Anda di halaman 1dari 6

SEJARAH DRAMA DAN TEATER

Istilah drama dan teater seyogianya dibedakan artinya. Drama


dimaksudkan sebagai karya sastra yang dirancang untuk dipentaskan di panggung
oleh para aktor di pentas, sedangkan teater adalah istilah lain untuk drama dalam
pengertian yang lebih luas, termasuk pentas, penonton, dan tempat lakon itu
dipentaskan. Di samping itu salah satu unsur penting dalam drama adalah gerak
dan dialog. Lewat dialoglah, konflik, emosi, pemikiran dan karakter hidup dan
kehidupan manusia terhidang di panggung. Dengan demikian hakikat drama
sebenarnya adalah gambaran konflik kehidupan manusia di panggung lewat gerak.

A. Asal Mula Istilah Drama dan Teater


Istilah drama dan teater dalam bahasa Indonesia merupakan kata
serapan dari bahasa asing, yaitu bahasa Yunani. Kedua istilah tersebut juga
digunakan secara luas di Negara-negara Eropa, Amerika, dan hampir seluruh
belahan dunia.
Drama berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari kata dram yang berarti
gerak. Dalam bahasa Inggris kata drama disamakan dengan kata action atau a
thing done, artinya suatu kehidupan yang disajikan dengan gerak.
Sedangkan istilah teater juga berasal dari bahasa Yunani, yaitu dari
kata teaomai theatron yang berarti takjub melihat atau memandang atau
juga bias diartikan tempat petunjukan atau panggung tempat penonton.
Berdasarkan pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa kata drama dan
teater berasal dari bahasa Yunani yang sudah digunakan sejak 500 tahun SM.
Kedua kata tersebut dalam perkembangannya digunakan oleh sebagian besar
bangsa Eropa terutama Inggris, kemudian juga digunakan oleh bangsa
Amerika dan kemudian digunakan juga oleh bangsa Indonesia.

B. Perkembangan Taraf Awal


Sastra drama di Indonesia ditulis pada awal abad 19, tepatnya tahun
1901, oleh seorang peranakan Belanda bernama F. Wiggers, berupa sebuah
drama satu babak berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno. kemudian
bermunculanlah naskah-naskah drama dalam bahasa Melayu Rendah yang
ditulis oleh para pengarang peranakan Belanda dan/ atau Tionghoa.
Di Indonesia pada awalnya dikenal ada dua jenis teater, yaitu:
1. Teater klasik
Teater kalsik lahir dan berkembang dengan ketat di lingkungan
istana, jenis teater klasik lebih terbatas, dan berawal dari teater boneka dan
wayang orang. Teater boneka sudah dikenal sejak zaman prasejarah
Indonesia (400 Masehi). Teater klasik sarat dengan aturan-aturan baku,
membutuhkan persiapan dan latihan suntuk, membutuhkan referensi
pengetahuan, dan nilai artistik sebagai ukuran utamanya.
2. Teater rakyat
Teater rakyat tak dikenal kapan munculnya. Teater rakyat lahir dari
spontanitas kehidupan masyarakat pedesaan, jauh lebih longgar aturannya
dan cukup banyak jenisnya. Teater rakyat diawali dengan teater tutur.
Pertunjukannya berbentuk cerita yang dibacakan, dinyanyikan dengan
tabuhan sederhana, dan dipertunjukkan di tempat yang sederhana pula.
Teater tutur berkembang menjadi teater rakyat dan terdapat di seluruh
Indonesia sejak Aceh sampai Irian. Meskipun jenis teater rakyat cukup
banyak, umumnya cara pementasannya sama.
Perlengkapannya disesuaikan dengan tempat bermainnya, terjadi
kontak antara pemain dan penonton, serta diawali dengan tabuhan dan
tarian sederhana. Dalam pementasannya diselingi dagelan secara spontan
yang berisi kritikan dan sindiran. Waktu pementasannya tergantung
respons penonton, bisa empat jam atau sampai semalam suntuk.
Contoh-contoh teater rakyat adalah sebagai berikut:
a. Makyong dan Mendu di daerah Riau dan Kalimantan Barat,
b. Randai dan Bakaba di Sumatera Barat,
c. Mamanda dan Bapandung di Kalimantan Selatan,
d. Arja, Topeng Prembon, dan Cepung di Bali,
e. Ubrug, Banjet, Longser, Topeng Cirebon, Tarling, dan Ketuk Tilu di
Jawa Barat,
f. Ketoprak, Srandul, Jemblung, Gatoloco di Jawa Tengah,
g. Kentrung, Ludruk, Ketoprak, Topeng Dalang, Reyog, dan Jemblung di
Jawa Timur,
h. Cekepung di Lombok,
i. Dermuluk di Sumatera Selatan dan Sinlirik di Sulawesi Selatan,
j. Lenong, Blantek, dan Topeng Betawi di Jakarta dan sebagainya,
k. Randai di Sumatera Barat.

Pada dasarnya, drama pada perkembangan taraf awal hanya berupa:


1. Kegiatan ritual keagamaan (bersifat puitis, melafalkan mantra-mantra).
2. Pemvisualan dalam bentuk tari dan musik.
3. Jenis tontonan, pertunjukan, hiburan tetapi cerita bukan masalah utama,
cerita berupa mitos atau legenda. Drama bukan cerita tetapi penyampaian cerita
yang sudah ada.
4. Dilakukan oleh kalangan tertentu karena sebagai kegiatan yang khidmat
dan serius.
5. Kekaguman terhadap pemain karena sifat supernatural.
6. Cerita bersifat sakral, maka diperlukan seorang pawang ada persyaratan
dan aturan ketat bagi pemain dan penonton tidak boleh melanggar pantangan,
pamali, dan tabu.
7. Sebagai pelipur lara.
8. Sebagai sarana mengajarkan ajaran agama (Hindu, Budha, Islam).
9. Melahirkan kesenian tradisional.
Ciri-ciri kesenian tradisional menurut Kayam 1981: 44 kesenian
tradisional-termasuk didalamnya teater-yaitu bentuk kesenian yang yang
hidup dan berakar dalam masyarakat daerah yang memelihara suatu tradisi
budaya daerah, akan memiliki ciri-ciri ketradisionalan dan kedaerahan.
Ciri-ciri kesenian tradisional, yang di dalam pembicaraan ini
dimaksudkan sebagai teater tradisional, menurut Umar Kayam adalah:
a. Ruang lingkup atau jangkauan terbatas pada lingkungan budaya yang
mendukungnya.
b. Berkembang secara perlahan sebagai akibat dari dinamika yang lamban
dari masyarakat tradisional.
c. Tidak spesialis.
d. Bukan merupakan hasil kreativitas individu, tetapi tercipta secara
anonim bersama dengan sifat kolektivitas masyarakat yang
mendukungnya.
Sebagai konsekuensi kesenian tradisional, teater tradisional
mempunyai fungsi bagi masyarakat. Fungsi yang dilaksanakan oleh
masyarakat pendukungnyalah yang menyebabkan salah satu faktor
mengapa teater tradisional ini tetap bertahan di dalam masyarakatnya.
Fungsi teater tradisional sebagaimana kesenian lainnya bagi
masyarakat pendukungnya adalah seperti dirumuskan berikut ini:
a. Sebagai alat pendidikan (topeng jantu dari Jakarta untuk nasehat
perkawinan/rumah tangga)
b. Sebagai alat kesetiakawanan sosial.
c. Sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial.
d. Alat melarikan diri sementara dari dunia nyata yang membosanakan.
e. Wadah pengembangan ajaran agama.

C. Perkembangan Drama Pada Masa Kolonial dan Jepan


1. Belanda
Sepanjang tahun 1930-an para dramawan pribumi kita umumnya
adalah sastrawan yang tidak begitu akrab dengan seni pertunjukan
sehingga naskah-naskah yang mereka buat digolongkan dalam drama
kamar, jenis yang lebih merupakan bacaan daripada bahan pementasan.
Para sastrawan muda angkatan Sanusi Pane mendapatkan pendidikan di
sekolah menengah Belanda yang memberikan pengetahuan mengenai
kesenian sekitar tahun 1880-an di negeri itu. Itulah sebabnya angkatan
1880-an yang muncul di negeri Belanda menjadi acuan bagi
perkembangan drama romantic di Indonesia. Dalam rangka pengaruh itu,
muncullah drama-drama yang menunjukkan perhatian mereka terhadap
masa lampau dan negeri asing seperti Sandyakalaning Majapahit yang
berlatar zaman klasik dan Manusia baru yang berlatar negeri asing untuk
mengungkapkan idialisme dan simpati mereka terhadap kaum tertindas.
2. Jepang
Dalam Periode Drama Zaman Jepang setiap pementasan drama
harus disertai naskah lengkap untuk disensor terlebih dulu sebelum
dipentaskan. Dengan adanya sensor ini, di satu pihak dapat menghambat
kreativitas, tetapi di pihak lain justru memacu munculnya naskah drama.
Perkembangan drama boleh dikatakan praktis berubah ke arah lain ketika
pada awal tahun 1940-an para pemerintah Jepang menguasai militer
Indonesia dan menentukan dengan tegas bahwa segala jenis seni, tak
terkecuali pertunjukkan, harus dipergunakan sebagai alat propaganda
untuk mendukung gagasan Asia Timur Raya. Sensor sangat ketat dari
pemerintah militer Jepang menyebabkan dramawan kita tidak bias berbuat
lain kecuali mematuhinya dengan menghasilkan sejumlah drama yang
dianggap bisa menyebarluaskan gagasan dasar Asia Timur Raya, tujuan
utama Jepang dalam melakukan ekspansi ke Asia Timur dan Tenggara.
Dengan demikian muncullah drama seperti karya Merayu Sukma, Pandu
Pertiwi. Karya Merayu Sukma jelas-jelas menggunakan simbol-simbol
dalam rangka menyebarluaskan gagasan militerisme, suatu hal yang pada
dasarnya dilakukan juga oleh Rustam Efendi dalam Bebasari, tetapi tujuan
penulisannya berbeda, bahkan berlwanan. Bebasari adalah drama yang
mempropogandakan gagasan kemerdekaan sebagai lakon simbolis
sementara Pandu Pertiwi adalah drama yang memaksakan pelaksanaan
gagasan militerisme Jepang. Persamaannya adalah keduanya
menggunakan simbol-simbol dalam teknik penulisannya.

D. Perkembangan Drama Pada Masa Modern


Pada Periode Drama Sesudah Kemerdekaan naskah-naskah drama
yang dihasilkan sudah lebih baik dengan menggunakan bahasa Indonesia
yang sudah meninggalkan gaya Pujangga Baru. Pada saat itu penulis drama
yang produktif dan berkualitas baik adalah Utuy Tatang Sontani, Motinggo
Boesye dan Rendra. Pada Periode Mutakhir peran TIM dan DKJ menjadi
sangat menonjol. Terjadi pembaruan dalam struktur drama. Pada umumnya
tidak memiliki cerita, antiplot, nonlinear, tokoh-tokohnya tidak jelas
identitasnya, dan bersifat nontematis. Penulis-penulis dramanya yang terkenal
antara lain Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, dan Riantiarno.
Kini kita berpaling ke drama-drama modern yang menggunakan
naskah. Kiranya sukses drama tradisional dalam kemandiriannya tidak dapat
diwarisi oleh grup-grup drama modern. Walaupun begitu kehadiran mereka
dalam khasanah sastra Indonesia merupakan fenomena yang tidak dapat
dilupakan. Kita kenal nama-nama besar seperti Bengkel Teater, Teater
Populer, Teater Starka, Teater Alam, dan sebagainya. Profesionalisme dalam
berkesenian belum cukup untuk menjawab tantangan jaman. Dibutuhkan
pengelola keuangan dan organisator yang mampu memanjangkan nafas hidup
group-group teater modern. Paling tidak teater modern membutuhkan
impresario atau tokoh semacam itu.
Di berbagai kota, banyak dramawan-dramawan muda yang masih
memiliki idealisme tinggi meneruskan kegiatan berteater meskipun secara
finansial tidak menjajikan perbaikan nasib. Di Surakarta, kehidupan Taman
Budaya Surakarta (TBS) dimotori oleh dramawan-dramawan muda, seperti
Hanindrawan, Sosiawan Leak, dan dramawan-dramawan muda dari 9 fakultas
di UNS, serta dari perguruan tinggi lain di Surakarta.

Dalam perkembangan selanjutnya, teater merupakan sebuah pementasan


yang komlpeks. Karena menggabungkan berbagai disiplin seni. Mulai dari audio,
visual, dan kinestetik (gerak). Di sehingga membutuhkan banyak tenaga yang
berkompeten dalam bidang penulisan naskah, tata artistik panggung, tata artistik
aktor (rias), tata musik, tata pencahayaan, tata gerak, dsb.
Sebuah pertunjukan Teater itu sendiri memiliki beberapa tujuan yaitu:
1. Bagi penyelenggara : merupakan kepuasan tersendiri dalam sebuah karya
yang di pentaskan.
2. Bagi penonton : dapat memperoleh pngalaman batin dan mendapat
pembelajaran dari sebuah pementasan yang telah di pertunjukkan. Sehingga
mampu mengaplikasikan ke dalam masyarakat luas.

Anda mungkin juga menyukai