dimainkan, sehingga penonton teralienasi dari si aktor.

Pendekatan ini mengutamakan identifikasi antara jiwa si aktor dan


jiwa si karakter, sambil memberi kesempatan untuk perkembangan
tingkah laku dengan memperhatikan situasi-situasi yang diberikan oleh
penulis naskah. Aktor dengan sengaja menggunakan nalurinya untuk
memainkan peran dan memilih aksi-aksi yang jujur dengan tetap
mempertahankan ekspresi spontan ketika bertindak.

Akting presentasi (realisme) adalah akting yang berusaha


menyuguhkan tingkah laku manusia melalui diri si aktor, melalui
pengertian terhadap dirinya sendiri sehingga ia mengerti dengan karakter
yang dimainkannya. Aktor percaya bahwa dengan mengidentifikasi diri
dan aksi-aksinya dengan peran yang akan dimainkannya, maka suatu
bentuk karakter akan tercipta, sesuai dengan situasi-situasi yang
diberikan oleh penulis naskah. Dapat disimpulkan bahwa kerja yang

60
dilakukan aktor di atas panggung adalah proses dari waktu ke waktu
sesuai dengan pengalaman hidupnya sendiri.

 Tes Formatif

1. Jelaskan pengertian akting !


2. Jelaskan 2 jenis pendekatan akting !
3. Sebutkan modal penting yang harus dimiliki aktor untuk
menciptakan akting yang baik ?
4. Jelaskan perbedaan antara akting dan tidak akting !
5. Jelaskan mengenai metode akting Konstantin Stanislavsky !

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, A. Adjib. 1985. Pengantar Bermain Drama. Bandung. CV. Rosda.

Riantiarno, N.. 2011. Kitab Teater, Tanya Jawab Seputar Seni


Pertunjukan. Jakarta. Grasindo.

Sitorus, Eka D. 2002. The Art of Acting Seni Peran untuk Teater, Film &
TV. Jakarta. Gramedia.

61
BAB VI
SUTRADARA DAN PROSES PENYUTRADARAAN

PENDAHULUAN

 Deskripsi Singkat
- Pengertian dan tugas sutradara.
- Sejarah awal munculnya sutradara.
- Teori penyutradaraan.
- Tahap-tahap penyutradaraan.

 Manfaat
- Mahasiswa mendapatkan pemahaman mengenai pengertian dan
tugas sutradara.
- Mahasiswa dapat mengetahui sejarah awal munculnya
sutradara.
- Mahasiswa dapat memahami tentang teori penyutradaraan.
- Mahasiswa dapat memahami tahap-tahap peyutradaraan.

 TIK (Kompentensi Pendukung)


- Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa dapat
menjelaskan mengenai pengertian dan tugas sutradara,
mengetahui sejarah tentang sutradara, memahami teori dan
tahap-tahap penyutradaraan.

62
PENYAJIAN
 Uraian

A. Pengertian Sutradara

Pada awalnya pertunjukan teater tidak mengenal adanya


sutradara. Istilah sutradara baru muncul pada masa industri dan realisme
(romantisisme), sekitar akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20
(Riantiarno, 2011: 254). Perkembangan ilmu pengetahuan di awal abad
ke-20 telah menciptakan peradaban manusia modern. Peradaban modern
telah membagi peran manusia sesuai dengan bidang dan keahliannya.
Maka pada masa itu pulalah telah terjadi pembagian keahlian pada teater.
Tugas sutradara tidak lagi diperankan oleh pemain, manajer atau
produser, tetapi oleh seseorang yang memang memiliki keahlian khusus
bidang penyutradaraan. Awalnya pada masa Yunani, sutradara disebut
sebagai didaskos yang berarti guru. Dalam pengertian pendidikan, tugas
guru adalah memindahkan pengetahuan kepada seseorang yang
dipandang belum berpengalaman (Yudiaryani, 2002: 227).

Sutradara dalam perkembanganya tidak saja hanya menjadi guru,


tetapi juga sebagai pemimpin yang mengatur, mengolah, dan
menciptakan ide-ide kreatif menjadi sajian sebuah pertunjukan teater.
Dalam hal ini pengertian sutradara adalah tokoh yang mengkoordinasi
segala unsur teater (dengan kemampuan yang lebih), sehingga dapat
menjadikan pementasan drama itu berhasil (Harymawan, 1988: 63;
Cahyaningrum, 2010: 269). Riantiarno (2011: 274) mendefinisikan
sutradara sebagai seorang pemimpin tunggal yang merencanakan,
memutuskan, mengarahkan, mewujudkan, dan bertanggung jawab
terhadap sebuah pertunjukan teater. Dalam teater modern peran
sutradara sangatlah penting, berhasil tidaknya sebuah pertunjukan teater
tergantung dari kepiawaian sutradara menciptakan kualitas artistik.

63
Sejarah mencatat bahwa proses penyutradaraan seperti yang
sekarang ini terjadi telah melalui perjalanan yang panjang. Perjalanan itu
setidaknya telah melewati tiga peristiwa besar yaitu:

1. Peristiwa saat Saxe Meiningen mendirikan suatu rombongan teater


pada tahun 1874-1890, mereka mementaskan 2591 kali
pertunjukan drama di Berlin dan seluruh Jerman. Setelah itu
mereka mengadakan tur ke Negara-negara Eropa.
2. Peristiwa saat Moscow Art Theater dipimpin oleh Constantin
Stanislavsky (1863-1938). Pada tahun 1923, Stanislavsky dan
rombongan melakukan tur ke Amerika Serikat. Stanislavsky adalah
seorang aktor dan sutradara yang telah menciptakan metode
acting inner act (acting dari dalam). Dasar dari metode ini adalah
menggunakan kehidupan yang wajar, apa adanya, dan tidak
dibuat-buat.
3. Peristiwa saat Stanislavsky berhasil mempengaruhi teater di
Broadway melalui Princetown Players and Group Theatre. Metode
Stanislavsky diterima oleh teater professional di Broadway.

Berbagai peristiwa tersebut mempengaruhi perkembangan kedudukan


sutradara dan proses penyutradaraan teater modern di dunia.

B. Tugas dan Kedudukan Sutradara

Tugas utama seorang sutradara adalah mentransformasikan


struktur naskah drama menjadi tekstur panggung. Dari jagad kata
menjadi jagad visual, atau dari sastra menjadi seni pertunjukan. Untuk
dapat melakukan tugasnya tersebut sutradara harus terlebih dahulu
memahami struktur sebuah naskah drama yang berupa, tema, alur/plot,
dan penokohan. Struktur itulah yang kemudian dihadirkan menjadi
tekstur panggung berupa, dialog, mood/suasana, dan spektakel. Tekstur
dialog dijumpai dalam haupttext, sedangkan mood dan spektakel
biasanya dijumpai dalam bentuk nebentext (Cahyaningrum, 2010: 174).

64
Transformasi ini tidak hanya sekedar memindahkan naskah di atas
panggung, tetapi harus dapat menghidupkan peristiwa dan tokoh-
tokohnya, sehingga naskah yang awalnya hanya dapat diimajinasikan itu
bisa terlihat, terdengar, dan terasa.

Struktur utama sebuah naskah drama selalu terdiri dari tema,


alur/plot, dan penokohan. Tema adalah gagasan utama atau pokok, biasa
juga disebut sebagai ide dasar dari sebuah drama. Tokoh dalam sebuah
drama bertindak berdasarkan tema, tokoh yang hendak memperjuangkan
tercapainya tema berperan tokoh protagonis, sedangkan tokoh yang
bertindak hendak menghambat dan menentang terwujudnya tema
berperan sebagai tokoh antagonis, dan tokoh yang berada di antara
keduanya bertugas sebagai penengah dari pertentangan yang terjadi
disebut sebagai tokoh tritagonis. Tindakan dari para tokoh ini telah
menghasilkan sebuah alur/plot atau rangkaian peristiwa. Dengan
sendirinya plot adalah urutan peristiwa yang berhubungan secara
kausalitas (Sumanto, 2001: 16).

Tekstur panggung meliputi dialog, suasana (mood), dan spektakel.


Dialog adalah penggunaan bahasa untuk menciptakan pemikiran,
karakter dan peristiwa (Sumanto, 2001: 23). Dialog ini diucapkan oleh
tokoh untuk menyampaikan berbagai informasi, pola suara pengucapan
dialog yang dilakukan oleh tokoh menciptakan suasana-suasana tertentu.
Sedangkan action fisik karakter dari masing-masing tokohnya
menciptakan spektakel. Spektakel merupakan aspek-aspek visual sebuah
lakon, spektakel juga mengacu kepada pembabakan, kostum, tata rias,
perlampuan dan perlengkapan lainnya. Kesatuan antara dialog, suasana,
dan spektakel inilah yang membangun sebuah peristiwa pertunjukan
teater.

Dalam menjalankan tugasnya tersebut sutradara dibantu oleh


asisten sutradara, aktor, penata artistik, penata musik, penata rias dan

65
kostum, dan team artistik lainnya. Sutradara bertanggung jawab penuh
terhadap berbagai pilihan artistik yang dihadirkan di panggung, oleh
karena itu berbagai tawaran ide kreatif yang muncul selama proses
penciptaan harus diketahui oleh sutradara. Sutradara itu pula yang
memutuskan apakah tawaran ide kreatif dari aktor itu akan digunakan
atau tidak. Dalam hal ini perbedaan sutradara dengan aktor adalah
sutradara harus berfikir terlebih dahulu tentang berbagai kemungkinan,
kemudian mengontrol kepekaannya hingga menemukan ketepatan bagi
gagasan-gagasannya (Yudiaryani, 2002: 343). Seorang sutradara harus
dapat membimbing, mendorong, mendukung, dan memperkuat seluruh
team yang bekerja selama proses penciptaan. Dalam hal ini kedudukan
sutradara diantara para team artistik yang lain berada di tengah-tengah
segitiga, bertindak sebagai pusat kesatuan kekuatan, juga sebagai
koordinator bagi prestasi-prestasi kreatif aktor dan para teknisi
(Harymawan, 1993: 64).

PENGARANG

SUTRADARA

AKTOR PENONTON

Gambar. Segitiga relasi penciptaan seni

C. Teori Penyutradaraan

66
Teori merupakan seperangkat gagasan atau ide-ide untuk
mengungkapkan dan menghasilkan fakta-fakta. Dalam hal ini teori
penyutradaraan dimaknai sebagai seperangkat gagasan atau ide untuk
menciptakan sebuah fakta pertunjukan teater. Selama ini terdapat dua
teori penyutradaraan yang secara umum diketahui yaitu teori
penyutradaraan Gordon Craig dan Laissez Faire (Harymawan, 1993: 64-
65; Cahyaningrum, 2011: 271).

1. Teori Penyutradaraan Gordon Craig

Teori penyutradaraan Gordon Craig mengacu pada kesatuan ide


antara pemain dan sutradara. Karya seni adalah perwujudan
dari ekspresi kepribadian si senimannya. Aktor yang dianggap
baik dalam teori ini adalah aktor yang mampu mendedikasikan
kerjanya terhadap ide sutradara. Keunggulan teori
penyutradaraan Gordon Craig adalah hasil pementasan yang
sempurna, tertib, teratur, dan teliti, sedangkan kelemahan teori
ini menjadikan sutradara diktator, sehingga aktor dan aktris
hanya menjadi alat.

2. Teori Penyutradaraan Laissez Faire

Dalam teori Laissez Faire, pemain adalah kreator. Aktor dan


aktris diberikan kebebasan untuk mengembangkan
kemampuannya. Sutradara membantu pemain dalam
mengekspresikan dirinya sesuai dengan peran yang dimainkan.
Dalam hal ini sutradara bertindak sebagai supervisor
membiarkan pemain bebas mengembangkan konsep
individualnya agar melaksanakan peran dengan sebaik-baiknya.
Keunggulan dari teori ini adalah sutradara bukanlah seorang

67
diktator, sehingga membuka munculnya ide-ide kreatif dari para
pemain, sedangkan kelemahan dari teori ini proses penciptaan
menjadi lambat karena banyaknya ide kreatif yang harus
diputuskan dan disepakati bersama.

Dari kedua teori penyutradaraan di atas menunjukkan bahwa


terdapat dua tipe sutradara dan dua cara penyutradaraan. Dua tipe
sutradara meliputi sutradara interpretator dan sutradara interpretator
dan kreator, sedangkan dua cara penyutradaraan secara diktator dan
demokratis. Sutradara yang ideal adalah sutradara yang dapat
menggabungkan kedua tipe dan cara penyutradaraan tersebut, yaitu
interpretator sekaligus kreator, dan diktator sekaligus juga demokratis.

D. Proses Penyutradaraan

Langkah-langkah penyutradaraan yang dilakukan oleh sutradara


untuk menciptakan sebuah pertunjukan teater pada umumnya melalui
empat tahap, yaitu pertama, sutradara menterjemahkan naskah untuk
menentukan gaya panggung sebagai konsep dasar produksi. Kedua,
sutradara memilih dan melatih pemain, ketiga, sutradara menjalin kerja
sama dengan penata artistik. Keempat, sutradara menyatukan seluruh
elemen kerja hingga akhir produksi. Akhir dari proses penciptaan ini
adalah pertunjukan.

PENUTUP

68
 Rangkuman

Pada awalnya pertunjukan teater tidak mengenal adanya


sutradara. Istilah sutradara baru muncul pada masa industri dan realisme
(romantisisme), sekitar akhir abad ke-19 hingga awal abad ke-20.
Perkembangan ilmu pengetahuan di awal abad ke-20 telah menciptakan
peradaban manusia modern. Peradaban modern telah membagi peran
manusia sesuai dengan bidang dan keahliannya. Maka pada masa itu
pulalah telah terjadi pembagian keahlian pada teater. Tugas sutradara
tidak lagi diperankan oleh pemain, manajer atau produser, tetapi oleh
seseorang yang memang memiliki keahlian khusus bidang
penyutradaraan.

Tugas utama seorang sutradara adalah mentransformasikan


struktur naskah drama menjadi tekstur panggung. Dari jagad kata
menjadi jagad visual, atau dari sastra menjadi seni pertunjukan. Untuk
dapat melakukan tugasnya tersebut sutradara harus terlebih dahulu
memahami struktur sebuah naskah drama yang berupa, tema, alur/plot,
dan penokohan. Struktur itulah yang kemudian dihadirkan menjadi
tekstur panggung berupa, dialog, mood/suasana, dan spektakel. Tekstur
dialog dijumpai dalam haupttext, sedangkan mood dan spektakel
biasanya dijumpai dalam bentuk nebentext. Transformasi ini tidak hanya
sekedar memindahkan naskah di atas panggung, tetapi harus dapat
menghidupkan peristiwa dan tokoh-tokohnya, sehingga naskah yang
awalnya hanya dapat diimajinasikan itu bisa terlihat, terdengar, dan
terasa.

Struktur utama sebuah naskah drama selalu terdiri dari tema,


alur/plot, dan penokohan. Tema adalah gagasan utama atau pokok, biasa
juga disebut sebagai ide dasar dari sebuah drama.

69
Selama ini terdapat dua teori penyutradaraan yang secara umum
diketahui yaitu teori penyutradaraan Gordon Craig dan Laissez Faire.
Teori penyutradaraan Gordon Craig mengacu pada kesatuan ide antara
pemain dan sutradara. Karya seni adalah perwujudan dari ekspresi
kepribadian si senimannya. Aktor yang dianggap baik dalam teori ini
adalah aktor yang mampu mendedikasikan kerjanya terhadap ide
sutradara. Keunggulan teori penyutradaraan Gordon Craig adalah hasil
pementasan yang sempurna, tertib, teratur, dan teliti, sedangkan
kelemahan teori ini menjadikan sutradara diktator, sehingga aktor dan
aktris hanya menjadi alat.

Berdasarkan teori Laissez Faire, pemain adalah kreator. Aktor dan


aktris diberikan kebebasan untuk mengembangkan kemampuannya.
Sutradara membantu pemain dalam mengekspresikan dirinya sesuai
dengan peran yang dimainkan. Dalam hal ini sutradara bertindak sebagai
supervisor membiarkan pemain bebas mengembangkan konsep
individualnya agar melaksanakan peran dengan sebaik-baiknya.
Keunggulan dari teori ini adalah sutradara bukanlah seorang diktator,
sehingga membuka munculnya ide-ide kreatif dari para pemain,
sedangkan kelemahan dari teori ini proses penciptaan menjadi lambat
karena banyaknya ide kreatif yang harus diputuskan dan disepakati
bersama.

Langkah-langkah penyutradaraan yang dilakukan oleh sutradara


untuk menciptakan sebuah pertunjukan teater pada umumnya melalui
empat tahap, yaitu pertama, sutradara menterjemahkan naskah untuk
menentukan gaya panggung sebagai konsep dasar produksi. Kedua,
sutradara memilih dan melatih pemain, ketiga, sutradara menjalin kerja
sama dengan penata artistik. Keempat, sutradara menyatukan seluruh
elemen kerja hingga akhir produksi. Akhir dari proses penciptaan ini
adalah pertunjukan.

70
 Tes Formatif

1. Jelaskan pengertian dan tugas-tugas sutradara !


2. Jelaskan mengenai struktur dan tekstur !
3. Jelaskan awal mula sejarah munculnya sutradara !
4. Jelaskan mengenai teori penyutradaraan Gordon Craig dan
Laissez Faire !
5. Jelaskan tahap-tahap penyutradaraan !

DAFTAR PUSTAKA

Dewojati, Cahyaningrum. 2010. Drama, Sejarah, Teori, Dan


Penerapannya. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

Harymawan. RMA. 1988. Dramaturgi. Bandung. CV. Rosda.

Riantiarno, N.. 2011. Kitab Teater, Tanya Jawab Seputar Seni


Pertunjukan. Jakarta. Grasindo.

Sumanto, Bakdi. 2001. Jagat Teater. Yogyakarta. Media Pressindo.

Yudiaryani. 2002. Panggung Teater Dunia, Perkembangan dan Perubahan


Konvensi. Yogyakarta. Pustaka Gondho Suli.

BAB VII

ELEMEN-ELEMEN ARTISTIK

71
PENDAHULUAN

 Deskripsi Singkat

- Pengertian elemen-elemen artistik ; musik, make-up, kostum,


setting, properti (hand-property).
- Fungsi elemen-elemen artistik.

 Manfaat

- Mahasiswa mendapatkan pemahaman mengenai Pengertian


elemen-elemen artistik ; musik, make-up, kostum, setting,
properti (hand-property).
- Mahasiswa mengetahui tentang fungsi elemen-elemen artistik.

 TIK (Kompentensi Pendukung)

- Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa dapat


menjelaskan pengertian dan fungsi elemen-elemen artistik ;
musik, make-up, kostum, setting, properti (hand-property).

PENYAJIAN

 Uraian

72
A. Musik.

Riantiarno (2003:98) menjelaskan bahwa musik dalam pertunjukan


teater berfungsi untuk memberi penekanan pada suasana yang hendak
dihadirkan. Misalnya suasana sedih, mencekam, gembira, menegangkan
dan sebagainya. Suasana yang dihadirkan bisa saja merupakan
penggambaran suasana dari peristiwa, suasana hati masing-masing
tokoh, dan suasana yang gunakan untuk memperkuat tema pertunjukan
keseluruhan maupun sebagian. Misalnya musik pemakaman yang
menghadirkan suasana sendu dan tenang akan berbeda dengan musik
penggambaran dunia militer yang tegas, keras, dan menunjukkan
kewibawaan.

Musik juga dapat menggambarkan dan menginformasikan tempat


yang menjadi latar sebuah peristiwa. Misalnya bunyi suling memperkuat
kesan bahwa daerah yang menjadi latar peristiwa adalah daerah
Parahyangan (Sunda), gamelan yang menginformasikan bahwa cerita
berlangsung di daerah Jawa, saluang dengan daerah Minang, sitar dengan
India, gambus dengan Timur Tengah, dan lain sebagainya.

Musik juga dapat menjadi penanda waktu atau zaman dari sebuah
kisah yang dihadirkan. Pilihan musik yang dihadirkan, secara cepat dapat
menciptakan suasana yang dapat diidentifikasi sebagai penunjuk waktu
dari sebuah peristiwa. Hal ini terjadi karena setiap periode dapat
diwakilkan dengan musik yang populer pada saat itu. Misalnya lagu
perjuangan untuk mendukung penggambaran waktu peristiwa pada saat
perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, musik
keroncong untuk memperkuat suasana perkotaan di Indonesia sekitar
tahun 1950-an, lagu-lagu Koes Plus yang menggambarkan suasana
Indonesia tahun 1960-1970-an, dan seterusnya.

Selain latar etnis dan bangsa, musik juga dapat menggambarkan


latar belakang sosial dan budaya masyarakat atau tokoh yang dikisahkan.

73
Misalnya lagu klasik Barat untuk memperkuat suasana sebuah keluarga
kaya berpendidikan tinggi di perkotaan, musik dangdut untuk
menggambarkan suasana pemukiman padat di pinggiran kota, musik
underground untuk mendukung suasana perlawanan dari sub-culture
pemuda perkotaan, dan lain-lain.

Musik juga digunakan untuk menggambarkan kondisi imajinatif yang


berbeda dengan realita keseharian. Misalnya pada pertunjukan yang
menceritakan tentang dunia mimpi, kisah-kisah fantasi, cerita fiksi yang
futuristik, dan pertunjukan yang merupakan sebuah eksperimen untuk
menciptakan sesuatu yang baru.

Penggambaran karakter seorang tokoh secara efektif dapat


memanfaatkan musik sebagai penguatnya. Tokoh yang muncul dengan
diiringi musik bertempo cepat dan irama yang rancak, menginformasikan
bahwa karakter tokoh tersebut sedang di liputi suasana hati yang sedang
bergembira. Sebaliknya, kemunculan tokoh yang diiringi dengan musik
yang bertempo lambat dan menggambarkan suasan sedih
menginformasikan bahwa tokoh tersebut sedang dilanda kedukaaan.
Musik yang dihadirkan sebagai pembuka sebuah pertunjukan juga bisa
menggambarkan suasana dan cerita awal, sebagian dan keseluruhan dari
sebuah pertunjukan.

Beberapa bentuk (aliran) drama menggunakan musik secara


dominan. Musik menjadi bagian penting dalam pertunjukan tersebut.
Contohnya pada pertunjukan opera, melodrama, dan musikal.

B. Make-up (tata-rias)

Pada awalnya, manusia memanfaatkan tanah, lumpur, getah pohon,


dan warna perasan dedaunan sebagai pewarna untuk menghiasi muka
dalam ritual dan pertunjukan. Kemudian manusia menciptakan topeng

74
dari kayu dan bahan lainnya untuk menciptakan karakter imajinatif.
Topeng yang diciptakan beraneka ragam bentuk dan warna sesuai
kebutuhan untuk menggambarkan perwatakan tokoh yang diinginkan.
Penggunaan topeng memiliki keterbatasan karena membuat susah
bernafas, membatasi suara, dan tidak fleksibel memperlihatkan
perubahan raut wajah dan ekspresi. Setelah teknik pencahayaan
ditemukan, teknik tata-rias wajah berkembang lebih jauh.

Gambar. Beberapa penggunaan topeng dalam pertunjukan.


Sumber : http.www.wou.edu & ravenwood-mask.com
Tata-rias (make-up) dimanfaatkan dalam pertunjukan teater untuk
memperjelas wajah dan ketokohan para pemain. Riasan bisa memperkuat
usia, status, dan karakter tokoh dibantu dengan kostum dan aksesoris
yang digunakan. Tata-rias dalam pertunjukan dapat dibagi menjadi tiga
macam, yaitu tata-rias korektif, tata-rias karakter dan tata-rias fantasi.

75
Tata-rias korektif adalah tata-rias sehari-hari yang biasanya digunakan
untuk memperjelas dan mempercantik wajah. Dalam pertunjukan, riasan
jenis ini bertujuan untuk memperjelas wajah pemain agar terlihat jelas
dari jauh, karena adanya jarak antara pemain dan penonton paling
belakang. Riasannya juga lebih tebal jika dibanding dengan tata-rias
korektif keseharian.

Tata-rias karakter digunakan untuk memperjelas karakter pemain.


Contohnya untuk merubah seseorang ketika memerankan tokoh berusia
tua, membuat wajah yang jelek dan penuh keriput. Sedangkan tata-rias
fantasi digunakan untuk menciptakan tokoh-tokoh khayalan dan
imajinatif. Tidak hanya wajah, riasan ini juga diaplikasikan pada tubuh
pemain dengan menambahkan beberapa bahan artifisial. tata-rian jenis
ini sangat kaya dengan berbagai kemungkinan sesuai dengan imajinasi
kreator dan kebutuhan pementasan (Riantiarno, 2003: 167)

76
Gambar. Contoh make-up fantasi yang merupakan interpretasi dari
make-up tokoh dalam pewayangan untuk menciptakan tokoh satir dalam
pertunjukan komedi. Sumber : jogjanews.com & http.
cantsaynotohope.deviantart.com

Gambar. Contoh penggunaan make-up untuk menciptakan karakter


dengan perubahan usia untuk kebutuhan pertunjukan.
Sumber : www.pinterest.com

77
C. Kostum

Awalnya manusia menggunakan dedaunan, kulit pohon, dan kulit


hewan untuk menutupi tubuh. Kemudian manusia berhasil mengenal
tenun dan bisa menjalin benang menjadi pakaian. Modelnya sederhana
berupa kain panjang yang dililitkan pada tubuh. Akhirnya, perkembangan
teknologi dan tata-busana memberi peluang pada manusia untuk
mengembangkan berbagai macam bentuk dan bahan pakaian untuk
kepentingan sehari-hari dan pertunjukan.

Tata-busana dalam pertunjukan berfungsi untuk menandakan


karakter, memperjelas cerita, dan keutuhan seorang tokoh. Ketika ia
sedang berduka dan hendak pergi ke pemakaman tentu berbeda dengan
ketika pergi ke sekolah atau bertamasya. Perancangan kostum perlu
berkoordinasi dengan penata-penata lainnya untuk menciptakan
keutuhan visual (warna, komposisi, dll.) dan kemudahan aktor dalam
melakukan aksi saat pementasan.

Seperti tata-rias, tata-busana juga dapat dibagi menjadi tiga bentuk


penataan, yaitu; 1) tata-busana korektif (koreksi berupa penambahan
dan penegasan, seperti penggunaan bisband, pita, dan renda), 2) tata-
busana karakter (memperjelas identitas tokoh sehingga karakter lebih
tampak, misalnya siswa mengenakan seragam, guru berpakaian dinas,
dokter berjas putih, orang gila berpakaian compang-camping, dll.), 3)
tata-busana fantasi, yaitu kostum imajinatif yang tidak ditemukan dalam
keseharian, kostum kreasi dari tokoh fiksi yang telah ada, dan sebagainya
(Riantiarno 2003: 174 ).

78
Gambar. Seorang shaman (dukun) mengenakan kulit rusa sebagai
kostum dalam ritualnya. Sumber : www.bbc.co.uk

79
Gambar. Contoh kostum fantasi dan kostum yang menggambarkan
latar tempat kejadian cerita di daerah Tionghoa dalam “Sie Jin Kwie”
(2012) produksi Teater Koma. Sumber : http.www.djarumfoundation.org

D. Setting

Setting atau set-dekor adalah salah satu bagian penting dalam


pertunjukan teater, yang dikenal juga dengan istilah skenografi. Di
dalamnya terdapat beberapa bagian seperti set panggung, yaitu dekorasi
di atas panggung, dan property (benda-benda yang dihadirkan dan bisa
berpindah ; seperti meja, lemari, kursi, pohon, dll.). Terdapat juga hand-
property yaitu benda-benda yang bisa dibawa-bawa oleh pemain,
seperti ; kipas, buku, laptop, pulpen, belati, dll. Semua ini dihadirkan
sebagai penunjang bagi terciptanya ruang, waktu, dan keadaan/ suasana.
Set-dekor dapat berupa benda/ gambar yang bersifat permanen.
Kehadiran set-dekor dan property bisa disiasati dengan pilihan
menyajikan secara imajinatif atau simbolis. Misalnya hanya dengan

80
menghadirkan sebuah kursi raja dengan ukiran indah yang menjadi khas
suatu daerah, penonton bisa menangkap bahwa pertunjukan tersebut
sedang mengisahkan tentang raja dari daerah dan zaman tertentu.

Gambar. Penataan panggung lengkap dengan set-dekor, property


dan hand-property. Sumber: http.static.asiawebdirect.com

Membuat desain panggung memerlukan kemampuan untuk


berimajinasi, memiliki tafsir yang tajam, membuat gambar perspektif,
membuat skala, ukuran, dsb. Penatannya perlu berkoordinasi dengan
sutradara dan pemain agar tercipta kesatuan yang utuh dan efektif.
Penataan set-dekor dan elemen pendukungnya membutuhkan
pengetahuan mengenai zaman, lokasi geografis, hal-hal antropologis
seperti bangsa, suku, status sosial, jenis bahan, bentuk, motif dan hal
mendetail lainnya.

PENUTUP
 Rangkuman

81
Musik dalam pertunjukan teater berfungsi untuk memberi
penekanan pada suasana yang hendak dihadirkan. Misalnya suasana
sedih, mencekam, gembira, menegangkan dan sebagainya. Musik juga
dapat menggambarkan dan menginformasikan tempat yang menjadi latar
sebuah peristiwa. Musik dapat menjadi penanda waktu atau zaman dari
sebuah kisah yang dihadirkan. Pilihan musik yang dihadirkan, secara
cepat dapat menciptakan suasana yang dapat diidentifikasi sebagai
penunjuk waktu dari sebuah peristiwa. Musik juga dapat menggambarkan
latar belakang sosial dan budaya masyarakat atau tokoh yang dikisahkan.
Misalnya musik dangdut untuk menggambarkan suasana pemukiman
padat di pinggiran kota, musik underground untuk mendukung suasana
perlawanan dari sub-culture pemuda perkotaan, dan lain-lain.

Musik juga digunakan untuk menggambarkan kondisi imajinatif yang


berbeda dengan realita keseharian. Misalnya pada pertunjukan yang
menceritakan tentang dunia mimpi, kisah-kisah fantasi, cerita fiksi yang
futuristik, dan pertunjukan yang merupakan sebuah eksperimen untuk
menciptakan sesuatu yang baru.Penggambaran karakter seorang tokoh
secara efektif dapat memanfaatkan musik sebagai penguatnya. Beberapa
bentuk (aliran) drama menggunakan musik secara dominan. Musik
menjadi bagian penting dalam pertunjukan tersebut. Contohnya pada
pertunjukan opera, melodrama, dan musikal.

Pada awalnya, manusia memanfaatkan tanah, lumpur, getah pohon,


dan warna perasan dedaunan sebagai pewarna untuk menghiasi muka
dalam ritual dan pertunjukan. Kemudian manusia menciptakan topeng
dari kayu dan bahan lainnya untuk menciptakan karakter imajinatif.
Topeng yang diciptakan beraneka ragam bentuk dan warna sesuai
kebutuhan untuk menggambarkan perwatakan tokoh yang diinginkan.

Tata-rias (make-up) dimanfaatkan dalam pertunjukan teater untuk


memperjelas wajah dan ketokohan para pemain. Riasan bisa memperkuat

82
usia, status, dan karakter tokoh dibantu dengan kostum dan aksesoris
yang digunakan. Tata-rias dalam pertunjukan dapat dibagi menjadi tiga
macam, yaitu tata-rias korektif, tata-rias karakter dan tata-rias fantasi.

Tata-busana dalam pertunjukan berfungsi untuk menandakan


karakter, memperjelas cerita, dan keutuhan seorang tokoh. Seperti tata-
rias, tata-busana juga dapat dibagi menjadi tiga bentuk penataan, yaitu;
1) tata-busana korektif (koreksi berupa penambahan dan penegasan,
seperti penggunaan bisband, pita, dan renda), 2) tata-busana karakter
(memperjelas identitas tokoh), 3) tata-busana fantasi (kostum imajinatif
yang tidak ditemukan dalam keseharian, kostum kreasi dari tokoh fiksi
yang telah ada, dll.).

Setting atau set-dekor adalah salah satu bagian penting dalam


pertunjukan teater, yang dikenal juga dengan istilah skenografi. Di
dalamnya terdapat beberapa bagian seperti set panggung, yaitu dekorasi
di atas panggung, dan property (benda-benda yang dihadirkan dan bisa
berpindah

Kehadiran set-dekor dan property bisa disiasati dengan pilihan


menyajikan secara imajinatif atau simbolis. Membuat desain panggung
memerlukan kemampuan untuk berimajinasi, memiliki tafsir yang tajam,
membuat gambar perspektif, membuat skala, ukuran, dsb. Penatannya
perlu berkoordinasi dengan sutradara dan pemain agar tercipta kesatuan
yang utuh dan efektif. Penataan set-dekor dan elemen pendukungnya
membutuhkan pengetahuan mengenai zaman, lokasi geografis, hal-hal
antropologis seperti bangsa, suku, status sosial, jenis bahan, bentuk,
motif dan hal mendetail lainnya.

 Tes Formatif

1. Sebutkan elemen-elemen artistik !

83
2. Jelaskan pengertian musik, Musik, Make-up, Kostum, Setting,
Properti dan hand-property !
3. Jelaskan fungsi musik, Musik, Make-up, Kostum, Setting,
Properti dan hand-property !
4. Jelaskan fungsi musik dan kostum sebagai penanda dalam
pertunjukan !
5. Jelaskan mengenai jenis-jenis make-up dan busana !

DAFTAR PUSTAKA

Riantiarno, N.. 2011. Kitab Teater, Tanya Jawab Seputar Seni


Pertunjukan. Jakarta. Grasindo.

Sumber Gambar :

http.www.wou.edu & ravenwood-mask.com


jogjanews.com & http. cantsaynotohope.deviantart.com
www.pinterest.com
http.www.djarumfoundation.org
www.bbc.co.uk
http.static.asiawebdirect.com

BAB VIII

BENTUK & GAYA

PENDAHULUAN
 Deskripsi Singkat

- Bentuk awal mula teater ; tragedi & komedi.

- Perkembangan bentuk teater.

- Gaya (aliran) teater.

 Manfaat

84
- Mahasiswa mendapatkan pemahaman mengenai awal mula dan
perkembangan bentuk teater.

- Mahasiswa mendapatkan pemahaman mengenai gaya (aliran)


teater.

 TIK (Kompentensi Pendukung)

- Setelah mengikuti perkuliahan ini mahasiswa dapat


menjelaskan tentang awal mula perkembangan bentuk teater
serta gaya (aliran) teater.

PENYAJIAN
 Uraian

A. Bentuk Teater

Drama awalnya hanya terdiri dari dua bentuk, yaitu tragedi dan
komedi. Tragedi mengisahkan pergulatan manusia melawan takdir yang
menyiratkan rasa duka, sedangkan komedi adalah kisah penuh tawa dan
kegembiraan yang berakhir dengan sukacita serta menyiratkan keceriaan.
Bentuk drama ini terkait dengan efek yang diterima oleh penonton.
Tragedi (dalam pengertian klasik) adalah ketidakmampuan manusia
dalam menghadapi takdir (dalam artian luas, Tuhan, sosial, politik,
ekonomi, kekuasaan). Saat manusia menerima takdirnya dengan tegar,

85
maka akan menghasilkan efek tragedi. Akan tetapi, ketika ia menerima
dengan gembira, maka menghasilkan efek komedi.

Yudiaryani (2002) menjelaskan bahwa tragedi berasal dari kata


tragoidia yang berari nyanyian domba jantan (tragos: domba jantan,
odia: nyanyian). Domba adalah lambang dewa Dionysus dalam upacara
keagamaan Yunani Klasik. Pemenang festival yang dilangsungkan untuk
menghormati dewa Dionysus tersebut mendapat hasil seekor domba
jantan. Kemudian istilah tragedi digunakan sebagai nama bentuk drama.
Tragedi dimainkan untuk menumbuhkan rasa kasihan (pity), rasa takut
(fear), dan penyucian (catharsis). Tragedi merupakan bentuk yang paling
mempesona dan menakjubkan dari semua drama pemujaan. Tragedi
mempesona kerena mampu mengingatkan kita pada bentuk teater
berabad-abad yang lampau, jauh dari sumbernya.

Menurut Aristoteles, tragedi adalah imitasi atau peniruan terhadap


sebuah tidakan (aksi) yang bagus, sempurna dari tokoh yang besar
pengaruhnya, dengan memakai bahasa yang menyenangkan untuk setiap
bagian secara terpisah, yang bertumpu pada beberapa unsurnya yang
bukan diceritakan tapi diperagakan, menghasilkan rasa kasihan dan juga
takut untuk mencapai penyucian dari nafsu-nafsu.

Apabila dianalisis lebih dalam, tragedi bermakna sebagai berikut :

I. Imitasi atau peniruan alam, misalnya gerak tari adalah


imitasi watak, emosi, dan aksi yang diungkapkan
melalui gerakan ritmis. Watak dan emosi adalah
produk alam. Maka gerakan tari dalam tragedi
merupakan peniruan alam.

II. Tindakan yang bagus dan sempurna adalah tindakan


yang mempunyai daya pikat luar biasa. Tindakan yang
bagus sangat perlu karena tragedi bertujuan untuk

86
menghasilkan katarsis atau penyucian. Tindakan yang
kecil atau kurang mempunyai daya pikat takkan
mampu menghasilkan efek yang menakutkan dalam
rangka menyucikan penonton.

III. Tindakan yang sempurna adalah aksi yang harus


selesai, padat atau sublim. Tragedi tidak memiliki aksi
tambahan yang bersifat variatif karena aksi ini dapat
menghilangkan kontinuitas keseriusan dari laku
utama.

IV. Tokoh yang besar, agung, dan terkenal berfungsi


menghadirkan efek tragis sehingga mampu
memperkuat katarsis atau penyucian.

V. Bahasa yang menyenangkan adalah bahasa yang


berirama, dan melodius.

Kata-kata yang bervariasi adalah kata-kata bersajak dan


mengandung musik. Agar menghasilkan efek tragis harus diperagakan
dengan mise en scene, pengadeganan yang ada. Rasa kasihan dan takut
dari penonton tertuju pada tokoh yang menderita. Penonton merasa takut
pada kekutan yang ditentang oleh tokoh utama, dan kasihan pada
kelemahan yang dimiliki tokoh utama. Katarsis atau penyucian diperlukan
untuk menumbuhkan empati orang yang menikmatinya.

Aristoteles menganggap bahwa peristiwa tragedi memiliki 6 unsur


pendukung antara lain:

1. Plot, yaitu susunan kejadian yang merupakan imitasi


tindakan, dan memegang peranan terpenting dari
setiap tragedi. Hal ini disebabkan tragedi bukanlah

87
imitasi manusia tetapi imitasi dari tindakan (laku)
manusia yang melahirkan peristiwa (kejadian).
Peristiwa inilah yang menghadirkan tragedi. Tanpa
peristiwa tak mungkin ada tragedi. Tanpa watak bisa
terjadi tragedi, watak hadir karena ada peristiwa.
Dengan kata lain, aktor berperan bukan untuk meniru
watak, tetapi mereka melibatkan watak sebagai
sebuah faktor dari perbuatan dan kejadian.

2. Karakter atau watak, adalah faktor yang


memungkinkan kita menentukan kualitas tokoh yang
terlibat dalam peristiwa. Dengan kata lain karakter
adalah kualitas atau ciri tokoh yang terlibat dalam
kejadian. Perbedaan tokoh dan karakter adalah tokoh
bersifat umum, sedangkan karakter lebih bersifat
khusus dan dapat di kenali. Karakter muncul karena
adanya peristiwa.

3. Pikiran, adalah kemampuan mengekspresikan apa


yang perlu atau cocok dengan situasi. Harus ada
pembicaraan yang memuat pikiran yang masuk akal
dan universal, saran-saran, dialektika, dan pandangan
pribadi. Kesemuanya itu termasuk pikiran tragedi.

4. Diksi, merupakan gaya atau cara menyusun dan


menampilkan kata-kata untuk mengekspresikan
maksud seseorang. Diskusi tragedy harus berfungsi
sama denagn puisi atau prosa. Bahasa adalah symbol
aksi yang mengungkap gagasan.

5. Musik, merupakan unsur yang menimbulkan


kesenangan dan menumbuhkan emosi-emosi

88
penonton. Musik sangat diperlukan dalam tragedi.
Misalnya tragedi Yunani Kuno selau diiringi musik.

6. Spektakel, mise en scene, atau pengadeganan unsur-


unsur non-person yang berfungsi untuk mengarahkan
emosi penonton. Unsure spektakel adalah cahaya,
rias, busana, movement, blocking, gestur, dan kinetik.

Aristoteles berpendapat bahwa tragedi merupakan drama yang


menyebabkan haru, belas dan kengerian, sehingga penonton mengalami
penyucian jiwa (betapa kecil seseorang dibandingkan dengan suratan
takdir). Aristoteles menyebut penyucian jiwa tersebut dengan istilah
katarsis (Rendra, 1993: 107). Jadi tragedy tidak ada hubunganya dengan
perasaan sedih air mata bercucuran, atau kecengengan lain. Akan tetapi,
yang dituju oleh drama jenis ini adalah kegoncangan jiwa penonton
sehingga tergetar oleh peristiwa kehidupan tragis yang disajikan para
aktorya. Selain itu, Aristoteles juga beranggapan bahwa tragedy yang
tidak mencapai rasa ngeri, belas dan katarsis adalah komedi yang gagal
(Rendra, 1993: 108).

Aristoteles merumuskan struktur drama tragedi terdiri dari tiga


pola yaitu: poeima-pathema-mathema. Mula-mula sang tokoh beritikad
atau menginginkan sesuatu (poeima), kemudian ia tersiksa dan
menderita (pathema), dan akhirnya melalui kehancurannya sang tokoh
mendapat pencerahan atau kebijaksanaan (mathema) (Saini, 1985: 41).
Contoh penerapan teori tragedi Aristoteles tersebut dapat dilihat pada
naskah drama Oidipus Sang Raja karya Sophocles. Dalam drama
tersebut, tokoh Oidipus mula-mula bertekad menemukan penyebab
terjadinya wabah di negeri Thebes yang sedang dalam kekuasaannya
(poiema). Setelah itu, dalam dialognya dengan juru ramal, Teiresias, ia
mulai tersiksa, hal ini karena Oidipus melihat kemungkinan bahwa dirinya
yang justru menjadi penyebab malapetaka itu (pathema). Akhirnya ia

89
tahu bahwa kehendak dewata tidak mudah dipahami oleh manusia dan
tidak dapat ditentang. Oidipus baru menyadari bahwa secara tidak
sengaja ia telah membunuh ayahnya dan mengawini Jocasta, ibunya
sendiri (mathema) (Saini, 1985: 41). Dapat disimpulkan bahwa kata-kata
kunci dalam pola tragis Aristoteles yaitu ; pembalikan nasib, nasib yang
ironis, nasib yang buta, cacat tragis, pilihan, putusan, tanggung jawab,
penemuan, pengorbanan, penembusan, katarsis, dan penyatuan.

Makna tragedi lebih lengkap diungkapkan oleh Kernoddle.


Kernoddle (1967 dalam Yudiaryani, 2002) menyebutkan beberapa
penyebab timbulnya tragedi dalam diri manusia, yaitu :

1) Adanya kesadaran bahwa manusia bukanlah makhluk yang


selalu berhasil dan kuat, tetapi ia adalah makhluk yang
mamiliki kelemahan dan keterbatasan untuk menjalani hidup
yang ideal serta mencapai cita-cita kebahagiaan.

2) Adanya anggapan bahwa manusia perlu mengakui


kelemahan dan keterbatasanya sehingga ia menjadi sosok
yang kuat dalam kehidupannya.

3) Tragedi menimbulkan pertanyaan yang sangat mendalam


tentang bagaimana hubungan manusia dengan lingkungan,
dengan dirinya, dan kehidupan sesudah kematian. Apa
makna dosa dan penderitaan, pilihan serta tanggung jawab.
Apakah manusia mampu menjadi diri sendiri terbebas dari
lingkungan, dan apakah manusia harus menjadi bagian dari
lingkungannya.

4) Keempat, tragedi dengan demikian menjadi sebuah


pemahaman baru yaitu tentang takdir manusia yang harus
berhadapan dengan ketidak terbatasan, sesuatu yang
bersifat absolut.

90
5) Kelima, tragedi tidak hanya berarti tindakan yang salah dan
hukuman, tetapi tragedi melibatkan pula penetapan suatu
pilihan dan yang berakhir dengan keharusan tokoh
menghadapi hasil dari pilihan tersebut. Sering perjalanan
tragedi berlangsng panjang dan berbelit-belit, sehingga
jejak-jejak resiko pilihan akan tergambar dengan kuat.
Tragedi, seperti roman, dapat mengungkapkan pencarian
tokoh tentang rahasia kehidupan abadi, dan pertahanan diri
melawan kekuatan buruk, serta perjalanan tokoh ke tempat-
tempat yang penuh bahaya dan kegelapan. Tokoh utama
berhasil memperoleh identitas sekaligus semangat hidup,
meskipun ia mendapatkannya melalui berbagai
pengorbanan.

Terdapat dua penulis drama tragedi Yunani Klasik yang terkenal


Sophocles (496-406 SM) dan Euripides (484-406 SM). Sophocles menulis
drama lebih dari 1000 judul, namun hingga saat ini yang tersisa hanya
tujuh saja yaitu: Ayax, Antigone, Wanita-Wanita Trachia, Oidipus Sang
Raja, Electra, Philoctetes, dan Oidipus di Kolonus. Karya-karya drama
tragedi Euripides yang terkenal antara lain: Alcetis, Medea, Putera-Putera
Hercules, Hyppolitus, Andromache, Hecuba, Para Pemohon, Wanita-
Wanita Troya, Electra, Iphigenia di Aulis, Helena, Wanita-Wanita Phunisia,
Orestes, Ion, Bacchae, Iphigenia di Tauris, dan Rhesus (Sumarjo, 1993:
13).

Bentuk teater yang kedua adalah komedi. Drama komedi


menertakan kebodohan diri sendiri. Menampilakan kebodohan, diri,
kekalahannya, peristiwa, atau situasi. Dalam konteks tertentu komedi
bisa menghadirkan ironi, untuk menjadi sebuah kritik (untuk
menertawakan) kekuasaan yang zalim, kesewenangan, dengan cara
seperti ini komedi bisa menjadi benteng pertahanan terakhir untuk
mengahadapi takdir yang berada diluar kuasa manusia. Rendra

91
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan komedi adalah drama yang
mengungkapkan cacat dan kelemahan sifat manusia dengan cara yang
lucu, sehingga penonton lebih bisa menghayati kenyataan kehidupan.
Sedangkan Abrams berpendapat bahwa komedi adalah karya yang dalam
batasaan dramatic tokoh-tokohnya mengalami hal yang tidak
menyenangkan, menarik, menggelikan, dan happy ending (Dewojanti,
2010: 47).

Secara prinsip,masalah yang diungkap dalam lakon komedi


berbeda dengan tragedi. Penulis komedi biasanya menggunakan materi
mitologi sebagai kerangka kerja, namun mereka mencipta plot sesuai
dengan keinginan mereka. Penulis komedi saat itu juga mengolah tokoh-
tokoh dan situasi kontemporer berdasarkan berbagai acuan baru.

Komedi berasal dari kata Yunani “komoidia” yang berarti “membuat


gembira”. Komedi seperti halnya tragedi merupakan bagian upacara
keagamaan orang Yunani Kuno untuk menghormati dewa Phallus, dewa
kesuburan teman dewa Dionysus. Aristoteles mengatakan bahwa komedi
muncul dari nyanyian-nyanyian simbolik yang merupakan hymne dengan
kata-kata kasar untuk menghormati dewa Pallus, seorang dewa
kesuburan dan teman dewa Dionysus. Baccus nama lain Dionysus bagi
orang Yunani dan Romawi mempunyai pengiring berupa rombongan satir
yang melakukan arak-arakan dengan memakai kostum setengah manusia
setengah binatang, dengan tanduk, ekor dan kuku kambing yang
kambingnya telah dikorbankan untuk dewa. Dengan memakai tiruan
phallus, rombongan berkostum tersebut bernyanyi dan melontarkan kata-
kata kasar untuk memancing tertawaan penonton. Aristoteles menyebut
komedi sebagai imitasi dari tingkah laku manusia biasa atau rakyat kecil.
Tingkah laku yang lebih merupakan perwujudan keburukan manusia
ketika menjalankan kehidupan sehingga mampu menumbuhkan
tertawaan (Yudiaryani,2002).

92
Drama komedi sesungguhnya bukan dimaksudkan untuk sekedar
sajian guyonan. Drama komedi harus mampu membukakan mata
penonton kepada kenyataan kehidupan sehari-hari yang lebih dalam
(Rendra, 1993: 108). Komedi rendahan yang hanya menggunakan humor
fisik kadang-kadang bisa berubah jadi penghinaan terhadap martabat
kemanusiaan. Demikian pula materi banyolan atau dagelan yang kasar,
dan ejekan yang tidak cerdas hanya akan menjadi hiburan murahan yang
tidak mampu meningkatkat kecerdasan moral penontonnya (Dewojanti,
2010: 48).

Penulis naskah drama komedi Yunani Klasik yang terkenal adalah


Aristophanes (445-385 SM). Aristophanes dikenal mempunyai banyak ide
original, ide benar-benar asli, bukan peniruan gaya pengarang lainnya, ia
berhasil mengawinkan satir sosial dan politik dengan fantasi, lawakan
yang riuh, caci maki pribadi, dan penuh puisi lirik. Karya-karya
Aristophanes yang terkenal diantaranya Lysistrata, The Frogs (Katak-
Katak) dan The Birds (Burung-Burung).

Brockett (dalam Waluyo, 2002: 43) membagi komedi menjadi


enam macam, yaitu :

1) Komedi Situasi.
2) Komedi Karakter/ Watak.
3) Komedi Pengembangan Gagasan.
4) Komedi Sosial.
5) Komedi Gaya.
6) Komedi Romantik.

Komedi watak contohnya adalah drama komedi yang diciptakan


oleh Moliere (Perancis). Komedi karya Bernand Shaw adalah contoh
komedi pengembangan gagasan. Sedangkan komedi yang ditulis

93
Shakespeare (seperti “As Like You” dan “Twelve Night”) tergolong pada
komedi roamantik.

Perkembangan selanjutnya dua bentuk drama yaitu tragedi dan


komedi tersebut kemudian berkembang menjadi tujuh bentuk drama
lainnya yaitu tragikomedi, melodrama, farce, parodi, satire, musikal dan
opera (Riantiarno, 2011: 5-6). Berikut adalah penjelasannya.

1. Tragikomedi merupakan gabungan antara tragedi dan


komedi, tangis dan tawa berbaur menjadi satu.

2. Melodrama adalah drama yang menguras air mata biasanya


dipadu dengan musik. Ciri-cirinya adalah :

i. Lakonnya serius, tetapi tokohnya tidak otentik seperti


dalam tragedi.
ii. Terdapat unsur-unsur perubahan.
iii. Mencerminkan rasa kasihan yang sentimentil.
iv. Tokoh utamanya adalah pahlawan yang sedang
berada dalam proses perjuangan.
v. Menitikberatkan pada masalah moral: kebaikan akan
mendapat kemenangan dan kejahatan mendapat
hukuman.
vi. Fungsi cerita adalah membangkitkan rasa benci pada
tokoh jahat, dan rasa simpati pada tokoh baik.
vii. Tokoh yang muncul adalah tokoh pahlawan baik laki-
laki maupun perempuan, dan tokoh lucu yang jujur.
viii. Unsur plot, suspens adalah adegan penting bagi
pembalasan tokoh.
ix. Merupakan gabungan antara melo (musik) dengan
drama. Fungsi musik adalah membangun suasana
untuk menumbuhkan emosi penonton. Sehingga

94
dalam naskah melodrama sangat membutuhkan
keterampilan aktor dalam seni musik, suara, dan tari.
x. Tema Melodrama berkisar pada persoalan sejarah,
peristiwa rumah tangga, dan masyarakat.
xi. Karakter-karakter tokoh memiliki perbedaan yang
sangat besar, contohnya antara majikan dan buruh,
kaya dan miskin, dan sebagainya.

3. Farce adalah gerak yang disajikan secara berlebihan dan


tidak wajar menurut standar, bentuk penyajiannya berupa
karikatural.

4. Parodi adalah drama yang memutarbalikkan fakta atau


kenyataan dengan maksud untuk menjadikan bahan ejekan.

5. Satire adalah drama yang menyajikan cemoohan atau ejekan


terhadap tokoh atau keadaan yang disajikan penuh
kegetiran. Drama satir sudah ada semenjak abad ke-5 SM
ketika setiap penulis tragedi dianjurkan untuk menghadirkan
lakon satir mendampingi tiga lakon tragedi baik untuk
dikompetisikan maupun tidak. Pada dasarnya lakon satir
bernada komik, biasanya menertawakan motologi Yunani
dengan menggunakan koor satiris. Satir dilengakapi akhir
lakon-lakon tragedi melelui adegan yang singkat dan
menyenangkan pikiran penonton (Yudiaryani,2002).

6. Musikal adalah drama yang seluruhnya disajikan dengan


iringan musik dengan dialog yang dinyayikan, sedangkan
opera adalah drama yang seluruhnya dialognya dinyayikan
dengan iringan orkestra lengkap dan dilakukan dengan
teknik menyanyi yang berkualitas.

95
Marjorie Boulton (dalam Waluyo, 2002: 44) menjelaskan tentang
tiga belas penggolongan bentuk drama, yaitu :

1) Drama Kepahlawanan.
2) Drama Problematis.
3) Drama Kegagalan/ Kebodohan.
4) Komedi Gaya.
5) Komedi Sentimental.
6) Komedi Watak/ Humor.
7) Drama Idealis.
8) Drama Didaktik dan Propaganda.
9) Drama Sejarah.
10) Tragedi Komedi.
11) Drama Simbolik.
12) Drama Tari (Sendratari).
13) Mime dan Pantomimik.

B. Gaya Teater

Gaya sering diartikan sebagi aliran. Bentuk terkait dengan efek


yang diterima oleh penonton, sedangkan gaya teater terkait dengan
periodisasi sejarah perkembangan teater di dunia. Gaya dihasilkan dari
ekspresi kebudayaan dari semangat zaman (zeitgeist) dari masing-
masing sejarah kebudayaan di Barat, oleh karena itu pemahaman gaya
teater berbeda dengan gaya yang berarti corak (style) yang melekat
dalam diri seniman sebagai individu. Periodisasi sejarah kebudayaan di
Barat telah menciptakan gaya teater berdasarkan pada semangat jaman

96
yang ada. Gaya teater dimulai dari kebudayaan Yunani Klasik sampai hari
ini telah melahirkan beberapa gaya (aliran) diantaranya: klasik, neoklasik,
romantik, realisme, simbolisme, ekspresionisme, epik, dan absurd
(Riantiarno, 2011: 7-8). Berikut penjelasan singkatnya.

1) Aliran Klasik.
Ciri-ciri drama aliran klasik adalah sebagai berikut :
a. Tunduk pada hukum trilogi Aristotelian mengenai
kesatuan tempat, ruang dan waktu.

b. Aktingnya bergaya deklamasi.

c. Drama lirik menjadi drama yang paling banyak ditulis.

d. Irama permainan lambat dan bersifat statis, banyak


diselingi monolog.

e. Materi cerita bergaya Yunani & Romawi.

2) Aliran Neo-Klasik.
Ciri-cirinya adalah :
a. Hanya ada 2 bentuk drama, tragedi dan komedi,
keduanya tak boleh dicampur.

b. Drama harus berisi ajaran moral yang disajikan secara


menarik.

c. Karakter harus menggambarkan sifat umum, yang


universal dan bukan individual yang aneh.

d. Kesatuan waktu, tempat dan kejadian dipertahankan.

e. Drama dimainkan oleh aktor-aktor yang belajar di


universitas sehingga dikaitkan dengan masalah filsafat
dan agama.

97
f. Aktor bermain di panggung di atas kereta yang bisa
dibawa berkeliling menyusuri jalanan.

g. Drama banyak disisipi cerita kepahlawanan yang


dibumbui cerita percintaan.

h. Drama dimainkan di tempat umum dengan memungut


bayaran. Drama tidak memiliki nama pengarang.

3) Aliran Roamantik.
Aliran Romantik berkembang pada abad 18. Tokoh-tokoh
yang terkenal adalah Goethe, Victor Hugo, Alfred de Musset,
Heinrich van Kleist dan Christian Dietriech Crabbe. Ciri-ciri
drama Romantik adalah :

a. Kisahnya bersifat fantastis dan tidak logis.

b. Menggunakan kaidah yang mengikuti kaidah tata


bahasa.

c. Aspek visual ditonjolkan dengan menghadirkan riasan,


busana, dan panggung yang gemerlap.

d. Aktingnya bersifat bombastis dengan mimik


berlebihan.

e. Lakonnya biasanya berkisah tentang pembunuhan


dengan tokoh-tokoh sentimental.

f. Bentuk drama dan struktur naskahnya bebas, dalam


artian berbeda dengan drama lirik seperti ada zaman
klasik.

g. Karakter tokoh yang berubah-ubah di setiap episode.

98
h. Plot cerita plot episodik.

i. Di setiap plot episodik memiliki bagian awal-tengah-


akhir sendiri.

j. Inti cerita adalah masalah kebebasan.

k. Romantik memberontak pada fakta dan aturan-aturan


yang bersifat klasik.

l. Romantik lebih mementingkan ide atau gagasan global


(gambaran tanpa makna dan tanpa stuktur rasional).

m. Menggunakan panggung yang colorful.

n. Gambar-gambar ditampilkan dengan cepat dan indah.

o. Musik opera atau balet menghadirkan rangkaian cerita


yang berubah cepat.

p. Setting, tata cahaya, dan skenari dihadirkan dengan


konsep teater ilusi.

q. Digunakannya layar tablo.

r. Setting perspektif Serlian yang digunakan selama


berabad-abad digantikan dengan lukisan untuk layar
sayap panggung dan layar belakang.

4) Aliran Realisme.
Realisme adalah aliran yang mengkritisi aliran roamantik
yang cenderung melebih-lebihkan dan sentimental. Realisme
lebih mementingkan kenyataan. Aliran ini kemudian
berkembang menjadi dua yaitu : a) realisme sosial dan b)
realisme psikologis.

99
a. Realisme Sosial, disebut juga sebagai realisme murni
yang melukiskan kepincangan sosial, penderitaan dan
ketidakadilan, dengan maksud hendak mengadakan
protes sosial. Ciri-cirinya adalah :

i. Pemeran utamanya adalah rakyat jelata seperti


buruh, petani, gelandangan, dan sebagainya.

ii. Aktingnya bersifat wajar seperti dalam


kehidupan sehari-hari.

iii. Aspek visual dalam pertunjukan tidak berlebih-


lebihan dan disesuaikan dengan realita sehari-
hari.

iv. Cerita berasal dari kenyataan sosial,


mengutamakan konflik sosial akibat perbedaan
sosial.

b. Realisme Psikologis, lebih menekankan pada


kenyataan psikologis pelakunya, bukan kenyataan
sosial. Ciri-cirinya adalah :

i. Lebih menekankan pada penonjolan aspek


kejiwaan (dalam diri) tokoh.

ii. Setting-nya bersifat wajar.

iii. Suasana digambarkan dengan simbolis.

iv. Sutradara mementingkan pembinaan aspek


psikologis, bukan dandanan fisik.

100
Perkembangan realisme awal pada tahun 1850-an
memperlihatkan karakteristik seperti berikut :

i. Sesuatu tidak boleh diperindah atau diperburuk


dari keadaan yang sebenarnya.

ii. Apabila pembaca atau penonton tidak menyetujui


ungkapan itu, justru merekalah yang harus
memperbaiki.

iii. Visualisasi realisme menolak gagasan Theophile


Gautier tentang I’art pour I’art (seni untuk seni)
karena visualisasi seharusnya digunakan untuk
menunjukkan kepentingan masyarakat.

iv. Bentuk dramatik naskah menunjukkan bentuk well


made play yang dikembangkan oleh Eugene
Scribe, dan memiliki beberapa konvensi dasar
yang hampir selalu digunakan di semua drama
realisme.

Unsur-unsur gaya realisme adalah :

I. Aktor saling bermain di antara mereka, beranggapan


seolah-olah penonton tidak ada sehingga mereka
benar-benar memainkan sebuah cerita seolah-olah
sebuah kenyataan.
II. Menciptakan dinding keempat (the fourth wall)
sebagai pembatas imajiner antara penonton dan
pemain.

III. Konvensi seperti berbicara menyamping (aside) dan


solilokui dibatasi.

101
IV. Menggunakan bahasa sehari-hari.

5) Aliran Ekspresionisme.
Aliran yang lahir pada masa setelah Perang Dunia ke I ini
lebih menonjolkan curahan pikiran dan perasaan pengarang.
Ciri-cirinya :

i. Adanya gerak kolektif.

ii. Banyak dipengaruhi psikoanalisis Freud.

iii. Banyak dipengaruhi film, karena keinginan


menggambarkan ekspresi jiwa si seniman.

iv. Pergantian adegan bersifat cepat.

v. Penggunaan pentas bersifat ekstrim

vi. Fragmen-fragmen ditampilkan seperti dalam film.

PENUTUP

 Rangkuman

Drama awalnya hanya terdiri dari dua bentuk, yaitu tragedi dan
komedi. Tragedi mengisahkan pergulatan manusia melawan takdir yang
menyiratkan rasa duka, sedangkan komedi adalah kisah penuh tawa dan
kegembiraan yang berakhir dengan sukacita serta menyiratkan keceriaan.
Bentuk drama ini terkait dengan efek yang diterima oleh penonton.

Aristoteles berpendapat bahwa tragedy merupakan drama yang


menyebabkan haru, belas dan ngeri, sehingga penonton mengalami
penyucian jiwa (betapa kecil seseorang dibandingkan dengan suratan

102
takdir). Aristoteles menyebut penyucian jiwa tersebut dengan istilah
katarsis

Aristoteles merumuskan struktur drama tragedi terdiri dari tiga


pola yaitu: poeima-pathema-mathema. Mula-mula sang tokoh beritikad
atau menginginkan sesuatu (poeima), kemudian ia tersiksa dan
menderita (pathema), dan akhirnya melalui kehancurannya sang tokoh
mendapat pencerahan atau kebijaksanaan (mathema)

Bentuk teater yang kedua adalah komedi. Drama komedi


menertawakan kebodohan diri sendiri. Menampilakan kebodohan, diri,
kekalahannya, peristiwa, atau situasi. Dalam konteks tertentu komedi
bisa menghadirkan ironi, untuk menjadi sebuah kritik (untuk
menertawakan) kekuasaan yang zalim, kesewenangan, dengan cara
seperti ini komedi bisa menjadi benteng pertahanan terakhir untuk
mengahadapi takdir yang berada diluar kuasa manusia.

Gaya sering diartikan sebagi aliran. Bentuk terkait dengan efek


yang diterima oleh penonton, sedangkan gaya teater terkait dengan
periodisasi sejarah perkembangan teater di dunia. Gaya dihasilkan dari
ekspresi kebudayaan dari semangat zaman (zeitgeist) dari masing-
masing sejarah kebudayaan di Barat, oleh karena itu pemahaman gaya
teater berbeda dengan gaya yang berarti corak (style) yang melekat
dalam diri seniman sebagai individu. Periodisasi sejarah kebudayaan di
Barat telah menciptakan gaya teater berdasarkan pada semangat jaman
yang ada. Gaya teater dimulai dari kebudayaan Yunani Klasik sampai hari
ini telah melahirkan beberapa gaya diantaranya: klasik, neoklasik,
romantik, realisme, simbolisme, ekspresionisme, epik, dan absurd
(Riantiarno, 2011: 7-8).

 Tes Formatif

103
1. Jelaskan pengertian tragedi dalam konsep Yunani Klasik !
2. Jelaskan pengertian komedi dalam konsep Yunani Klasik !
3. Jelaskan pola tragedi menurut Aristoteles!
4. Sebutkan penulis tragedi dan komedi Yunani Klasik beserta
karya-karyanya !
5. Jelaskan dan sebutkan gaya dan aliran teater!

DAFTAR PUSTAKA

Dewojati, Cahyaningrum. 2010. Drama, Sejarah, Teori, Dan


Penerapannya. Yogyakarta. Gadjah Mada University Press.

Rendra, WS. 1993. Seni Drama Untuk Remaja. Jakarta. Pustaka Jaya.

Riantiarno, N.. 2011. Kitab Teater, Tanya Jawab Seputar Seni


Pertunjukan. Jakarta. Grasindo.

Saini, KM. 1985. Dramawan dan Karyanya. Bandung. Angkasa.

Waluyo, Herman J. 2002. Drama, Teori dan Pengajarannya. Yogyakarta.


Hanindita Graha Widya.

Yudiaryani. 2002. Panggung Teater Dunia, Perkembangan dan Perubahan


Konvensi. Yogyakarta. Pustaka Gondho Suli.

104

Anda mungkin juga menyukai