Anda di halaman 1dari 241

SUHARIYADI

DRAMATURGI

2014

1
DRAMATURGI
Suhariyadi

Editor
Miftahul Munir
Perancang sampul
Suantoko

Diterbitkan Oleh:
CV Pustaka Ilalang Group
Jl. Airlangga No. 3 Sukodadi, Lamongan
email: pustala_ilalang@yahoo.co.id
c.p. 081330501724

Cetakan 1, Maret 2014

Didistribusikan oleh:
Laboratorium Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
UNIROW Tuban
Jl. Manunggal No. 61 Tuban
Telp. 0356 322233
Faks. 0356 322233

2
KATA PENGANTAR

Pembelajaran secara konstruktif pada hakikatnya


mengembalikan hak dan tanggung jawab belajar kepada
pebelajar. Maknanya adalah, pebelajar sebagai subyek
secara aktif dan mandiri, membangun pengetahuannya
sendiri. Implementasinya jelas akan berhadapan dengan
problema yang mengikuti paradigma pembelajaran
semacam itu. Salah satu problema tersebut adalah,
ketersediaan sumber belajar untuk digali pebelajar dalam
proses pembelajarannya. Pembelajar sebagai fasilitator
harus memiliki peranan penting dalam menyediakan
sumber belajar yang memadai bagi pebelajar. Fenomena
keterbatasan sumber belajar yang selama ini ada, harus
segera dipecahkan manakala paradigma pembelajaran
konstruktif menjadi pilihan.
Penyusunan buku Dramaturgi ini merupakan salah
satu upaya untuk membantu siswa dan mahasiswa
mendapatkan sumber belajar. Fenomena keterbatasan
sumber belajar siswa dan mahasiswa yang selama ini ada,
menjadi alasan utama penyusunannya. Oleh karena itu,
bagaimana buku ini, dalam situasi semacam itu, mampu
mengemban tujuan tersebut. Itulah tantangannya.
Paling tidak terdapat dua desain penyusunan buku
ini. Pertama, buku ini disesuaikan dengan struktur materi
pendidikan dan pelatihan yang telah direncanakan oleh

3
penulis sebagai pengajar dan pembina teater. Kedua,
efektivitas dan efisien dalam mempersiapkan pebelajar
mencapai target minimal materi yang dikuasai.
Latar belakang penyusunan semacam itu jelas
memiliki banyak kelemahan. Penulis menyadari hal itu.
Tetapi dalam konteks fenomena keterbatasan sumber
belajar yang dimiliki siswa dan mahasiswa, hal itu menjadi
alternatif yang mesti dipilih. Oleh karena itu, penulis
tebuka terhadap kritik, saran, dan sumbangan pemikiran
bagi kesempurnaannya. Untuk itu, kami mengucapkan
terima kasih.
Semoga dalam kesederhanaan, buku ini dapat
bermanfaat bagi para guru, siswa, dan mahasiswa. Semoga
Tuhan Y.M.E. selalu memberikan hidayah dan karunia-Nya
kepada kita. Amin.

Tuban, Maret 2014


Penulis

4
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
BAB 2 DRAMATURGI: PRINSIP DASAR
DAN RUANG LINGKUP
1. Apa Itu Dramaturgi?
2. Landasan Ontologi Dramaturgi
3. Landasan Epistemologi Dramaturgi
4. Landasan Aksiologi Dramaturgi
5. Formula Dramaturgi
6. Wilayah Kajian Dramaturgi

BAB 3 DRAMA SEBAGAI TEKS


1. Apakah Hakikat Drama?
2. Apakah Pengertian Drama?
3. Tipe Lakon/Drama
4. Premis: Landasan Lakon/Drama
5. Unsur-Unsur Drama
a. Alur atau Plot
b. Penokohan dan Perwatakan
c. Dialog
d. Tipe atau Gaya Naskah

5
e. Tema
BAB 4 PENULISAN TEKS DRAMA
1. Langkah Menulis Teks Drama
a. Ide Dasar Penulisan Drama
b. Penyusunan Treatment
c. Komponen Dalam Teks Drama
d. Pengembangan Treatment
Menjadi Naskah
2. Naskah Drama Yang Baik
BAB 5 SEJARAH TEATER
1. Dari Manakah Asal Mula Teater
2. Sejarah Teater Modern Indonesia
a. Periode 1920-an
b. Periode 1940-an
c. Periode 1950-an
d. Periode 1970-an
e. Periode 1980-1990-an
f. Teater Kontemporer Indonesia
3. Beberapa Jenis Teater
a. Teater Boneka
b. Drama Musikal
c. Teater Gerak
d. Teater Dramatik
e. Teaterikalisasi Puisi
4. Beberapa Gaya Pementasan Teater
a. Gaya Presentasional
b. Gaya Representasional
c. Gaya Post-Realis
BAB 6 PENYUTRADARAAN

6
1. Pada Mulanya Sutradara
2. Bekal Awal Sutradara
3. Tugas Sutradara
a. Memilih Naskah
b. Menganalisis Naskah
c. Memilih Pemain (Casting)
d. Melatih Pemain
4. Catatan Akhir
BAB 7 SENI PEMERANAN
1. Olah Tubuh
2. Olah Vokal
3. Olah Rasa atau Jiwa
BAB 8 TATA ARTISTIK (SKENOGRAFI)
1. Apa Itu Artistik?
2. Tata Artistik Panggung
a. Jenis dan Karakteristik Panggung
b. Proses Kerja Penata Panggung
3. Tata Artistik Rias dan Busana
a. Tata Rias Dalam Teater
b. Tata Busana Dalam Teater
4. Tata Artistik Cahaya (Lighting)
a. Fungsi Tata Cahaya
b. Perlatan Tata Cahaya
c. Denah Tata Cahaya
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
Naskah Drama “Orang Kasar” Karya Anton Chekov
Saduran WS Rendra

7
BAB 1
PENDAHULUAN
TITIK PIJAK MENUJU KAJIAN DRAMATURGI

Pada dasarnya kajian drama atau lakon memiliki


kesamaan dengan kajian-kajian genre sastra lainnya,
seperti prosa dan cerpen. Kajian drama, prosa, dan puisi,
sesungguhnya ingin memahami makna yang ada di balik
cerita atau peristiwa yang diungkapkan. Perbedaan
ketiganya terletak pada cara mengajinya, mengingat
bahwa ketiga genre tersebut memiliki karakteristik yang
berbeda. Drama diciptakan untuk dipentaskan di atas
panggung (teater). Sedangkan prosa dan puisi diciptakan
untuk dibaca. Meskipun keduanya juga memungkinkan
untuk dipentaskan, tetapi penciptaan genre puisi dan
cerpen yang utama untuk dibaca.
Drama, lakon, atau disebut juga sastra drama,
memiliki struktur wacana yang berbeda. Hal itu dapat
segera dilihat ketika menghadapi naskah drama. Kesan
pertama yang terlihat adalah, drama diungkapkan dalam
dialog-dialog. Berbeda dengan novel dan cerpen (prosa),
yang lebih menjabarkan ceritanya melalui pelukisan-

8
pelukisan dan penggambaran-penggambaran tentang
tokoh, latar, dan peristiwa. Berbeda pula dengan puisi
yang lebih ringkas dan padat dalam bentuk baris-baris dan
bait-bait (tipografi). Drama menceritakan peristiwa
melalui dialog-dialog tokoh. Kalau ada penggambaran, hal
itu hanya sekedar notasi atau petunjuk laku bagi aktor
atau tokoh secara singkat dan petunjuk tentang panggung
tempat tokoh-tokoh tersebut berdialog. Dengan kata lain,
drama ditulis sebagai pedoman, acuan, dan sumber
pelakonan dalam suatu pementasan teater.
Namun demikian, drama bukan berarti tertutup
pada aktivitas pembacaan dan pengkajian. Drama tetap
merupakan karya yang memiliki hakikat sebagaimana
karya sastra pada umumnya. Sebagai karya sastra, drama
mengungkapkan fenomena kehidupan manusia secara
imajinatif, fiktif, kreatif, dan ekspresif. Fenomena kehidup-
an tersebut dimetaforakan atau disimbolkan melalui
konflik-konflik tokoh-tokohnya. Drama hendak menawar-
kan dunia kemungkinan atau dunia ideal sebagaimana
yang dipikirkan, dirasakan, dihayati, dan direnungkan oleh
pengarangnya, kepada pembaca dan penikmatnya. Dalam
kerangka yang lebih luas, dalam konteks pembicaraan
tentang sastra pada umumnya, drama dapat dipahami
melalui pembicaraan tentang hakikat karya sastra.
Dalam jagad kesusasteraan dikenal terminologi:
imajinasi, fiksi, dan ekspresi. Ketiga istilah itu menyaran-
kan bentuk-bentuk proses kesadaran manusia dalam
penciptaan karya sastra. Istilah ‘imajinasi’ mengandung
pengertian perenungan, penghayatan, pemikiran, dan
perasaan. Di dalam imajinasi seseorang mengembara ke

9
ruang kesadaran. Ia mengarungi samudra yang luas tak
bertepi dalam jiwanya. Dalam pengembaraan itu akan ia
jumpai kenangan, ingatan, pengalaman, kilatan gambar-
gambar, yang pernah masuk ke dalam alam sadar dan
bawah kesadarannya. Bahasalah yang akan mewadahinya
melalui kata, frase, kalimat, paragraf, dan wacana, yang
kemudian disebut sastra.
Sedangkan istilah ‘fiksi’ mengandung pengertian
rekaan, khayalan, sesuatu yang tidak ada dan terjadi
sungguh-sungguh, sehingga tak perlu dicari kebenarannya
dalam realitas. Ia berisi peristiwa, tokoh, dan tempat, yang
kemudian ditampung dalam bahasa naratif dan disebut
dengan sastra (wacana naratif). Itulah mengapa istilah
fiksi bertolak belakang dengan realitas atau faktual. Kedua
istilah itu, imajinasi dan fiksi, merupakan rangkaian tak
terpisahkan. Pengalaman pengembaraan imajinasi sese-
orang akan memunculkan fiksi yang terwadahi dengan
bahasa dan disebut karya sastra. Beberapa ahli sastra
menyebutnya dengan cerita rekaan atau prosa fiksi.
Istilah ‘ekspresi’ mengandung makna cara meng-
ungkapkan apa yang diimajinasikan seseorang dengan
sarana bahasa. Setiap orang memiliki ekspresi yang ber-
beda-beda. Setiap kreator memiliki gaya masing-masing.
Oleh karena itu, ia bersifat individual. Karena bahasa
menjadi medianya, maka ekspresi seseorang akan nampak
pada penggunaan kata, frase, kalimat, paragraf, dan
wacana. Bahasa fiksi dengan demikian merupakan hasil
dari pengolahan secara kreatif, imajinatif, dan fiktif. Dari
pilihan kata hingga wacana yang lengkap, akan memuncul-
kan cara dan gaya bagaimana seseorang mengungkapkan

10
apa yang diimajinasikan dan difiksikan. Tak heran jika
seseorang memiliki teknik, kebiasaan, dan pengetahuan
untuk itu secara individual.
Sifat imajinatif, fiktif, dan ekspresif itulah yang
menjadikan sastra merupakan dunia yang unik. Sastra
merupakan dunia yang memiliki berpuluh wajah mirip
Rahwana, tokoh dalam pewayangan. Banyaknya wajah
yang dimunculkan sastra, sebanyak kesadaran (imajinasi)
manusia yang membacanya. Banyaknya rupa yang diper-
lihatkan sastra, sebanyak aspek-aspek realitas kehidupan
di mana sastra itu diciptakan. Imajinasi dan realitas adalah
dua sisi dari mata uang yang bernama sastra. Dua wajah
yang bolak-balik muncul dalam proses pembacaannya.
Ketika dipandang sebagai imajinatif, sastra memunculkan
realitas masyarakat. Ketika ditangkap sebagai realitas, ia
menjilma sebagai karya imajinatif. Dua hal yang sebenar-
nya bertentangan, imajinasi dan realitas, justru bersama-
sama hadir dalam sastra.
Sastra juga merupakan dunia kemungkinan. Arti-
nya, ketika pembaca berhadapan dengan karya sastra,
maka ia berhadapan dengan kemungkinan penafsiran.
Setiap pembaca berhak atas penafsirannya yang beraneka
ragam terhadap makna karya sastra. Tujuan dan harapan
yang berbeda akan mengakibatkan perbedaan penafsiran
terhadap sebuah karya sastra tertentu. Hal ini berkaitan
dengan masalah sifat, fungsi dan hakikat karya sastra.
Sifat-sifat khas karya sastra ditunjukkan oleh aspek
referensialnya (acuan), fiksionalitas, ciptaan, dan sifat
imajinatifnya.

11
Itulah hakikat sastra. Itu pula hakikat dari drama
sebagai salah satu genre sastra. Drama sebagai karya
sastra adalah dunia imajinasi, fiksi, ekspresi, kemungkin-
an, dan dunia yang unik. Drama juga dunia makna yang
memiliki berpuluh wajah. Dalam tafsiran dan re-kreatif
(reproduksi), drama akan menampakkan dirinya dalam
bentuk yang beraneka ragam. Dalam dunia teater muncul
sebuah proposisi: satu naskah drama digarap dalam lima
pementasan, akan berbeda bentuk dan rupanya. Hal itu
terjadi karena drama memiliki sifat terbuka untuk
dipandang, dipahami, dan ditafsirkan dari berbagai ragam
sudut pandang, dan dikreasikan dalam pementasan
dengan gaya dan kreatifitas yang beragam pula.
Namun demikian, drama juga memiliki hakikatnya
sendiri sebagai wacana naratif. Hakikat drama adalah
konflik. Konflik merupakan ketegangan yang disebabkan
oleh problema hidup yang menghimpit dan mengungkung
tokoh utama. Ketegangan demi ketegangan yang dialami
tokoh itulah yang kemudian menimbulkan kekuatan
dramatik saat drama dipentaskan di atas panggung.
Konflik semacam itu dapat diwujudkan apabila terdapat
intrik kehidupan yang kompleks dan rumit yang melanda
tokoh utama. Ia mengungkapkan persoalan hidup manusia
dalam hubungan sarwa (hubungan antara manusia
dengan manusia, alam semesta, dan Tuhan). Hubungan
sarwa tersebut selalu melahirkan problema yang
menuntut manusia untuk menyelesaikannya. Akhir dari
persoalan hidup yang diungkapkan dalam karya sastra itu
akan selalu menuju pada keharmonisan atau ketidak-
harmonisan. Akhir harmonis menjadi tuntunan positif

12
bagaimana seyogyanya manusia mengambil sikap dalam
menyelesaikan persoalan yang menimpanya. Akhir tidak
harmonis menjadi tuntunan negatif, seharusnya manusia
tidak mengambil sikap tertentu agar persoalan hidup yang
menimpanya tidak berakhir secara tragis dan menyedih-
kan. Keanekaragaman gaya penceritaan dalam drama
memiliki tujuan yang sama, bagaimana seharusnya
bersikap untuk menyelesaikan persoalan hidup.
Manusia pada dasarnya adalah seorang Hero.
Hidup adalah sebuah perjuangan. Perjuangan melawan
keterbatasan; perjuangan melawan kejahatan; perjuangan
melawan nafsu; dan perjuangan melawan persoalan-per-
soalan yang muncul dalam perjalanan hidup dan kehidup-
an manusia. Dalam hukum moral, Hegel menggambarkan
sebuah dialektika; sebuah sintesa dari internalisasi tesa
dan antitesa. Keharmonisan pada dasarnya tercipta dari
keterpaduan suatu hal dengan hal lain. Dalam pemikiran
ini, perjuangan manusia sebagai Hero adalah perjuangan
untuk menyelesaikan persoalan melalui hubungan antara
dua hal yang berbeda. Keberhasilan perjuangan itu ter-
gantung pada bagaimana manusia mampu memadukan
keduanya secara harmonis. Drama mengungkap manusia
sebagai hero dalam misinya untuk mengharmoniskan
dirinya dan lingkungannya.
Heroisme manusia dalam drama bukannya tanpa
intrik. Ada sumber yang melahirkan persoalan yang
dihadapi manusia. Sumber persoalan itu dapat bersal dari
dirinya sendiri, karena manusia memiliki nafsu, ambisi,
keinginan, harapan, cita-cita, kebutuhan, dan sebagainya.
Sumber persoalan dapat juga berasal dari orang lain,

13
karena faktor yang sama. Sumber persoalan tersebut juga
bisa berasal dari sebuah kolektivitas, yaitu masyarakat
dan sistem sosiokulturalnya. Sumber dirinya sendiri,
orang lain, atau masyarakat, merupakan wujud dari sifat
dinamis manusia. Semuanya serba berubah; semuanya
serba berkembang. Tak ada yang tetap, kecuali perubahan
dan perkembangan itu sendiri. Persoalan demi persoalan
selalu muncul. Satu terselesaikan, yang lain akan muncul.
Beraneka ragam kualitas dan bentuknya. Manusia harus
menyadarinya. Lantas, semua itu menuntut manusia me-
nyikapinya dan menyelesaikan agar harmonisasi selalu
tercipta.
Persoalan yang menuntut manusia Hero dalam
drama merupakan bola salju. Ia akan berjalan semakin
besar; semakin menekan psikologis manusia hero ter-
sebut. Inilah sebuah intrik. Di sinilah konflik yang
melahirkan suspense (baca: ketegangan) dalam drama
tercipta. Di situ pula daya tarik secara artistik dan estetis
tercipta dalam drama ketika dipentaskan di atas
panggung. Pembaca akan semakin tenggelam dan terlibat
dalam intrik manusia Hero sebagai tokoh utama yang
diceritakan. Kedalaman intrik itu tergantung pada ke-
dalaman pimikiran, penghayatan, perasaan, perenungan,
dan pandangan hidup pengarangnya. Di samping itu,
kedalaman intrik tersebut juga tergantung pada keluasan
wawasan pengarang dalam memandang persoalan hidup
yang diceritakan. Dalam kualitas kedalaman intrik itu pula
akan ditemukan suatu sikap dan ideologi pengarangnya.
Keyakinan, kepercayaan, pandangan hidup terhadap suatu
kebenaran, menjadi sebuah ideologi yang tersamarkan

14
dalam drama. Manusia hero yang diceritakan, akan di-
gambarkan berdasarkan keyakinan, kepercayaan, dan
pandangan hidup tertentu. Analisis kritis terhadap drama
akan sampai kepada kedalaman itu.
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, drama
sebagai wacana sastra tercipta untuk dipentaskan. Dalam
tataran ini, drama merupakan sumber dan pedoman bagi
sutradara, aktor, dan yang lain, dalam berproses kreatif
pementasan teater. Dalam teater modern, kehadiran
naskah sangat penting. Berbeda dengan teater tradisional,
sang aktor cukup memahami cerita, selanjutnya secara
improvisasi memainkannya di atas panggung. Oleh karena
itu, drama berbentuk dialog, yang natinya disampaikan
aktor di atas panggung.
Cerita dalam naskah lakon hanyalah sebuah
bahasa simbol yang maknanya mengarah pada suatu
premis tentang konflik kehidupan manusia. Bahasa
panggung juga sebuah simbol yang bermakna pada premis
tersebut. Oleh karena itu, bahasa panggung yang berupa
dialog, seting, idiom, akting, artistik, dan sebagainya, yang
dihadirkan di atas panggung akan difokuskan pada
pengungkapan premis tersebut. Premis merupakan pe-
mikiran, gagasan, atau ide yang melandasi seorang penulis
menyusun drama. Premis bisa disebut dengan gagasan
dasar drama yang akan menuntun arah aktor dari awal
sampai akhir. Beberapa ahli mengatakan bahwa premis
disebut sebagai: tema, ide dasar, tesis, tujuan, ide pokok,
subjek, dll. Meskipun begitu, semua istilah tersebut pada
dasarnya sama, yaitu ide dasar yang menjadi landasan
dalam menyusun naskah drama.

15
Dalam rangka untuk sebuah pementasan, drama
dipilih berdasarkan kekuatan dramatik yang ada di dalam-
nya. Kekuatan dramatik itu terkandung dalam tiga aspek,
yaitu: 1) mengandung konflik dengan berbagai intrik ke-
hidupan; 2) memiliki banyak peluang untuk secara artistik
dipentaskan dan dinikmati penonton, baik dari segi ke-
lisanan, pemanggungan, maupun tontonan; dan 3) ber-
manfaat untuk pencerahan bagi pembaca/penonton. Ke-
tiga aspek itulah yang lazim menjadi dasar seorang
sutradara memilih naskah drama untuk dipentaskan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa
drama sebagai karya sastra memiliki dua tataran dalam
mengajinya.
1. Drama sebagai Karya Sastra. Sebagai karya sastra,
drama merupakan wacana naratif, imajinatif, fiktif, dan
ekspresif, yang dapat dipahami, ditafsirkan, diapresiasi,
dan dikaji sebagaimana genre sastra yang lain; prosa
dan puisi. Dalam tataran ini drama sebagai teks atau
wacana. Lebih tepatnya, drama merupakan strategi
kewacanaan yang bernilai estetis dan sastrawi. Pem-
baca dapat memahami, mengaji, dan mengapresiasi
dari sudut pandang dan landasan yang berbeda-beda,
dan dalam tingkat yang berbeda-beda pula.
2. Drama sebagai Seni Pertunjukan. Drama merupakan
sumber dan pedoman dalam proses pementasan teater.
Drama tidak semata-mata untuk dibaca, tetapi dicipta-
kan untuk dipentaskan di atas panggung. Dalam tataran
ini drama merupakan wujud kreatif pertama (pe-
ngarang), yang selanjutnya akan di-rekreasi atau di-
reproduksi (kreatif kedua; sutradara, aktor, dan crew

16
yang lain) ke atas panggung. Proses kreatif pertama
usai dan berhenti ketika drama tersebut disodorkan
kepada masyarakat. Masyarakat sebagai pembaca,
pengaji, dan pengapresiasi drama sebagai teks atau
wacana dalam tataran pertama di atas. Pengarang telah
melepaskan dirinya dari drama yang diciptakannya itu.
Sedang proses kreatif kedua baru akan dimulai pada
saat proses kreatif pertama selesai. Pembaca menjadi
penikmat dan pemroduksi dalam media yang lain.
Dalam kedua tataran itulah buku ini hendak men-
jelaskan tentang kajian atau analisis drama. Dalam hal ini
drama sebagai wacana sastra dan drama sebagai sumber
pemanggungan dalam teater. Kedua jenis pengkajian
tersebut jelas berbeda. Perbedaan itu dilatarbelakangi
oleh: tujuan, metode, dan landasan berpikir dalam proses
pengkajiannya. Dengan demikian, buku ini tentu memiliki
dua sasaran dalam penyususnannya. Pertama, buku ini
menjadi referensi bagi suatu studi drama di lingkungan
institusi pendidikan; khususnya bagi mahasiswa yang
mengambil program studi yang berkaitan dengan drama.
Kedua, buku ini juga menjadi bahan pengayaan bagi
aktivis dan praktisi teater dalam proses kreatifnya.

*****

17
BAB 2
DRAMATURGI
PRINSIP DASAR DAN RUANG LINGKUP

1
Apa itu dramaturgi?

Jika bahasa memiliki Linguistik, film memiliki


Sinematografi, sosial memiliki Sosiologi, budaya memiliki
Antropologi, maka drama dan teater memiliki dramaturgi
sebagai ilmunya. Dramaturgi merupakan ilmu yang me-
ngaji dan mempelajari tentang segala aspek drama dan
teater. Menurut Santoso dkk. (2008: 2-3), dramaturgi ber-
asal dari bahasa Inggris dramaturgy yang berarti seni atau
tekhnik penulisan drama dan penyajiannya dalam bentuk
teater. Berdasar pengertian ini, maka dramaturgi mem-
bahas proses penciptaan teater mulai dari penulisan
naskah hingga pementasannya.
Dalam pengertian yang lain, Tambayong dalam
bukunya berjudul 123 Ayat Tentang Seni menjelaskan
dramaturgi itu kurang lebih adalah pola atau materi dasar
seni pertunjukan dalam seni tradisi kebudayaan Yunani
sejak 500 tahun SM, diterangkan bentuknya dalam dua ciri

18
yang masing-masing kita kenal saat ini melalui gambaran
topeng, yaitu “topeng menangis” untuk drama yang
disebut tragedi, dan ”topeng tertawa” untuk drama yang
disebiut komedi (2012:190). Meski Tambayong dalam
bukunya tersebut menolak dramaturgi sebagai ilmu,
sebagaimana yang diartikan dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia, namun demikian pengertian ilmu dalam
konteks ini disebut sebagai ‘ilmu’ (dalam tanda petik).
Artinya, dramaturgi merupakan pengetahuan tentang
penciptaan drama, baik dalam dimensinya sebagai genre
sastra maupun dalam dimensi seni pertunjukan. Apalagi
jika memperhatikan perkembangan wacana pengetahuan
tentang drama/teater digali dari negara-negara Barat,
bukan semata-mata diserap langsung dari Yunani, meski
secara etimologis kata ‘dramaturgi’ berasal dari bahasa
Yunani dramatourgi.
Dramaturgi adalah ilmu yang mempelajari bangun-
an sandiwara (Rendra, 1993:95). Sebagai sebuah ilmu,
tentu dramaturgi mesti memiliki prinsip-prinsip dasar
sebagai landasannya, seperti ilmu-ilmu lain. Namun yang
perlu diingat, bahwa dramaturgi memiliki kekhasan untuk
disebut sebagai ilmu. Ia cenderung dianggap masih dalam
tataran sebagai pengetahuan, belum menjadi sebuah ilmu.
Dramaturgi masih dianggap sebagai pengetahuan tentang
drama dan teater. Bahkan sulit untuk menemukan
referensi yang membahas khusus tentang dramaturgi
sebagai ilmu dalam khazanah pengetahuan kesenian di
Indonesia.
Seperangkat prinsip dasar yang melandasi drama-
turgi sebagai suatu disiplin keilmuan, dapat dijelaskan

19
melalui definisi, obyek kajian, cabang-cabang keilmuan-
nya, ruang lingkup, sejarah, dan pendekatan yang diguna-
kan. Pertanyaan-pertanyaan landasan dramaturgi tersebut
merupakan pertanyaan fundamental. Pertanyaan funda-
mental tersebut merupakan pertanyaan filosofis keilmuan,
yang meliputi: 1) landasan ontologi, 2) landasan episte-
mologi; dan 3) landasan aksiologi.
Pertama, landasan ontologi mempertanyakan obyek
kajian dramaturgi, apa hakikat dari obyek tersebut, dan
bagaimana hubungan antara obyek tersebut dengan
subyek yang mengajinya. Kedua, landasan epistemologi
berusaha menjawab bagaimana memperoleh pengetahuan
yang berupa dramaturgi, bagaimana prosedurnya, hal-hal
apa yang harus diperhatikan agar mendapatkan pe-
ngetahuan yang benar tentang drama atau teater, apakah
kebenaran drama itu, dan sarana apa yang digunakan
untuk memperoleh pengetahuan yang disebut dramaturgi.
Ketiga, landasan aksiologis mempertanyakan tentang ke-
gunaan atau nilai moral. Untuk apa pengetahuan yang
disebut dramaturgi tersebut digunakan? Bagaimana
kaitan penggunaan tersebut dengan kaidah moral?
Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah dramaturgi
berdasarkan pilihan-pilihan moral? (baca: Endraswara,
2012: 1-2).
Setiap ilmu pasti berbeda-beda karakteristiknya,
begitu juga dengan dramaturgi. Pada dasarnya, drama-
turgi merupakan ilmu yang membahas tentang bagaimana
proses penciptaan teater itu, dari teknik penulisan naskah
lakon, hingga mempertontonkannya di atas panggung, di
depan khalayak. Pengertian dasar yang lebih bersifat

20
teknis dan instruksional itulah yang mempengaruhi
anggapan bahwa dramaturgi baru dalam tataran sebagai
pengetahuan, belum menjadi sebuah ilmu yang mapan.

2
Landasan Ontologi Dramaturgi

Sebagaimana dikemukakan di atas, landasan


ontologi mempertanyakan obyek kajian dramaturgi, apa
hakikat dari obyek tersebut, dan bagaimana hubungan
antara obyek tersebut dengan subyek yang mengajinya.
Landasan ini menjelaskan hakikat obyek yang dipelajari
oleh dramaturgi, meliputi obyek material dan obyek
formal. Obyek material adalah benda, hal atau bahan yang
menjadi obyek, bidang atau sasaran penelitian/kajian.
Sedangkan obyek formal berkaitan dengan aspek atau
sudut pandang tertentu terhadap obyek materialnya.
Secara singkat dapat dikatakan bahwa drama
merupakan obyek dari studi Dramaturgi. Drama itu
sendiri memiliki pengertian dalam dua dimensi,
sebagaimana dikemukakan sebelumnya, yaitu: 1) drama
sebagai karya sastra; dan 2) drama sebagai seni
pertunjukan. Berdasarkan substansinya, baik sebagai
genre sastra maupun sebagai seni pertunjukan, drama
merupakan interpretasi kehidupan secara kreatif, fiktif,
imajinatif, dan estetik.
Drama pada dasarnya memahami problematika atau
konflik kehidupan yang dialami manusia dari sudut
pandang seni, yaitu seni sastra dan seni teater. Dapat
dikatakan, pada hakikatnya drama adalah konflik dalam

21
kehidupan manusia. Hal itulah yang menjadi obyek
material Dramaturgi sebagai ilmu atau pengetahuan.
Apakah obyek formal dramaturgi? Dimensi drama sebagai
karya sastra dan seni pertunjukan (teater) merupakan
titik pijak atau sudut pandang mengaji tentang drama.
Itulah obyek formal dramaturgi.
Berdasarkan uraian tentang obyek material dan
formal dramaturgi di atas, maka landasan ontologi
dramaturgi hendak menjawab pertanyaan-pertanyaan
tentang pengertian drama dan teater, yang meliputi hal-
hal berikut.
1. Apakah drama itu?
2. Apakah teater itu?
3. Apakah perbedaan drama dan teater itu?
Ketiga pertanyaan di atas bermuara pada
permasalahan tentang definisi drama dan/atau teater
sebagai obyek kajian dramaturgi. Jawaban terhadap
permasalahan tersebut akan dapat menjelaskan landasan
ontologi dramaturgi sebagai ilmu dan pengetahuan.
Samakah drama dan teater itu? Pertanyaan itu
segera melintas dalam benak seseorang yang hendak
mempelajari seni drama/teater? Pertanyaan itu pula yang
mesti menjadi pembahasan awal dalam memahami
dramaturgi.
Seorang tokoh teater Indonesia yang sangat produk-
tif dan konsisten bergulat dengan teater, Nano Riantiarno,
menjelaskan, teater berasal dari kata teatron (bahasa
Yunani), artinya tempat melihat atau area yang tinggi
untuk meletakkan sesajian untuk para dewa (2011: 1).
Dalam pengertian yang kurang lebih sama, Santoso dkk

22
(2008: 1) mengemukakan, teater berasal dari kata Yunani,
“theatron” yang artinya tempat atau gedung pertunjukan.
Dalam perkembangannya, dalam pengertian lebih luas,
kata ‘teater’ diartikan sebagai segala hal yang dipertunjuk-
kan di depan orang banyak. Dalam rumusan sederhana,
teater adalah pertunjukan, misalnya ketoprak, ludruk,
wayang, wayang wong, sintren, janger, mamanda, dagelan,
sulap, akrobat, dan lain sebagainya. Teater dapat dikata-
kan sebagai manifestasi dari aktivitas naluriah, seperti
misalnya, anak-anak bermain sebagai ayah dan ibu, ber-
main perang-perangan, dan lain sebagainya.
Lebih lanjut dikemukakan Santoso dkk, bahwa
Teater merupakan manifestasi pembentukan strata sosial
kemanusiaan yang berhubungan dengan masalah ritual.
Misalnya, upacara adat maupun upacara kenegaraan,
keduanya memiliki unsur-unsur teatrikal dan bermakna
filosofis. Berdasarkan paparan di atas, mengutip pendapat
Harymawan (1993), Santoso dkk. mengemukakan ke-
mungkinan perluasan definisi teater itu bisa terjadi. Tetapi
batasan tentang teater dapat dilihat dari sudut pandang
sebagai berikut: “tidak ada teater tanpa aktor, baik
berwujud riil manusia maupun boneka, terungkap di layar
maupun pertunjukan langsung yang dihadiri penonton,
serta laku di dalamnya merupakan realitas fiktif”
Sedangkan kata ‘drama’ berasal dari bahasa Yunani
draomai, yang berarti berbuat, berlaku, bertindak, atau
bereaksi. Drama berarti perbuatan, tindakan atau reaksi.
Pengertian tentang drama, menurut Harymawan (1988:1),
adalah cerita atau tiruan perilaku manusia yang dipentas-
kan. Munculnya pengertian tersebut jika ditinjau dari

23
makna kata drama sudah tepat, sebagaimana dikemuka-
kan di atas. Jadi kata drama berarti perbuatan atau
tindakan. Berdasarkan kenyataan ini, drama sebagai suatu
pengertian lebih difokuskan kepada dimensi genre
sastranya.
Dalam dimensi sastra, drama adalah salah satu
genre sastra, selain puisi dan prosa. Namun drama mem-
punyai kekhususan dibanding dengan genre sastra yang
lain. Kekhususan drama disebabkan tujuan drama ditulis
pengarangnya tidak hanya berhenti sampai pada tahap
pembeberan peristiwa untuk dinikmati secara artistik
imajinatif oleh para pembacanya, namun mesti diteruskan
untuk dapat dipertontonkan dalam suatu penapilan gerak
dan perilaku konkret yang dapat disaksikan. Kekhususan
drama inilah yang kemudian menyebabkan pengertian
drama sebagai suatu genre sasta lebih terfokus sebagai
suatu karya yang lebih beroreintasi kepada seni per-
tunjukan. Drama dapat dipandang dalam dua dimensi,
yaitu dimensi sastra dan pertunjukan.
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa drama
adalah lakon yang hendak dipentaskan, sedang teater
adalah panggung atau tempat lakon itu dipentaskan. Jika
mengikuti pengertian tersebut, antara drama dan teater
dapat dibedakan sebagaimana dalam tabel berikut.

Tabel 1
Perbedaan Drama dan Teater

No Drama Teater
1 Naskah; skrip; Tempat pertunjukan, atau bahkan
atau repertoire dapat disebut pertunjukan itu

24
sendiri
2 Penulis - pembaca Sutradara dan timnya - penonton
3 Kreasi; produksi Re-kreasi; re-produksi
4 Dimensi sastra Dimensi seni pertunjukan
5 Dibaca Ditonton
6 Tokoh Aktor

Perkembangan kemudian terjadi, drama seringkali


disamakan dengan teater. Dua istilah ini memang tumpang
tindih. Sebagaimana dikemukakan di atas, kata drama
berasal dari bahasa Yunani draomai yang artinya berbuat,
bertindak; sementara teater berasal dari kata Yunani
theatron artinya tempat pertunjukan. Kata teater sendiri
mengacu kepada sejumlah hal, yaitu: drama, gedung
pertunjukan, panggung pertunjukan, kelompok pemain
drama, dan segala pertunjukan yang dipertontonkan.
Meski demikian secara sederhana, drama dibedakan
menjadi dua, yang pertama drama naskah dan yang kedua
drama pentas. Atau yang telah dikemukakan di atas,
drama dapat dipahami dalam dimensi sastra dan seni
pertunjukan. Istilah yang kedua inilah, yakni drama pentas
atau dalam dimensi seni pertunjukan, disamakan dengan
teater.
Seseorang dapat secara bergantian menggunakan
kata drama dan teater, seperti drama modern atau teater
modern; drama tradisional atau teater tradisional;
bermain drama atau bermain teater; pertunjukan drama
atau pertunjukan teater; dan sebagainya. Hal itu lumrah
dan dibenarkan, sejauh pengertian drama sebagai seni
pertunjukan. Namun jika mengatakan dalam dimensi
genre sastra, istilah drama tidak bisa diganti dengan

25
teater. Sebagai genre sastra, drama adalah karya sastra
tulis.
Bagaimanakah seseorang mengambil posisi dalam
memahami dan mengaji drama dan teater itu? Pertanyaan
itu menyarankan pada posisi subyek terhadap obyek
dramaturgi. Berbeda dengan genre sastra lainnya, upaya
seseorang dalam memahami drama berkisar pada dua
proses berdasarkan dimensi drama itu sendiri. Pertama,
dalam dimensi drama sebagai karya sastra, upaya
seseorang memahami drama adalah dalam rangka
menemukan makna yang terkandung dalam drama. Kedua,
dalam dimensi drama sebagai seni pertunjukan, seseorang
memahami drama untuk mewujudkannya ke dalam
permainan di atas panggung.
Kedua upaya memahami drama dalam dua dimensi
tersebut, menempatkan hubungan seseorang (subyek
yang memahami) dengan drama (obyek yang dipahami)
bersifat fleksibel. Dalam dimensi yang pertama, hubungan
subyek dan obyek terdapat jarak, meskipun tidak sejauh
sebagaimana dalam kajian ilmu-ilmu eksakta. Dalam
memahami drama, dimungkinkan jarak subyek terhadap
obyeknya begitu dekat untuk mencapai tingkat
penghayatan dan refleksi terhadap apa yang diungkapkan
dalam drama.
Dalam dimensi kedua, hubungan subyek dan
obyeknya cenderung melebur, di mana subyek benar-
benar masuk ke dalam tokoh dan peristiwa yang
diceritakan untuk mencapai taraf ‘menjadi’ tokoh yang
hendak dimainkan atau diperankan dalam pertunjukan
teater. Semakin dekat seseorang terhadap obyek yang

26
dipahami, semakin konkrit dan baik seseorang tersebut
mewujudkannya di atas panggung.
Berdasarkan fleksibilitas hubungan di atas, maka
posisi yang bisa diambil oleh seseorang di dalam
memahami drama akan menentukan jarak kedekatan
antara orang itu (subyek) terhadap drama (obyeknya).
Posisi atau kedudukan seseorang di dalam memahami
drama akan berkisar pada hal-hal berikut.
1. Seseorang dapat berposisi sebagai seorang pengaji atau
peneliti untuk mengungkapkan makna drama.
2. Seseorang dapat berposisi sebagai penghayat atau
pemaham tentang makna drama.
3. Seseorang sebagai kreator yang menggali drama
sebagai sumber kreatifnya dalam rangka proses
penggarapan drama ke dalam pertunjukan teater.
4. seseorang dapat berposisi sebagai penghayat dan
pemaham terhadap tokoh dan peristiwa yang
diceritakan untuk ditransfer ke dalam peran yang
dimainkan.
Keempat posisi atau kedudukan itulah yang akan
menentukan sejauh mana jarak atau kedekatan yang bisa
diambil terhadap drama sebagai obyek yang hendak
dipahami. Pada kedudukan keempat, hubungan antara
seseorang terhadap drama seolah melebur dan tanpa
batas. Dengan cara seperti itulah, seseorang akan mampu
mewujudkan dirinya ke dalam permainan peran di atas
pentas. Sebaliknya, pada kedudukan pertama, hubungan
seseorang terhadap drama terdapat jarak untuk
memungkinkan seseorang itu dapat menggali dan mengaji
apa yang hendak digali dan dikaji.

27
3
Landasan Epistemologi Dramaturgi

Landasan epistemologi berusaha menjawab


bagaimana memperoleh pengetahuan yang berupa
dramaturgi, bagaimana prosedurnya, hal-hal apa yang
harus diperhatikan agar mendapatkan pengetahuan yang
benar tentang drama atau teater, apakah kebenaran
drama itu, dan sarana apa yang digunakan untuk
memperoleh pengetahuan yang disebut dramaturgi.
Dramaturgi sebagai ilmu jelas diperoleh dan
dikembangkan melalui kegiatan pengajian, penganalisisan,
dan penelitian mendalam tentang obyeknya. Selanjutnya,
hasil-hasilnya akan menjadi konsep-konsep dan proposisi-
proposi sebagai isi dari dramaturgi. Namun demikian,
karena spesifikasi dan krakteristik drama sebagai karya
seni, tentu pengajian, penganalisisan, dan penelitiannya
berbeda dengan disiplin ilmu lainnya.
Landasan epistemologinya tergantung pada orang
yang mengaji, menganalisis, dan meneliti drama, dalam
membangun paradigmanya. Jika berangkat dari dua
dimensi drama sebagai karya sastra dan sebagai seni
pertunjukan, maka landasan epistemologi dramaturgi
dapat menggunakan paradigma dalam ilmu sastra dan
dapat pula menggunakan paradigma seni pertunjukan.
Kedua paradigma tersebut memungkinkan munculnya
berbagai ragama kajian, analisis, dan penelitian drama.
Pengajian drama tentu bersifat interpretatif dan
kreatif, sebagaimana terhadap genre sastra lainnya, puisi
dan prosa. Istilah kreatif mempertimbangkan bahwa

28
drama merupakan karya yang bersifat kreatif, oleh karena
itu, kajian, analisis, dan penelitiannya pun mesti bersifat
kreatif. Sedangkan istilah interpretatif merujuk pada sifat
dan karateristik khas drama sebagai karya sastra. Istilah
yang relevan untuk menyebut sifat interpretatif tersebut
adalah hermenutik dan fenomenologik.
Pada dasarnya kajian dan analisis tehadap drama
bersifat hermenutis dan fenomenologis. Sifat hermenutis
menyarankan bahwa kajian dan analisis terhadap drama
merupakan suatu proses pemahaman secara dialogis
antara subyek yang memahami dan obyek yang dipahami.
Dengan kata lain, proses kajian dan analisis terhadap
drama berada dalam wilayah pemahaman simbolik.
Sedangkan sifat fenomenologis menyarankan bahwa
proses kajian dan analisis drama menunjuk pada proses
kesadaran. Artinya, proses kajian dan analisis drama akan
memasuki wilayah imajinasi pengarang melalui proses
pengonkritan makna-makna simbolik. Makna-makna
simbolik merupakan dunia kehidupan yang dihayati oleh
pengarangnya. Pengalaman individual itulah yang hendak
dikaji dan dianalisis sebagai sebuah fenomena kehadiran
suatu drama.
Berdasarkan uraian singkat tentang kekhasan kajian
dan analisis drama di atas, diperoleh jawaban terhadap
sumber dan bagaimana memperoleh kebenaran dalam
karya drama. Dramaturgi tentu dikembangkan melalui
kegiatan pengajian dan penganalisisan semcam itu. Sifat
interpretaif, dialogis, simbolik, hermenutik, dan
fenomenologik, merupakan cara bagaimana memperoleh
pengetahuan yang disebut dramaturgi.

29
4
Landasan Aksiologi Dramaturgi

Landasan aksiologis mempertanyakan tentang ke-


gunaan atau nilai moral. Untuk apa pengetahuan yang
disebut dramaturgi tersebut digunakan? Bagaimana
kaitan penggunaan tersebut dengan kaidah moral?
Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah dramaturgi
berdasarkan pilihan-pilihan moral?
Pertanyaan pertama yang acapkali muncul ketika
seseorang belajar tentang sesuatu adalah, “apakah
manfaat sesuatu yang dipelajari itu?” Dalam kaitannya
dengan dramaturgi, pertanyaan tersebut dapat
dirumuskan menjadi: “Apakah kegunaan dramaturgi bagi
kehidupan manusia?” Jawabannya tidak sesederhana
pertanyaan itu. Namun dapat dipersingkat dalam satu
kalimat, drama dan dramaturgi menawarkan tentang
bagaimana menjalani hidup yang penuh dengan intrik dan
konflik manusia. Dengan kata lain, belajar drama dan
dramaturgi merupakan belajar tentang hidup. Jawaban
tersebut tentu membutuhkan penjelasan yang agak
memadai lagi.
Dalam kaitannya dengan hubungan sastra dan
pendidikan, Moody (Endraswara, 2011: 290-291)
mengemukakan, sumbangan kajian sastra (termasuk
drama) adalah sebagai berikut.
1. Menunjang keterampilan berbahasa
2. Meningkatkan pengetahuan
3. Mengembangkan cipta, rasa, dan karsa
4. Mengembangkan pembentukan watak

30
Sedangkan Supriyanto (1986: 19) mengatakan bahwa
drama atau teater memiliki tiga fungsi, yaitu: 1) untuk
kepentingan pendidikan; 2) sebagai media komunikasi;
dan 3) sebagai hiburan.
Berbagai pendapat muncul tentang kegunaan karya
sastra, termasuk di dalamnya sastra drama. Dari semua
pendapat itu, sesungguhnya memiliki beberapa kesamaan.
Jika dirumuskan kesamaan-kesamaan pendapat yang ada,
dapat dikemukakan beberapa kegunaan seni drama
(sastra) bagi kehidupan, sebagaimana berikut ini.
1. Drama sebagai karya sastra merupakan wacana naratif
yang berisi tentang potret kehidupan masyarakat yang
dipandang dari sisi imajinasi dan fiksi. Berdasarkan
asumsi ini dapat dijadikan landasan bahwa drama
diciptakan untuk memperkaya wawasan tentang
persoalan hidup.
2. Pengetahuan drama (dramaturgi) dan drama itu
sendiri, merupakan media komunikasi sosial, yang
menanamkan nilai-nilai yang baik bagi pembacanya.
Berdasarkan asumsi ini dapat dijadikan landasan
bahwa dramaturgi dan drama memiliki fungsi sebagai
sosialisasi nilai-nilai kehidupan bagi masyarakat.
3. Drama dapat menjadi kontrol bagi masyarakat
pemiliknya. Kontrol dalam konteks ini adalah
menawarkan alternatif yang lain bagi pembangun
kepribadian manusia. Berdasarkan asumsi ini dapat
dijadikan landasan bahwa drama memiliki fungsi
pencerahan bagi manusia dari sifat-sifat dan nafsu-
nafsu yang negatif.

31
4. Sebagai karya seni yang memiliki nilai estetis, drama
menjadi media hiburan yang mendidik bagi
masyarakat. Berdasarkan asumsi ini dapat dijadikan
landasan bahwa drama berfungsi untuk menawarkan
dirinya dalam menghibur dan mendidik akan
pentingnya keindahan bagi umat manusia.
Keempat fungsi itu secara langsung menunjukkan
betapa kegunaan drama sangat penting bagi pembentukan
moral dan kepribadian manusia. Betapapun imajinatifnya
sebuah karya sastra, sastra drama tak akan bebas nilai
dari kepentingan moral masyarakat di mana drama
tersebut diciptakan. Rumusan ini sekaligus sebagai
landasan aksiologis bagi drama dan dramaturgi bagi
kehidupan manusia.

5
Formula Dramaturgi

Harymawan (1998) menyebutkan tahapan dasar


untuk mempelajari dramaturgi yang disebut dengan
formula dramaturgi. Formula ini disebut fromula 4 M yang
terdiri dari: menghayalkan, menuliskan, memainkan, dan
menyaksikan.
M1 atau menghayal, dapat dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang karena menemukan sesuatu
gagasan yang merangsang daya cipta. Gagasan itu timbul
karena perhatian ditujukan pada suatu persitiwa baik
yang disaksikan, didengar maupun dibaca dari literatur
tertentu. Bisa juga gagasan itu timbul karena perhatian

32
ditujukan pada kehidupan seseorang. Gagasan atau daya
cipta tersebut kemudian diwujudkan ke dalam besaran
cerita yang pada akhirnya berkembang menjadi sebuah
lakon untuk dipentaskan.
M2 atau menulis, adalah proses seleksi atau pemilih-
an situasi yang harus dihidupkan begi keseluruhan lakon
oleh pengarang. Dalam sebuah lakon, situasi merupakan
kunci aksi. Setelah menemukan kunci aksi ini, pengarang
mulai mengatur dan menyusun kembali situasi dan
peristiwa menjadi pola lakon tertentu. Di sini seorang
pengarang memiliki kisah untuk diceritakan, kesan untuk
digambarkan, suasana hati para tokoh untuk diciptakan,
dan semua unsur pembentuk lakon dikomunikasikan.
M3 atau memainkan, merupakan proses para aktor
memainkan kisah lakon di atas pentas. Tugas aktor dalam
hal ini adalah mengkomunikasikan ide serta gagasan
pengarang secara hidup kepada penonton. Proses ini
melibatkan banyak orang yaitu, sutradara sebagai penafsir
pertama ide dan gagasan pengarang, aktor sebagai
komunikator, penata artsitik sebagai orang yang me-
wujudkan ide dan gagasan secara visual serta penonton
sebagai komunikan.
M4 atau menyaksikan atau menonton, merupakan
proses penerimaan dan penyerapan informasi atau pesan
yang disajikan oleh para pemain di atas pentas oleh para
penonton. Pementasan teater dapat dikatakan berhasil
jika pesan yang hendak disampaikan dapat diterima
dengan baik oleh penonton. Penonton pergi menyaksikan
pertunjukan dengan maksud pertama untuk memperoleh

33
kepuasan atas kebutuhan dan keinginannya terhadap
tontonan tersebut.
Formula dramaturgi seperti disebutkan di atas
merupakan tahap mendasar yang harus dipahami dan
dilakukan oleh para pelaku teater. Jika salah satu tahap
dan unsur yang ada dalam setiap tahapan diabaikan, maka
pertunjukan yang digelar bisa dipastikan kurang
sempurna. Oleh karena itu, pemahaman dasar formula
dramaturgi dapat dijadikan acuan proses penciptaan
karya seni teater.
Formula dramaturgi tersebut pada dasarnya
memberikan pengetahuan dasar bagaimana sebuah
proses berteater itu mesti dilakukan. Pada tahap awal,
proses teater selalu diawali dengan ide atau gagasan. Ide
atau gagasan itulah yang mendorong seseorang untuk
mengadakan pembayangan (pengkhayalan) secara
imajinatif dan kreatif. Dalam tahap itulah terjadi proses
perenungan, penghayatan, pemikiran, pengimajinasian,
dan perasaan tentang ide atau gagasan tertentu. Dalam
proses penciptaan drama, baik sebagai karya sastra
maupun sebagai seni pertunjukan, ide atau gagasan
tersebut diungkapkan ke dalam premis.
Ide atau gagasan, yang kemudian dimatangkan
melalui proses pengimajinasian (tahap M1), mesti
diungkapkan dalam tulisan (tahap M2). Tahap kedua ini
terdapat serangkain proses, seperti: membuat rencana
cerita (treatment) dan pengembangan treatment menjadi
naskah lakon atau drama. Di dalam teater modern naskah
lakon atau drama memiliki peranan yang penting, salah
satunya adalah sumber kreasi para pekerja teater.

34
Pada tahap M3, apa yang ditulis tersebut perlu
dimainkan. Naskah lakon atau drama diciptakan untuk
dimainkan di atas panggung. Melalui beberapa latihan
dengan manajemen proses yang tertata, menjamin sebuah
pertunjukan teater dapat mencapai harapan dan tujuan.
Dari tahap M3 itulah terjadi proses penerimaan, apresiasi,
evaluasi, dan kajian tentang kualitas dan kegunaan seni
drama (tahap M4).
Jika formula dramaturgi tersebut diungkapkan
melalui bagan akan tampak sebagaimana berikut ini.

Ide

M1 : Mengkhayalkan
Ide dikhayalkan

M2 : Menulis
Diungkapkan ke dalam naskah drama

M3 : Memainkan
Dijadikan pedoman dan sumber kreasi
dalam pertunjukan teater

M4 : Menyaksikan
Diapresiasi oleh masyarakat

Bagan 1: Formula Dramaturgi

35
6
Wilayah Kajian Dramaturgi

Ada dua persoalan pokok jika hendak mempelajari


dramaturgi. Pertama, sebagai ilmu bagaimana dramaturgi
tersebut menjelaskan landasan ontologis, epistemologis,
dan aksiologisnya. Kedua, sebagai pengetahuan tentang
pertunjukan, bagaimana dramaturgi menjelaskan teknik-
teknik mempertunjukan teater atau drama. Persoalan
pertama tentu perlu dikemukakan dalam sebuah tulisan
(buku) yang khusus membahas tentang hal itu. Sedangkan
persoalan kedualah yang hendak dijelaskan dalam buku
ini.
Hal-hal yang dapat dijelaskan untuk menjawab
persoalan kedua di atas mencakup aspek-aspek berikut.
a. Pengertian dramaturgi dan cakupan kajiannya
b. Pengertian drama dan teater
c. Sejarah teater atau drama
d. Penciptaan naskah lakon (drama)
e. Analisis naskah lakon (drama)
f. Teknik Pemeranan (Akting)
g. Teknik Penyutradaraan
h. Manajemen Pertunjukan Teater atau Drama
Sebagai ilmu, sekaligus pengetahuan tentang drama
atau teater, dramaturgi memiliki cakupan atau wilayah
kajian. Bisa disebut, wilayah kajian tersebut adalah
cabang-cabang dramaturgi. Ada empat wilayah kajian
yang dapat dipelajari sekaligus menjadi pedoman untuk
mewujudkan sebuah pertunjukan teater/drama.

36
a. Dramaturgi; membicarakan tentang prinsip-prinsip
dasar yang meliputi: pengertian, sejarah, penulisan,
unsur-unsur, dan aliran drama dan teater
b. Seni Peran atau Akting; praktik-praktik dasar bermain
peran, teknik-teknik bermain peran, kaedah-kaedah
pemeranan, dan bentuk-bentuk latihan bermain peran.
c. Penyutradaraan; praktik tentang tugas, tanggung
jawab, dan prosedur kerja seorang sutradara dalam
berproses teater atau drama, dari pemilihan naskah,
analisis naskah, proses latihan, hingga pementasan.
d. Manajemen Pementasan Drama/Teater; membicarakan
tentang bagaimana manajemen sebuah pertunjukan
drama atau teater itu dibuat dan dilaksanakan. Bidang
ini meliputi: manajemen artistik, manajemen produksi
pertunjukan drama atau teater, dan manajemen
panggung.
Meskipun keempat cabang dramaturgi tersebut
masing-masing dapat berdiri sendiri, namun dalam
pembahasannya saling bersentuhan. Pembahasan dalam
wilayah seni peran misalnya, sama sekali tak bisa
melepaskan dari wilayah penyutradaraan, begitu sebalik-
nya. Apalagi dramaturgi dapat memberikan dasar dan
prinsip-prinsip terhadap seni peran, penyutradaraan, dan
manajemen panggung yang baik. Sebaliknya, dramaturgi
dapat berkembang berdasarkan masukan dari ketiganya.
Jika melihat keempat cabang dramaturgi di atas,
tampak bahwa dramaturgi merupakan pengetahuan yang
membahas tentang drama atau teater (teoritis), sedang
ketiga cabang yang lain bersifat praktis. Oleh karena itu,
seorang aktor, sutradara, dan crew yang lain, mesti

37
memahami apa yang dikemukakan dalam keempat
wilayah kajian dramaturgi itu. Mereka tidak cukup hanya
mengandalkan pengalaman, tetapi juga membutuhkan
ilmunya. Perpaduan antara keduanya dapat menjamin apa
yang mereka geluti dapat berkembang dan mencapai
kualitas.

*****

38
BAB 3
DRAMA SEBAGAI TEKS
HAKIKAT, PENGERTIAN, DAN
UNSUR-UNSUR DRAMA

Salah satu perbedaan antara teater tradisional


dengan modern adalah ada tidaknya naskah. Teater
tradisional cenderung tidak menggunakan naskah. Pemain
dan crewnya cukup menghafal jalan cerita yang akan
dipentaskan. Tidak adanya naskah dalam teater
tradisional bersumber pada ciri budaya tradisional yang
bersifat oral (lisan) dan diturunkan dari mulur ke mulut.
Sedangkan dalam teater modern, naskah memegang
peranan penting dalam mempersiapkan pertunjukan. Oleh
karena itu, dalam pertunjukan teater modern diperlukan
latihan yang realtif lama.
Pentingnya naskah drama/lakon dalam teater
modern menyebabkan seseorang yang ingin belajar teater
harus memiliki pengetahuan tentang naskah. Meskipun
penentuan naskah yang akan digarap merupakan tugas
dan tanggung jawab sutradara, tetapi semua pemain dan
crew harus juga memahaminya. Naskah dalam hal ini
menjadi pedoman dan sumber penggarapan sebuah

39
pertunjukan teater modern. Berikut ini dikemukakan
tentang hal-hal yang harus dipahami di dalam sebuah
naskah drama.

1
Apa Hakikat Drama?

Sebagai suatu genre sastra drama mempunyai ke-


khususan dibanding dengan genre puisi ataupun genre
fiksi. Kekhususan drama disebabkan tujuan drama ditulis
pengarangnya tidak hanya berhenti sampai pada tahap
pembeberan peristiwa untuk dinikmati secara artistik
imajinatif oleh para pembacanya, namun mesti diteruskan
untuk kemungkinan dapat dipertontonkan dalam suatu
penapilan gerak dan perilaku konkret yang dapat disaksi-
kan. Kekhususan drama inilah yang kemudian menyebab-
kan pengertian drama sebagai suatu genre sasta lebih
terfokus sebagai suatu karya yang lebih beroreintasi
kepada seni pertunjukan, dibandingkan sebagai genre
sastra.
Sebagai sebuah karya yang mempunyai dua dimensi,
dimensi sastra dan dimensi seni pertunjukkan, maka
pementasan drama harus dianggap sebagai penafsiran
dari penafsiran yang telah ada yang dapat ditarik dari
suatu karya drama. Dengan kata lain penafsiran itu
memberikan kepada drama sebuah penafsiran kedua
(Luxemburg, 1984:158). Maksud dari pernyataan ini
adalah, pementasan baru dimungkinkan terjadi jika teks
drama telah dan ditafsirkan oleh sutradara dan para

40
pemain untuk kepentingan suatu pemeranan yang
didukung oleh seperangkat panggung, seperti: dekor,
kostum, tata panggung, tata rias, tata cahaya, dan tata
musik.
Sesuatu yang terjadi di atas panggung atau pentas,
tidak termasuk pada teori drama sebagai genre sastra,
melainkan kepada ilmu drama sebagai suatu seni
pertunjukkan, yang oleh banyak pihak pada saat ini
disebut dengan istilah teater. Dengan demikian, hasil
penafsiran sutradara dan pemain yang kemudian menjadi
suatu seni pertunjukan dari suatu teks drama
memberikan pemahaman lain bagi peneliti atau mereka
yang sedang meneliti teks drama, di samping pemahaman
yang telah dimiliki dari pembacaan teks drama.
Sebagai sebuah genre sastra, drama memungkinkan
ditulis dalam bahasa yang memikat dan mengesankan.
Drama atau lakon dapat ditulis oleh pengarangnya dengan
mempergunakan bahasa sebagaimana sebuah sajak.
Penuh irama dan kaya akan bunyi yang indah, namun
sekaligus menggambarkan watak-watak manusia secara
tajam, serta menampilkan peristiwa yang penuh kejutan
(suspense) (Sumardjo, 1984:127).
Satu hal yang menjadi ciri drama adalah semua
kemungkinan itu harus ditampilkan dalam bentuk dialog-
dialog dari para tokoh. Seorang pembaca suatu teks drama
tanpa menyaksikan pementasan drama, mau tidak mau
harus membayangkan alur peristiwa di atas pentas.
Sebagaimana yang dikemukakan Luxemburg, dkkk (1984:
158) pengarang pada prinsipnya memperhitungkan
kesempatan ataupun pembatasan khusus, akibat adanya

41
orientasi untuk kepentingan pementasan. Artinya, bagai-
manapun pengarang drama telah memilih bahasa sebagai
pengucapan dramanya, ia tetap tidak dapat sebebas
pengarang fiksi atau penulis fiksi atau penulis sajak. Cara
pengungkapan melalui dialog sebagai ciri utama drama
inilah yang memberikan pembatasan yang dimaksud.
Kelebihan drama dibandingkan dengan genre fiksi dan
genre puisi, terletak pada pementasannya. Penikmat akan
menyaksikan secara langsung pengalaman yang diungkap-
an pengarang. Penikmat benar-benar menyaksikan
peristiwa yang ditampilkan di atas panggung. Akibatnya
terhadap penikmat akan lebih mendalam, lebih pekat dan
lebih intens.
Sebagai sebuah genre sastra, drama dibangun dan
dibentuk oleh unsur-unsur sebagaimana terlihat dalam
genre sastra lainnya, terutam agenre fiksi. Secara umum
sebagaimana fiksi, terdapat unsur yang membentuk dan
membangun dari dalam karya itu sendiri (intrinsik) dan
unsur yang mempengaruhi penciptaan karya yang tentu-
nya berasal dari luar karya (ekstrinsik). Dengan demikian,
kapasitas drama sebagai karya sastra haruslah dipahami
bahwa drama tidak hadir begitu saja. Sebagai karya kreatif
kemunculannya disebabkan oleh banyak hal. Kreativitas
pengarang dan realitas objektif (kenyataan semesta) se-
bagai unsur ekstrinsik mempengaruhi penciptaan drama.
Sementara itu, dari dalam karya itu sendiri cerita dibentuk
oleh unsur-unsur penokohan, alur, latar, konflik-konflik,
tema dan amantar, serta aspek gaya bahasa.
Selanjutnya, drama sebagai seni pertunjukkan hanya
dibentuk dan dibangun oleh unsur-unsur yang menyebab-

42
kan suatu pertunjukan dapat terlaksana dan ter-
selenggara. Menurut Damono (1983:114) ada tiga unsur
yang merupakan satu kesatuan yang menyebabkan drama
dapat dipertunjukkan. Unsur yang dimaksud yaitu (1)
unsur naskah, (2) unsur pementasan, dan (3) unsur
penonton. Kehilangan satu di antaranya mustahil drama
akan menjadi suatu pertunjukkan. Pada unsur pementas-
an terbagi lagi dalam beberapa bagian mislanya,
komposisi pentas, tata busana, tata rias, tata lampu, tata
cahaya. Di samping unsur tersebut tentu saja dua unsur
pokok lainnya harus ada yaitu sutradara dan pemain.
Untuk membicarakan drama harus dipahami
terlebih dahulu dari sisi apa ia ingin dibicarakan.
Dipahami dari dimensi sastranya, dimensi seni pertunjuk-
kan atau kedua dimensi tersbut sebagai suatu kepaduan
karya drama. Untuk kepentingan analisis, masing-masing
dimensi di dalam drama baik sebagai seni sastra maupun
seni pertunjukkan dapat dibicarakan secara terpisah.
Sudut pandang dan tolok ukur penilaian masing-masing
dimensi tentu saja berbeda. Satu hal yang harus dipahami
bahwa keberhasilan drama pada satu dimensi belum
menjamin pada dimensi lain drama itu akan berhasil juga.
Dapat diilustrasikan, jika suatu pementasan mencapai
kualititas baik dan terbilang sukses belum dapat dipasti-
kan bahwa naskah drama yang dipentaskan tersebut juga
baik dari segi kualitas sastranya. Sebaliknya, sebuah
drama yang baik kualitas sastranya belum menjamin
bahwa jika dipentaskan akan menjadi seni pertunjukkan
yang baik pula. Oleh sebab itu, untuk pemahaman totalitas
terhadap drama diperlakukan pengetahuan tentang

43
dimensi drama sebagai genre sastra dan sebagai seni
pertunjukkan. Hakikat drama sebagai karya dua dimensi
tersebut menyebabkan sewaktu drama ditulis, pengarang
drama sudah harus memikirkan kemungkinan-ke-
mungkinan yang akan terjadi pada saat pementasan
drama. Sementara itu, sewaktu pemetasan akan dilakukan
sutradara tidak mungkin menghindar begitu saja dari
ketentuan-ketentuan yang terdapat di naskah.

2
Apa Pengertian Drama?

Drama dalam dimensi seni pertunjukan, merupakan


tiruan kehidupan manusia yang ditampilkan di pentas.
Melihat drama, penonton seolah melihat kejadian dalam
masyarakat. Drama adalah potret kehidupan manusia,
potret suka duka, pahit manis, dan hitam putih kehidupan.
Drama berarti perbuatan, tindakan atau reaksi. Dalam
bahasa Indonesia terdapat istilah “sandiwara”. Istilah ini
diambil dari bahasa Jawa ‘sandi’ dan ‘warah’, yang berarti
pelajaran yang diberikan secara diam-diam atau rahasia.
Kata ‘sandi’ berarti rahasia dan kata ‘warah’ artinya
pelajaran. Istilah sandiwara radion, sandiwara televise,
sandiwara pentas menunjukkan bahwa kata sandiwara
dapat menggantikan kata drama. Dalam bahasa Belanda
dikenal istilah ‘tonil’ (toneel) yang mempunyai makna
sama dengan istilah sandiwara (Waluya, 2011).
Dasar lakon drama adalah konflik manusia. Seluruh
perjalanan drama berisi konflik antartokoh. Konflik itu

44
terjadi antara dua pihak, yaitu tokoh yang mendukung
cerita dan tokoh yang melawan arus cerita. Tokoh
pendukung cerita sering disebut tokoh protagonist,
sedangkan tokoh yang melawan arus cerita disebut tokoh
antagonis. Konflik antara tokoh antagonis dan protagonist
dalam drama dapat bersifat sangat keras dan kontras.
Akan tetapi, konflik tersebut harus tetap wajar, realistis,
dan logis. Artinya, pertentangan antartokoh tersebut
mempunyai kemungkinan mirip atau sama dengan
kehidupan di masyarakat, sehingga masih dapat dipahami
oleh penonton. Konflik yang terlalu dibuat-buat justru
akan mengurangi keunggulan drama.
Pengertian tentang drama yang dikenal selama ini
menyebutkan, bahwa drama adalah cerita atau tiruan
perilaku manusia yang dipentaskan. Munculnya pengerti-
an tersebut jika ditinjau dari makna kata drama sudah
tepat. Kata drama berasal dari kata Yunani draomai yang
berarti berbuat, berlaku, bertindak, bereaksi, dan sebagai-
nya (Harymawan, 1988:1). Jadi kata drama berarti per-
buatan atau tindakan. Berdasarkan kenyataan ini memang
drama sebagai suatu pengertian lebih difokuskan kepada
dimensi genre sastranya dan sekaligus sebagai seni
pertunjukan.
Drama seringkali disamakan dengan teater. Dua
istilah ini memang tumpang tindih. Drama berasal dari
bahasa Yunani ”draomai” yang artinya berbuat, bertindak;
sementara teater berasal dari kata Yunani juga ”theatron”
artinya tempat pertunjukan. Kata teater sendiri mengacu
kepada sejumlah hal yaitu: drama, gedung pertunjukan,
panggung pertunjukan, kelompok pemain drama, dan

45
segala pertunjukan yang dipertontonkan. Meski demikian
secara sederhana, seperti yang dikemukakan oleh Jakob
Soemardjo, drama dibedakan menjadi dua, yang pertama
drama naskah dan yang kedua drama pentas. Istilah yang
kedua inilah, yakni drama pentas, disamakan dengan
teater.
Karya sastra yang berupa dialog-dialog dan me-
mungkinkan untuk dipertunjukan sebagai tontonan di-
sebut dengan drama, sedangkan karya seni berupa
pertunjukan yang elemen-elemennya terdiri atas seni
gerak, musik, dekorasi, make up, costum, dan lainnya
disebut teater. Drama termasuk seni sastra. Teater adalah
seni pertunjukan. Selain dua istilah ini, ada lagi istilah lain
yang sejenis yakni sandiwara dan tonil. Sandiwara berasal
dari bahasa Jawa dan tonil berasal dari bahasa Belanda.
Dalam dimensi genre sastra, drama ialah semua teks
yang bersifat dialog dan yang isinya membentangkan
sebuah alur (Luxemburg, 1984). Drama itu berbeda
dengan prosa cerita dan puisi karena dimaksudkan untuk
dipentaskan. Pementasan itu memberikan kepada drama
sebuah penafsiran kedua. Sang sutradara dan para pemain
menafsirkan teks, sedangkan para penonton menafsirkan
versi yang telah ditafsirkan oleh para pemain. Pembaca
yang membaca teks drama tanpa menyaksikan pementas-
annya mau tidak mau membayangkan jalur peristiwa di
atas panggung. Pengarang drama pada prinsipnya mem-
perhitungkan kesempatan ataupun pembatasan khas,
akibat pementasan. Maka dari itu teks drama berkiblat
pada pementasan (Luxemburg, 1984).

46
Dalam drama dialog-dialog merupakan bagian ter-
penting, dan sampai taraf tertentu ini juga berlaku bagi
monolog-monolog. Pada pokoknya sebuah drama terdiri
atas teks-teks para aktor, dan tak ada seorang juru cerita
yang langsung menyapa para penonton. Para aktor saling
menyapa. Menurut konvensi drama, mereka tidak
langsung menyapa para penonton, tetapi konvensi
tersebut sering dilanggar, khususnya dalam drama
modern (Luxemburg, 1984). Sementara itu, petunjuk-
petunjuk untuk pementasan bersifat sekunder, karena
selama pementasan tak pernah diucapkan, tetapi di-
konkretkan lewat isyarat-isyarat nonbahasa. Teks yang
memuat petunjuk pementasan tersebut disebut sebagai
teks samping. Di samping dialog, unsur lain sastra drama
lebih mirip dengan unsur fiksi yaitu adanya alur
(rangkaian cerita), tokoh dan karakternya, latar, gaya
bahasa, dan tema.
Luxemburg (1984) mengemuakakan, teks-teks
drama ialah teks yang bersifat dialog dan yang isinya
membentangkan sebuah alur Drama itu berbeda dengan
prosa cerita dan puisi karena dimaksudkan untuk di-
pentaskan. Pementasan itu memberikan kepada drama
sebuah penafsiran kedua. Sang sutradara dan para pemain
menafsirkan teks, sedangkan para penonton menafsirkan
versi yang telah ditafsirkan oleh para pemain. Pembaca
yang membaca teks drama tanpa menyaksikan pementas-
annya mau tidak mau membayangkan jalur peristiwa di
atas panggung. Pengarang drama pada prinsipnya mem-
perhitungkan kesempatan ataupun pembatasan khas,

47
akibat pementasan. Maka dari itu teks drama berkiblat
pada pementasan.

3
Tipe Lakon/Drama

a. Tragedi: adalah sebuah lakon yang sangat serius di


mana sang tokoh utama berusaha keras menghadapi
tantangan besar tetapi tidak berhasil. Secara tradisi-
onal, lakon tragedi diakhiri dengan kematian tokoh
utama.
b. Komedi: adalah lakon yang mengandung humor di
mana sang tokoh utama berhasil mengatasi masalah
yang dihadapinya dengan cara yang mengundang
tawa.
c. Drama: lakon serius yang memiliki segala rangkaian
peristiwa yang nampak hidup, mengandung emosi,
konflik, daya tarik memikat serta akhir yang mencolok
dan tidak diakhiri dengan kematian tokoh utama.
d. Melodrama: lakon serius yang memaksimalkan aksi
fisik, suspen, konflik yang jelas, dan biasanya berakhir
dengan happy ending. Melodrama sering juga disebut
sebagai exaggerate drama atau drama yang diper-
besar (diperpanjang).
e. Satir: lakon komedi yang mengandung kritik sosial
dengan menampilkan kekonyolan dan kelemahan
manusia serta absurditas perilaku.

4
Premis:

48
Landasan Lakon/drama
Premis merupakan pemikiran, gagasan, atau ide
yang melandasi seorang penulis menyusun naskah lakon.
Premis bisa disebut dengan gagasan dasar lakon yang
akan menuntun arah laku lakon dari awal sampai akhir.
Beberapa ahli mengatakan bahwa premis disebut sebagai:
tema, ide dasar, tesis, tujuan, ide pokok, subjek, dll.
Meskipun begitu, semua istilah tersebut pada dasarnya
sama, yaitu ide dasar yang menjadi landasan dalam
menyusun naskah lakon.
Premis itulah yang pertama kali harus dipahami
semua pekerja teater jika ingin memproses naskah lakon
untuk dipentaskan. Pertanyaan yang mesti diajukan
adalah, “Ide atau gagasan apakah yang ingin dikemukakan
penulis melalui naskah tersebut?” Jawaban terhadap
pertanyaan tersebut akan juga memberikan landasan
pemikiran bagi pekerja teater dalam menyuguhkan
naskah tersebut di atas panggung.
Cerita dalam naskah lakon hanyalah sebuah
bahasa simbol yang maknanya mengarah pada premis
tersebut. Bahasa panggung juga sebuah simbol yang
bermakna pada premis tersebut. Oleh karena itu, bahasa
panggung yang berupa dialog, seting, idiom, akting,
artistik, dan sebagainya, yang dihadirkan di atas panggung
akan difokuskan pada pengungkapan premis tersebut.

5
Unsur-Unsur Drama

49
Drama memiliki unsur pembangun atau disebut
struktur, yang berbeda dengan cerpen, novel, atau roman.
Ada dua macam struktur dalam drama, yaitu struktur
tertutup dan struktur terbuka. Struktur tertutup (closed
drama) dimana laku plot dari awal sampai akhir
menggambarkan resolusi dan kesimpulan dari persoalan
yang diungkapkan (biasanya untuk lakon konvensional).
Dalam struktur tertutup ini, alur berjalan berdasarkan
hubungan sebab-akibat yang jelas dan realistis.
Sedangkan struktur terbuka (open drama) tidak
memperhatikan kaitan waktu, kejadian, dan peristiwa.
Juga tidak memperhatikan alur atau plot dari awal sampai
akhir cerita mencapai kesimpulan (konklusi). Biasanya
struktur demikian digunakan dalam drama berjenis
kontemporer, seperti lakon absurd.
Berikut ini dikemukakan unsur-unsur yang ada
dalam drama, sebagaimana dikemukakan Eko Santoso
dkk. dalam bukunya Seni Teater Jilid 1 untuk SMK (2008),
Tetapi dalam konteks penulisan drama, hanya tiga unsur
yang dibicarakan, yaitu: penokohan, bahasa, dan gaya atau
tipe naskah drama. Tiga hal itulah unsur utama yang perlu
mendapatkan perhatian utama dalam menulis naskah
drama.

a. Alur atau Plot

Plot atau alur pada dasarnya merupakan deretan


peristiwa dalam hubungan logik dan kronologik saling
berkaitan dan yang diakibatkan atau dialami oleh para

50
pelaku (Luxemburg, 1984:1490). Riantiarno (2011: 49)
mengemukakan, naskah drama dapat dibagi dalam lima
bagian, yaitu: 1) pemaparan/pendahuluan; 2) konflik atau
pengembangan; 3) klimaks, kemudian bisa anti klimaks,
atau langsung ke tahap berikut; 4) penyelesaian/solusi;
dan 5) penutup.
Dalam teks drama, alur akan diungkapkan ke atas
panggung. Sedang dalam teks atau nasakah dapat
dipahami melalui deretan dialog dan lakuan. Deretan
dialog dan lakuan tersebut dapat dipecah menjadi lima
atau enam bagian, sebagaimana diungkapkan Riantiarno
di atas. Plot merupakan jalinan cerita atau kerangka cerita
dari awal sampai akhir. yang terjalin melalui dialog dan
lakuan dua atau lebih tokoh. Secara umum, plot terdiri
atas beberapa tahapan berikut ini.

1) Pelukisan Awal
Tahap ini merupakan tahap pengenalan tokoh-
tokoh drama. Tahap ini berisi pelukisan awal dan pe-
ngenalan tokoh dan situasi latar cerita. Tahap pelukisan
awal merupakan tahap pembukaan cerita dan pemberian
informasi awal yang berguna untuk landasan cerita yang
akan dikisahkan (Nurgiyantoro, 2000).
Pada tahap ini pembaca atau penonton mulai men-
dapat gambaran tentang tokoh, situasi atau latar cerita,
dan peristiwa. Misalnya, dalam drama Romeo Juliet,
pembaca atau penonton mulai mengenal siapa Romeo dan
siapa Juliet serta mulai mengenal watak kedua tokoh
tersebut. Demikian juga watak keluarga Capulet dan
Montaque yang saling bertentangan. Perkenalan antara

51
Romeo dan Juliet pada pesta di rumah Juliet merupakan
kisah awal yang dapat diketahui oleh pembaca (Waluyo,
2001).

2) Pertikaian Awal
Tahapan pemunculan konflik yang merupakan
kelanjutan dari tahap pelukisan awal. Pada tahap ini
masalah-masalah atau peristiwa-peristiwa yang menyulut
konflik mulai dimunculkan. Jadi, tahap ini merupakan
tahap awal munculnya konflik. Selanjutnya, konflik awal
tersebut dikembangkan menjadi konflik-konflik yang lebih
besar dalam tahap berikutnya.
Perhatikan kutipan drama Romeo Juliet yang
sangat terkenal di bawah ini.

Romeo : Kasih, demi bulan aku bersumpah


padamu.
Juliet : Jangan bersumpah demi bulan, karena
bulan berubah setiap saat. Jangan-
jangan cintamu juga berubah.
Romeo : Lalu demi apa aku harus bersumpah.
Juliet : Jangan bersumpah. Atau jika kau ingin,
bersumpahlah demi dirimu sendiri. Aku
percaya padamu. Sungguh, aku sangat
mempercayaimu.
Romeo : Bagaimana bersumpah demi diri sendiri
Juliet : Kalau begitu tidak usah bersumpah.
Kuncup kasih yang bersemi ini semoga
menjadi bunga yang permai.

52
Romeo : Cinta yang kudapat akan kutorehkan
segalanya. Tetapi ... aku seorang
Montique.
Juliet : Dan aku seorang Capulet? Mengapa kita
punya nama? Biarlah aku menjadi bukan
Capulet dan Romeo, lupakanlah bahwa
dirimu Monteque.
Romeo : Sayap cinta mempertemukan kita. Sebab
itu tidak kutakuti nama.
Juliet : Jika bertahan terhadap nama, kita akan
dibunuh.

Dialog di atas mengisahkan perkenalan Romeo dan


Juliet yang berlanjut menjadi cinta yang mendalam.
Percintaan itu mendapat tantangan dari kedua keluaga.
Dua keluarga itu saling bermusuhan. Kisah percintaan
Romeo dan Juiet itulah yang menjadi konflik awal dalam
drama dan terus berlanjut ke konflik-konflik lainnya
dalam rangakaian peristiwa drama (Waluyo, 2001).

3) Titik Puncak (Klimaks)


Konflik yang telah dimunculkan pada tahap
sebelumnya semakin berkembang. Peristiwa-peristiwa
dramatik yang menjadi inti cerita semakin mencekam dan
menegangkan. Konflik itu akan terus meningkat sampai
mencapai klimaks atau titik puncak kegawatan dalam
cerita. Klimaks dalam drama akan dialami oleh tokoh
utama yang berperan sebagai pelaku dan atau penderita
terjadinya konflik tersebut.

53
Pada kisah Romeo Juliet, yang merupakan puncak
peristiwa adalah peristiwa bunuh diri Romeo karena
membayangkan Juliet telah mati. Selanjutnya, setelah
sadar dari obat bius yang diberikan pendeta Lorenso, Juiet
melihat Romeo telah mati. Akhirnya, Juliet berusaha
bunuh diri dengan meminum racun dari yang telah
digunakan botol Romeo.

4) Peleraian atau Antiklimaks


Dalam tahap ini konflik mulai mereda dan
ketegangan mulai menurun. Tokoh-tokoh yang
memanaskan situasi atau meruncingkan cerita dalam
drama sudah mulai menuju pada penyelesaian konflik.
Tokoh-tokoh yang saling bertentangan telah menyadari
kesalahan dan mulai menemukan penyelesaian. Mereka
sudah mengalami pencerahan batin.

5). Penyelesaian atau Akhir Cerita


Konflik yang telah mencapai klimaks dan sudah
mulai menurun diberi penyelesaian. Ketegangan antar-
tokoh cerita dikendorkan. Konflik dan ketegangan sudah
diberi jalan keluar penyelesaiannya dan cerita diakhiri.
Kematian Juliet dengan ikut meminum racun dapat
dianggap merupakan penyelesaian cerita. Juliet bukan
pergi kepada keluargannya, tetapi memilih bunuh diri
bersama orang yang sangat dicintainya.
Penyajian alur dalam drama diujudkan dalam
urutan babak dan adegan. Babak adalah bagian terbesar
dalam sebuah lakon. Pergantian babak dalam pentas

54
drama ditandai dengan layar yang diturunkan atau
ditutup, atau lampu panggung dimatikan sejenak. Setelah
lampu dinyalakan kembali atau layar dibuka kembali
dimulailah babak baru berikutnya. Pergantian babak
biasanya menandai pergantian latar, baik latar tempat,
ruang, maupun waktu. Adegan adalah bagian dari babak.
Sebuah adegan hanya menggambarkan satu suasana.
Pergantian adegan, tidak selalu disertai dengan pergantian
latar. Satu babak dapat terdiri atas beberapa adegan
(Harymawan, 1988).
Struktur alur drama, yang oleh Aristoteles (dalam
Harymawan, 1988) disebut sebagai alur dramatik
(dramatic plot) dibagi menjadi empat bagian, yaitu: (1)
Protasis (permulaan): dingkapkan peran dan motif lakon,
(2) Epitasio (jalinan kejadian), (3) Catastasis (klimaks),
peristiwa mencapai titik puncak, dan (4) Catastrophe
(penutup). Perhatikan gambar berikut.

C E

A B F

A = eksposisi B = Konflik C = Rising action /


penanjakan
D = Klimaks E = Penyelesaian F = Catastrophe
(akhir)
55
Garis panah menunjukkan arah perkembangan
cerita semakin ke puncak dan kemudian menurun menuju
ke penyelesaian. Alur yang demikian disebut alur lurus
atau konvensional. Seorang penulis drama dapat membuat
jenis alur yang lain, flashback, dengan jalan membalikkan
tahapan alur di mana tahap yang di belakang diceritakan
dahulu baru tahap alur yang depan. Misalnya, tahap
klimak diceritakan terlebih dahulu, baru kemudian cerita
dilanjutkan secara mundur ke tahap awal (pemaparan/
eksposisi).
Di dalam teks drama masing-masing tahapan alur
tersebut berisi adegan-adegan. Beberapa adegan ter-
himpun dalam satu babak. Dengan demikian, masing-
masing tahapan alur dapat menjadi ssatu babak. Jika
mengikuti alur dramatik menurut Aristoteles, dalam satu
alur naskah, dari awal sampai akhir, bisa terdiri dari lima
babak: (1) satu babak dalam tahap Protasis (permulaan)
(2) satu babak dalam tahap Epitasio, (3) satu babak dalam
tahap Catastasis (klimaks), dan (4) satu babak dalam
tahap Catastrophe (penutup). Oleh karena itu, beberapa
pendapat mengatakan bahwa sebuah naskah drama
idealnya terdiri atas lima babak.
Peristiwa atau kejadian merupakan isi dari alur
atau plot. Nurgiyantoto (2000:26) mengemukakan, apa
yang ditulis dan dipentaskan dalam drama pada hakikat-
nya adalah rangkaian peristiwa. Rangkaian peristiwa
itulah yang kemudian dikenal dengan istilah adegan.
Peristiwa itu sendiri dapat berupa tindakan atau aksi
(actions) dan kejadian (happening). Peristiwa yang berupa
aksi (action) yakni peristiwa yang berupa tindakan

56
manusia baik verbal mupun nonverbal. Sementara itu,
peristiwa yang berupa kejadian (happening) adalah
peristiwa yang bukan merupakan hasil tindakan dan
tingkah laku manusia, misalnya peristiwa alam.

b. Penokohan dan Perwatakan

Pembahasan tentang penokohan dapat dilakukan


berdasarkan kedudukan peran, ciri-ciri, dan sifat karakter-
nya. Menurut kedudukan perannya, tokoh dalam teks
drama dapat dibedakan menjadi enam jenis tokoh.
a. Protagonis: tokoh utama yang menggerakkan plot dari
awal sampai akhir dan memiliki kehendak tetapi
dihalangi oleh tokoh lain. Tokoh protagonis merupakan
tokoh yang berada pada pihak yang benar menurut
tanggapan pembaca atau penonton. Tokoh protagonis
melakukan tindakan yang dianggap baik dan benar
sesuai dengan norma kehidupan masyarakat. Oleh
karena itu, pembaca atau penonton sering berpihak
atau membela tokoh protagonis.
b. Antagonis: tokoh yang menentang atau melawan
tokoh protagonis. Tokoh antagonis berusaha meng-
halang-halangi keinginan tokoh protagonis. Tokoh ini
sering melakukan perbuatan yang dianggap ber-
tentangan dengan norma kehidupan masyarakat. Pem-
baca atau penonton seringkali merasa marah dan benci
terhadap perilaku tokoh antagonis.
c. Deutragonis: tokoh lain yang berada di pihak

57
protagonis. Dalam drama, biasanya ada satu atau dua
tokoh utama (protagonis) yang dibantu oleh tokoh lain
yang ikut terlibat sebagai pendukung cerita.
d. Foil: tokoh lain yang berada di pihak antagonis.
Sebagaimana tokoh Deutragonis, tokoh ini sebagai
pembantu tokoh antagonis yang ikut terlibat dalam
perkembangan cerita.
e. Tritagonis (confidante): tokoh yang dipercaya (berada
di pihak) protagonis dan antagonis. Dalam drama,
biasanya ada satu atau dua tokoh utama (protagonis)
yang dibantu oleh tokoh lain yang ikut terlibat sebagai
pendukung cerita. Demikian pula halnya tokoh anta-
gonis juga sering dibantu oleh tokoh lain dalam
menjalankan perilaku jahatnya.
f. Utility: tokoh pembantu atau pelengkap untuk men-
dukung rangkaian cerita dan kesinambungan dramatik.
Namun demikian kelima jenis penokohan di atas
dapat disederhanakan menjadi tiga peran, yaitu: prota-
gonis, antagonis, dan tritagonis. Tokoh Deutragonis, Foil,
dan Utility dapat dimasukkan ke dalam jenis tokoh Tri-
tagonis. Cara ini lebih mudah dan sederhana untuk
mengidentifikasikan penokohan dalam naskah drama.
Sedangkan berdasarkan ciri-cirinya, penokohan
dalam naskah drama dapat dipahami dari:
a. fisik: mengungkap ciri-ciri fisik karakter;
b. latar sosial: mengungkap segala sisi dari sang karakter,
latar keluarga, pendidikan, budaya, kegemaran, latar
pekerjaan, dan lain sebagainya;
c. psikis: bagaimana cara berpikir tokoh dalam meng-
hadapi persoalan hidup, menyikapi masalah, dan

58
sikapnya terhadap tokoh lain;
d. tingkah laku: memberikan gambaran perilaku karakter
dalam kehidupan
e. ciri dominan: gambaran khusus dari tokoh, misalnya
tokoh tersebut adalah seorang moralis, religius, sosial,
materialis, atau individualis.
Berdasarkan Jenis dan Sifat Karakternya, tokoh
dalam naskah dapat digolongkan ke dalam empat jenis
sebagai berikut.
a. Flat Character: tokoh yang memiliki karakter datar
atau lebih bersifat hitam putih: jahat atau baik, buruk
atau tampan, penakut atau pemberani, dan seterusnya.
b. Round Character: tokoh yang karakteristiknya kaya
dengan pesan-pesan dramatik.
c. Caricatural Character: karakter yang tidak wajar,
satiris, dan cenderung menyindir.
d. Theatrical Character: karakter yang tidak wajar, unik,
dan simbolis.
Cara mengemukakan watak di dalam drama lebih
banyak bersifat tidak langsung, tetapi melalui dialog dan
lakuan. Hal ini berbeda dengan yang terjadi dalam novel,
watak tokoh cenderung disampaikan secara langsung,
melalui pelukisan oleh pengarang. Dalam drama, watak
pelaku dapat diketahui dari perbuatan dan tindakan yang
mereka lakukan, dari reaksi mereka terhadap sesuatu
situasi tertentu terutama situasi-situasi yaang kritis, dari
sikap mereka menghadapi suatu situasi atau peristiwa
atau watak tokoh lain (Brahim,1968:92).
Di samping itu, watak juga terlihat dari dialog
yang diucapkan. Dalam hal ini ada dua cara untuk meng-

59
ungkapkan watak lewat kata-kata (dialog). Yang pertama,
dari kata-kata yang diucapkan sendiri oleh pelaku dalam
percakapannya dengan pelaku lain. Kedua, melalui kata-
kata yang diucapkan pelaku lain mengenai diri pelaku
tertentu (Brahim, 1968:91).
Perhatikan kutipan dialog yang menggambarkan
hal tersebut.

1. Majikan : Abu!
Abu : Hamba, Tuan
Majikan : Bangsat kamu! Kerja sudah
hampir tiga tahun masih saja
kamu melakukan kesalahan
yang sama. Lebih bodoh kamu
daripada kerbau! (Keluari)

2. Majikan : Abu!
Abu : (Diam)
Majikan : Anjing!
Abu : Ya, Tuan.
Majikan : Anjing!
Abu : Ya, Tuan.
Majikan : Anjing!
Abu : Ya, Tuan.
Majikan : Anjing!
Abu : Ya, Tuan.
Abu merangkak
Majikan : Ini pesangonmu! Keluar! Hancur
perusahaan!

60
(Kapai-Kapai karya Arifin C. Noer )

Kedua kutipan di atas mengungkapkan dua status


dan karakter yang berbeda dari dua tokoh yang di-
ceritakan. Tokoh majikan jelas memiliki status sosial lebih
tinggi dari tokoh Abu. Perbedaan status tersebut
menjadikan tokoh majikan lebih berkuasa dari Abu yang
berstatus sosial di bawahnya. Karakternya pun cukup
jelas. Tokoh majikan berkarakter keras, sewenang-
wenang, berkuasa, dan kasar. Sedang Abu berkarakter
terhina dan bodoh. Kutipan di atas cukup berhasil meng-
gambarkan tokoh dan penokohannya.
Sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan di
atas, perwatakan diwujudkan ke dalam kata-kata (dialog).
Penulis akan mempertimbangkan kata, frase, dan kalimat
percakapan yang bagaimana yang mampu mewujudkan
status dan karakter tokoh yang diceritakan. Seorang yang
bodoh atau tidak berpendidikan jelas memiliki ciri khas
bahasa yang berbeda dengan seorang terpelajar. Begitu
juga seorang yang memiliki karakter keras berbeda
dengan tokoh yang berkarakter lembut. Seorang yang
sedang marah, bertanya, memberitahu, menyangkal,
membantah, jelas memiliki susunan bahasa yang berbeda-
beda.

c. Dialog

Dalam naskah drama ada dua macam cakapan,


yaitu dialog dan monolog. Disebut dialog ketika ada dua

61
orang atau lebih tokoh bercakap-cakap. Disebut monolog
ketika seorang tokoh bercakap-cakap dengan dirinya
sendiri. Selanjutnya, monolog dapat dibedakan lagi men-
jadi tiga macam, yaitu: 1) monolog yang membicarakan
hal-hal yang sudah lampau; 2) soliloqui yang membicara-
kan hal-hal yang akan datang; dan 3) aside (sampingan)
untuk menyebut percakapan seorang diri yang ditujukan
kepada penonton (Supartinah & Indratmo,1991). Dialog
dan monolog merupakan bagian penting dalam drama,
karena hampir sebagian besar teks drama didominasi oleh
dialog dan monolog. Itulah yang membedakan teks drama
dengan genre novel dan puisi.
Ciri khas suatu drama adalah naskah atau teks
yang berbentuk cakapan atau dialog. Ragam bahasa dalam
dialog tokoh-tokoh drama adalah bahasa lisan yang
komunikatif, karena dialog itulah yang akan diucapkan di
pentas. Dialog dalam drama mencerminkan kegiatan
pembicaraan sehari-hari. Hal itu bisa dilihat dari pilihan
kata, panjang dan pendek kalimat, dan bentuk kalimat
berupa kalimat langsung, dan panjang pendeknya kalimat
dapat berpengaruh pada irama drama (Waluyo, 2011:21).
Dialog dalam drama juga harus hidup. Artinya,
dialog tersebut harus mewakili kondisi kejiwaan atau
watak tokoh. Perhatikan contoh dialog berikut ini.

KERTO : Bapak tahu orang yang lewat sini


barusan?
DARMO : Banyak orang lewat di sini.
KERTO : Tinggi Besar?

62
DARMO : Orang-orang di sini rata-rata tinggi
besar,
KERTO : Memakai Jaket kulit hitam
DARMO : Orang-orang disini rata-rata pakai
jaket kulit hitam
KERTO : Tapi, orang ini jaketnya bagus.
Nampaknya buatan luar negeri.
DARMO : Sebagain besar orang di sini, jaketnya
bagus, buatan luar negeri.
KERTO : Dia, orangnya itu bawa tas
DARMO : Orang-orang di sini semuanya bawa tas.

LEWAT SESEORANG BERJAKET HITAM DAN MEMBAWA


TAS DI DEPAN MEREKA.

DARMO : Lihat dia, persis dengan yang bapak


maksudkan, kan?
KERTO : Ya. Tapi bukan dia. Saya tahu
bagaimana rupanya orang itu.
DARMO : Bagaimana rupanya?
KERTO : Lha ya sulit kalau diceritakan. Tapi
seandainya saya berhadapan dengan
dia, saya pasti tahu orang itu. Omong-
omong, ini sebenarnya kampung apa
kock orang-orangnya pada sama
semuanya?
DARMO : Bapak ini sebenarnya orang mana?
KERTO : Ya, orang sini saja.
DARMO : Lha kock tidak tahu kampung apa ini?
KERTO : Saya ini jarang ke mana-mana.

63
DARMO : Bapak ini sebenarnya cari siapa?
KERTO : Saya ini habis dimaling orang di
Stasiun. Saya kejar orang itu, larinya ke
sini.
DARMO : Ooo begitu (sambil tersenyum)
KERTO : Maksudnya?
DARMO : Ya hanya “Ooo begitu”
KERTO : Tapi Bapak tadi tampak tersenyum.
Sepertinya Bapak mempunyai maksud
dengan senyum itu.

(Kampung Maling, karya Suhariyadi)

Dialog mesti dibuat dengan memperhatikan siapa


yang berdialog. Status dan karakter seorang tokoh akan
mempengaruhi kualitas dialog yang diucapkan. Perhati-
kan kutipan naskah dialog yang menggambarkan hal
tersebut.
Sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan di
atas, penokohan diwujudkan ke dalam bahasa (dialog).
Penulis akan mempertimbangkan kata, frase, dan kalimat
percakapan yang bagaimana yang mampu mewujudkan
status dan karakter tokoh yang diceritakan. Seorang yang
bodoh atau tidak berpendidikan jelas memiliki ciri khas
bahasa yang berbeda dengan seorang terpelajar. Begitu
juga seorang yang memiliki karakter keras berbeda
dengan tokoh yang berkarakter lembut. Seorang yang
sedang marah, bertanya, memberitahu, menyangkal,
membantah, jelas memiliki susunan bahasa yang berbeda-
beda. Hal-hal itulah yang menjadi perhatian bagi penulis.

64
d. Tipe atau Gaya Naskah

Tipe atau gaya lakon atau naskah akan menentu-


kan bagaimana naskah drama itu ditransfer ke atas
panggung. Meskipun sering kali karena kreativitas, tipe
atau gaya lakon dalam naskah disesuaikan dengan konsep
sutradara. Tetapi dalam konteks pemahaman naskah,
perlu juga dipahami tipe atau gaya naskah yang akan
digarap.
Tipe atau gaya naskah dapat disebut juga dengan
genre. Masing-masing genre akan membawa variasi atau
sub-genre. Paling tidak dapat dikemukakan dua tipe, yaitu:
a. Realis, meputi: sub genrenya naturalis, selective
realism, suggestive realism
b. Simbolis
Tipe atau gaya naskah tersebut berbeda dengan tipe atau
gaya pementasan, yang akan dikemukakan dalam bab-bab
selanjutnya.
Tipe atau gaya naskah drama yang manakah yang
dibuat seorang penulis, terlihat pada unsur-unsur naskah,
seperti: bahasa (dialog), cerita, tokoh, alur, dan lain-lain.
Naskah drama bergaya realis cenderung mengungkapkan
cerita dan dialog lebih dekat dengan kenyataan. Berbeda
dengan naskah drama yang bergaya puitis. Gaya puitis
cenderung mengungkapkan dialog-dialog yang tidak
mungkin dijumapi dalam realitas. Dialog-dialognya
cenderung berbentuk puisi dan pembawaannya di atas
panggung juga cenderung seperti deklamasi. Naskah
drama bertipe simbolis misalkan, cenderung mengguna-
kan perlambang-perlambang yang maknanya secara ter-

65
sirat. Begitu juga penulisan naskah drama musikal
(opera), cenderung dialog-dialognya berupa lagu-lagu
yang hendak dinyanyikan di atas panggung. Oleh karena
itu, penulis mesti memiliki tujuan sehubungan dengan
gaya atau tipe naskah drama. Apakah penulis ingin
menulis drama realis, simbolis, musikal, teaterikalisasi
puisi, atau gaya yang lain. Berikut ini beberapa contoh
kutipan drama dengan beberapa gaya atau tipe yang
berbeda-beda.

Kutipan 1

TIDAK SEPERTI HARI BIASA, KUBURAN DESA


‘GIRILOYO’ YANG TERLETAK DI PERBUKITAN DESA
GIRI GARING MENJADI RAMAI OLEH WARGA DESA
YANG MENANGKAP TANGAN PENCURI MAYAT.
WARGA MENCOBA MENGHAKIMI DAN
MENGHUKUM PENCURI MAYAT DENGAN ANEKA
MACAM PERTANYAAN YANG SESEKALI DISERTAI
PUKULAN, HANTAMAN KE ARAH MUKA DAN
TUBUHNYA.
WARGA 1 : Oh iblis, setan alas, demit
gentayangan. Dasar manusia
tak punya martabat, tega-
teganya mengganggu mayat.
Orang sudah mati kok ya di
ganggu.
WARGA 2 : Ngaku saja mas, kamu mau
mencuri mayat ini tho?
WARGA 3 : Tidak mau ngaku ?, (SAMBIL
MEMUKUL KEPALA PENCURI
MAYAT) nih… rasakan bogem
mentahku.

66
WARGA 2 : Pasti kamu cari pesugihan.
WARGA 1 : Kasihan kan keluarganya, kalau
jenazah yang sudah coba
diistirahatkan, kamu
permainkan seperti itu..!
WARGA 4 : (MENGAYUNKAN SEPOTONG
BAMBU KE TUBUH PENCURI)
Oh, kanibal ! Pemakan Bangkai
PERONDA 1 : Kamu bukan warga sini ya ?
Kamu pendatang ya ? kamu
mau mengganggu ketenangan
warga sini ya ?
PENCURI MAYAT : (HANYA DIAM)
WARGA 5 : Sedari kalau tadi ditanya baik-
baik tidak mau menjawab,
hanya diam, gelang-geleng
kepala. Kurang ajar ! kamu
nantang warga sini ya ?

(SEMAKIN MARAH DAN LANGSUNG MEMUKULI


PENCURI MAYAT. KEMUDIAN DIIKUTI WARGA
LAIN YANG KEMUDIAN BERKEROYOKAN IKUT
MENGHAJARNYA).
PERONDA 1 : Ayo, ngaku saja ! daripada
badanmu aku remuk seperti
peyek kepinyak !
PENCURI MAYAT : (HANYA DIAM, BIAR
BAGAIMANAPUN TETAP PADA
POSISI SALAH, DAN TAK
MUNGKIN MELAWAN WARGA
DESA YANG BANYAK
JUMLAHNYA).
WARGA 5 : Huh ! Gregetan aku. Ditanya
baik-baik nggak mau ngaku,

67
dipukuli juga nggak mau buka
mulut. Ayo kita kubur saja
hidup-hidup biar tahu rasa !
PARA WARGA : (BERSAHUTAN) Ayo. Kita
kubur biar merasakan jadi
orang mati. Aku siapkan galian.
Dikubur saja bersama
kuburannya Lik Rukmini yang
mau dicuri. Ayo, ayo !.Biar tahu
rasa.

“Anjing Anjing Menyerbu Kuburan”


Karya : Puthut Buchori
Adaptasi cerpen karya : Kuntowijoyo

Kutipan 2

BAPAK : Hidup bagai puisi


peristiwa demi peristiwa
adalah kata-kata
keindahan dan kesedihan
didalamnyaadalah makna
sedang tangis dan tawa
bagaimusik yang mengiringinya

PEKERJA : Hidup seperti mimpi


apa yang terjadi
esok dan hari ini
adalah sebuah misteri
apa yang terwujud
dalam harapan dan keinginan
sulit kita pahami

68
BAPAK : Memahami keterbatasan
menyadari ketidakmampuan
adalah pintu gerbang
memasuki mata batin
untuk merasakan indahnya
mengenal karunia Illahi
yang memancar menerangi hati

Beberapa saat setelah istirahat dirasa cukup


menyegarkan badan dan pikiran, mereka
melanjutkan kerjanya. Sesaat berikutnya, beberapa
PEKERJA datang dan ikut bergabung dalam kerja.
Selang beberapa saat kemudian terjadi dialog lagi.
Musik, bloking menyesuaikan.

PEKERJA : Sisa hidup di usia kita


tidak boleh sia-sia
tiap detik bisa berguna
dan ketidakmampuan bisa kita
bina
untuk bekal menghadap-Nya

BAPAK : Usia tua


tidak boleh membunuh kita
dalam berkarya
tidak membelenggu kita dalam
ruang dan waktu
tidak memaksa kita menunggu
dalam bisu
hingga musnah segala nilai diri
dari segala fungsi hidup ini

PEKERJA : Kematian adalah akhir dari


batas ketidakmampuan

69
batas akhir dari segala ilmu
yang terbingkai oleh ruang dan
waktu bukan dari keputusasaan
kaum fakir yang hadir dari
kecelakaan pikir

BAPAK : Bila kecelakaan pikir terjadi


yang membawa kita kehilangan
nilai diri hingga hidup tak
bermanfaat lagi
adalah sebuah kematian
yang sangat memalukan

“Eutanasia” karya R. W. Adyaksa

Kutipan 3

Creon : Oedipus, kau menuduhku berkhianat


dan bersekongkol dengan Theresias
untuk memberikan ramalan palsu.
Dan kau menuduhku tanpa
membiarkan aku berbicara.
Oedipus : Apa? Mendengarkan bahwa kau
bukan penjahat?
Creon : Aku memang bukan penjahat.
Oedipus : Aku punya bukti-buktinya.
Creon : Jelaskan kepadaku.
Oedipus : Kau yang mendesakku untuk
memanggil peramal itu. Saat dia di
sini dia menuduhku membunuh Laius,
tuduhan yang telah kalian sepakati
bersama.

70
Creon : Kalau itu yang dia katakana, aku
hanya mendengar darimu. Lagipula
untuk apa aku berbuat demikian. Itu
tidak benar, dan gila bila aku tidak
setia. Pikirkanlah. Mana yang harus
dipilih: memerintah dalam ketakutan
ataukah menikmati tidur nyenyak
sambil tetap memiliki kekuasaan dan
hak-hak istimewa seorang penguasa?
Aku akan selalu memilih yang kedua.
Mengapa harus aku sia-siakan hidup
semacam itu demi sesuatu yang lebih
tinggi namun menjadi jahat dalam
meraihnya? Kalau tidak percaya
tanyalah pada Orakel. Kalau kau
mendengar aku berkomplot
melawanmu, bunuhlah aku. Tidak adil
kau menuduh tanpa bukti yang teruji.
Kesedihan akan menimpa orang yang
mendorong ke samping sahabat-
sahabatnya yang setia.
Oedipus : aku tidak percaya ucapanmu. Hatimu
busuk sampai ke jantungmu.
Creon : Kau menuduhku dengan tidak benar
dan kau tak akan bisa membunuhku
sampai kau membuktikan kebenaran
tuduhanmu.
Oedipus : Kau berani mendikte apa yang harus
kulakukan? Kau yang melakukan
pengkhianatan maka kau harus
patuh.
Jocasta : Wahai! Mengapa kalian bertengkar
saat bencana menimpa negeri ini?
Tenangkanlah amarah kalianberdua.

71
Pergilah Creon sebelum amarahmu
semakin meluap.
Creon : Saudariku, Suamimu menghendaki
kematianku!
Oedipus : Sebab ia tertangkap basah
berkomplot menjatuhkan aku dari
singgasana.

“Oedipus Dan Jocasta” Karya: Sopokles,

Kutipan 4

Kakek : Sekarang jkau nyanyi.


Nenek menggeleng sambil tersenyum manja.
Kakek : Seperti dulu.
Nenek menggeleng sambil tersenyum manja.
Kakek : Nyanyi seperti dulu.
Nenek : Malu
Kakek : Sejak dulu kau selalu begitu.
Nenek : Habis kaupun selalu mengejek setiap
kali saya menyanyi.
Kakek : Sekarang tidak, sejak sekarang saya
tidak akan pernah mengejek kau lagi.
Nenek : Saya tidak mau menyanyi.
Kakek : Kapanpun?
Nenek : Kapanpun.
Kakek : Juga untuk saya.
Nenek : Juga untuk kau.
Kakek : Sama sekali?
Nenek : Sama sekali.
Kakek : Kau kejam. Saya sangat sedih. Saya
mati tanpa lebih dulu mendengar kau
menyanyi.

72
Nenek : Sayang, kenapa kau berfikir kesana?
Itu sangat tidak baik, lagi tidak ada
gunanya.Sayang, berhenti kau berfikir
tentang hal itu.
Kakek : Mati saya tidak bahagia karena kau
tidak maumenyanyi. Ini memang
salah saya. Tetapi kalau ejak dulu kau
cukup mengerti bahwa saya memang
sangat memainkan kau, tentu kau
bisa memaafkan segala macam
ejekan-ejekan saya.Tuhan, saya kira
saya akan menghembuskan nafas
saya yang terakhir tatkala kau sedang
menyanyikan sebuah lagu ditelinga
saya.
Nenek : Sayang saya mohon berhentilah kau
berfikir mengenai hal itu. Demi
segala galanya berhentilah.
Tersenyumlah lagi seperti biasanya.
Kakek : Saya akan tersenyum kalau kau mau
mengucapkan janji.
..............

“Pada Suatu Hari” karya Arifin C. Noer

Keempat kutipan drama dari penulis yang berbeda


di atas, memiliki perbedaan gaya masing-masing. Per-
bedaan tersebut terlihat pada ragam bahasa yang di-
gunakan. Terdapat drama yang cendrung realis dengan
warna kejawa-jawaan, drama puitik, dan drama yang sarat
dengan romantik. Pembaca dapat menemukan ragam
tersebut jika mencermati kutipan-kutipan di atas. Penulis-

73
nya sadar betul tipe atau gaya yang bagaimana drama
yang ditulisnya itu. Masih banyak diketemukan gaya dan
tipe yang berbeda-beda dari drama yang ada dalam
khazanah kesusasteraan Indonesia. Namun demikian, dari
keanekaragam tipe atau gaya tersebut dapat dikelompok-
kan ke dalam dua kelompok besar, yaitu tipe atau gaya
realis dan non-realis.

d. Seting atau Latar

Latar atau seting yaitu tempat, hubungan waktu


dan lingkungan sosial tempat terjadinya peristiwa yang
diceritakan. Latar atau setting dapat menjadi pijakan agar
cerita dapat hadir secara konkrit dan jelas. Latar dapat
membantu pembaca atau penonton mengenal dan me-
mahami di mana dan kapan peristiwa dalam cerita itu
terjadi (Nurgiyantoro, 2001).
Dalam naskah drama, latar acapkali tidak di-
ungkapkan secara eksplisit atau tersurat. Melalui dialok
dan lakuan tokoh, bisa ditafsirkan di mana dan kapan
peristiwa yang diceritakan itu berlangsung. Keterkaitan
antara dialog dan latar itulah yang membantu pembaca
untuk dapat membayangkan tempat kejadian secara
nyata. Bisa juga terjadi, penulis sengaja peristiwa yang
diceritakan itu terjadi di mana dan kapan saja, tergantung
bagaimana pembaca menafsirkan atau menentukannya.
Perhatikan contoh berikut.

74
PANGGUNG DIBUKA DENGAN SEBUAH SUASANA
KEWASPADAAN. DALAM SEBUAH PERMAINAN KUCING-
KUCINGAN, KEWASPADAAN MENJADI KUNCI
KEMENANGAN. KERTO, SEORANG PEDAGANG KAKI LIMA,
SEDANG MENGALAMI SUASANA ITU. DI BELAKANGNYA,
SEBUAH BONEKA PEDAGANG YANG SAMA SEDANG
TERPAKU DENGAN JUALANNYA.

KERTO : Memang kalau dipikir, hari-hari kita


kock layaknya main kucing-kucingan.
Bagaimana tidak. Diburu, sembunyi,
kalau aman datang lagi. Begitu terus,
hanya untuk cari makan. Di kota besar
seperti ini, apa ya mampu punya tempat
berjualan sendiri, kalau tidak dompleng
di kaki lima. Tapi zaman sekarang, ya
harus mau main kucing-kucingan
dengan mereka. Mereka menganggap
kita ini para pengganggu ketertiban,
keindahan, keamanan, dan ke-ke yang
lain. Jadi ya mesti harus dienyahkan,
disingkirkan, dibersihkan, dan di-di
yang lain. Dengan begitu, kita harus
ndablek. Kalau sekarang saya tetap
berjualan di sini, ya ini bagian dari
kendablekan itu.

Apa? Ha? Kau takut? Kau berubah


pikiran? Atau Kau sudah mendapatkan
yang kaucari lantas tidak mau tahu apa

75
yang telah kita sepakati? Begitu
individual Kau sehingga tidak lagi
memperhatikan sekelilingmu. Ah,
ternyata Kau tidak berbeda dengan
mereka. Sebelum memperoleh apa yang
mereka impikan, mereka menjual seribu
janji. Tapi setelah mendapatkan, janji-
janji itu hanyalah omong kosong.
Mereka layaknya memakai topeng, yang
kini telah mereka lepaskan karena
perutnya telah begitu penuh dengan
kerakusannya. Apakah Kau bagian dari
mereka?

IRAMA TARI TOPENG BERMULA. KERTO MEMASANG


TOPENGNYA. GERAK GEMULAI MENGHANYUTKAN
PIKIRAN DAN PERASAAN KE ATAS LANGIT.. MENGHARU
BIRU HENDAK MEMBURU MIMPI-MIMPI. BUKANKAH
CUMA MIMPI YANG BISA DIRAIH. DAN TARI TOPENG
KERTO SEMAKIN MEMUNCAK. LANTAS HILANG DALAM
KESUNYIAN. DAN KERTO KEMBALI DALAM
PENANTIANNYA.

Monolog Kerto karya Suhariyadi

Kutipan naskah drama monolog di atas, penulis


tidak secara terang-terangan mengungkapkan latar atau
seting tempat dan waktu terjadinya peristiwa/adegan.
Namun pembaca/pekerja teater dapat menafsirkannya

76
melalui dialog yang diucapkan tokohnya. Seorang Kerto,
pelaku dalam drama tersebut, adalah pedagang kaki lima
yang sedang menjajakan dagangannya. Tentu realitas
tokoh tersebut menyarankan dimana dan kapan adegan
tersebut terjadi.
Di samping itu, lazim juga dalam teks drama, latar
atau seting tempat dan waktu diungkapkan melalui notasi
di awal teks, sebagaimana contoh kutipan berikut.

PANGGUNG MERUPAKAN RUANGAN RUMAH MAKAN,


DIALATI OLEH TIGA STEL KURSI UNTUK TAMU, LEMARI
TEMPAT MINUMAN, RAK KACA TEMPAT KUE-KUE, MEJA
TULIS BESERTA TELEPON, RADIO DAN LEMARI ES. PINTU
KE DALAM ADA DI BELAKANG DAN PINTU KELUAR ADA DI
DEPAN SEBELAH KIRI.

ADEGAN 1

KARNAEN : (duduk menghadap meja tulis,


asyik menulis).
ISKANDAR : (masuk dengan rambut kusut dan
langkah gontai, memandang ke
arah pintu ke belakang).
KARNAEN : (berhenti menulis). Ada keperluan
apa, saudara?
ISKANDAR : Tidak! (pergi keluar).
KARNAEN : (heran memandang, kemudian
melanjutkan menulis).
Bunga Rumah Makan karya Utuy T. Sontani

77
Kutipan naskah drama Bunga Rumah Makan karya
Utuy T. Sontani di atas secara gamblang menggambarkan
seting di dalam notasi awal teks. Sebuah rumah makan
dengan berbagai properti atau perlengkapan tertata di
dalamnya. Bahkan letak pintu masuk dan keluar pun
dijelaskan di dalamnya. Hanya latar waktu tidak dijelaskan
di dalam notasi tersebut. Pembaca harus menemukannya
dalam dialog yang diucapkan oleh tokoh-tokohnya atau di
dalam notas di tengah atau di akhir teks.
Demikianlah unsur latar atau seting dalam teks
drama boleh ada, boleh tidak; boleh eksplisit, boleh tidak,
tergantung penulisnya. Tempatnya bisa di dalam notasi
atau dialog tokoh, yang secara gamblang dapat ditemukan.
Tetapi tak jarang, seorang pembaca/pekerja teks mesti
menafsirkannya dari balik peristiwa yang diceritakan.
Boleh jadi, penulis drama tidak memberikan petunjuk apa-
apa. Tujuannya, peristiwa yang diungkapkan naskah
drama itu bisa terjadi di mana saja dan kapan saja.

e. Tema

Tema merupakan pokok pikiran dalam sebuah


keseluruhan wacana. Dalam sastra, tema merupakan
makna yang dikandung dalam sebuah cerita. Namun,
dalam sebuah cerita terdapat banyak sub-sub tema yang
menjadi bagian dari tema umum (besar). Sebagai contoh,
pada novel Salah Asuhan, terdapat beberapa subtema,
seperti (1) masalah kawin paksa, (2) masalah penolakan
”payung” (kebangsaan) sendiri dan menganggap menjadi

78
warga asing lebih memiliki prestesi, dan (4) kesalahan
mendidik yang berakibat fatal. Dari keempat tema
tersebut dilakukan penelusuran kembali berdasarkan
kriteria makna utama secara keseluruhan. Dengan
demikian, tema dapat dipandang sebagai dasar cerita,
gagasan dasar umum sebuah novel (Nurgiyantoro, 2000:
67).
Tema merupakan rumusan intisari cerita sebagai
landasan idiil dalam menentukan arah tujuan cerita
(Harymawan, 1988: 24). Sementara itu, amanat pada
dasarnya merupakan pesan yang ingin disampaikan
pengarang kepada pembaca atau penonton. Dalam hal ini,
tema dan amanat dapat ditetntukan setelah kita me-
mahami keseluruhan unsur drama.
Dalam upaya menemukan dan menafsirkan tema,
terdapat sejumlah kriteria, yang sifatnya tentatif, yang
dapat dipakai sebagai pegangan. Pertama, penafsiran itu
hendaknya mempertimbangkan tiap detil cerita yang
tampak ditonjolkan (foregrounded). Kriteria ini merupa-
kan kriteria utama. Jadi, tugas pertama yang harus
dilakukan oleh pembaca dalam rangka mengenali tema
ialah menentukan atau menemukan pengedepanan atau
tonjolan itu. Melalui detil-detil yang ditonjolkan itu pada
umumnya sesuatu yang ingin disampaikan pegarang
diekspresikan. Kedua, penafsiran tema hendaknya tidak
bersifat bertentangan dengan tiap detil ceritera. Drama,
sebagai salah satu jenis kaarya sastra, pada hakikatnya
merupakan sebuah sarana yang dipakai pengarang untuk
mengungkapkan keyakinan, kebenaran, gagasan, sikap,
dan pandangan hidupnya. Ketiga, penafsiran tema harus-

79
lah mendasarkan diri pada bukti-bukti yang secara
langsung ada atau yang diisyaratkan dalam ceritera.
Penunjukkan tema sebuah ceritera haruslah dapat di-
buktikan melalui data-data atau detil-detil ceritera yang
terdapat dalam karya itu secara keseluruhan, baik yang
berupa bukti langsung maupun yang tidak langsung. Yang
pertama, misalnya, berupa kata-kata yang ditemukan di
dalam karya, sedangkan yang kedua berupa penafsiran
terhadap kata-kata itu. Dalam sebuah drama kadang-
kadang dapat ditemui adanya data-data tertentu, misalnya
yang berupa kata-kata, kalimat, alinea, atau dialog-dialog
yang dapat dipandang sebagai bentuk yang mencerminkan
tema pokok karya yang bersangkutan (Sayuti, 2003).
Tema memiliki peranan yang pertama dan utama
dalan penulisan naskah drama. Tema itulah menjadi dasar
tentang apa yang hendak disampaikan penulis melalui
teks drama yang ditulisnya itu. Sekaligus, tema menjadi
tempat pesan dan amanat yang hendak disampaikan
penulis kepada pembaca. Peristiwa yang hendak di-
sampaikan bersumber dari tema. Tanpa tema naskah
drama akan semrawut, tak tertata, dan berbicara banyak
hal yang satu sama lain tidak menyambung. Tema juga
akan mengikat semua unsur drama dan elemen pe-
mentasannya.

****

80
BAB 4
PENULISAN TEKS DRAMA
IDE, TREATMENT, DAN PENGEMBANGAN

1
Langkah Menulis Teks Drama

Drama ditulis untuk tujuan dipentaskan di atas


panggung dalam pertunjukan teater. Oleh karena itu,
drama berbentuk dialog, yang natinya disampaikan aktor
di atas panggung. Tetapi bukan berarti drama hanya
semata-mata untuk sebuah pementasan. Drama juga
memiliki tujuan untuk dibaca, sebagaimana puisi, cerpen,
novel, dan roman.
Hakikat drama adalah konflik. Konflik tentang se-
orang tokoh yang mengalami problematika hidup. Per-
jalanan hidup seorang manusia yang mengalami himpitan
dan tekanan sehinggan manuntutnya untuk menyelesai-
kan problema tersebut. Himpitan dan tekanan itulah
menimbulkan konflik, baik fisik maupun psikologis, yang
dialami tokoh. Pada tataran inilah drama dan cerpen
memiliki kesamaan.
Dalam buku ini akan dikemukakan teknik menulis
naskah drama secara sederhana dan mudah, melalui

81
jalinan antara tahap penentuan ide, treatment, dan pe-
ngembangannya, menjadi sebuah naskah drama. Namun
demikian, teknik penulisan seperti ini dilakukan oleh para
penulis pemula agar tidak terlalu dijejali hal-hal yang
membebani mereka. Jika cara ini telah berhasil dilakukan,
seyogyanya juga memperhatikan hal-hal yang lebih detail
dan kompleks lagi tentang penulisan naskah drama.
Banyak buku yang bisa dijadikan referensi untuk itu.

a. Ide Dasar Penulisan Drama

Sebagaimana cerpen, drama ditulis berdasarkan


ide penulisan atau tema. Tema merupakan pokok pikiran
dalam sebuah keseluruhan wacana. Dalam sastra, tema
merupakan makna yang dikandung dalam sebuah cerita.
Sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu, ide atau
tema penulisan berbentuk sebuah premis; kalimat per-
nyataan yang mengandung problema. Problema tersebut
berupa intrik kehidupan yang dijalani tokoh. Pada akhir-
nya, problema itu menimbulkan konflik.
Premis merupakan pemikiran, gagasan, atau ide
yang melandasi seorang penulis menyusun drama. Premis
bisa disebut dengan gagasan dasar drama yang akan
menuntun arah aktor dari awal sampai akhir. Beberapa
ahli mengatakan bahwa premis disebut sebagai: tema, ide
dasar, tesis, tujuan, ide pokok, subjek, dll. Meskipun
begitu, semua istilah tersebut pada dasarnya sama, yaitu
ide dasar yang menjadi landasan dalam menyusun naskah
drama.

82
Premis itulah yang pertama kali harus dipahami
penulis drama jika ingin. Pertanyaan yang mesti diajukan
adalah, “Ide atau gagasan apakah yang ingin dikemukakan
penulis melalui naskah tersebut?” Jawaban terhadap
pertanyaan tersebut akan juga memberikan landasan
pemikiran bagi pekerja teater nantinya dalam menyuguh-
kan naskah tersebut di atas panggung.
Cerita dalam naskah lakon hanyalah sebuah
bahasa simbol yang maknanya mengarah pada premis
tersebut. Bahasa panggung juga sebuah simbol yang
bermakna pada premis tersebut. Oleh karena itu, bahasa
panggung yang berupa dialog, seting, idiom, akting,
artistik, dan sebagainya, yang dihadirkan di atas panggung
akan difokuskan pada pengungkapan premis tersebut.
Oleh karena itu, awalilah penulisan drama dengan
membuat sebuah premis. Bagaimanakah premis yang
layak untuk sebuah penulisan naskah drama itu? Ada tigal
yang harus diperhatikan untuk membuat premis,
sebagaimana berikut ini.
1) Mengandung konflik
2) Menarik dan penuh intrik kehidupan
3) Bermanfaat untuk pencerahan bagi pembaca/pe-
nonton
Konflik merupakan ketegangan yang disebabkan
oleh problema hidup yang menghimpit dan mengungkung
tokoh utama. Ketegangan demi ketegangan yang dialami
tokoh itulah yang kemudian menimbulkan kekuatan
dramatik saat drama dipentaskan di atas panggung.
Konflik semacam itu dapat diwujudkan apabila terdapat

83
intrik kehidupan yang kompleks dan rumit yang melanda
tokoh utama.
Sebutlah manusia hero. Naskah drama ditulis
untuk mengungkapkan sosok manusia hero. Naskah
drama mengungkapkan persoalan hidup manusia dalam
hubungan sarwa (hubungan antara manusia dengan
manusia, alam semesta, dan Tuhan). Hubungan sarwa
tersebut selalu melahirkan problema yang menuntut
manusia untuk menyelesaikannya. Akhir dari persoalan
hidup yang diungkapkan dalam naskah drama itu akan
selalu menuju pada keharmonisan atau ketidak-
harmonisan hubungan. Akhir harmonis menjadi tuntunan
positif bagaimana seyogyanya manusia mengambil sikap
dalam menyelesaikan persoalan yang menimpanya. Akhir
tidak harmonis menjadi tuntunan negatif, seharusnya
manusia tidak mengambil sikap tertentu agar persoalan
hidup yang menimpanya tidak berakhir secara tragis dan
menyedihkan. Keanekaragaman gaya penceritaan dalam
karya sastra memiliki tujuan yang sama, bagaimana se-
harusnya bersikap selayaknya untuk menyelesaikan
persoalan hidup.
Manusia pada dasarnya adalah seorang Hero. Itu-
lah yang sesungguhnya ingin diungkapkan penulis melalui
karya dramanya. Hidup adalah sebuah perjuangan.
Manusia hidup dengan begitu mesti mengalami dan
melakukan sebuah perjuangan. Perjuangan melawan
keterbatasan; perjuangan melawan kejahatan; perjuangan
melawan nafsu; dan perjuangan melawan persoalan-
persoalan yang muncul dalam perjalanan hidup dan
kehidupan manusia. Dalam hukum moral, Hegel meng-

84
gambarkan sebuah dialektika; sebuah sistesa dari
internalisasi tesa dan antitesa. Keharmonisan pada dasar-
nya tercipta dari keterpaduan suatu hal dengan hal lain.
Dalam pemikiran ini, perjuangan manusia sebagai Hero
adalah perjuangan untuk menyelesaikan persoalan me-
lalui hubungan antara dua hal yang berbeda. Keberhasilan
perjuangan itu tergantung pada bagaimana manusia
mampu memadukan keduanya secara harmonis. Naskah
drama mengungkap manusia sebagai hero dalam misinya
untuk mengharmoniskan dirinya dan lingkungannya.
Heroisme manusia dalam naskah drama bukannya
tanpa intrik. Ada sumber yang melahirkan persoalan yang
dihadapi manusia. Sumber persoalan itu dapat berasal
dari dirinya sendiri, karena manusia memiliki nafsu,
ambisi, keinginan, harapan, cita-cita, kebutuhan, dan
sebagainya. Sumber persoalan dapat juga berasal dari
orang lain, karena faktor yang sama. Sumber persoalan
tersebut juga bisa berasal dari sebuah kolektivitas, yaitu
masyarakat dan sistem sosiokulturalnya. Sumber dirinya
sendiri, orang lain, atau masyarakat, merupakan wujud
dari sifat dinamis manusia. Semuanya serba berubah;
semuanya serba berkembang. Tak ada yang tetap, kecuali
perubahan dan perkembangan itu sendiri. Persoalan demi
persoalan selalu muncul. Satu terselesaikan, yang lain
akan muncul. Beraneka ragam kualitas dan bentuknya.
Manusia harus menyadarinya. Lantas, semua itu menuntut
manusia menyikapinya dan menyelesaikan agar harmoni-
sasi selalu tercipta.
Persoalan yang menuntut manusia Hero dalam
drama merupakan bola salju. Ia akan berjalan semakin

85
besar; semakin menekan psikologis manusia hero ter-
sebut. Inilah sebuah intrik. Di sinilah konflik yang
melahirkan suspense (baca: ketegangan) dalam cerita
sastra tercipta. Di situ pula daya tarik secara artistik dan
estetis tercipta dalam karya sastra. Pembaca akan semakin
tenggelam dan terlibat dalam intrik manusia Hero sebagai
tokoh utama yang diceritakan. Kedalaman intrik itu
tergantung pada kedalaman pimikiran, penghayatan,
perenungan, dan pandangan hidup pengarangnya. Di
samping itu, kedalaman intrik tersebut juga tergantung
pada keluasan wawasan pengarang dalam memandang
persoalan hidup yang diceritakan. Dalam kualitas ke-
dalaman intrik itu pula akan ditemukan suatu sikap dan
ideologi pengarangnya. Keyakinan, kepercayaan, pandang-
an hidup terhadap suatu kebenaran, menjadi sebuah
ideologi yang tersamarkan dalam karya sastra. Manusia
hero yang diceritakan, akan digambarkan berdasarkan
keyakinan, kepercayaan, pandangan hidup tertentu.
Analisis kritis terhadap naskah drama akan sampai
kepada kedalaman itu.
Pemahaman tentang manusia hero sebagai obyek
penciptaan naskah drama, sesungguhnya sudah meng-
arahkan pada penentuan ide penulisan. Demikian juga
dengan pembahasan tentang konflik sebagai titik ke-
menarikan naskah drama, telah mengarahkan pada
bagaimana menciptakan problema hidup sebagai topik
cerita. Kedua pembahasan tersebut mengarah pada se-
orang tokoh yang mengalami problema hidup dan konflik
yang ditimbulkannya. Pada bagian ini akan dibahas

86
dengan meletakkannya pada konteks penciptaan dan
pemilihan ide penulisan.
Bagaimanakah menciptakan ide penulisan se-
macam itu? Atau tepatnya, bagaimana menemukan ide
penulisan semacam itu? Sebagaimana dalam realitas,
problema hidup manusia bisa besar dan rumit atau
sebaliknya, kecil dan tidak banyak menguras emosi dan
pikiran untuk menyelesaikannya. Problema yang besar
lebih rumit, kompleks, dan memunculkan konflik yang
besar pula. Problema semacam itu, tentunya membutuh-
kan manusia hero sebagai sosok yang besar dan menarik.
Problema yang dihadapi sosok manusia hero semacam itu,
jelas memerlukan pemikiran dan penyikapan yang besar
pula dari pengarangnya. Pemikiran dan penyikapan
pengarang akan berpijak pada apa yang diyakini pe-
ngarang sebagai suatu kebenaran. Dengan begitu, manusia
hero akan dapat menyelesaikan problema hidup yang
dihadapinya itu.
Sebaliknya, problema yang kecil atau sederhana
akan menciptakan manusia hero yang sederhana pula.
Konflik dan intrik hidup yang dihadapi tak terlalu rumit,
kompleks, dan biasanya tak begitu menarik perhatian
pembacanya. Pengarangnya pun tak perlu menguras pe-
mikiran dan penyikapan yang besar dan dalam. Karya
sastra semacam ini dapat menjadi awalan bagi penulis
pemula yang ingin berkecimpung di jagad penulisan karya
sastra. Karya-karya para remaja misalkan, cenderung
berkutat pada persoalan cinta yang biasa terjadi di dunia
sekitarnya. Bahkan penyelesaian problema cinta acap kali
lazim dijumpai dalam kehidupan. Kemenarikan karya

87
sastra remaja ini terletak pada kedekatan tematis dengan
sasaran pembaca yang hendak ditembak. Dan dengan
sedikit intrik hidup dunia remaja yang berbunga-bunga
dan menuntut suatu kebebasan, sebagaimana sifat usia
remaja, cerita mereka akan mengasyikan bagi pembaca-
nya, yang juga remaja.
Problema hidup yang besar --dengan sendirinya
menciptakan manusia hero dan menuntut pemikiran yang
besar pula-- membutuhkan berbagai sumber inspirasi.
Realitas masyarakat jelas menjadi sumber ide yang sangat
kaya untuk digali. Tetapi tidak cukup, pengarang mesti
menggali juga dari sumber-sumber lain, seperti: buku,
koran, majalah, TV, internet, biografi, sejarah, dan se-
bagainya. Di sinilah seorang pengarang dituntut memiliki
minat baca, suka mengamati lingkungan, dan kecerdasan.
Tanpa itu, tidak mungkin tercipta karya sastra beride
besar.
Sekali lagi, ide penulisan sesungguhnya sebuah
premis. Premis merupakan kalimat pernyataan yang
mengandung problema dan konflik tentang kehidupan
manusia. Belajar dari karya-karya para sastrawan yang
banyak dibicarakan para kritikus dan ahli sastra, dapat
dipahami betapa karya-karya itu menjadi menarik untuk
diperbincangkan lantaran mengungkapkan sebuah premis
yang kompleks dan mengandung problematika hidup yang
rumit. Betapa karya-karya sastra tersebut mengangkat
problema kehidupan penuh intrik yang dialami manusia
hero sebagai tokohnya.
Sebagai contoh, berikut ini beberapa premis yang
menjadi ide karya-karya sastra yang telah banyak

88
menguras perhatian kritikus sastra, ahli sastra, pengamat
sastra, akademis sastra, dan peneliti sastra.
1) Kemiskinan terjadi lantaran kebodohan, kemalasan,
jauh dari pedoman hidup, dan penindasan
2) Negeri ini layaknya sebuah rumah sakit. Tinggal kita
menjadi dokternya atau pasiennya
3) Masa depan adalah pilihan hari ini. Apa yang kita
seriusi hari ini, itulah masa depan itu.
4) Manusia modern cenderung mengalami schizofrenia di
tengah-tengah kehidupan serba gemerlap oleh citra
zaman modern sebagai pengaruh masuknya budaya
luar.
5) Tradisi dan adat pernikahan pada masyarakat X yang
cenderung berpihak pada laki-laki, merupakan bentuk
penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan.
6) Penindasan dan ketidakadilan terhadap perempuan
sesungguhnya bersumber pada nilai-nilai tradisi dan
budaya masa lalu yang masih dipertahankan
masyarakat.
Premis-premis di atas banyak ditemukan dalam
karya-karya sastra yang ditulis sastrawan yang tergolong
mapan dalam jagad kesustraan Indonesia modern. Arifin
C, Noer, Pramudya Ananta Toer, Oka Rusmini, N.
Riantiarno, Nukila Amal, dan beberapa sastrawan lainnya,
telah memberikan pencerahan dan pemikiran yang cerdas
bagi pembacanya. Melalui premis-premis tersebut, ide
penulisan mengandung problema kehidupan penuh intrik,
kompleks, dan rumit. Sudah tentu akan menciptakan
manusia hero yang besar. Melalui premis-premis itu juga

89
menuntut sikap dan pemikiran yang besar pula dari
pengarangnya.
Premis-premis di atas berasal dari upaya pe-
ngarang secara sungguh-sungguh merenungkan, meng-
hayati, dan memikirkan tentang hakikat kehidupan
manusia. Premis-premis di atas jelas membutuhkan
sumber ide yang kaya dan beragam. Pengalaman hidup
dan konteks realitas masyarakat, jelas menjadi sumber
utamanya. Hal itu didorong oleh kesadaran dan tanggung
jawab pengarang untuk memberikan penilaian, pendidik-
an, kritik, dan alternatif bagi masyarakatnya. Betapapun
imajinatif dan fiktifnya sebuah karya sastra, ia selalu
merefleksikan apa yang ada di dalam realitas. Karena
itulah karya sastra memiliki manfaat bagi perkembangan
dan kemajuan masyarakat ke depan. Kalau Horatius
mengatakan dengan istilah dulce et utile, maka Aristoteles
mengatakan Catharsis; pencerahan dan penyucian nafsu-
nafsu manusia.
Premis-premis di atas juga membutuhkan sumber
dari khazanah literatur yang ada. Wacana-wacana
pemikiran dari buku, media massa, dan trend pemikiran
zaman, menjadi sumber diciptakannya ide penulisan karya
sastra itu. Itulah kenapa seorang pengarang dituntut
memiliki minat baca yang tinggi. Menulis dan membaca
merupakan pasangan yang tak mungkin dilepaskan. Minat
baca yang tinggi menjadikan seseorang memiliki kekayaan
pengetahuan yang tinggi pula. Kekayaan pengetahuan itu
pada gilirannya akan dapat meningkatkan kualitas tematis
karya sastra. Logika dan kebenaran tetap menjadi dasar
bagi diciptakannya premis-premis sebagai ide penulisan.

90
Lantas bagaimanakah membangun premis yang
layak untuk sebuah penulisan naskah drama? Ada be-
berapa syarat yang harus dipenuhi sebagaimana berikut
ini.
1. Mengandung konflik yang kompleks dan besar
2. Menarik dan penuh intrik kehidupan
3. Bermanfaat untuk pencerahan bagi pembaca
4. Didasarkan atas logika dan kebenaran
Keempat syarat di atas dapat dipahami dengan kembali
kepada pembahasan dalam bab-bab terdahulu.
Kalau mencermati salah satu contoh karya sastra
Indonesia berjudul Kapa-Kapai karya Arifin C. Noer, dapat
menjadi pelajaran bagaimana keempat syarat tersebut
terpenuhi oleh naskah drama tersebut. Dapat ditarik
sebuah premis dari naskah drama tersebut, yaitu:
“Kemiskinan terjadi lantaran kebodohan, kemalasan, jauh
dari pedoman hidup, penindasan, dan sistem sosiokultural
masyarakatnya”. Premis di atas menjadi ide penulisan
Arifin C. Noer sebagai pengarangnya. Sosok Abu, sebagai
tokoh yang diceritakan, merupakan seorang yang meng-
alami kemiskinan lantaran kebodohan dan kemalasannya,
kering akan tuntunan agama, penindasan kelompok
masyarakat yang berstatus sosial atas, dan adanya mitos-
mitos masyarakat yang tidak berpihak pada seorang yang
berstatus sosial seperti dirinya.
Dari manakah penulis memperoleh premis se-
macam itu? Terdapat beberap cara yang bisa dilakukan
untuk itu.
1. Membaca
2. Mendengar

91
3. Melihat
4. Memikirkan
Sebagaimana yang sering dikatakan orang, bahwa
menulis dan membaca merupakan pasangan yang tak bisa
dilepaskan. Menulis akan memperoleh kekayaan isinya
apabila penulis memiliki minat baca yang tinggi. Hasil
proses membaca itulah yang kemudian menjadi bahan
pembuatan premis. Berbagai sumber bacaan tersedia dan
bisa dimanfaatkan secara maksimal oleh penulis. Buku,
majalah, koran, dan internet, merupakan sumber bacaan
yang tak pernah akan habis-habisnya untuk digali.
Seorang penulis juga mesti suka mengamati
lingkungan sekitarnya. Masyarakat juga merupakan
sumber penulisan yang kaya dan tak akan pernah habis
untuk digali sebagai bahan pembuatan premis. Penulis
mesti mendengar dan melihat apa yang terjadi di tengah
arus kehidupan masyarakat. Penulis juga mesti men-
dengar dan melihat bagaimana polah tingkah manusia
dalam menjalani hidup sehari-hari.
Dan semua itu mesti dipikirkan, direnungkan, di-
hayati, disikapi, dan diimajinasikan penulis. Ada sebuah
makna dibalik semua hal yang telah dibaca, didengar, dan
dilihat penulis. Makna itulah yang mengarahkan penulis
kepada sebuah premis. Dengan keyakinan dan pemikiran
terhadap suatu makna hidup, premis yang menjadi ide
penulisan akan memberikan pencerahan dan pendidikan
yang bermanfaat bagi pembaca/penonton. Inilah sebuah
proses awal penulisan karya yang membutuhkan ke-
seriusan, keyakinan, dan sikap tentang suatu kebenaran.

92
b. Penyusunan Treatment

Apakah langkah selanjutnya setelah ide penulisan


dibuat? Susunlah sebuah treatment. Treatment adalah
sebuah kerangka penulisan yang nantinya akan di-
kembangkan menjadi sebuah naskah drama. Treatment
untuk penulisan naskah drama berbeda dengan cerpen,
novel, atau roman. Berikut ini salah satu contoh treatmen
yang disusun oleh penulis dari naskah drama karya Arifin
C. Noer berjudul Kapai-Kapai.

1. PREMIS :
kemiskinan terjadi lantaran kebodohan, ke-
malasan, jauh dari pedoman hidup, dan pe-
nindasan
2. TOKOH :
a. Abu
1) Status : buruh pabrik, 28 th.,
miskin,
kelas sosial bawah
2) Karakter : malas, bodoh, jauh dari
agama, pemimpi,
tertindas
b. Iyem
1) Status : miskin, kelas sosial
bawah, bodoh
2) Karakter : bodoh, jauh dari agama,
keras, penuntut
c. Emak

93
1) Status : pendongeng, tokoh tak
realis (surealis)
2) Karakter : perayu, pintar,
berkuasa
d. Kelam
1) Status : tokoh non-realis
(surealis)
2) Karakter : kejam, keras

e. Kakek
1) Status : orang tuan, 60 th.,
tokoh agama
2) Karakter : bijaksana, penuh
perhatian

3. ADEGAN
a. Abu sedang mendengarkan dongeng emak
tentang pangeran rupawan
b. Hinaan majikan terhadap abu
c. Abu bermimpi menjadi pangeran
d. Iyem marah-marah melihat abu hanya tidur;
bermalas-malasan
e. Dongeng emak tentang cermin tipu daya
yang dijual nabi sulaeman di ujung dunia
f. Dan seterusnya. Baca “Kapai-Kapai” karya
Arifin C. Noer

94
Treatment di atas akan menjadi pedoman bagi
penulis pada langkah berikutnya, yaitu mengembangkan
treatment menjadi naskah drama. Sebelum dikemukakan
tentang apa yang harus dilakukan untuk mengembang-
kannya, perlu diperhatikan unsur-unsur pembangun
karya sastra yang bergenre drama. Pada bab sebelumnya,
unsur-unsur drama telah dikemukakan.
Treatmen di atas mengungkapkan tokoh dan
karakter yang berbeda dari tokoh-tokoh yang diceritakan.
Tokoh majikan jelas memiliki status sosial lebih tinggi dari
tokoh Abu. Perbedaan status tersebut menjadikan tokoh
majikan lebih berkuasa dari Abu yang berstatus sosial di
bawahnya. Karakternya pun cukup jelas. Tokoh majikan
berkarakter keras, sewenang-wenang, berkuasa, dan
kasar. Sedang Abu berkarakter terhina dan bodoh.
Treatment di atas cukup berhasil menggambarkan tokoh
dan penokohannya.
Penokohan dalam treatment di atas kemudian
diwujudkan ke dalam bahasa (dialog) berdasarkan adegan
per adegan. Penulis akan mempertimbangkan kata, frase,
dan kalimat percakapan yang bagaimana yang mampu
mewujudkan status dan karakter tokoh yang diceritakan.
Seorang yang bodoh atau tidak berpendidikan jelas
memiliki ciri khas bahasa yang berbeda dengan seorang
terpelajar. Begitu juga seorang yang memiliki karakter
keras berbeda dengan tokoh yang berkarakter lembut.
Seorang yang sedang marah, bertanya, memberitahu,
menyangkal, membantah, jelas memiliki susunan bahasa
yang berbeda-beda. Hal-hal itulah yang menjadi perhatian
bagi penulis.

95
Di samping itu, pengembangan treatment juga
mesti memperhatikan tipe atau gaya naskah yang akan
ditulis (baca kembali tipe atau gaya naskah dalam bab
sebelumnya). Tipe drama yang manakah yang akan dibuat
seorang penulis. Naskah drama bergaya realis cenderung
mengungkapkan cerita dan dialog lebih dekat dengan
kenyataan. Berbeda dengan naskah drama yang bertipe
atau bergaya puitis. Gaya puitis cenderung meng-
ungkapkan dialog-dialog yang tidak mungkin ditemukan
dalam realitas. Dialog-dialognya cenderung berbentuk
puisi dan pembawaannya di atas panggung juga
cenderung seperti deklamasi. Naskah drama bertipe
simbolis misalkan, cenderung menggunakan perlambang-
perlambang yang maknanya secara tersirat. Begitu juga
penulisan naskah drama musikal, cenderung dialog-
dialognya berupa lagu-lagu yang hendak dinyanyikan di
atas panggung. Oleh karena itu, penulis mesti memiliki
tujuan sehubungan dengan gaya atau tipe naskah drama.
Apakah penulis ingin menulis drama realis, simbolis,
musikal, teaterikalisasi puisi, atau gaya yang lain
Perhatikan bagaimana Arifin C. Noer
mengungkapkan adegan pertamanya, bandingkan dengan
treatmen yang penulis susun di atas.

BAGIAN PERTAMA

DONGENG EMAK

EMAK : Ketika prajurit-prajurit dengan tombak-


tombaknya mengepung istana Cahaya itu,

96
Sang Pangeran Rupawan menyelinap di antara
pokok-pokok puspa, sementara air dalam
kolam berkilau mengandung cahaya purnama.
ABU : Dan Sang Pangeran, Mak?
EMAK : Dan Sang Pangeran, Nak? Duhai, seratus ujung
tombak yang tajam berkilat membidik pada
satu arah; purnama di angkasa berkerut
wajahnya lantaran cemas, air kolam pun
seketika membeku, segala bunga pucat lesi
mengatup kelopaknya, dan.....
ABU : Dan Sang Pangeran selamat, Mak?
EMAK : Selalu selamat. Selalu selamat.
ABU : Dan bahagia dia, Mak?
EMAK : Selalu bahagian. Selalu bahagia.
ABU : Dan Sang Putri, Mak?
EMAK : Dan Sang Putri, Nak? Malam itu merasa lega
hatinya dari tindihan kecemasan. Ia pun
berguling bersama Sang Pangeran dalam
mimpi yang sangat panjang, di mana seribu
bulan menyelimuti kedua tubuh yang indah
itu penuh cahaya.
ABU : Dan bahagia, Mak?
EMAK : Selalu bahagia. Selalu bahagia.
MAJIKAN : Abu!
ABU : Mereka senantiasa bahagia. Pokok-pokok
puspa. Cahaya Purnama. Istana Cahaya.
Cermin Tipu Daya.
MAJIKAN : Abu!
ABU : Mereka senantiasa bahagia. Pokok-pokok
puspa. Cahaya Purnama. Istana Cahaya.
Cermin Tipu Daya.
EMAK : Sekarang kau harus tidur. Anak yang ganteng
mesti tidur sore-sore.
ABU : Sang Pangeran juga tidur sore-sore, Mak?

97
EMAK : Tentu. Sang Pangeran juga tidur sore-sore
karena dia anak yang ganteng. Kau seperti
Sang Pangeran Rupawan.
MAJIKAN : Abu!
ABU : Mak?
MAJIKAN : Abu!
ABU : Bagaimana keduanya bisa senantiasa selamat?
MAJIKAN : Abu!
EMAK : Berkat Cermin Tipu Daya.
ABU : Berkat Cermin Tipu Daya, Mak?
MAJIKAN : Abu!
EMAK : Semuanya berkat Cermin Tipu Daya.
ABU : Cuma berkat itu?
MAJIKAN : Abu!
EMAK : Cuma berkat itu.
ABU : Cuma.
MAJIKAN : Abu! Abu!
ABU : .....di mana Cermin itu dapat diperoleh, Mak?
EMAK : Jauh nun di sana......kala semuanya belum
ada.... (Keluar)
MAJIKAN : Bangsat! Tuli kamu?
ABU : Mak?

YANG KELAM : Ini adalah tahun 1930 dan bukan tahun


1919. Kau harus segera mengenakan pakaian pesuruhmu.
(Keluar)

3
Setelah ia mengenakan pakaiannya sebagai pesuruh
kantor, terdengar gemuruh suara pabrik.
MAJIKAN : Abu!
ABU : Hamba, Tua.

98
MAJIKAN : Abu!
ABU : Hamba, Tua.
MAJIKAN : Abu!
ABU : Hamba, Tua.
MAJIKAN : Abu!
ABU : Hamba, Tua.
MAJIKAN : Abu!
ABU : Hamba, Tua.
MAJIKAN : Abu!
ABU : Hamba, Tua.
MAJIKAN : Abu!
ABU : Hamba, Tua.
MAJIKAN : Bangsat kamu! Kerja sudah hampir tiga tahun
masih saja kamu melakukan kesalahan yang
sama. Lebih bodoh kamu daripada kerbau!
(Keluari)
Suara-Suara hilang
Ia tersedu menangis

Kutipan di atas dapat ditafsirkan bagaimana per-


watakan tokoh Emak dan Abu. Bagaimana cara Arifin C.
Noer mengembangkan ide (treatmen) dan adegan
tersebut dengan dialog dan bahasa yang mampu memikat
dan mencerminkan karakter tokoh-tokohnya. Perhatikan
teratment yang dibuat penulis berdasarkan naskah drama
tersebut di atas. Contoh tersebut dapat menjadi pelajaran
bagaimana mengembangkan treatment menjadi naskah
drama. Ingat! bahwa adegan-adegan yang disusun dalam
treatmen hendaknya mengikuti alur sebagaimana dijelas-
kan dalam sub-bab unsur-unsur drama, yang terdiri atas:
pendahuluan/pemaparan, konflik atau pengembangan,
klimaks, anti-klimaks, penyelesaian, dan penutup.

99
c. Komponen dalam Teks Drama

Sebelum membicarakan bagaimana treatmen di atas


dikembangkan menjadi naskag drama, lebih baik dibicara-
kan dahulu ada komponen apa saja dalam naskah drama.
Atau, bagaimana bentuk dan rupa karya sastra yang
disebut dengan drama itu. Ada beberapa komponen yang
segera dapat ditemukan ketika membaca naskah drama,
sebagaimana berikut.

1) Judul

Menurut Riantiarno, judul sebaiknya mudah diingat,


menggoda rasa ingin tahu, gambaran lengkap dari per-
masalahan utama (tematik), atau ekspresi yang mewujud
dalam sebuah metafora (2011:100). Perhatikan contoh
judul-judul naskah drama yang dibuat oleh Riantiarno
tersebut.
1) Opera Kecoa
2) Rumah Sakit Jiwa
3) Dua Tanda Cinta
4) Maaf. Maaf. Maaf.
5) Suksesi
6) Republik Bagong
Komponen judul ditulis di bagian atas dalam teks
drama. Lazim ditulis di tengah dengan huruf besar dan
tebal, dan diikuti nama penulis. Perhatikan contoh berikut.

100
Contoh 1 :

LAKON
JANGAN MENANGIS INDONESIA

Karya: PUTU WIJAYA


Kenangan Buat Harry Roesly

Contoh 2 :

DRAMA KOMEDI SATU BABAK


ORANG KASAR
Karya ANTON CHEKOV
Saduran WS RENDRA

2) Notasi atau Deskripsi

Komponen notasi atau deskripsi awal ditulis di


bawah judul, biasanya ditulis dengan huruf besar semua,
namun tidak selalu seperti itu. Di tengah teks juga muncul
notasi atau deskripsi, biasanya untuk mengawali atau
mengakhiri sebuah adegan. Sebaiknya notasi ditulis secara
singkat, padat, memandu, dan inspiratif. Komponen ini
berfungsi memberikan gambaran secara imajinatif bagi
pembaca dan para pekerja teater yang hendak mem-
visualisasikan naskah drama tersebut ke atas pentas.

101
Dalam notasi terungkap latar, waktu dan tokoh.
Notasi latar dan waktu sebagai petunjuk di mana dan
kapan peristiwa atau adegan itu berlangsung. Sedangkan
notasi tentang tokoh bertujuan untuk menunjukkan siapa
saja dan apa saja yang dilakukan tokoh di atas panggung.
Perhatikan contoh yang diambil dari teks drama berjudul
Jangan Menangis Indonesiaku karya Putu Wijaya berikut.

Contoh 1 : Notasi di awal teks drama

DI SATU TEMPAT DAERAH PERKEBUNAN KOPI DI


JAWA TIMUR. SUATU DAERAH YANG BERALAM
INDAH, SEGAR DAN KAYA. DI SINILAH PEMILIK-
PEMILIK PERKEBUNAN MEMPUNYAI RUMAH-
RUMAH YANG BESAR, BAGUS DAN MEWAH.

MEREKA SUKA MEMELIHARA KUDA DAN WAKTU


SENGGANG SUKA BERBURU TUPAI ATAU BURUNG.
MEREKA SUKA PULA BERTAMASYA DENGAN
KERETA DAN KUDA MEREKA YANG BAGUS.

KETIKA LAYAR DIBUKA, NAMPAKLAH KAMAR


TAMU DI RUMAH TUAN MARTOPO YANG MEWAH
ITU. PERABOTAN DI KAMAR ITU SERBA BAGUS. DI
DINDING TERDAPAT TUPAI-TUPAI YANG DIISI
KAPAS, TERPAKU DENGAN LUCU. JUGA TERDAPAT
TANDUK-TANDUK RUSA, BURUNG-BURUNG BERISI
KAPAS DIJADIKAN HIASAN DISANA-SINI. SEDANG
DI LANTAI BEREBAHLAH SEEKOR HARIMAU YANG
DAHSYAT YANG TENTU SAJA JUGA BERISI KAPAS.

102
BERMACAM GOLOK, PEDANG DAN SENAPAN
ANGIN TERSIMPAN DI SEBUAH LEMARI KACA
YANG BESAR.
PADA SUATU SIANG HARI, KIRA-KIRA JAM 12.00, DI
KAMAR TAMU YANG MEWAH ITU, NYONYA
MARTOPO, SANG JANDA, DUDUK DI ATAS SOFA
SAMBIL MEMANDANG DENGAN PENUH LAMUNAN
KE GAMBAR ALMARHUM SUAMINYA YANG GAGAH,
BERMATA BESAR DAN BERKUMIS TEBAL ITU.
MAKA MASUKLAH MANDOR DARMO YANG TUA
ITU.

Contoh 2 : Di tengah teks drama

BERBALIK LALU MEMBANTU AJUDANNYA


MEMUKUL LAYAR. BAYANG-BAYANG DI BALIK
LAYAR BERJATUHAN. TAPI KEMUDIAN MUNCUL
BAYANGAN WAYANG SOSOK RAKSASA. JENDRAL
DAN AJUDANNYA TERKEJUT, TAKUT LANGSUNG
MENYEMBAH

Contoh 3 : Di akhir akhir adegan

TERDENGAR SUARA DENTUMAN. LAMPU DI


BELAKANG LAYAR PADAM. DI BAGIAN KIRI LAYAR
NAMPAK SLIDE TENGKORAK-TENGKORAK
BERJAJAR. DI TENGAHNYA BAYANG-BAYANG
WAYANG RAKSASA SEDANG MENGAWASI BUMI
YANG SUDAH DIOBRAK-ABRIKNYA

103
DI SEBELAH KANAN LAYAR TERLIHAT SLIDE MATA
YANG MENETESKAN AIR. KEMUDIAN LATAR
HITAM DENGAN GORESAN TULISAN: JANGAN
MENANGIS INDONESIA. KEMBALI KE MATA DAN
BAYANG-BAYANG TANGAN YANG MENGUSAP
MATA ITU.

Pada contoh 1 (Notasi awal teks) diungkapkan


gambaran rumah keluarga Martopo yang mewah, pada
siang hari kira-kira pukul 12.00. Juga diungkapkan tokoh
Nyonya Martopo yang janda itu, sedang duduk di atas sofa
sambil memandang potret almarhum suaminya. Sejenak
kemudian masuk ke panggung tokoh bernama Mandor
Darmo. Tetapi notasi pada contoh 1 tersebut tidak hanya
menunjukkan latar, waktu, dan tokoh, tetapi juga meng-
gambar seperti apa gambaran keluarga Martopo. Melihat
properti (barang-barang) di rumah itu, dapat ditafsirkan
bahwa keluarga tersebut (atau almarhum Tuan Martopo
sendiri saat hidupnya), memiliki hobi berburu. Betapa
notasi yang singkat tersebut telah mampu memberikan
gambaran, sekaligus petunjuk bagi pekerja teater, tentang
awal dibukanya cerita dalam naskah drama.
Sedangkan contoh 2 (notasi di tengah teks drama)
memberikan petunjuk lakuan tokoh dan apa yang sedang
terjadi di atas panggung (di tengah-tengah cerita).
Sementara contoh 3 (notasi di akhir teks) secara simbol-
istis menggambarkan suasana porak-poranda sebuah
negeri dan kesedihan astas keporak-porandaan itu.

104
3) Dialog

Sebagaimana dikemukakan di bab sebelumnya,


bahwa teks atau naskah drama diungkapkan dalam dialog-
dialog. Cerita atau peristiwa yang diungkapkan dapat
dipahami melalui apa yang didialogkan tokoh-tokohnya.
Dapat dikatakan drama adalah naskah dialog. Tetapi ingat!
bahwa naskah dialog tersebut mesti mengandung konflik,
karena pada hakikatnya drama adalah konflik.
Drama adalah salah satu genre sastra, selain puisi
dan prosa. Namun drama mempunyai kekhususan di-
banding dengan genre sastra yang lain. Kekhususan
drama disebabkan tujuan drama ditulis pengarangnya
tidak hanya berhenti sampai pada tahap pembeberan
peristiwa untuk dinikmati secara artistik imajinatif oleh
para pembacanya, namun mesti diteruskan untuk dapat
dipertontonkan dalam suatu penapilan gerak dan perilaku
konkret yang dapat disaksikan.
Oleh karena itu, seorang penulis drama mesti
memperhatikan bahwa teks drama yang dibuatnya itu
memiliki dimensi sastra untuk dibaca, dan dimensi per-
tunjukan untuk dipentaskan. Dalam dimensi sastra, teks
drama merupakan wacana naratif, imajinatif, kreatif, dan
ekspresif, yang diungkapkan dengan medium bahasa yang
berjiwa. Dalam dimensi seni pertunjukan, teks drama
dibuat untuk ditranfer ke atas panggung melalui akting
aktor dan didukung seperangkat artistik. Kedua dimensi
tersebut mesti dipahami oleh seseorang yang hendak
menulis naskah drama.

105
Prinsip pertama dalam penulisan drama adalah,
naskah drama merupakan wacana berbentuk dialog.
Prinsip ini mengandung beberapa konsekuensi bagaimana
membuat dialog yang baik dan hidup.
1) Dialog atau cakapan merupakan peristiwa komunikasi
antara dua atau lebih orang pada suatu saat dan
waktu. Sebagai peristiwa komunikasi tentu ada pesan
yang dibawanya dan berbentuk lisan.
2) Karena dialog merupakan peristiwa komunikasi lisan,
maka dialog tentu menggunakan ragam bahasa lisan
yang komunikatif; bukan ragam tulis. Tentu juga
diperhatikan nilai kepantasannya.
3) Kata dalam dialog, menurut Riantiarno (2011: 100),
sebaiknya tidak terlalu sulit diucapkan oleh lidah atau
mulut para aktornya. Kalimat dalam dialog, sebaiknya
tidak panjang.
4) Dialog tidak semata-mata untuk menyampaikan
maksud atau pesan orang yang berbicara. Dialog
menurut pengertian Riantiarno adalah ekspresi dari
emosi dan “isi dalam” karakter lakon. Jika diucapkan
oleh aktor pemeran karakter, kata atau kalimat itu
memiliki kemungkinan untuk menjadi “hidup” serta
“mencipta suasana” (2011: 101).
5) Dialog dalam drama mencerminkan kegiatan pem-
bicaraan sehari-hari. Hal itu bisa dilihat dari pilihan
kata, panjang dan pendek kalimat, dan bentuk kalimat
berupa kalimat langsung, dan panjang pendeknya
kalimat dapat berpengaruh pada irama drama
(Waluyo, 2011:21).

106
Itulah beberapa prinsip dialog yang mesti
diperhatikan seorang penulis drama. Pada intinya dialog
mesti hidup, ekspresif (ada muatan emosi), beragam
bahasa lisan, menunjukkan karakter orang yang berdialog,
sebaiknya tidak panjang. Perhatikan contoh kutipan dialog
berikut.

.........................
TAJI
Sudah, biar aku bukakan saja pintunya!

HANUM (Cepat)
Jangan, Pak! Bagaimana kalau memang sekarang
ini giliran kita?

TAJI
Loh?! Tadi kan kamu bilang semua orang sudah
tahu kalau kita ini bukan orang kaya?

HANUM
Tadi itu aku hanya menduga-duga saja kalau
semua orang sudah tahu.

TAJI
Loh?!

HANUM
Bapak sendiri juga tadi ikut menduga-duga, kan?

TAJI
Sudah aku bukakan saja...

(HENDAK MENERUSKAN NIATNYA)

107
HANUM (Cepat)
Kalau benar mereka mau merampok kita,
bagaimana?

TAJI (Ragu)
Mungkin cuma mau bertamu saja, ini?

HANUM
Kok tengah malam begini?

TAJI
Belum.

HANUM
Tapi jangan. Tidak usah saja.

TAJI
Jadi diam saja begini? Tidak melakukan apa-apa?
(Kesal)

HANUM
Dari tadi kita belum tanyakan apa maunya?
......................

Belum Tengah Malam karya Syaiful Affair

Contoh kutipan dialog di atas tidak saja menarik


untuk dibaca, tetapi juga enak diucapkan. Kata dan kalimat
dialog tersebut pendek, komunikatif, dan mengandung
emosi kekhawatiran dan keragu-raguan aktor-aktornya.
Betapa dialog tersebut menarik untuk diikuti pembaca/

108
penontonnya. Bandingkan dengan kutipan dialog berikut
ini.

DARMO
Oh, nyonya, ada orang ingin bertemu dengan
nyonya, mendesak untuk bertemu dengan nyonya…

NYONYA
Sudah bapak katakan bahwa sejak kematian suami
saya, saya tak mau menerima seorang tamupun?

DARMO
Sudah, tetapi ia tidak mau mendengarkannya,
katanya urusannya sangat penting.

NYONYA
Sudah bapak katakana tak menerima tamu!?

DARMO
Saya sudah berkata begitu, tetapi ia orang yang
ganas, ia mencaci maki dan nekad saja masuk ke
dalam kamar, ia sekarang sudah menerobos ke
kamar makan.

NYONYA (marah sekali)


Baiklah! Bawa dia kemari! Orang tak tahu adat!

DARMO KELUAR KE PINTU TENGAH

NYONYA
Orang-orang tanpa guna! Apa pula yang mereka
kehendaki dari saya! Kenapa mereka mengganggu
ketentramanku? (mengeluh) Ya, sekarang sudah

109
tenang, saya harus masuk biara. (merenung) Ya,
biara.

BILAL MASUK DIIRINGI DARMO

BILAL (Kepada Darmo)


Orang goblog! Engkau terlalu banyak omong!
Engkau keledai! (melihat nyonya martopo, sopan)
Nyonya, saya merasa terhormat untuk
memperkenalkan diri saya. Mayor Lasykar Rakyat
di jaman revolusi, sekarang mengundurkan diri dan
menjadi pengusaha perkebunan, adapun nama
saya: Baitul Bilal. Saya terpaksa menggangu nyonya
untuk suatu urusan yang luar biasa mendesak.

NYONYA (Ringkas)
Tuan mau apa?

BILAL
Almarhum suami nyonya, denga siapa saya merasa
beruntung bisa bersahabat, meninggalkan kepada
saya dua buah bon yang jumlahnya duabelas ribu
rupiah. Berhubung saya harus membayar bunga
untuk sebuah hutang di Bank Rakyat besok pagi,
maka saya akan memohon kepada nyonya,
hendaknya nyonya suka membayar hutang
tersebut, hari ini.

NYONYA
Dua belas ribu, suami saya ngebon apa saja pada
tuan?

Orang Kasar karya Anton Chekov,


Saduran W. S. Rendra

110
Dialog dalam kutipan di atas sangat jelas berbeda
dengan kutipan dialog sebelumnya. Dialog dalam drama
Orang Kasar karya Anton Chekov, yang disadur W. S.
Rendra di atas, begitu panjang. Meski begitu, dialog-
dialognya terasa mengalir sebagaimana orang berbicara
sehari-hari. Di samping itu, dialog yang diucapkan tokoh
mencerminkan karakter dan emosi tokoh tersebut. Tidak
hanya maksud ucapan itu yang dapat dipahami, tetapi juga
mencerminkan siapa sosok yang mengucapkannya.
Itulah prinsip kedua dalam menulis naskah drama:
“dialog mencerminkan emosi dan karakter seseorang yang
mengucapkannya.” Dialog bisa hidup apabila di dalamnya
mengandung suasana perasaan dan perwatakan dari yang
mengucapkan dialog itu. Dengan begitu, jika naskah drama
itu dibaca, akan mendorong gambaran secara imajinatif
dalam benak pembacanya. Jika naskah drama itu di-
pentaskan, akan mendorong aktor mengekspresikannya
sesuai dengan suasana emosi dan karakter peran yang
dimainkannya. Itulah yang dimaksud dengan pengalaman
imajinatif dan artistik dalam proses membaca karya sastra
(drama).
Jangan meremehkan penyusunan unsur dialog
ketika menulis naskah drama. Di situlah letak konflik
sebagai hakikat drama terletak. Di situ pula letak per-
kembangan alur cerita bergerak secara menarik. Buatlah
dialog-dialog yang hidup. Ingat! apa yang dimaksud dialog
yang hidup itu?

111
d. Pengembangan Treatmen
menjadi naskah

Kini sampai pada tahap yang penting, yaitu mem-


buat naskah drama yang sesungguhnya. Jika langkah-
langkah di atas diikuti, beserta penjelasan tentang
komponen-komponen apa saja yang ada dalam naskah
drama, sesungguhnya proses penulisan naskah drama
sudah mencapai setengah jalan. Tinggal sekarang bagai-
mana mengembangkan treatment menjadi naskah drama
jadi.
1) Mulailah dengan menuliskan judul yang telah dibuat
ketika menyusun treatmen. Ingat! judul mesti singkat,
menarik, mudah diingat, menggoda rasa ingin tahu, dan
sesuai tematis. Bisa juga dibuat dalam sebuah metafora.
2) Di bawah judul ditulis nama penulis. Kalau naskah
drama itu adaptasi dari sebuah cerpen atau novel, atau
saduran dari karya orang lain, tulislah keterangan
adaptasi atau saduran dari judul apa dan pengarangnya
siapa. Tulislah keterangan itu di bawah nama penulis
atau di bawah judul, terserah.
3) Teks drama bagilah babak per babak dan/atau adegan
per adegan, dengan memberi keterangan misalnya:
Babak 1, Babak 2, .....dst. atau Adegan 1, Adegan 2...dst.
Pembagian tersebut tentu mengikuti apa yang telah
tertulis dalam treatmen. Ada beberapa bentuk
penulisan yang selama ini digunakan, sebagaimana
berikut.
a) Naskah drama dibagi dalam lima babak, atau lima
permasalahan besar. Lima babak tersebut juga

112
dapat menggunakan tahapan alur yang telah di-
kemukakan dalam bab sebelumnya.
b) Naskah drama dibagi dalam babak, di mana setiap
babak berisi adegan-adegan dan dialog-dialog.
c) Naskah drama tidak menggunakan babak atau
adegan, melainkan hanya diberi tanda nomor,
misalnya: SATU, DUA, TIGA.....dst. atau 1, 2, 3....dst.
4) Awalilah setiap babak atau adegan dengan notasi atau
diskripsi. Notasi ini menjadi petunjuk tentang
latar/seting tempat dan waktu, boleh juga ditambah
dengan lakuan/tindakan tokoh yang akan dimuncul-
kan.
Berikut contoh bentuk penulisan naskah drama
yang sering digunakan para penulis drama di Indonesia
saat ini.

BLA
Karya: Suhariyadi

PANGGUNG DIPENUHI DENGAN LEVEL-LEVEL KECIL.


DI ATASNYA BEBERAPA ORANG JONGKOK
MIRIP SEBUAH PATUNG.
ATAU BARANGKALI MIRIP BOTOL KOSONG.
MATANYA KOSONG.
BADANNYA KOSONG.
PIKIRANNYA KOSONG.
MENUNGGU UNTUK DIISI.

113
WAJAH-WAJAH MEREKA PUCAT

TANGAN KIRINYA MEMEGANG KOTAK KAYU KECIL.


SEDANG TANGAN KANANNYA MEMEGANG PEMUKUL
DARI KAYU JUGA. IMAJINASINYA MENGEMBARA DI
SUDUT-SUDUT RUANG PENONTON. MENUNTUN
IMAJINASI PENONTON PADA SITUASI BETAPA
KOSONGNYA MEREKA.
DI SANA-SINI BOTOL-BOTOL KOSONG MEMENUHI
SUDUT-SUDUT KOSONG
KOTAK-KOTAK DISUARAKAN MIRIP SEBUAH PADUAN
SUARA DALAM KEGELAPAN. BEBERAPA SAAT BERHENTI
DALAM PENGAHAYATAN RUANG KOSONG. SEPI.
DAN PANGGUNG DIBUKA PADA SUDUT KANAN DEPAN.
SESEORANG DALAM KETUAANNYA BERDIRI DI BALIK
KACAMATA. TERLAMPAU SIBUK DENGAN BUKU YANG
BERTUMPUK-TUMPUK. TERLALU REPOT UNTUK
MENGGUNAKAN BUKU-BUKU ITU. MESKIPUN
KEINGINANNYA BERUSAHA BERBUAT. GERAKKANNYA
LUCU. DI ANTARA BUKU-BUKU.
TOKOH INI TIDAK BERHUBUNGAN SECARA FISIK
DENGAN MEREKA YANG ADA DI LEVEL-LEVEL.
CUMA ADA BENANG MERAH
YANG MENGHUBUNGKAN KEDUANYA.
ITUPUN DI DALAM IMAJINASI PENONTON.
BEBERAPA SAAT LIGHTING MENYALA PADA TITIK-TITIK
FOKUS ORANG-ORANG DI ATAS LEVEL.
SATU-SATU. BERGANTI. MENYEMBUL DARI KEGELAPAN.

Orang 1
Pak saya lapar!

114
Orang Tua
Bagaimana mungkin kau bisa mencerna ini semua jika
perutmu lebih membutuhkan perhatian. Sebuah persoalan
yang paling dasar yang terlampau sepele untuk
dibicarakan orang. Kau! (Menunjuk pada penonton) Apa
yang kau rasakan? Katakanlah sebelum kita mulai
pertemuan ini.

Orang 2
Saya ngantuk, pak.

Orang 3
Saya sakit, Pak.

Orang Tua
Dan kau!

Orang 4
Saya………Saya …………

Orang Tua
Tidak usah saya-saya saja! Kau cuma tidak tahu apa yang
harus kamu lakukan. Semuanya sama. Tak ada yang bisa
dimanfaatkan untuk menyemangati pertemuan ini. Aku
terlampau pesimis untuk bisa menjadikan kau seperti
yang ada di buku-buku ini. Apalagi menjadikan kau sebuah
manusia yang sempurna.
Bagaimana kalau kita mulai saja pertemuan ini ?

ORANG-ORANG MEMUKUL KOTAK SEREMPAK.


SATU KALI.

Orang Tua

115
Baik! Pertemuan ini akan saya mulai dengan materi
petitah-petitih.

ORANG-ORANG SEREMPAK MEMUKUL KOTAK-KOTAK DI


TANGANNYA SEMBARI BEGERAK DI TEMPATNYA.
SEBUAH PERPADUAN MUSIK.
MEMENUHI RUANG PENONTON.
MENGAJAK PENONTON BERIMAJINASI DALAM RITMIS
SUARA KOTAK.
MENGIRINGI ORANG TUA ITU BERGERAK-GERAK.
MENGGELITIK PENONTON DENGAN KELUCUANNYA.
SEBUAH BUKU DI TANGANNYA DIA MAINKAN.
SEJENAK PANGGUNG MENGGAMBARKAN SEBUAH
KESIBUKAN. SEBUAH PERTEMUAN.
ATAU MUNGKIN YANG LAIN.
ENTAH APA YANG MUNCUL DALAM IMAJINASI
PENONTON.

Orang Tua
Stop! Ada pertanyaan?

ORANG-ORANG SALING MEMANDANG.


TIDAK TAHU APA YANG MESTI DITANYAKAN.

Orang Tua
Atau penyampaian saya kurang bisa difahami?

ORANG-ORANG MEMUKUL KOTAK SEREMPAK. SATU


KALI.

Orang Tua
Dasar otak bebal! Ini materi yang mudah. Lebih mudah
daripada kau menggosok gigi. Kalian saja yang tidak mau
memperhatikan. Ayo kita ulangi lagi!

116
PANGGUNG PUN LARUT KEMBALI DALAM KESIBUKAN
BUNYI KOTAK DAN GERAKKAN LUCU ORANG TUA.

Orang Tua
Bagaimana? Sudah Jelas?

ORANG-ORANG MEMUKUL KOTAK SEREMPAK.


SATU KALI

Orang Tua
Berarti kalian sudah faham apa yang saya sampaikan?
ORANG-ORANG MEMUKUL KOTAK SEREMPAK.
SATU KALI

Orang Tua
Bagus! Kalau begitu apa ada yang kalian tanyakan?

ORANG-ORANG MEMUKUL KOTAK SEREMPAK. DUA KALI

Orang Tua
Lho, bagaimana tho kamu!? Katanya sudah jelas, kock
tidak ada yang bertanya!? Orang yang sudah bisa
memahami apa kata orang, dia harus bertanya. Jangan
Cuma diam. Itu namanya konfirmasi. Jangan-jangan orang
yang berbicara itu tidak konsisten. Jadi harus ditanyakan.
Sekarang zamannya orang tidak konsisten, lho! Sekarang
bicara A, besuk jadi B. Begitu mudah orang berbicara
mencla-mencle, seperti membalikkan tangan saja. Kalian
jangan seperti mereka?

ORANG-ORANG MEMUKUL KOTAK SEREMPAK.


SATU KALI

117
Orang Tua
Cukup! Kau! Apa yang ingin kau tanyakan

ORANG 1 MEMUKUL KOTAK SATU KALI

Orang Tua
Kau!

ORANG 2 MEMUKUL KOTAK SATU KALI

Orang Tua
Kau!……( Bunyi Kotak ) .Kau!…… ( Bunyi Kotak )
Kau!…… ( Bunyi Kotak )

MUSIK KOTAK PUN MENJADI-JADI DENGAN IRAMA YANG


TIDAK KARUAN

Orang Tua
Diam……..! Kamu kock malah ribut. Ini bukan pasar!
Kalian tahu, masa depan negeri ini terletak
pada pertemuan ini. Lha kalau kalian suka ribut,
ya negeri ini isinya cuma ribut. Ribut. Ribut!

Orang 1
Sekarang kan zamannya ribut. Kalau tidak ribut,
ya tidak keduman.

Orang 2
Semakin banyak ribut, semakin kelihatan
kalau negeri ini sangat rajin.

Orang 3
Semakin rajin, semakin berhasil.

118
Orang 4
Jadi semakin ribut, semakin berhasil.

Orang 5
Betul!
Orang 6
Bener!

Orang Tua
Otakmu memang bener-bener keblinger! Logika yang
tidak bener. Generalisasi yang jauh dari sebuah penalaran
yang tepat. Kalau logika dan penalaran kalian tidak bener,
rasionalitas negeri ini juga tidak bener. Bahaya lagi kalau
kalian jadi pemimpin. Ya pemimpin yang otaknya nggak
bener. Logika yang salah dipakai untuk mengatur negeri
ini.

SUARA KOTAK PUN MEMBAHANA SEPERTI APLAUS.


ORANG TUA ITUPUN BANGGA DENGAN APLAUS ITU.

Orang Tua
Kita jangan meneladani orang-orang yang menggunakan
logika yang tidak bener. Persoalan yang mudah menjadi
sulit. Persoalan yang sulit dimudahkan. Orang yang salah
bisa luput dari jeratan hukum yang bener. Ya percuma
kalau hukumnya sudah bener, lantas logika orang yang
menjaga hukum itu tidak bener. (Teringat sesuatu) Lho,
saya kock malah ngelantur! Kita mesti melanjutkan
pertemuan ini.

ORANG TUA ITU MENGAMBIL KOTAK KAYU DAN


MEMUKULNYA SATU KALI
ORANG-ORANG MENGAMBIL BUKU DARI SAMPING
LEVELNYA.

119
SATU KALI KOTAK DIPUKUL. SATU KALI PULA ORANG-
ORANG MENYOBEK KERTAS SELEMBAR DAN
MELEMPARKAN KE UDARA. SETERUSNYA HINGGA
PANGGUNG PENUH BETERBANGAN KERTAS-KERTAS.
SEMAKIN CEPAT. SAMPAI BUKU ITU PUN HABIS.
Orang Tua
Ada pertanyaan?
ORANG-ORANG RIBUT MENGAMBIL KOTAKNYA DAN
MEMUKULNYA TIDAK BERATURAN.

Orang Tua
Diam……!! Satu-satu kalau bertanya!

Orang 4
Saya semakin bingung mencerna ceramah, bapak. Apa
tidak sebaiknya kita pulang saja ?

Orang Tua
Jadi itu yang kamu pikirkan sejak tadi. Pulang! Pulang!
Pulang! Dan besuk begitu lagi. Besuknya lagi. Dan Lagi.
Dan Lagi. Lantas apa yang bisa kamu pikirkan selain itu.
Kalian seperti sisipus yang terkungkung oleh
perbuatannya sendiri. Tanpa kalian bertanya dan berpikir
barang sejenak apa yang kalian lakukan itu. Kalau pikiran
kalian cuma semacam itu, apa yang bisa diperoleh dari
semua ini. Apa bedanya dengan botol. Diisi dan terus diisi.

Orang 5
Saya malah tidak mengerti siapa sisipus itu!?

Orang Tua
Baik! Mari kita bermain sisipus agar kamu faham dan
mengerti betapa lugunya sisipus itu melakukan
perbuatannya.

120
MEREKA MEMAINKAN PERMAINAN SISIPUS.

( Karena dosanya, Sisipus dihukum oleh raja untuk


mendorong batu besar ke atas bukit. Setiap hari dia
menjalankan hukumannya. Didorongnya batu besar ke
atas. Belum sempat sampai ke atas, batu itu menggelinding
ke bawah. Sisipus mengulanginya lagi. Menggelinding lagi.
Dan lagi. Dan lagi. Terus ia lakukan setiap hari. Dia mesti
melakukan itu tanpa berfikir ataupun bertanya: untuk apa
batu itu setelah sampai ke atas bukit. – Albert Camus: Mithe
Sisiphus - )

PERMAINAN INI BISA DIBUAT MACAM-MACAM


UNTUK MENVISUALKAN CERITA DI ATAS.
DAPAT DIADAPTASI KE DALAM PERMAINAN
ATAU GERAKAN APA SAJA.
SEBUAH KESIA-SIAAN.

Orang Tua
Stop! Kalian sudah tahu siapa sisipus itu. Apa kalian ingin
seperti sisipus tadi? Tidak perlu berfikir. Tidak perlu
bertanya. Tidak perlu merasakan.

Orang 1
Seperti mesin!

Orang 2
Seperti robot!

Orang 3
Seperti sekrup!

Orang 4

121
Seperti batu!

Orang 5
Seperti tak punya otak!
Orang 6
Bukankah kita memang diciptakan zaman seperti ini.
Manusia mesin. Manusia robot. Manusia sekrup. Manusia
batu. Punya otak, tapi tak punya nyawa. Punya nalar tapi
tak punya nurani.

Orang Tua
Ya! Tapi juga tidak. Tergantung kita.

Orang 1
Semakin membingungkan lagi.

Orang 2
Semakin tidak bisa dicerna!

Orang 3
Apalagi dirasakan!

Orang Tua
Itulah tanda-tanda kalian mulai menjadi mesin. Robot.
Tidak mampu merenungkan persoalanmu sendiri. Tidak
mampu mengerti sejarah hidupmu sendiri. Apalagi untuk
memahami jalan yang mesti kalian buat untuk masa
depanmu.

ORANG TUA PAUSE PADA POSISINYA

ORANG-ORANG SEMAKIN BINGUNG.


SATU SAMA LAIN SALING MEMANDANG.
ORANG-ORANG MENGAMBIL BOTOL

122
DARI SUDUT-SUDUT PANGGUNG. MEMUKULNYA. TERUS
MEMUKULNYA. SUARANYA MEMENUHI RUANGAN.
SESAK. BOTOL-BOTOL BESAR MUNCUL DARI ATAS.
ORANG-ORANG MENGAMBILNYA. MEMUKULNYA.
SUARANYA SEMAKIN MEMENUHI RUANGAN. SEMAKIN
SESAK. SEMAKIN HILANG. HILANG. HILANG. SEIRAMA
DENGAN PANGGUNG YANG SEMAKIN GELAP. GELAP.
GELAP.

SELESAI

2
Naskah Yang Baik

Satoto (2012:8) mengatakan, naskah lakon itu di-


katakan baik jika ia kaya akan ide-idebaru, baik dilihat
dari filsafat, kejiwaan, pendidikan, sosial, budaya, politik,
ekonomi, pertahanan dan keamanan, dan asli (bukan
tiruan). Dengan kata lain, naskah yang baik memiliki ciri-
ciri berikut ini.
a. Dapat atau mudah dipentaskan sesuai dengan situasi
dan kondisinya.
b. Memberikan kekayaan batin, memberikan kegairahan
hidup, membebaskan manusia dari prasangka-pra-
sangka yang tidak beralasan.
c. Menciptakan situasi-situasi yang memerlukan jawaban,
menampung pengalaman-pengalaman (baik langsung
maupun tidak) dan memberikan kemungkinan pe-
ningkatan daya imajinasi.

123
d. Terdapat konflik-konflik (tikaian-tikaian) yang me-
merlukan pemecahan yang wajar.
Tidak sekedar memuat pernyataan-pernyataan
(apalagi indoktrinasi-indoktrinasi), tetapi ia melontarkan
persoalan-persoalan yang harus dijawab oleh para
penonton.
e. Dialognya tidak terlalu panjang dan bertele-tele.
Bahasanya enak didengar, lancar, dan baik serta benar.
f. Mungkin saja temanya diambil dari dunia realitas atau
nyata, tetapi digarap secara imajiner.
g. Memenuhi persyaratan-persyaratan teateral.
Dalam kaitannya dengan proses penggarapan
untuk pementasan teater, naskah drama atau lakon yang
baik mesti memiliki beberapa daya dan potensi yang
disebut di sini sebagai “Kekuatan Dramatik”.
Naskah lakon atau drama yang baik, untuk dipilih
dalam suatu proses penggarapan teater, mesti memiliki
kekuatan dramatik untuk ditransfer ke atas pentas.
Artinya, naskah lakon tersebut mampu mendorong
penonton untuk terlibat ke dalam ruang artistik, estetik,
dan filosofik. Artistik dalam pengertian, naskah lakon
tersebut memiliki daya dan potensi akan keindahan secara
indrawi, enak dilihat dan enak didengar. Estetik dalam
pengertian, naskah lakon tersebut dapat mendorong
pikiran dan perasaan penonton untuk memikirkan,
merenungkan, dan menghayati pesan-pesan yang ada di
dalamnya. Filosik dalam pengertian, naskah lakon
tersebut memiliki cara pandang yang khas tentang sesuatu
obyek yang diceritakan di dalamnya.

124
Kekuatan dramatik tersebut terletak pada be-
berapa ciri-ciri berikut ini.
1) Konflik yang diungkapkan, baik konflik psikologis
maupun fisis. Konflik yang diangkat memiliki
kematangan berdasarkan perenungan dan penghayat-
an penulisnya terhadap kehidupan manusia dan
kemanusiaan. Naskah lakon tidak sekedar mengangkat
suatu persoalan tanpa penggalian yang lebih dalam
melalui daya nalar, rasa, cipta, dan karsa penulisnya.
Kematangan ini memang berangkat dari pengalaman,
pengetahuan, dan perasaan penulisnya sebagai
mahkluk pribadi, sosial, dan religius. Tidak dapat
dipungkiri, kematangan seperti ini merupakan suatu
proses kehidupan penulisnya. Tetapi bukan berarti
bahwa penulis-penulis muda tak mampu mencapai
kematangan seperti itu. Dan sebaliknya, bukan berarti
bahwa penulis-penulis yang sudah sarat pengalaman
dan berumur mesti memiliki kematangan seperti itu.
2) Memberikan kemungkinan yang luas dan terbuka
untuk dikembangkan melalui penyatuan gagasan
kreatif sutradara dan tim prosesnya ke dalam desain
pemanggungan. Acapkali terjadi naskah lakon begitu
tertutup untuk dikembangkan lantaran naskah lakon
tersebut terlalui lebih memberikan instruksional
pemanggungan. Naskah ini biasanya ditulis di mana
kelak penulisnya menjadi sutradaranya.
3) Memiliki kekuatan dalam hal kelisanan. Karena naskah
lakon dicirikan oleh percakapan atau dialog, maka
kelisanan tersebut terletak pada dialog-dialognya.
Secara tepat Tambayong mengungkapkan: “Tidak

125
diragukan dialog-dialog yang tertulis dalam drama-
turgi (pen naskah lakon/drama) merupakan kekuatan
seni pertunjukan yang ditentukan oleh kecerdikan dan
kecendekiaan. penulisnya. Dialog-dialog yang ditulis
pengarang lakon bukan berarti memindahkan per-
cakapan dari kehidupan yang nyata supaya hidup
dalam seni pertunjukan, tetapi lebih tepat dikatakan,
menafsir kehidupan nyata itu dengan pikiran dan
pandangan pribadi....(2012: 202). Kelisanan merupa-
kan peristiwa kebahasaan, di mana dialog-dialog
dalam naskah lakon merupakan bentuk strategi
kewacanaan yang kaya akan model bertutur.
4) Memiliki kekuatan artistik untuk ditransfer ke dalam
bahasa pemanggungan. Perlu kepekaan dan pengalam-
an sutradara dan tim prosesnya untuk menangkap
kekuatan itu. Kekuatan artistik tersebut berhubungan
dengan suatu pandangan atau pemikiran bahwa
naskah lakon tersebut akan “enak dilihat, enak
didengar, dan enak dirasakan” sebagai dasar pe-
mentasan teater yang berhasil. Meskipun terkesan
relatif, tergantung kemampuan sutradara dan tim
prosesnya, tetapi naskah lakon tetap memiliki ke-
kuatan artistik tersebut semenjak naskah itu dibaca
pertama kalinya atau sebelum sutradara dan tim
proses menafsirkannya dan mewujudkannya ke atas
pentas.

*****

126
BAB 5
SEJARAH TEATER

1
Dari Manakah Asal Mula Teater

Ada tiga teori yang mengemukakan tentang asal


usul teater. Pertama, teori yang mengatakan bahwa teater
bersal dari upacara keagamaan. Pada masyarakat animis-
tis, upacara keagamaan merupakan ritual yang ditujukan
untuk mempersembahkan puji-pujian dan pengorbanan
yang ditujukan kepada dewa. Dalam upacara tersebut
dipimpin oleh seorang pawang dengan membacakan
mantra. Lebih lanjut dalam perkembangannya, upacara
tersebut ditampilkan penggambaran tokoh dewa yang
diperankan oleh seseorang. Lambat laun, penggambaran
tersebut menjadi sebuah tontonan atau pertunjukan.
Kedua, teori yang mengatakan bahwa asal mula
teater berasal dari upacara untuk mengenang seorang
tokoh yang telah meninggal di makam tokoh tersebut. Di
dalam upacara peringatan tersebut dibacakan riwayat
hidup tokoh yang telah meninggal itu. Perkembangan
kemudian, pembacaan riwayat hidup tersebut dibumbui
dengan visualisasi tokoh yang diriwayatkan dengan

127
pemeranan oleh seseorang. Visualisasi itu menceritakan
perjuangan atau apa yang telah dilakukannya terhadap
masyarakat.
Ketiga, teori yang mengatakan bahwa asal mula
teater berasal dari kegemaran seseorang mendengarkan
dongeng. Kegemaran akan sebuah dongeng merupakan
salah satu hiburan masyarakat, di samping pendidikan.
Lambat laun, juru dongeng mengembangkan dongengnya
dengan visualisasi adegan yang diperankan oleh se-
seorang. Di sini terjadi peralihan dari verbal ke adegan,
tetapi yang verbal masih dipertahankan melalui dialog dan
narasi sang juru dongeng. Pada akhirnya menjadi sebuah
pertunjukan yang tidak hanya didengar saja tetapi juga
dilihat sebagaimana dalam pertunjukan teater.
Ketiga teori tersebut sama-sama memiliki argumen-
tasi yang kuat. Namun demikian, dari ketiga teori tersebut
nampaknya teori pertama lebih kuat berdasarkan bukti-
bukti sejarah teater dunia kuna. Teater di Yunani dan
Romawi tidak dapat dilepaskan dari sistem masyarakat
yang animistis dan dinamistis. Upacara-upacara
keagamaan pada waktu dilaksanakan untuk menye-
imbangkan mikrokosmos dan makrokosmos; antara alam
fana dengan alam transenden. Upacara-upacara itulah
yang menjadi akar munculnya teater.
Namun, menurut Bakdi Soemanto (2001), teater
selalu dikaitkan dengan kata drama yang berasal dari kata
Yunani Kuno draomai yang berarti bertindak atau berbuat.
Dalam istilah yang lebih ketat berarti lakon serius yang
menggarap satu masalah yang punya arti penting tapi
tidak bertujuan mengagungkan tragika. Kata ‘drama’ juga

128
dianggap telah ada sejak era Mesir Kuno (4000-1580 SM),
sebelum era Yunani Kuno (800-277 SM). Hubungan kata
‘teater dan ‘drama’ bersandingan sedemikian erat seiring
dengan perlakuan terhadap teater yang mempergunakan
drama lebih identik sebagai teks atau naskah atau lakon
atau karya sastra.
Dengan kata lain, menurut Harymawan (1993),
secara khusus teater mengacu kepada aktivitas melakukan
kegiatan dalam seni pertunjukan (to act) sehingga tindak-
tanduk pemain di atas pentas disebut akting. Istilah akting
diambil dari kata Yunani dran yang berarti, berbuat,
berlaku, atau beraksi. Karena aktivitas beraksi ini maka
para pemain pria dalam teater disebut actor dan pemain
wanita disebut actress. Meskipun istilah teater sekarang
lebih umum digunakan, tetapi sebelumnya istilah drama
lebih populer, sehingga pertunjukan teater di atas
panggung disebut sebagai pentas drama. Hal ini me-
nandakan digunakannya naskah lakon yang biasa disebut
sebagai karya sastra drama dalam pertujukan teater. Di
Indonesia, pada tahun 1920-an, belum muncul istilah
teater. Yang ada adalah sandiwara atau tonil (dari bahasa
Belanda: Het Toneel). Istilah Sandiwara konon
dikemukakan oleh Sri Paduka Mangkunegoro VII dari
Surakarta. Kata sandiwara berasal dari bahasa Jawa ‘sandi’
berarti rahasia, dan ‘wara’ atau ‘warah’ yang berarti,
pengajaran. Menurut Ki Hajar Dewantara ‘sandiwara’
berarti pengajaran yang dilakukan dengan perlambang.
Menurut Kasim Ahmad (2006) rombongan teater pada
masa itu menggunakan nama Sandiwara, sedangkan cerita
yang disajikan dinamakan drama. Sampai pada Zaman

129
Jepang dan permulaan Zaman Kemerdekaan, istilah sandi-
wara masih sangat populer. Istilah teater bagi masyarakat
Indonesia baru dikenal setelah Zaman Kemerdekaan.
Di Indonesia juga memiliki sejarah yang panjang.
Sebelum kedatangan kolonialisme Eropa, masyarakat
Indonesia sudah mengenal teater, disebut teater tradisi-
onal. Apalagi ketika dua kitab besar dari India, Mahabarata
dan Ramayana, masuk ke Indonesia, semakin mematang-
kan bentuk kesenian ini. Bahkah semakin matang lagi
ketika kedatangan agama-agama di Indonesia seperti
Hindu, Budha, Islam, dan Kristen. Agama-agama tersebut
tidak saja membawa ajarannya masing-masing, tetapi juga
membawa kebudayaan dari mana asal agama tersebut
berasal.
Kasim Ahmad (1981: 113-131) menjelaskan, teater
yang berkembang dikalangan rakyat disebut teater
tradisional, sebagai lawan dari teater modern dan kon-
temporer. Teater tradisional tanpa naskah (bersifat
improvisasi). Sifatnya supel, artinya dipentaskan di
sembarang tempat. Jenis ini masih hidup dan berkembang
di dearah–daerah di seluruh Indonesia. Yang disebut
teater tradisional itu, oleh Kasim Ahmad diklasifikasikan
menjadi 3 macam yaitu: Teater Rakyat, Teater Klasik, dan
Teater transisi.
Teater Rakyat. Sifat teater improvisasi sederhana,
spontan, dan menyatu dengan kehidupan rakyat.
Beberapa contoh teater rakyat di Indonesia seperti:
Makyong dan Mendu di daerah Riau dan Kalimantan Barat;
Randai dan Bakaba di Sumatera Barat; Mamanda dan
Berpandung di Kalimantan Selatan; Arja, Topeng Prembon,

130
dan Cepung di Bali; Ubrug, Banjet, Longser, Topeng
Cirebon, Tarling, dan Ketuk Tilu dari Jawa Barat;
Ketroprak, Srandul, Jemblung, Gataloco di Jawa Tengah;
Kentrung, Ludruk, Ketroprak, Topeng Dalang, Reyog, dan
Jemblung di Jawa Timur; Cekepung di Lombok; Dermuluk
di Sumatera Selatan; Sinlirik di Sulawesi Selatan; Lenong,
Blantek, dan Topeng Betawi di Jakarta; dan Randai di
Sumatera Barat.
Teater Klasik. Sifat teater ini segala sesuatunya
sudah teratur, dengan cerita, pelaku yang terlatih, gedung
pertunjukan yang memandai dan tidak lagi menyatu
dengan kehidupan rakyat (penontonnya). Lahirnya jenis
teater ini dari pusat kerajaan. Sifat feodalistik tampak
dalam jenis teater ini. Contoh–contohnya: Wayang Kulit,
Wayang Orang, dan Wayang Golek. Ceritanya statis, dan
bersumber dari kitab Mahabarata dan Ramayana.
Teater Transisi. Bentuk teater ini bersumber dari
teater tradisional, tetapi gaya penajiannya sudah
dipengaruhi oleh teater Barat. Contoh bentuk teater ini
seperti: Komidi Stambul, Sandiwara Dardanela, Sandiwara
Srimulat. Cerita yang diangkat bersumber dari realitas
kehidupan masyarakat modern. Pengaruh teater modern
sudah terlihat seperti dalam tata musik, dekorasi/seting
panggung, dan penggunaan properti.
Memang asal mula teater sulit untuk ditentukan
secara pasti. Tetapi hal itu dapat dijelaskan melalui
fenomena ritual agama dan persebaran jenis-jenis teater
tradisional yang ada, baik di dunia maupun di masyarakat
Indonesia. Dari fenomena itulah dapat ditelusuri unsur-
unsur arkhetip yang masih dipertahankan atau jejaknya

131
masih ada di dalam teater tradisional. Namun demikian,
sebagian besar pendapat ahli mengatakan bahwa asal
mula teater tidak dapat dipisahkan dari ritual keagamaan
animistis dan dinamistis (baca: Riantiarno, 2011; Santoso,
dkk., 2008; Kasim Ahmad, 2006; Harymawan, 1993).

2
Sejarah Teater Modern Indonesia

Santoso dkk. (2011) Santoso dkk. membagi sejarah


teater modern Indonesia menjadi tujuh periode,
sebagaimana berikut.
a. Teater Transisi
b. Teater Indonesia Tahun 1920-an
c. Teater Indonesia Tahun 1940-an
d. Teater Indonesia Tahun 1950-an
e. Teater Indonesia Tahun 1970-an
f. Teater Indonesia Tahun 1980-1990-an.
g. Teater Kontemporer Indonesia

a. Periode 1920-an
Teater pada masa kesusasteraaan angkatan
Pujangga Baru kurang berarti jika dilihat dari konteks
sejarah teater modern Indonesia, tetapi cukup penting
dilihat dari sudut kesusastraan. Naskah-naskah drama
tersebut belum mencapai bentuk sebagai drama karena
masih menekankan unsur sastra dan sulit untuk
dipentaskan. Pada periode ini muncul naskah drama
berjudul Bebasari karya Rustam Efendi (1926). Naskah

132
drama ini menjadi pelopor munculnya naskah-naskah
drama yang lain. Penulis lakon lainnya yang muncul pada
masa ini adalah sebagai berikut.
1) Sanusi Pane menulis Kertajaya (1932) dan Sandya-
kalaning Majapahit (1933)
2) Muhammad Yamin menulis Ken Arok dan Ken Dedes
(1934).
3) Armiijn Pane mengadaptasi roman Swasta Setahun di
Bedahulu karya I Gusti Nyoman Panji Tisna menjadi
naskah drama.
4) Nur Sutan Iskandar menyadur karangan Molliere,
dengan judul Si Bachil.
5) Imam Supardi menulis drama dengan judul Keris Mpu
Gandring.
6) Dr. Satiman Wirjosandjojo menulis drama berjudul
Nyai Blorong.
7) Mr. Singgih menulis drama berjudul Hantu.
8) Ir Soekarno, pada tahun 1927 menulis dan me-
nyutradarai teater di Bengkulu (saat di pengasingan).
Beberapa lakon yang ditulisnya antara lain, Rainbow,
Krukut Bikutbi, dan Dr. Setan.
Naskah drama tersebut bertemakan kebangsaan,
dan harapan mewujudkan Indonesia sebagai negara
merdeka. Penulis-penulis ini adalah cendekiawan Indo-
nesia, menulis dengan menggunakan bahasa Indonesia
dan berjuang untuk kemerdekaan Indonesia.

b Periode 1940-an
Peiode ini merupakan kurun waktu penjajahan
Jepang. Dalam kurun waktu ini semua bentuk seni hiburan

133
yang berbau Belanda lenyap, karena pemerintah pe-
njajahan Jepang anti budaya Barat. Dalam masa
pendudukan Jepang ini perlu dicatat beberapa kelompok-
kelompok sandiwara, seperti berikut ini.
1) Pada awalnya muncul rombongan sandiwara keliling
komersial, seperti misalnya Bintang Surabaya, Dewi
Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari,
Mata Hari, Pancawarna, dan lain-lain. Kelompok
komersial ini mementaskan cerita dalam bahasa
Indonesia, Jawa, maupun Sunda.
2) Rombongan sandiwara Bintang Surabaya tampil
dengan aktor dan aktris kenamaan, antara lain
Astaman, Tan Ceng Bok (Si Item), Ali Yugo, Fifi Young,
Dahlia, dan sebagainya. Pengarang Nyoo Cheong Seng,
yang dikenal dengan nama samarannya Mon Siour
D’amour ini dalam rombongan sandiwara Bintang
Surabaya menulis lakon antara lain, Kris Bali,
Bengawan Solo, Air Mata Ibu (sudah difilmkan), Sija, R.A
Murdiati, dan Merah Delima.
3) Rombongan sandiwara Dewi Mada, dengan bintang-
bintang eks Bolero, yaitu Dewi Mada dengan suaminya
Ferry Kok, yang sekaligus sebagai pemimpinnya.
Rombongan ini lebih mengutamakan tari-tarian dalam
pementasan teater mereka karena Dewi Mada adalah
penari terkenal sejak masa rombongan sandiwara
Bolero. Cerita yang dipentaskan antara lain, Ida Ayu, Ni
Parini, dan Rencong Aceh.
4) Hingga tahun 1943 rombongan sandiwara hanya
dikelola pengusaha Cina atau dibiayai Sendenbu
(lembaga kesenian yang dibentuk pemerintah Jepang),

134
karena bisnis pertunjukan itu masih asing bagi para
pengusaha Indonesia.
5) Rombongan sandiwara Warna Sari yang dibiayai se-
orang pengusaha bernama Muchsin. Keistimewaan
rombongan sandiwara Warna Sari adalah penampilan
musiknya yang mewah yang dipimpin oleh Garsia,
seorang keturunan Filipina, yang terkenal sebagi Raja
Drum. ceritacerita yang dipentaskan antara lain,
Panggilan Tanah Air, Bulan Punama, Kusumahadi,
Kembang Kaca, Dewi Rani, dan lain sebagainya.
6) Rombongan sandiwara Sunda Mis Tjitjih, yaitu
rombongan sandiwara yang digemari rakyat jelata.
Dalam perjalanannya, rombongan sandiwara ini
terpaksa berlindung di bawah barisan propaganda
Jepang dan berganti nama menjadi rombongan
sandiwara Tjahaya Asia yang mementaskan ceritacerita
baru untuk kepentingan propaganda Jepang.
7) Anjar Asmara, Ratna Asmara, dan Kama Jaya pada
tanggal 6 April 1943, mendirikan rombongan sandi-
wara angkatan muda Matahari. Hanya kalangan ter-
pelajar yang menyukai pertunjukan Matahari yang
menampilakan hiburan berupa tari-tarian pada awal
pertunjukan baru kemudian dihidangkan lakon
sandiwara dari awal hingga akhir. Lakon-lakon yang
ditulis Anjar Asmara antara lain, Musim Bunga di
Slabintana, Nusa Penida, Pancaroba, Si Bongkok, Guna-
guna, dan Jauh di Mata. Kama Jaya menulis lakon
antara lain, Solo di Waktu Malam, Kupu-kupu, Sang Pek
Engtay, Potong Padi.

135
8) Dr. Huyung (Hei Natsu Eitaroo), ahli seni drama atas
nama Sendenbu memprakarsai berdirinya POSD
(Perserikatan Oesaha Sandiwara Djawa) yang ber-
anggotakan semua rombongan sandiwara profesional.
Sendenbu menyiapkan naskah lakon yang harus
dimainkan oleh setiap rombongan sandiwara karangan
penulis lakon Indonesia dan Jepang. Kotot Sukardi
menulis lakon, Amat Heiho, Pecah Sebagai Ratna, Bende
Mataram, Benteng Ngawi. Hei Natsu Eitaroo menulis
Hantu, lakon Nora karya Henrik Ibsen diterjemahkan
dan judulnya diganti dengan Jinak-jinak Merpati oleh
Armijn Pane. Lakon Ibu Prajurit ditulis oleh Natsusaki
Tani.
9) Menjelang akhir pendudukan Jepang, muncul rombong-
an sandiwara yang melahirkan karya sastra yang
berarti, yaitu Penggemar Maya (1944) pimpinan Usmar
Ismail, dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo
Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan
para anggota cendekiawan muda, nasionalis dan para
profesional (dokter, apoteker, dan lain-lain). Kelompok
ini berprinsip menegakkan nasionalisme, humanisme
dan agama.

c. Periode 1950-an
Setelah perang kemerdekaan, peluang terbuka
bagi seniman untuk merenungkan kembali perjuangan
dalam perang kemerdekaan. Peristiwa perang secara khas
dilukiskan dalam lakon Fajar Sidik (Emil Sanossa, 1955),
Kapten Syaf (Aoh Kartahadimaja, 1951), Pertahanan Akhir
(Sitor Situmorang, 1954), Titik-titik Hitam (Nasyah Jamin,

136
1956), Sekelumit Nyanyian Sunda (Nasyah Jamin, 1959),
Awal dan Mira (1952), Sayang Ada Orang Lain (1953)
karya Utuy Tatang Sontani, bahkan lakon adaptasi,
Pakaian dan Kepalsuan oleh Akhdiat Kartamiharja (1956)
berdasarkan The Man In Grey Suit karya Averchenko dan
Hanya Satu Kali (1956), berdasarkan Justice karya John
Galsworthy. Utuy Tatang Sontani dipandang sebagai
tonggak penting menandai awal dari maraknya drama
realis di Indonesia dengan lakon-lakonnya seperti Awal
dan Mira (1952) tidak hanya terkenal di Indonesia,
melainkan sampai ke Malaysia.
Pada masa ini didirikan Akademi Teater Nasional
Indonesia (ATNI) pada tahun 1955 oleh Usmar Ismail dan
Asrul Sani. ATNI menggalakkan dan memapankan
realisme dengan mementaskan lakon-lakon terjemahan
dari Barat, seperti karyakarya Moliere, Gogol, dan Chekov.
Sedangkan metode pementasan dan pemeranan yang
dikembangkan oleh ATNI adalah Stanislavskian. ATNI
inilah akademi teater modern yang pertama di Asia
Tenggara. Alumni Akademi Teater Nasional yang menjadi
aktor dan sutradara antara lain, Teguh Karya, Wahyu
Sihombing, Tatiek Malyati, Pramana Padmadarmaya, Galib
Husein, dan Kasim Achmad. Di Yogyakarta tahun 1955
Harymawan dan Sri Murtono mendirikan Akademi Seni
Drama dan Film Indonesia (ASDRAFI).

d. Periode 1970-an
Jim Lim mendirikan Studi klub Teater Bandung
dan mulai mengadakan eksperimen dengan menggabung-
kan unsur-unsur teater etnis seperti gamelan, tari topeng

137
Cirebon, longser, dan dagelan dengan teater Barat. Pada
akhir 1950-an JIm Lim mulai dikenal oleh para aktor
terbaik dan para sutradara realisme konvensional. Karya
penyutradaraanya, yaitu Awal dan Mira (Utuy T. Sontani)
dan Paman Vanya (Anton Chekhov). Bermain dengan
akting realistis dalam lakon The Glass Menagerie
(Tennesse William, 1962), The Bespoke Overcoat (Wolf
mankowitz ). Pada tahun 1960, Jim Lim menyutradari
Bung Besar, (Misbach Yusa Biran) dengan gaya longser,
teater rakyat Sunda. Tahun 1962 Jim Lim menggabungkan
unsur wayang kulit dan musik dalam karya penyutradara-
annya yang berjudul Pangeran Geusan Ulun (Saini KM.,
1961). Mengadaptasi lakon Hamlet dan diubah judulnya
menjadi Jaka Tumbal (1963/1964). Menyutradarai dengan
gaya realistis tetapi isinya absurditas pada lakon Caligula
(Albert Camus, 1945), Badak-badak (Ionesco, 1960), dan
Biduanita Botak (Ionesco, 1950). Pada tahun 1967 Jim Lim
belajar teater dan menetap di Paris.
Suyatna Anirun, salah satu aktor dan juga teman
Jim Lim, melanjutkan apa yang sudah dilakukan Jim Lim
yaitu mencampurkan unsur-unsur teater Barat dengan
teater etnis. Peristiwa penting dalam usaha membebaskan
teater dari batasan realisme konvensional terjadi pada
tahun 1967.
Ketika kembali ke Indonesia dari Amerika, Rendra
mendirikan Bengkel Teater Yogya, yang kemudian men-
ciptakan pertunjukan pendek, improvisatoris yang tidak
berdasarkan naskah jadi (wellmade play), seperti dalam
drama-drama realisme. Akan tetapi, pertunjukan bermula
dari improvisasi dan eksplorasi bahasa tubuh dan be-

138
bunyian mulut. Bentuk teater yang dibawa Rendra dari
Amerika ini terkenal dengan sebutan Teater Mini Kata
(menggunakan kata seminimal mungkin). Pertunjukannya
misalnya, Bib Bop dan Rambate Rate Rata (1967,1968).
Bengkel Teater Rendra Didirikannya pusat ke-
senian Taman Ismail Marzuki oleh Ali Sadikin, gubernur
DKI jakarta tahun1970, menjadi pemicu meningkatnya
aktivitas, dan kreativitas berteater, tidak hanya di Jakarta,
tetapi juga di kota besar seperti Bandung, Surabaya,
Yogyakarta, Medan, Padang, Palembang, Ujung Pandang,
dan lain-lain. Pada masa ini Taman Ismail Marzuki
menerbitkan 67 (enam puluh tujuh) judul lakon yang
ditulis oleh 17 pengarang drama, dan menyelenggarakan
festival pertunjukan secara teratur, juga lokakarya dan
diskusi teater secara umum atau khusus. Tidak hanya
Stanislavsky tetapi nama-nama seperti Brecht, Artaud dan
Grotowsky juga diperbincangkan.
Di Surabaya muncul bentuk pertunjukan teater
yang mengacu teater epik (Brecht) dengan idiom teater
rakyat (kentrung dan ludruk) melalui Basuki Rahmat,
Akhudiat, Luthfi Rahman, Hasyim Amir (Bengkel Muda
Surabaya, Teater Lektur, Teater Mlarat Malang). Di
Yogyakarta Azwar A.N. mendirikan teater Alam.
Mohammad Diponegoro dan Syubah Asa mendirikan
Teater Muslim. Di Padang ada Wisran Hadi dengan teater
Padang. Di Makasar, Rahman Arge dan Aspar Patturusi
mendirikan Teater Makasar. Lalu Teater Nasional Medan
didirikan oleh Djohan A Nasution dan Burhan Piliang.
Tokoh-tokoh teater yang muncul tahun 1970-an lainnya
adalah, Teguh Karya (Teater Populer), D. Djajakusuma,

139
Wahyu Sihombing, Pramana Padmodarmaya (Teater
Lembaga), Ikranegara (Teater Saja), Danarto (Teater
Tanpa Penonton), Adi Kurdi (Teater Hitam Putih). Arifin C.
Noor (Teater Kecil) dengan gaya pementasan yang kaya
irama dari blocking, musik, vokal, tata cahaya, kostum dan
verbalisme naskah.
Putu Wijaya (teater Mandiri) dengan ciri pe-
nampilan menggunakan kostum yang meriah dan vokal
keras. Dramawan dan sastrawan ini menampilkan
manusia sebagai gerombolan dan aksi. Fokusnya tidak
terletak pada aktor, tetapi gerombolan yang menciptakan
situasi dan aksi sehingga lebih dikenal sebagai teater
teror. N. Riantiarno (Teater Koma) dengan ciri per-
tunjukan yang mengutamakan tata artistik glamor.

e. Peiode 1980 –1990-an


Tahun 1980-1990-an situasi politik Indonesia kian
seragam melalui pembentukan lembaga-lembaga tunggal
di tingkat nasional. Ditiadakannya kehidupan politik
kampus sebagai akibat peristiwa Malari 1974. Dewan-
dewan Mahasiswa ditiadakan. Dalam latar situasi seperti
itu lahir beberapa kelompok teater yang sebagian
merupakan produk festival teater. Di Jakarta dikenal
dengan Festival Teater Jakarta (sebelumnya disebut
Festival Teater Remaja). Beberapa jenis festival di
Yogyakarta, di antaranya Festival Seni Pertunjukan Rakyat
yang diselenggarakan Departemen Penerangan Republik
Indonesia (1983). Di Surabaya ada Festival Drama Lima
Kota yang digagas oleh Luthfi Rahman, Kholiq Dimyati dan
Mukid F. Pada saat itu lahirlah kelompok-kelompok teater

140
baru di berbagai kota di Indonesia. Di Yogyakarta muncul
Teater Dynasti, Teater Jeprik, Teater Tikar, Teater Shima,
dan Teater Gandrik. Teater Gandrik menonjol dengan
warna teater yang mengacu kepada roh teater tradisional
kerakyatan dan menyusun berita-berita yang aktual di
masyarakat menjadi bangunan cerita. Lakon yang
dipentaskan antra lain, Pasar Seret, Meh, Kontrang-
kantring, Dhemit, Upeti, Sinden, dan Orde Tabung.
Di Solo (Surakarta) muncul Teater Gapit yang
menggunakan bahasa Jawa dan latar cerita yang meniru
lingkungan kehidupan rakyat pinggiran. Salah satu
lakonnya berjudul Tuk. Di samping Gapit, di Solo ada juga
Teater Gidag-gidig. Di Bandung muncul Teater Bel, Teater
Republik, dan Teater Payung Hitam. Di Tegal lahir teater
RSPD. Festival Drama Lima Kota Surabaya memunculkan
Teater Pavita, Teater Ragil, Teater Api, Teater Rajawali,
Teater Institut, Teater Tobong, Teater Nol, Sanggar
Suroboyo. Di Semarang muncul Teater Lingkar. Di Medan
muncul Teater Que dan di Palembang muncul Teater
Potlot. Dari Festival Teater Jakarta muncul kelompok
teater seperti, Teater Sae yang berbeda sikap dalam
menghadapi naskah yaitu posisinya sejajar dengan cara-
cara pencapaian idiom akting melalui eksplorasi latihan.
Ada pula Teater Luka, Teater Kubur, Teater Bandar
Jakarta, Teater Kanvas, Teater Tetas selain teater Studio
Oncor, dan Teater Kami yang lahir di luar produk festival
(Afrizal Malna,1999).
Aktivitas teater terjadi juga di kampus-kampus
perguruan tinggi. Salah satu teater kampus yang menonjol
adalah teater Gadjah Mada dari Universitas Gadjah Mada

141
(UGM) Yogyakarta. Jurusan teater dibuka di Institut Seni
Indonesia (ISI) Yogyakarta pada tahun 1985. ISI menjadi
satu-satunya perguruan tinggi seni yang memiliki
program Strata 1 untuk bidang seni teater pada saat itu.
Aktivitas teater kampus mampu menghidupkan dan
membuka kemungkinan baru gagasan-gagasan artistik.

f. Teater Kontemporer Indonesia


Teater Kontemporer Indonesia mengalami per-
kembangan yang sangat membanggakan. Sejak munculnya
eksponen 70 dalam seni teater, kemungkinan ekspresi
artistik dikembangkan dengan gaya khas masing-masing
seniman. Gerakan ini terus berkembang sejak tahun 80-an.
Konsep dan gaya baru saling bermunculan. Meksipun seni
teater konvensional tidak pernah mati, tetapi teater
eksperimental terus juga tumbuh. Semangat kolaboratif
yang terkandung dalam seni teater dimanfaatkan secara
optimal dengan menggandeng beragam unsur pertunjuk-
an yang lain. Dengan demikian, wilayah jelajah ekspresi
menjadi semakin luas dan kemungkinan bentuk garap
semakin banyak.

3
Beberapa Jenis Teater

Dalam sejarah teater di dunia muncul beberapa jenis


teater seperti: Teater Boneka, Teater Musikal, Teater-
ikalisasi Puisi, Teater Gerak, Teater Dramatik, dan be-

142
berapa jenis teater yang marak pada masa teater kon-
temporer. Teater Mini Kata, Teater Eksperimen, Teater
Sampaan, Teater Absurd, dan lain-lain, muncul dan me-
nambah semaraknya perteateran di Indonesia. Berikut
dikemukakan lima jenis atau bentuk teater menurut
Santoso, dkk. (2011).

a. Teater Boneka
Pertunjukan boneka telah dilakukan sejak Zaman
Kuno. Sisa peninggalannya ditemukan di makam-makam
India Kuno, Mesir, dan Yunani. Boneka sering dipakai
untuk menceritakan legenda atau kisah-kisah religius.
Berbagai jenis boneka dimainkan dengan cara yang
berbeda. Ada beberapa bentuk teater boneka ini, yaitu:
1) Boneka Tangan dipakai di tangan,
2) Boneka Tongkat digerakkan dengan tongkat yang
dipegang dari bawah.
3) Marionette atau Boneka Tali, digerakkan dengan cara
menggerakkan kayu silang tempat tali boneka di-
ikatkan.
Jenis teater boneka ini di Indonesia tampak dalam
teater wayang kulit. Sedangkan di Jepang terdapat Boneka
Bunraku yang mampu melakukan banyak sekali gerakan,
sehingga diperlukan tiga dalang untuk menggerakkannya.

b. Drama Musikal
Merupakan pertunjukan teater yang menggabung-
kan seni menyanyi, menari, dan akting. Drama musikal
mengedepankan unsur musik, nyanyi, dan gerak daripada
dialog para pemainnya. Di panggung Broadway jenis

143
pertunjukan ini sangat terkenal dan biasa disebut dengan
pertunjukan kabaret. Kemampuan aktor tidak hanya pada
penghayatan karakter melalui baris kalimat yang diucap-
kan, tetapi juga melalui lagu dan gerak tari.
Selain kabaret, opera dapat digolongkan dalam
drama musikal. Dalam opera dialog para tokoh dinyanyi-
kan dengan iringan musik orkestra dan lagu yang
dinyanyikan disebut seriosa. Di sinilah letak perbedaan
dasar antara Kabaret dan opera. Dalam drama musikal
kabaret, jenis musik dan lagu bisa saja bebas tetapi dalam
opera biasanya adalah musik simponi (orkestra) dan
seriosa. Tokoh-tokoh utama opera menyanyi untuk
menceritakan kisah dan perasaan mereka kepada pe-
nonton.

c. Teater Gerak
Teater gerak merupakan pertunjukan teater yang
unsur utamanya adalah gerak, ekspresi wajah, dan tubuh
pemain. Penggunaan dialog sangat minim. Salah satu
contoh teater gerak yang paling populer adalah pantomim.
Tokoh pantomim yang terkenal adalah Etienne Decroux
dan Marcel Marceau, keduanya dari Perancis.

d. Teater Dramatik
Istilah dramatik digunakan untuk menyebut per-
tunjukan teater yang berdasar pada dramatika lakon yang
dipentaskan. Dalam teater dramatik, perubahan karakter
secara psikologis sangat diperhatikan dan situasi cerita
serta latar belakang kejadian dibuat sedetil mungkin.
Rangkaian cerita dalam teater dramatik mengikuti alur

144
plot dengan ketat. Hal itu dilakukan untuk menarik minat
dan rasa penonton terhadap situasi cerita yang disajikan.
Menonjolkan laku aksi pemain dan melengkapinya dengan
sensasi sehingga penonton tergugah. Karakter yang
disajikan di atas pentas adalah karakter manusia yang
sudah jadi, dalam artian tidak ada lagi proses per-
kembangan karakter tokoh secara improvisatoris. Dengan
segala konvensi yang ada di dalamnya, teater dramatik
mencoba menyajikan cerita seperti halnya kejadian nyata.

e. Teatrikalisasi Puisi
Pertunjukan teater yang dibuat berdasarkan karya
sastra puisi. Karya puisi yang biasanya hanya dibacakan
dicoba untuk diperankan di atas pentas. Karena bahan
dasarnya adalah puisi, maka teatrikalisasi puisi lebih
mengedepankan estetika puitik di atas pentas. Gaya akting
para pemain biasanya teatrikal. Tata panggung dan
blocking dirancang sedemikian rupa untuk menegaskan
makna puisi yang dimaksud.

4
Beberapa Gaya Pementasan Teater

a
Gaya Presentasional

Hampir semua teater klasik menggunakan gaya ini


dalam pementasannya. Gaya Presentasional memiliki ciri

145
khas, “pertunjukan dipersembahkan khusus kepada
penonton”. Unsur-unsur gaya presentasional adalah
sebagai berikut.
a. Para pemain bermain langsung di hadapan penonton.
b. Gerak para pemain diperbesar (grand style), meng-
gunakan wicara menyamping (aside), dan banyak
melakukan soliloki (wicara seorang diri).
c. Menggunakan bahasa puitis dalam dialog dan wicara.

b
Gaya Representasional (realisme)

Gaya representasional berusaha menampilkan ke-


hidupan secara nyata di atas pentas, sehingga apa yang
disaksikan oleh penonton seolah-olah bukanlah sebuah
pentas teater, tetapi potongan cerita kehidupan yang
sesungguhnya. Tata artistik diusahakan benar-benar me-
nyerupai situasi sesungguhnya di mana lakon itu
berlangsung.
Para penonton tak jarang ikut hanyut dalam laku
cerita sehingga mereka merasakan bahwa apa yang terjadi
di atas pentas adalah kejadian sesungguhnya. Unsur-unsur
gaya representasional adalah sebagai berikut.
a. Aktor saling bermain di antara mereka, beranggapan
seolah-olah penonton tidak ada sehingga mereka
benar-benar memainkan sebuah cerita seolah-olah se-
buah kenyataan.
b. Menciptakan dinding keempat (the fourth wall) sebagai
pembatas imajiner antara penonton dan pemain.

146
c. Konvensi seperti wicara menyamping (aside) dan
soliloki sangat dibatasi.
d. Menggunakan bahasa sehari-hari.
Gaya representasional atau realisme ini pada
akhirnya berkembang ke dalam gaya-gaya baru yang
masih berada dalam ruang lingkup realisme, yaitu:
naturalisme, realisme selektif, dan realisme sugestif.
Naturalisme merupakan sub gaya realisme yang
menghendaki sajian pertunjukan benar-benar mirip
dengan kenyataan. Setiap detil dan struktur tata panggung
harus benar-benar mirip seperti aslinya, sehingga
panggung merupakan potret kehidupan sesungguhnya.
Gaya ini banyak mengungkapkan kemerosotan dan
kebobrokan masyarakat golongan bawah. Drama-drama
mereka penuh dengan kebusukan manusia dan hal-hal
yang tidak menyenangkan dalam kehidupan. Panggung
harus menggambarkan kenyataan sebenarnya yang
mereka ambil dari kehidupan nyata.
Realisme selektif merupakan cabang gaya
realisme yang memilih atau menyeleksi detil tertentu dan
digabungkan dengan unsur-unsur simbolik dalam me-
nyajikan keseluruhan tata ruang yang ada di atas pentas.
Misalnya, dinding, pintu, dan jendela dibuat seperti
aslinya, tetapi atap rumah hanya dtampilkan dalam
bentuk kerangka.
Sedangkan dalam realisme sugestif menggunakan
bagian-bagian dari bangunan atau ruang yang dipilih dan
ditampilkan secara mendetil untuk memberikan gambar-
an sugestif bentuk keseluruhannya. Misalnya, satu tiang
ditampilkan untuk memberikan gambaran ruang istana

147
dengan bantuan tata lampu yang mendukung, selebihnya
adalah imajinasi.

c
Gaya Post-Realis

Gaya ini cenderung melawan atau mengubah gaya


realisme. Setiap seniman teater memiliki caranya ter-
sendiri dalam mengungkapkan rasa, gagasan, dan kreasi
artistiknya. Gaya ini dikenal sebagai gaya teater
eksperimen. Unsur-unsur gaya post-realis di antaranya,
adalah:
1) mengkombinasikan antara unsur presentasional dan
representasional;
2) menghilangkan dinding keempat (the fourth wall), dan
terkadang berbicara langsung atau kontak dengan
penonton.
3) bahasa formal, sehari-hari, dan puitis digabungkan
dengan beberapa idiom baru atau dengan bahasa
slank.
Gaya post-realistic terdiri atas beberapa gaya
sebagaimana berikut.
1) Simbolisme, sebuah gaya yang menggunakan simbol-
simbol untuk mengungkapkan makna lakon atau
ekspresi dan emosi tertentu. Simbolisme tidak terlalu
mempercayai kelima panca indera dan pemikiran
rasional untuk memahami kenyataan. Intuisi di-
percayai untuk memahami kenyataan, karena ke-
nyataan tak dapat dipahami secara logis, maka

148
kebenaran itu juga tidak mungkin diungkapkan secara
logis pula. Kenyataan yang hanya dapat dipahami
melalui intuisi itu harus diungkapkan dalam bentuk
simbol-simbol. Untuk keperluan tersebut gaya ini
mencoba mensintesiskan beberapa cabang seni dalam
pertunjukan seperti seni rupa (lukisan), musik, tata
lampu, seni tari, dan unsur seni visual lain. Simbolisme
sering juga disebut sebagai teater multi media.
2) Teatrikalisme, mencoba menarik perhatian penonton
secara langsung dan menyadarkan mereka bahwa
yang mereka tonton adalah pertunjukan teater dan
bukan penggal cerita kehidupan seperti dalam gaya
realisme. Sengaja menghapus “dinding keempat”,
menggunakan properti imajiner atau tata dekorasi
yang berganti-ganti di hadapan penonton.
3) Surealisme, sebuah gaya yang mendapat pengaruh
dari berkembangnya teori psikologi Sigmund Freud
dalam usahanya untuk mengekspresikan dunia bawah
sadar manusia melalui simbol-simbol mimpi, pe-
nyimpangan watak atau kejiwaan manusia, dan
asosiasi bebas gagasan. Gaya ini begitu menarik
karena penonton seolah dibawa ke alam lain atau
dunia mimpi yang terkadang muskil, tetapi hampir
bisa dirasakan dan pernah dialami oleh semua orang.
4) Ekspresionisme, istilah ini diambil dari gerakan seni
rupa pada akhir abad 19 yang dipelopori oleh pelukis
Van Gogh dan Gauguin. Namun gerakan itu kemudian
meluas pada bentuk-bentuk seni yang lain termasuk
teater. Pengaruh ini terutama nampak dalam tata
panggung dan elemen visual yang lebih bebas

149
diatasnya, adegan mimpi dalam lokal realistis,
misalnya adalah salah satu bentuk kebebasan itu. Jadi
teknik dramatik dan pendekatan-pendekatannya
dalam pemanggungan merupakan pengaruh besar
ekspresionisme dalam teater abad 20.
5) Teater Epik, disebut juga sebagai “teater pembelajar-
an”. Gaya ini menolak gaya realisme, empati, dan ilusi
dalam usahanya mengajarkan teori atau pernyataan
sosio-politis melalui penggunaan narasi, proyeksi,
slogan, lagu, dan bahkan terkadang melalui kontak
langsung dengan penonton. Gaya ini sering juga
disebut “teater observasi”. Tokoh yang terkenal dalam
gaya ini adalah Bertold Brecht. Teater epik digunakan
oleh Brecht untuk melawan apa yang lazim disebut
sebagai teater dramatik. Teater dramatik yang
konvensional ini dianggapnya sebagai sebuah per-
tunjukan yang membuat penonton terpaku pasif.
Sebab semua kejadian disuguhkan dalam bentuk
“masa kini” seolah-olah masyarakat dan waktu tidak
pernah berubah. Dengan demikian ada kesan bahwa
kondisi sosial tak bisa berubah. Brecht berusaha
membuat penontonnya ikut aktif berpartisipasi dan
merupakan bagian vital dari peristiwa teater.
6) Absurdisme, gaya yang menyajikan satu lakon yang
seolah tidak memiliki kaitan rasional antara peristiwa
satu dengan yang lain, antara percakapan satu dengan
yang lain. Unsur-unsur Surealisme dan Simbolisme
digunakan bersamaan dengan irrasionalitas untuk
memberikan sugesti ketidakbermaknaan hidup
manusia serta kepelikan komunikasi antarsesama.

150
Drama-drama yang kini disebut absurd, pada mulanya
dinamai eksistensialisme. Persoalan eksistensialisme
adalah mencari arti “eksistensi” atau “ada”. Apa akibat
arti itu bagi kehidupan sehari-hari? Pencarian makna
“ada” ini berpusat pada diri pribadi sang manusia dan
keberadaannya di dunia. Dua tokoh eksistensialis yang
terkemuka adalah Jean Paul Sartre (1905) dan Albert
Camus (1913-1960). Para dramawan setelah Sartre
dan Camus lebih banyak menekankan bentuk
absurditas dunia itu sendiri. Objek absurd itu mereka
tuangkan dalam bentuk teater yang absurd pula.
Tokoh-tokoh Teater Absurd di antaranya, adalah
Samuel Beckett, Jean Genet, Harold Pinter, Edward
Albee, dan Eugene Ionesco.

*****

151
BAB 6
PENYUTRADARAAN

1
Pada Mulanya Sutradara

Kenapa mesti sutradara pada mulanya?


Sebagaimana dalam seni lukis, seni tari, seni
musik, seni sastra, atau cabang seni yang lain, tentu harus
ada penciptanya atau kreatornya. Tak ada lukisan tanpa
ada pelukisanya sebagai pencipta. Tak ada tari tanpa ada
koreografer sebagai penciptanya. Tak ada musik tanpa ada
musisinya sebagai penciptanya. Begitu juga tak ada karya
sastra tanpa sastrawan. Pelukis, koreografer, musisi, dan
sastrawan harus ada dahulu sebelum tercipta karya seni.
Maka tak ada karya teater tanpa ada seseorang yang
menciptakan, mengreasikan, dan mewujudkannya ke
depan penonton.
Namun demikian, sutradara bukanlah sendirian.
Sutradara mesti memiliki tim kreator yang lain, yang
disebut Tim Proses Kreatif Teater, seperti: aktor, penata
cahaya, penata panggung, penata busana dan rias, penata
musik, penata artistik, dan sebagainya. Keberadaan
mereka juga sangat penting dalam keberhasilan sebuah

152
pertunjukan teater. Di bawah kepemimpinan sutradara,
mereka diintegrasikan ke dalam suatu kolektivitas kreatif.
Sutradara adalah seorang pemimpin dalam kerja
teater. Sebagai pemimpin, seorang sutradara menurut
Riantiarno (2011: 253) bertanggung jawab menyatukan
seluruh kekuatan dan berbagai elemen teater. Seorang
sutradara harus memiliki argumen/alasan yang kuat dan
jelas mengapa memilih tema tertentu. Selain itu, dia juga
harus bisa mewujudkan tujuan yang hendak dicapai
melalui pementasan teater yang dilakukan.
Sebagai pribadi, sutradara juga memiliki karakter
sebagai manusia, yang berpengaruh terhadap gaya ke-
pemimpinannya. Riantiarno menyebut ada empat macam
gaya sutradara sebagai pengaruh karakter pribadinya,
yaitu: pemarah, pendiam, cerewet, dan romantis (2011:
270-273). Namun demikian, apapun karakternya, seorang
sutradara memiliki berbagai tanggung jawab yang tak
ringan. Di samping itu, dia juga mesti memiliki bekal
dalam dirinya dalam hal kompetensi dan keterampilannya
sebagai sutradara.
Seorang sutradara bukanlah seorang pemimpin
sebagai mana dalam suatu organisasi pada umumnya.
Seorang sutradara di samping pemimpin, dia juga seorang
kreator, pendesain pementasan, koordinator, pelatih,
manajer, guru, yang melekat dalam proses kerjanya.
Menurut Harymawan (1993) Ada beberapa tipe sutradara
dalam menjalankan penyutradaraanya, yaitu:
a. Sutradara konseptor. Ia menentukan pokok penafsiran
dan menyarankan konsep penafsiranya kepada pe-
main. Pemain dibiarkan mengembangkan konsep itu

153
secara kreatif. Tetapi juga terikat kepada pokok
penafsiran tsb.
b. Sutradara diktator. Ia mengharapkan pemain dicetak
seperti dirinya sendiri, tidak ada konsep penafsiran
dua arah ia mendambakan seni sebagai dirinya,
sementara pemain dibentuk menjadi robot – robot
yang tetap buta tuli.
c. Sutradara koordinator. Ia menempatkan diri sebagai
pengarah atau polisi lalulintas yang mengko-
ordinasikan pemain dengan konsep pokok penafsir-
annya.
d. Sutradara paternalis. Ia bertindak sebagai guru atau
suhu yang mengamalkan ilmu bersamaan dengan
mengasuh batin para anggotanya.Teater disamakan
dengan padepokan, sehingga pemain adalah cantrik
yang harus setia kepada sutradara.

2
Bekal Awal Sutradara

Seorang sutradara memiliki bekal awal untuk


melaksanakan profesinya itu. Beberapa bekal awal yang
harus dimiliki seorang sutradara adalah sebagai berikut.
b. Seorang sutradara haruslah memiliki pengetahuan
teater. Pengetahuan itu diperoleh dari pengalaman
menjadi seorang pekerja teater sebelumnya, pen-
didikan, dan membaca. Bisa saja seorang sutradara
ketika masih menjadi seorang aktor, bukanlah aktor

154
yang baik. Tetapi karena pengalamannya itu ia
memiliki pengetahuan bagaimana berteater yang baik.
Atau mungkin ia seorang alumni pendidikan teater
lantas menjadi seorang sutradara.
c. Seorang sutradara haruslah memiliki kemampuan
bersastra. Naskah drama yang akan diproses dalam
pertunjukan teater merupakan genre sastra. Seorang
sutradara mesti menganalisis dan menginterpretasi
naskah drama yang akan digarapnya. Penafsiran dan
analisis naskah drama merupakan kerja awal sebelum
proses penyutradaraan berlangsung lebih lanjut. Untuk
itu ia haruslah memiliki kemampuan bersastra untuk
itu.
d. Seorang sutradara haruslah mempunyai konsep.
Konsep dalam konteks ini adalah pandangan, ke-
yakinan, dan sikap tentang profesi itu. Konsep itulah
yang akan menuntun seorang sutradara untuk
menentukan, memikirkan, dan memutuskan apa yang
terbaik bagi proses kerja penyutradaraannya. Konsep
seorang sutradara adalah sebuah pilihan yang diyakini
dan dipandang sebagai sesuatu yang baik dan
bermanfaat bagi semua pihak; khususnya bagi dirinya
sendiri dalam setiap prosesnya. Tidak hanya seorang
sutradara, semua seniman sesungguhnya memiliki
konsep kesenimanannya.
e. Seorang sutradara haruslah memiliki kemampuan
manajerial. Sebagai seorang pemimpin, sutradara pada
dasarnya adalah seorang manajer. Dialah yang
merencanakan, mengkoordinasi, mengevaluasi, men-
solusi semua problema, dan mengontrol proses

155
penggarapan pertunjukan teater. Tanpa manajemen
yang baik, akan banyak hambatan dan persoalan yang
muncul. Untuk itu, ia haruslah memiliki pengetahuan
manajemen yang memadai sesuai kebutuhan proses
kerjanya.
f. Seorang sutradara haruslah memiliki pengetahuan
sosiopsikologi. Pertunjukan teater di atas panggung
merupakan refleksi dari sosial dan psikologis manusia.
Akting, karakterisasi, dan sarana panggung merupakan
simbol-simbol bermakna kontekstual. Oleh karena itu,
pengetahuan sosiopsikologis akan memperkaya
wawasan sutradara dalam mempersiapkan sebuah
pertunjukan teater.

3
Tugas Sutradara

Endraswara (2011:81) mengemukakan sembilan


tugas sutradara meliputi: 1) mengoordinasikan segala per-
siapan pementasan, sejak latihan dimulai sampai dengan
pementasan selesai; 2) menciptakan ritme permainan
drama, agar tidak membosankan; 3) mengeplot pemain
yang sesuai dengan karakteristik; 4) memimpin latihan
demi latihan, agar tetap semangat; 5) menyiapkan
beberapa perubahan naskah, jika perlu, dan tambahan
improvisasi sebagai kemungkinan artistik; 6) meng-
evaluasi pertunjukan secara keseluruhan; 7) melatih
akting para pemain, agar tidak menyimpang dari rel
naskah; 8) mempertimbangkan kualitas naskah, artistik,

156
dan teknis pementasan; 9) mengusulkan iringan apa dan
bagaimana yang dibutuhkan, pentas seperti apa yang
harus diatur, penyinaran, tata rias, kostum, dan sebagai-
nya.
Menurut Riantiarno (2011:256-257) ada beber-
apa tugas yang diemban sutradara, yaitu sebagai berikut.
a. Mencari sumber kreatif, kemudian menggalinya dengan
intensif. Sumber kreatif bisa berupa ide yang me-
rupakan hasil perenungan, pandangan, atau pikiran
yang hendak disampaikan. Ide tersebut bisa diilhami
oleh/dari masyarakat, khayalan atau imajinasi, buku-
buku, atau dari dirinya sendiri. Setelah diserap, ide
tersebut diolah menjadi naskah atau bahan pementas-
an.
b. Menulis atau memilih naskah.
c. Menafsir naskah yang dipilih.
d. Mempresentasikan apa yang ada di dalam hati dan
kepalanya, termasuk rencana kreatifnya kepada semua
pihak yang terlibat dalam pementasan.
e. Melatih pemain dengan tekun, menggabungkan segala
unsur artistik hingga menjadi sebuah pementasan yang
utuh. Hasil kerja sutradara akan diuji pada waktu
pementasan yang ditonton oleh publik.
Mekipun kedua pendapat tersebut tampak berbeda,
tetapi pada prinsipnya sama, bahwa sutradara, sebagai-
mana dikemukakan Kadarsih (2010: 2) merupakan se-
orang pemimpin, konseptor, koordinator, organisator,
motivator, selektor, dan sekaligus pembimbing. Berikut
dikemukakan beberapa tugas pokok sutradara.

157
a
Memilih Naskah

Dalam teater modern kehadiran naskah sangat


penting, berbeda dengan teater tradisional yang tanpa
naskah itu. Itulah salah satu tugas sutradara yang mesti
dilakukan jauh sebelum dia menentukan siapa yang bakal
dilibatkan dan sebagai apa dalam tim prosesnya. Di dalam
memilih naskah ini seorang sutradara harus memiliki
pertimbangan:
1) mengapa dia memilih naskah ini, bukan yang lain;
2) apa yang hendak disampaikan melalui naskah tersebut;
3) dengan cara pengucapan dan gaya yang bagaimana
naskah tersebut akan disuguhkan kepada penonton;
Ada beberapa pilihan jenis naskah, yaitu: naskah
tulisan sitradara sendiri, naskah asli karya orang lain,
naskah adaptasi (dengan perubahan), dan saduran atau
terjemahan. Sutradara dapat menentukan jenis pilihan
tersebut sesuai dengan situasi yang dimilikinya. Sedang-
kan pertimbangan mengapa dia memilih sebuah naskah di
antara beberapa naskah yang ada, Riantiarno (2011: 281-
282) mengemukakan beberapa pertimbangan dengan
berpegang pada asas 5W-1H, sebagaimana dalam proses
kerja seorang jurnalis.

1) What/apa : Apa yang hendak diucapkannya


(tematik naskah atau premis).
2) Why/Mengapa : Mengapa naskah drama
pilihannya itu dirasa cukup
mendukung apa yang hendak

158
diucapkannya (penggalian ide
cerita).
3) Who/Siapa : Siapa tokoh sentral yang
menjadi corong bagi apa yang
hendak diucapkannya itu.
4) When/Kapan : Kapan sebaiknya premis
diucapkan, pada zaman apa.
Atau tak terikat waktu (tafsir
zaman).
5) Where/Di mana : Di mana kejadiannya? Atau tak
terikat tempat (tafsir lokasi).
6) How/Bagaimana : Bagaimana semua itu diikat
dalam sebuah tafsir visual
(teknik penjabaran visual).

b
Menganalisis Naskah

Analisis naskah yang dilakukan sutradara


meliputi: Analisis Dasar, Interpretasi, dan Konsep Pe-
mentasan.

1) Analisis Dasar
Analisis dasar adalah telaah struktur naskah
drama. Analisis ini berkisar pada pertanyaan: apakah
unsur-unsur utama yang membangun lakon atau drama.
Proses analisisnya, naskah drama dipelajari gambaran isi
naskah drama itu seperti apa. Yang ingin dipahami adalah,
apakah kehendak pengarang di dalam naskah drama itu.

159
Unsur-unsur pokok yang harus dianalisis oleh sutradara
adalah sebagai berikut.
a) Pesan Lakon.
b) Konflik dan Penyelesaian
c) Karakter Tokoh.
d) Latar Cerita.

2) Interpretasi
Setelah menganalisis naskah drama di atas dan
mendapatkan gambaran lengkap mengenai isinya, maka
sutradara melakukan interpretasi. Dalam proses
interpretasi ini hasil analisis dasar mengalami penyesuai-
an artistik yang digagas oleh sutradara. Proses ini bisa
disebut sebagai proses asimilasi (perpaduan) antara
gagasan kreatif sutradara dan pengarang dalam karyanya.
Seorang sutradara tentu memiliki konsep astistik tertentu
yang akan diwujudkan dalam pementasan. Pengarang juga
memiliki gagasan, pesan, dan amanat dalam naskah
dramanya. Bagaimana keduanya dipadukan dalam suatu
konsep.
Dengan demikian, jika analisis dasar naskah lebih
dekat dengan teks drama yang dipilih sutradara untuk
dipentaskan, maka dalam interpretasi lebih dekat dengan
konsep pemanggungan yang akan diwujudkan di atas
panggung. Proses interpretasi ini biasanya menyangkut
unsur latar, pesan, dan karakterisasi.
a) Latar. Adaptasi terhadap tempat kejadian peristiwa
dalam naskah sesuai dengan situasi, kondisi, dan
gagasan sutradara.

160
b) Pesan. Sutradara memberi penekanan pesan naskah
drama dengan tata artistik yang digagasnya. Sutradara
dapat menekankan atau menonjolkan pesan pe-
ngarang drama melalui laku aksi aktor di atas pentas,
atau mungkin melalui unsur-unsur pentas yang lain,
sehingga diperlukan visualisasi secara detil terhadap
unsur-unsur yang dipilih untuk penonjolan pesan
tersebut.
c) Karakterisasi. Acap kali terjadi adaptasi nama dan
tokoh dan karakternya sesuai dengan situasi yang
sedang terjadi di masyarakat. Tafsir ulang terhadap
tokoh sering dilakukan oleh sutradara dalam proses
penggarapan naskah drama menuju pentas.

3) Konsep Pementasan
Hasil akhir dari analisis dasar dan interpretasi di
atas adalah konsep pementasan. Dalam konsep ini
sutradara menjelaskan secara lengkap mengenai cara
menyampaikan pesan yang berkaitan dengan pendekatan
gaya pementasan dan pendekatan pemeranan, serta
bagaimana gambaran tata artistiknya.
a) Pendekatan gaya pementasan. Pendekatan di sini
mempunyai arti sebagai cara pengembangan, pe-
nyesuaian, pementasan suatu naskah drama. Dengan
demikian pendekatan gaya pementasan adalah konsep
pengembangan dan segala hal yang menyangkut gaya
pementasan. Beberapa gaya pementasan telah dijelas-
kan pada bab sebelumnya.. Misalnya, karena meng-
gunakan pendekatan gaya presentasional, maka
bahasa dialog antaraktor menggunakan bahasa yang

161
puitis. Gerak laku aktor distilisasi atau diperindah.
Aktor boleh berbicara secara langsung kepada pe-
nonton.
b) Pendekatan pemeranan. Setelah menetapkan pen-
dekatan gaya, maka metode pemeranan yang di-
lakukan perlu dibuat. Hal ini sangat berguna bagi
aktor. Metode akting berkaitan dengan pencapaian
aktor (standar) sesuai dengan pendekatan gaya
pementasannya. Misalnya, penggunaan bahasa puitis
dengan sendirinya membuat aktor harus mau me-
mahami dan melakukan latihan teknik-teknik mem-
baca puisi agar dalam pengucapan dialog tidak seperti
percakapan sehari-hari. Hal ini mempengaruhi bentuk
dan gaya penampilan aktor dalam beraksi. Sutradara
harus membuat metode tertentu dalam sesi latihan
pemeranan untuk mencapai apa yang dinginkan.
c) Gambaran tata artistik. Secara umum, sutradara
harus menuliskan gambaran (pandangan) tata artistik-
nya. Meski tidak secara mendetil, tetapi gambaran tata
artisitk berguna bagi para desainer untuk mewujud-
kannya dalam desain. Jika sutradara mampu, maka ia
bisa memberikan gambaran tata artistik melalui
sketsa. Jika tidak, maka ia cukup menuliskannya.

c
Memilih Pemain (Casting)

Casting adalah pemilihan peran (pemain), merupa-


kan salah satu tugas sutradara yang juga mesti dilakukan

162
dengan berbagai pertimbangan. Sutradara dapat men-
dasarkan berbagai hal untuk memilih pemain, yaitu
sebagai berikut.
1) Atas dasar bentuk tubuh, besar kecil, gemuk kurus,
tinggi rendah, dan raut muka.
2) Umur
3) Pancaindra, dengar tidaknya, awas tidaknya.
4) Kecerdasan, kecepatan menghafal naskah, kemampu-
an inprovisasi.
5) Perasaan
6) Volume suara, besar kecil, kuat lemah
7) Niat pemain
Waluyo (dalam Endraswara, 2011: 44-45) menge-
mukakan beberapa teknik casting sebagai berikut.
1) Casting by ability; pemilihan pemeran berdasarkan
kecakapan atau kemahiran yang sama atau mendekati
pern yang dibawakan.
2) Casting by type; pemilihan pemeran berdasarkan
kecocokan fisik pemain.
3) Anti type casting; pemilihan pemeran bertentangan
dengan watak dan ciri fisik yang dibawakan. Sering
pula disebut educational casting karena bermaksud
mendidikan seseorang memerankan watak dan tokoh
yang berlawanan dengan wataknya sendiri dan ciri
fisiknya sendiri.
4) Casting to emotional temperament; pemilihan pemeran
berdasarkan observasi kehidupan pribadi calon pe-
meran. Mereka yang mempunyai banyak kecocokan
dengan peran yang dibawakan dalam hal emosi dan

163
temperamennya, akan terpilih membawakan tokoh
itu.
5) Therapeutic casting; pemilihan pemeran dengan
maksud untuk penyembuhan terhadap ketidak-
seimbangan psikologis dalam diri seseorang. Bisanya
watak dan temperamen pemeran bertentangan
dengan tokoh yang dibawakan.

d
Melatih Pemain

Tugas sutradara yang tak kalah penting adalah


melatih pemain. Ada tiga tahap proses pelatihan pemain
sebagaimana berikut ini.
1) Reading: latihan pembacaan teks drama
2) Reading dengan casting: latihan dengan pembagian
peran
3) Bloking: latihan bloking (pengelompokkan)
4) Akting: latihan akting atau latihan kerja teater
5) Pengulangan dan pelancaran: latihan menghidupkan
peran, irama permainan, dan latihan dengan seting.
6) Geladi Kotor
7) Geladi Bersih
Latihan untuk aktor ini, berhubungan dengan
pembinaan akting, bloking, crossing pemain, penyesuaian
dengan teknis pentas, pemyesuaian dengan teknis pentas,
dengan musik, sound system. Pembinaan aktor juga
menyangkut teknik muncul, teknik menekankan isi.

164
Teknik progresi dan teknik membina puncak.
Beberapa sutradara dan tokoh teater terkemuka
memiliki teknik dan teori berlatihan sendiri-sendiri. Hal
itu disesuaikan dengan gagasan, pengalaman, dan
pandangan mereka terhadap teater. Salah satu teknik
pelatihan teater yang sering dijadikan panduan oleh
komunitas-komunitas teater di Indonesia adalah teori
Rendra dalam bukunya berjudul Tentang Bermain Drama
(1976) dan Seni Drama untuk Remaja (1993). Berikut
dikemukakan beberapa poin teori Rendra dari kedua
bukunya tersebut.
Rendra mengemukakan sebelas langkah dalam
menciptakan peran, sebagaimana berikut.
1) Mengumpulkan tindakan-tindakan pokok yang harus
dilakukan oleh sang peran dalam drama itu.
2) Mengumpulkan sifat-sifat watak sang peran,
kemudian dicoba dihubungkan dengan tindakan-
tindakan pokok yang harus dikerjakannya, kemudian
ditinjau, manakah yang harus ditonjolkan sebagai
alasan untuk tindakan tersebut.
3) Mencari dalam naskah, pada bagian mana sifat-sifat
pemeran itu harus ditonjolkan.
4) Mencari dalam naskah, ucapan-ucapan yang hanya
memiliki makna tersirat untuk diberi tekanan lebih
jelas, hingga maknanya lebih tersembul keluar.
5) Menciptakan gerakan-gerakan air muka, sikap, dan
langkah yang dapat mengekspresikan watak tersebut
di atas.
6) Menciptakan timing atau aturan ketepatan waktu
yang sempurna, agar gerakan-gerakan dan air muka

165
sesuai dengan ucapan yang dinyatakan.
7) Memperhitungkan teknik, yaitu penonjolan terhadap
ucapan serta penekanannya, pada watak-watak sanga
peran itu
8) Merancang garis permainan yang sedemikian rupa,
sehingga gambaran tiap perincian watak-watak itu,
diasjikan dalam tangga menuju puncak, dan tindakan
yang terkuat dihubungkan dengan watak yang terkuat
pula.
9) Mengusahakanagar perencanaan tersebut tidak ber-
benturan dengan rencana (konsep) penyutradaraan.
10) Menetapkan bussiness dan blocking yang sudah
ditetapkan bagi sang peran dan diusahakan agar
menjadi kebiasaan oleh sang peran.
11) Menghayati dan menghidupkan peran dengan
imajnasi dengan jalan pemusatan perhatian pada
pikiran dan perasaan peran yang dibawakan.
Dalam buku yang sama Rendra memberikan teknik
pembinaan peran. Sutradara perlu melatih hal-hal ter-
sebut kepada aktor secara terperinci, dan sampai lancar,
dalam arti penjiwaan peranan bukan lagi sampai
menghapalkan, tetapi sudah dihidupi oleh batin sang
peran. Gerak dan tingkah lakunya sendiri melebur dalam
peran, sehingga antara peran dan pemeran telah lebur jadi
satu.

1) Teknik Muncul
Kemunculan peran utama dan peran tambahan
haruslah dibedakan. Peran utama harus diberi tekanan

166
ketika pertama muncul. Penekanan kepada peran tambah-
an, akan merusak struktur dramatis.

2) Teknik Memberi Isi


Teknik memberi isi berhubungan dengan penonjol-
an perasaan pada bagian-bagian dialog yang diucapkan, di
balik akting yang dibawakan selama pertunjukan.teknik
pemberian isi tersebut meliputi.
a) Kalimat (dengan memberi tekanan, nada dan kecepatan
yang berubah)
b) Gerakan (gerakan muka atau mimik maupun gerakan
tangan, kaki, kepala, dan sebagainya)

3) Teknik Pengembangan (Progresi)


Progresi dapat dilakukan dengan memperhatikan
hal-hal sebagai berikut:
a. Variasi pengucapan, dengan menaikkan volume suara,
diikuti menaikkan tinggi suara, kemudian menaikkan
kecepatan tempo suara dan diakhiri dengan penurunan
volume, tinggi nada dankecepatan tempo suara.
b. Pengembangan dengan variasi jasmaniah, dengan
menaikkan posisi jasmani, diikuti dengan berpaling,
kemudian berpindah tempat, kemudian melakukan
gerakan anggota badan dan akhirnya dengan ekspresi
air muka. Kedua teknik, yaitu suara dan gerakan
jasmaniah itu hendaknya dipadukan secara harmonis
dalam rangka progresi.

4) Teknik Membina Puncak-puncak

167
Agar puncak-puncak itu menonjol, pengembangan
sebelum puncak harus ditahan tingkatannya. Penahanan
itu berupa: penahanan intensitas emosi, penahanan reaksi
terhadap perkembangan, hubungan antara menahan suara
dan gerakan, saling mengisi antara dua pemain (yang satu
keras dan yang satu lamban), dan dengan cara
memindahkan tempat pemain di pentas.

5. Teknik Timing
Ada beberapa hal yang dibicarakan Rendra dalam
permasalahan timing ini, yaitu sebagai berikut:
a. Hubungan waktu antara gerakan jasmani dengan kata
yanga\ diucapkan.
b. Akibat yang ditimbulkan timing, bila dipergunakan
untuk memberikan tekanan. Jika itu erat sekali hubung-
annya dengan kata yang diucapkan, maka akan mem-
berikan penekanan kepada kata yang diucapkan itu.

6. Mengatur Tempo Permainan


Sutradara harus mengatur cepat lambatnya per-
mainan, sehingga konflik drama dapat menanjak dan
mencapai klimaksnya, sesuai dengan harapan naskah.
Tempo permainan yang terlampau lambat akan berakibat
pada kejemuan (monoton). Sebaliknya begitu cepat akan
terkesan seperti terburu-buru dan tak memiliki kesan apa-
apa.

7. Mengatur Sikap dan Gerak Yakin


Sikap pemain harus diatur dan ditentukan secara
cermat. Sikap itu harus memancarkan keyakinan yang

168
penuh dari pemain atas peran yang dibawakan. Pemain
harus dijiwai oleh gerak yakin, yaitu gerak yang disertai
alasan yang kuat. Kalau tidak ada alasan, lebih baik rileks,
mengatur pernapasan, untuk suatu gerak yang kelak
dibutuhkan.

8. Cara Menanggapi dan Mendengar


Dua pemain yang berdialog di atas pentas, berusaha
menampilkan kehidupan yang benar-benar menyakinkan
penonton. Sikap pemain pada saat mendengarkan dan
menanggapi dialog lawan main, harus mendapatkan per-
hatian sutradara.

9. Menyesuaikan dengan Teknik Pentas


Dalam berjalan, bergerak, blocking, berbicara dan
sebagainya, maka pemain harus menyesuaikan diri
dengan teknik pentas, seperti: lighting, dekorasi, musik,
suara-suara, dan gerakan yakin, yang benar-benar
dijiwainya. Tahap-tahap penyesuaian dengan teknik me-
rupakan tahap penting. karena pemain harus menghayati
dunianya yang baru, yaitu dunia imajinasi.

4
Catatan Akhir
Di Indonesia penanggung jawab proses trans-
formasi naskah lakon ke bentuk pemanggungan adalah
sutradara yang merupakan pimpinan utama kerja kolektif
sebuah teater. Baik buruknya pementasan teater sangat
ditentukan oleh kerja sutradara, meskipun unsur–unsur

169
lainnya juga berperan tetapi masih berada di bawah
kewenangan sutradara.
Sebagai pimpinan, sutradara selain bertanggung
jawab terhadap kelangsungan proses terciptanya pe-
mentasan juga harus bertanggung jawab terhadap
masyarakat atau penonton. Meskipun dalam tugasnya
seorang sutradara dibantu oleh stafnya dalam menyelesai-
kan tugas–tugasnya tetapi sutradara tetap merupakan
penanggung jawab utama.

*****

170
BAB 6
SENI PEMERANAN

Dunia kepustakaan di Indonesia tentang bagai-


mana menyiapkan seorang aktor berkualitas, sangatlah
minim. Jika ada terbatas pada artikel-artikel lepas di
sebuah media atau makalah untuk workshop. Di Indonesia
satu-satunya buku yang relatif lengkap membahas tentang
persiapan seorang aktor merupa-kan buku terjemahan
karya Stanilavski berjudul “Persiapan Seorang Aktor”,
yang diterjemahkan oleh Asrul Sani (1980). Tetapi buku
tersebut untuk wilayah pembelajaran, nampaknya terlalu
tinggi. Salah satu buku yang dianggap dapat memenuhi
referensi tentang itu di tulis oleh Eko Santoso, dkk. (2008).
Berikut dikemukakan beberapa hal yang penting menurut
buku Eko Santoso, dkk. tersebut.

1
Olah Tubuh

Pemeran atau aktor adalah salah satu elemen


pokok dalam pertunjukan teater. Sebelum memainkan
karakter, pemeran harus menguasai tubunhya. Oleh

171
karena itu, seorang pemeran harus ikhlas belajar demi
pencapaian kualitas tubuh agar enak ditonton. Proses
belajar penguasaan tubuh memerlukan waktu yang
panjang dan secara kontinu serta tidak bisa dilakukan
secara terburu-buru. Pemeran harus bersabar dan tidak
boleh ada rasa jenuh dalam melakasanakannya.
Penampilan fisik pemeran dalam pentas
berhubungan dengan penampilan watak, sikap, gesture,
dan umur peran yang digambarkan. Hal ini juga sangat
berhubungan dengan penampilan laku fisik yang digaris-
kan pengarang, sutradara, dan tuntutan peran. Tampilan
fisik seorang pemeran adalah tanggungjawab pribadi
pemeran. Seorang pemeran adalah seorang seniman yang
memainkan peran yang digariskan oleh penulis naskah
dan sutradara. Untuk mewujudkan laku peran di atas
pentas, pemeran harus mengetahui, memahami, dan
memfungsikan dengan baik alat dan sarana yang akan
dipergunakan. Alat dan sarana tersebut adalah tubuh dan
jiwanya sendiri. Tidak ubahnya seorang pelukis yang
memahami fungsi dan manfaat dari kuas, palet, pensil, cat,
kanvas, dan figura. Begitu juga dengan seorang pemeran,
dia harus tahu betul cara berjalan yang gagah, jalannya
orang yang sudah sangat tua, cara membungkuk, cara
menengok, cara melambai, bagaimana posisi punggung-
nya, dan lain-lain. Oleh karenatubuh pemeran sangat
dominan di atas pentas, maka penguasaan tubuh menjadi
kewajiban.
Tubuh manusia terdiri dari tulang, urat, dan otot-
otot sebagai penghubungnya. Tulang manusia terdiri dari
ratusan jenis, mulai tulang tengkorak, tulang leher, tulang

172
badan, tulang tangan, tulang pinggul, dan tulang kaki.
Bagian yang paling penting dari tubuh manusia adalah
tulang belakang atau tulang punggung. Tulang punggung
terdiri dari dua puluh empat buah ruas asli dan sembilan
buah ruas palsu (semu). Ruas asli dipisahkan satu dengan
yang lain melalui tulang rawan (cartilago) yang berbentuk
piringan dan berfungsi untuk memudahkan gerakan
tulang satu dengan yang lain. Sedangkan 9 buah ruas palsu
menyatu dalam satu kesatuan sehingga tidak memungkin-
kan untuk menimbulkan gerak. Tulang punggung juga
berfungsi sebagai tangkai dari jalinan urat saraf. Pusat
saraf terdiri dari otak dan jaringan urat saraf tulang
belakang. Tulang yang berhubungan langsung dengan
tulang belakang adalah tulang belikat (Scapula), dan
tulang pinggul (Coxae). Cara berbaring, duduk, berdiri,
berjalan, berlari, melompat, dan jatuh sangat dipengaruhi
oleh tulang belakang. Elastisitas atau kelenturan tulang
belakang berfungsi sebagai peredam goncangan atau
shock breaker tubuh.
Dalam pemeranan, posisi tulang belakang dapat
menyampaikan pesan atau gambaran pada penonton
berbagai kondisi yang dialami. Gambaran ketika sedang
tegang atau tenang, letih atau segar, tua atau muda sangat
dipengaruhi oleh posisi tulang belakang. Tulang belakang
juga membantu keberlangsungan perubahan sikap tubuh
dan bunyi suara. Secara anatomis bagian-bagian tulang
terdiri dari beberapa bagian, yaitu:
1. Kelompok tulang kepala atau tengkorak (cranium).
2. Tujuh buah ruas tulang tengkuk atau leher (vertebra
cervicalis).

173
3. Dua belas buah ruas tulang belakang atau punggung
(vertebra horacalis).
4. Lima buah ruas tulang pinggang (vertebra lubalis).
5. Lima buah ruas yang bersatu tulang kelangkang (os
sacrum).
6. Empat buah ruas yang bersatu tulang ekor (os
coccygis).
7. Kelompok tulang tangan(extremitas superior).
8. Kelompok tulang kaki (extremitas inferior).
9. Kelompok tulang dada.
Menurut Ekos Santoso, dkk. (2008:151-190) latih-
an olah tubuh dibagi atas tiga tahapan, yaitu: 1)
pemanasan, 2) latihan inti, dan 3) pendinginan. Ketiga
tahap ini juga lazim dalam latihan fisik di bidang olah raga.
Ketiganya merupakan rangkaian standard yang tidak
boleh dibolak-balik. Masing-masing tahap terdiri atas
tahapan-tahapan lebih kecil lagi. Berikut ini dikemukakan
sesi latihan olah tbuh di atas.

Tabel 2:
Tahapan Latihan Olah Tubuh

No Tahap Bentuk Latihan


1. Pemanasan Jari dan
Pergelangan Tangan
2. Pemanasan Siku
1 Pemanasan 3. Pemanasan Bahu
4. Pemanasan Leher
5. Pemanasan Batang Tubuh
6. Pemanasan Tungkai Kaki dan

174
Punggung
7. Pemanasan Pergelangan Kaki,
Tungkai, Punggung
1. Ketahanan
2. Otot Perut
3. Otot Perut dan Pinggang
4. Kaki, Lutut, dan Tangan
5. Lengan, Bahu, dan Dada
6. Kelenturan
7. Cembung, Cekung, dan Datar
Tulang Punggung
8. Membulat, Mencekung, dan
Melurus
2 Latihan Inti
9. Menggulung dan Melepas
10. Ayunan Bandul Tubuh Atas
11. Ketangkasan
12. Latihan Cermin
13. Latihan Kuda-Kuda
14. Menangkis Pukulan
15. Membalas Serangan Dengan
Tebangan
16. Putaran Pergelangan Tangan
Merusak Posisi Lawan
3 Pendinginan
4 Relaksasi
Dhanurasana
5
(Pose Busur)

Latihan olah tubuh di atas hendaknya dibawah


pelatih dan pengawasan seseorang yang telah memiliki

175
keahlian. Dalam latihan-latihan tertentu, latihan olah
tubuh dapat mengadopsi teknik latihan bela diri, atletik,
senam, dan sebagainya. Dalam menyiapkan seorang aktor,
target latihan olah tubuh diarahkan pada ketahanan,
keluwesan, ketangkasan, keseimbangan, dan kekuatan.
Seorang aktor hendaknya memiliki fisik yang siap dalam
ketahanan, keluwesan, ketangkasan, keseimbangan, dan
kekuatan. Dengan demikian, seorang aktor akan selalu
siap secara fisik sesuai kebutuhan pemeranannya dan
tugasnya.

2
Olah Vokal atau Suara

Menurut Eko Santoso, dkk. (2008:195-219) dike-


mukakan bahwa Suara adalah unsur penting dalam ke-
giatan seni teater yang menyangkut segi auditif atau
sesuatu yang berhubungan dengan pendengaran. Dalam
kenyataannya, suara dan bunyi itu sama, yaitu hasil
getaran udara yang datang dan menyentuh selaput
gendang telinga. Akan tetapi, dalam konvensi dunia teater
kedua istilah tersebut dibedakan. Suara merupakan
produk manusia untuk membentuk kata-kata, sedangkan
bunyi merupakan produk benda-benda. Suara dihasilkan
oleh proses mengencang dan mengendornya pita suara
sehingga udara yang lewat berubah menjadi bunyi.
Lebih lanjut dikemukakan Eko Santoso, dalam
kegiatan teater, suara mempunyai peranan penting,
karena digunakan sebagai bahan komunikasi yang

176
berwujud dialog. Dialog merupakan salah satu daya tarik
dalam membina konflik-konflik dramatik. Kegiatan
mengucapkan dialog ini menjadi sifat teater yang khas.
Suara adalah lambang komunikasi yang dijadikan media
untuk mengungkapkan rasa dan buah pikiran. Unsur dasar
bahasa lisan adalah suara. Prosesnya, suara dijadikan kata
dan kata-kata disusun menjadi frasa serta kalimat yang
semuanya dimanfaatkan dengan aturan tertentu yang
disebut gramatika atau paramasastra.
Pemilihan kata-kata memiliki peranan dalam
aturan yang dikenal dengan istilah diksi. Selanjutnya,
suara tidak hanya dilontarkan begitu saja tetapi dilihat
dari keras lembutnya, tinggi rendahnya, dan cepat
lambatnya sesuai dengan situasi dan kondisi emosi. Itulah
yang disebut intonasi. Suara merupakan unsur yang harus
diperhatikan oleh seseorang yang akan mempelajari
teater. Kata-kata yang membawa informasi yang
bermakna. Makna kata-kata dipengaruhi oleh nada.

3
Olah Rasa atau Jiwa
Pemeran teater membutuhkan kepekaan rasa.
Dalam menghayatai karakter peran, semua emosi tokoh
yang diperankan harus mampu diwujudkan. Oleh karena
itu, latihan-latihan yang mendukung kepekaan rasa perlu
dilakukan. Terlebih dalam konteks aksi dan reaksi. Se-
orang pemeran tidak hanya memikirkan ekspresi karakter
tokoh yang diperankan saja, tetapi juga harus memberi-
kan respon terhadap ekspresi tokoh lain.

177
Banyak pemeran yang hanya mementingkan
ekspresi yang diperankan sehingga dalam benaknya
hanya melakukan aksi. Padahal akting adalah kerja aksi
dan reaksi. Seorang pemeran yang hanya melakukan aksi
berarti baru mengerjakan separuh dari tugasnya. Tugas
yang lain adalah memberikan reaksi (Mary Mc Tigue,
1992). Dengan demikian, latihan olah rasa tidak hanya
berfungsi untuk meningkatkan kepekaan rasa dalam diri
sendiri, tetapi juga perasaan terhadap karakter lawan
main. Latihan olah rasa dimulai dari konsentrasi,
mempelajari gesture, dan imajinasi.
Beberapa latihan dapat dilakukan untuk mengolah
rasa atau jiwa untuk mempersiapkan seorang aktor
sebagaimana berikut ini.

a. Konsentrasi
Pengertian konsentrasi secara harfiah adalah pe-
musatan pikiran atau perhatian. Makin menarik pusat
perhatian, makin tinggi kesanggupan memusatkan
perhatian. Pusat perhatian seorang pemeran adalah
sukma atau jiwa peran atau karakter yang akan
dimainkan. Segala sesuatu yang mengalihkan per-
hatian seorang pemeran, cenderung dapat merusak
proses pemeranan. Maka, konsentrasi menjadi sesuatu
hal yang penting untuk pemeran. Tujuan dari
konsentrasi ini adalah untuk mencapai kondisi kontrol
mental maupun fisik di atas panggung. Ada korelasi
yang sangat dekat antara pikiran dan tubuh. Seorang
pemeran harus dapat mengontrol tubuhnya setiap
saat. Langkah awal yang perlu diperhatikan adalah

178
mengasah kesadaran dan mampu menggunakan
tubuhnya dengan efisien. Dengan konsentrasi pe-
meran akan dapat mengubah dirinya menjadi orang
lain, yaitu peran yang dimainkan.

b. Gesture
Gesture adalah sikap atau pose tubuh pemeran yan
mengandung makna. Latihan gesture dapat digunakan
untuk mempelaja dan melahirkan bahasa tubuh. Ada
juga yang mengatakan bahw gesture adalah bentuk
komunikasi non verbal yang diciptakan ole bagian-
bagian tubuh yang dapat dikombinasikan dengan
bahasa verba Bahasa tubuh dilakukan oleh seseorang
terkadang tanpa disadari dan keluar mendahului
bahasa verbal. Bahasa ini mendukung da berpengaruh
dalam proses komunikasi. Jika berlawanan dengan
bahas verbal akan mengurangi kekuatan komunikasi,
sedangkan kalau selara dengan bahasa verbal akan
menguatkan proses komunikasi. Seoran pemeran
harus memahami bahasa tubuh, baik bahasa tubuh
buday sendiri maupun bahasa tubuh budaya lainnya.

c. Imajinasi
Imajinasi adalah proses pembentukan gambaran-
gambaran baru dalam pikiran, dimana gambaran
tersebut tidak pernah dialami sebelumnya. Belajar
imajinasi dapat menggunakan fungsi ”jika” atau dalam
istilah metode pemeranan Stanislavski disebut magic-
if. Latihan imajinasi bagi pemeran berfungsi meng-
identifikasi peran yang akan dimainkan. Selain itu,

179
seorang pemeran juga harus berimajinasi tentang
pengalaman hidup peran yang akan dimainkan.

*****

180
BAB 8
Tata Artistik
(Skenografi)

1
Apa itu Tata Artistik?

SEGALA yang menyangkut visualisasi di atas panggung,


baik yang dilihat maupun yang didengar, adalah tata
artistik atau sekarang disebut skenografi. Apa yang
dilihat dan didengar tersebut meliputi: set dekor (page;
panggung), properti, pencahayaan (lighting), musik,
busana, dan rias. Sebuah pementasan teater yang segera
ditangkap oleh penonton adalah sebuah komposisi tata
artistiknya, sebelum mereka memasuki wilayah penikmat-
an yang lebih dalam lagi, seperti ruang imajinasi,
pemikiran, perasaan, estetika, dan filosofis.
Tata artistik merupakan perwujudan secara visual
dari naskah dan konsep sutradara. Ia dapat juga dipahami
sebagai simbolisasi dari makna cerita, pesan, amanat,
tema, dan gaya, baik yang berasal dari naskah maupun
yang telah dikonsepkan oleh sutradara semenjak awal
penggarapan teater. Oleh karena itu, kedudukan tata

181
artistik menjadi penting dan pertama dalam suatu pe-
mentasan teater.
Penataan artistik tentu bukan pekerjaan yang
mudah, karena penatanya mesti memiliki pengetahuan,
pengalaman, kepekaan, kreativitas di bidangnya masing-
masing. Proses kerjanya tidak terbatas pada satu sumber
melainkan berbagai sumber, seperti: naskah, sutradara,
pengetahuan teknis, observasi lingkungan, yang me-
lampaui pengetahuan tentang teater. Proses kerja
penataan artistik juga melibatkan bidang seni lukis, musik,
rias, busana, elektronik, arsitektur, desain interior-
eksterior, dan lain-lain. Kalau ada anggapan seni teater
adalah seni kolektif, penataan artistik itulah yang me-
wujudkan pengertian kekolektifan itu. Berikut akan
dijelaskan unsur-unsur tata artistik atau skenografi ter-
sebut.

2
Tata Artistik Panggung
Set Dekor dan Properti

Tata Panggung merupakan penunjang bagi ter-


ciptanya tempat, waktu, dan keadaan atau suasana.
Santoso, dkk. (2011: 387) mengemukakan, panggung
adalah tempat berlangsungnya sebuah pertunjukan
dimana interaksi antara kerja penulis lakon, sutradara,
dan aktor ditampilkan di hadapan penonton. Di atas
panggung inilah semua laku lakon disajikan dengan
maksud agar penonton menangkap maksud cerita yang

182
ditampilkan. Untuk menyampaikan maksud tersebut pe-
kerja teater mengolah dan menata panggung sedemikian
rupa untuk mencapai maksud yang dinginkan.
Dalam organisasi pertunjukan teater, tata
panggung dipimpin oleh stage manager. Wilayah pem-
bicaraan tata panggung ini meliputi: jenis dan
karakteristik panggung, penciptaan desain panggung,
properti dan hand property, dan prinsip-prinsip kerja
seorang penata panggung. Berikut dijelaskan wilayah tata
artistik panggung (set dekor dan properti).

a. Jenis dan Karakteristik Panggung


Banyak sekali jenis panggung tetapi dewasa ini
hanya dua jenis panggung yang sering digunakan.
Keduanya adalah panggung proscenium dan panggung
arena. Dengan memahami bentuk dari masing-masing
panggung inilah, penata panggung dapat merancangkan
karyanya berdasar lakon yang akan disajikan dengan baik.

1) Panggung prosenium (proscenium) adalah panggung


yang hanya dapat dilihat oleh penonton dari satu sisi,
yaitu dari depan saja. Sedangkan sisi belakang, kanan,
dan kiri digunakan untuk jalan keluar masuk pemain
(Riantiarno, 2011: 148). Sedangkan Santoso, dkk.
(2011: 389) mengatakan, panggung proscenium bisa
juga disebut sebagai panggung bingkai karena
penonton menyaksikan aksi aktor dalam lakon melalui
sebuah bingkai atau lengkung proscenium. Bingkai
yang dipasangi layar atau gorden inilah yang me-
misahkan wilayah akting pemain dengan penonton

183
yang menyaksikan pertunjukan dari satu arah
(Gambar 1). Dengan pemisahan ini maka pergantian
tata panggung dapat dilakukan tanpa sepengetahuan
penonton. Panggung proscenium sudah lama diguna-
kan dalam dunia teater. Jarak yang sengaja diciptakan
untuk memisahkan pemain dan penonton ini dapat
digunakan untuk menyajikan cerita seperti apa
adanya. Aktor dapat bermain dengan leluasa seolah-
olah tidak ada penonton yang hadir melihatnya.
Pemisahan ini dapat membantu efek artistik yang
dinginkan terutama dalam gaya realisme yang meng-
hendaki lakon seolah-olah benar-benar terjadi dalam
kehidupan nyata.

Gambar 1: Panggung Prosenium


(gambar diambil dari Eko Santoso, 2011)

2) Panggung Arena adalah panggung yang dikelilingi


penonton sehingga setiap sudut bisa dilihat penonton,
biasanya berbentuk bulat atau kotak. Santoso, dkk.

184
(2011: 387) menjelaskan, Panggung arena adalah
panggung yang penontonnya melingkar atau duduk
mengelilingi panggung (Gambar 2). Penonton sangat
dekat sekali dengan pemain. Agar semua pemain dapat
terlihat dari setiap sisi maka penggunaan set dekor
berupa bangunan tertutup vertikal tidak diperboleh-
kan karena dapat menghalangi pandangan penonton.
Karena bentuknya yang dikelilingi oleh penonton,
maka penata panggung dituntut kreativitasnya untuk
mewujudkan set dekor. Segala perabot yang di-
gunakan dalam panggung arena harus benar-benar
dipertimbangkan dan dicermati secara hati-hati baik
bentuk, ukuran, dan penempatannya. Semua ditata
agar enak dipandang dari berbagai sisi.

Gambar 2: Panggung Arena


(gambar diambil dari Eko Santoso, 2011)

185
Yang juga perlu dipahami dalam kaitannya dengan
tata artistik panggung adalah wilayah panggung. Lantai
panggung yang berbentuk persegi itu terbagi ke dalam
sembilan bagian, sebagaimana gambar 3 berikut ini.

Gambar 3: Pembagian Wilayah Panggung

Keterangan :
KD : Kanan Depan Kr T : Kiri Tengah
TD : Tengah Depan KB : Kanan Belakang
Kr D : Kiri Depan TB : Tengah Belakang/
KT : Kanan Tengah Belakang Tengah
Center : Tengah Tenga Kr B : Kiri Belakang

Masing-masing bagian panggung di atas memiliki


karakteristik dan kekuatan yang berbeda-beda. Panggung
bagian depan dan kanan memiliki kekuatan yang lebih
dibandingkan panggung sebelah belakang dan kiri. Arti-
nya, apabila seorang aktor atau suatu properti berada di

186
sebelah kanan akan nampak kesan lebih kuat daripada
jika berada di sebelah kri. Begitu juga apabila aktor dan
properti itu berada di depan akan terkesan lebih kuat
daripada berada di belakang. Dengan demikian, dari
sembilan bagian tersebut, bagian yang paling kuat adalah
Kanan Depan, sedang bagian yang paling lemah adalah
Kiri Belakang.
Pembagian wilayah atau ruang panggung di atas
menjadi pertimbangan untuk menempatkan pemain dan
properti. Perhatikan gambar berikut.

Gambar 4: Ruang Panggung


(gambar diambil dari Eko Santoso, 2011)

Gambar di atas akan tampak kesan bahwa aktor


yang berdiri di posisi Kanan Depan lebih kuat daripada
yang berada di Kiri Belakang meski jumlah aktornya lebih
banyak. Gambaran yang bisa ditangkap adalah, aktor yang
berada di Kanan Depan memiliki kedudukan dalam cerita
lebih tinggi/kuat daripada yang berada di Kiri Belakang.
Bandingkan dengan gambar berikut.

187
Gambar 5: Blocking Aktor
(gambar diambil dari Eko Santoso, 2011)

Aktor di depan tentu lebih kuat daripada aktor yang


berada di belakang. Oleh karena itu, untuk memenuhi
keseimbangan, aktor yang berada di belakang berada di
atas level yang lebih tinggi. Namun demikian, aktor di
depan tetap yang difokuskan.
Pembagian wilayah atau ruang panggung di atas
juga menjadi patokan/pedoman dalam penataan cahaya.
Perhatikan penataan cahaya (lighting) sebagaimana
gambar 6 berikut ini.

Gambar 6: Denah Lighting/Cahaya


(gambar diambil dari Eko Santoso, 2011)

188
Denah lighting atau penataan cahaya di atas ber-
pedoman pada pembagian ruang panggung, baik untuk 9
Top Light (cahaya/lampu di atas panggung), Side Light
(cahaya/lampu samping), Back Light (cahaya/lampu
belakang), maupun Front Spot (cahaya/lampu depan).
Perhatikan denah pencahayaan yang agak lebih detil
berikut ini.

Gambar 7: Denah Lighting/Cahaya


(gambar diambil dari Eko Santoso, 2011)

Begitu juga dalam penataan properti di panggung


tetap memperhatikan pembagian ruang panggung ter-
sebut. Meskipun juga mesti memperhatikan kebutuhan
teknis aktor, misalnya keluar masuk atau pun blokingnya.

b. Proses Kerja Penata Panggung


Apa yang mesti dilakukan seorang penata panggung
ketika hendak memulai tugas dan tanggung jawabnya?
1) Memahami tugas dan tanggung jawab sebagai
penata panggung. Pada prinsipnya tugas dan

189
tanggung jawab seorang penata panggung adalah me-
wujudkan visual naskah dan konsep sutradara ke
dalam kenyataan teater, khususnya dalam kaitannya
dengan ruang, waktu, dan suasana/keadaan.
2) Memahami naskah. Tugas penata panggung pada
tahap ini adalah menemukan detil lokasi kejadian pada
setiap adegan dalam cerita. Semuanya ditulis dengan
lengkap dan didata.
a) Lokasi kejadian (menunjukkan tempat ber-
langsungnya cerita)
b) Waktu kejadian (menunjukkan tahun, dekade, atau
era kejadian)
c) Bentuk atau struktur bangunan sesuai dengan
lokasi dan waktu
d) Model atau gaya perabot sesuai dengan lokasi dan
waktu
e) Lingkungan tempat kejadian (suasana lingkungan
yang mendukung)
f) Peralatan apa saja yang diperlukan (piranti tangan
untuk para pemain seperti; tongkat, senjata, dan
lain sebagainya)
g) Perpindahan lokasi kejadian dari babak atau
adegan satu ke adegan lain
h) Suasana yang dikehendaki pada setiap adegan
(Santoso, dkk., 2011: 403).
3) Diskusi dengan sutradara. Perlu diketahui bahwa
sutradaralah pemilik desain artistik suatu pementasan
teater. Oleh karena itu, sutradara juga menjadi sumber
bagi penata panggung dalam melaksanakan tugasnya.

190
4) Membuat desain/rancangan set panggung. Desain
atau rancangan set panggung adalah gambar di atas
kertas tentang bagaimana gambaran panggung tempat
para aktor akan bermain. Oleh karena itu, sebaiknya
seorang penata panggung memiliki kemampuan seni
rupa. Ada beberapa prinsip dasar yang mesti difahami
ketika membuat gambar desain set panggung, sebagai-
mana berikut ini (Baca: Santoso, dkk., 2011).
a) Garis; menuntun mata penonton menuju area per-
mainan dan sekitarnya
b) Dimensi; memberikan gambaran ruang dan isi
c) Warna; mempertegas kedalaman ruang
d) Cahaya; membuat semuanya tampak hidup
e) Komposisi dan Keseimbangan
f) Perpektif; Menghadirkan objek tiga dimensi dan
bentuk permukaan dua dimensi untuk menampak-
kan kesan tinggi, ketebalan, kedalaman, dan jarak
yang relatif.
Untuk memperjelas keenam prinsip dasar tersebut,
perhatikan contoh gambar berikut ini.

Gambar 8: Garis

191
Gambar 9: Dimensi

Gambar 10: Warna

Gambar 11: Pencahayaan

192
Gambar 12 : Komposisi dan Kesimbangan

Gambar 13 : Perspektif

Dalam hubungannya dengan tipe/gaya pementas-


an terdapat panggung berjenis realis dan simbolis. Berikut
contoh gambar kedua tipe/gaya pementasan tersebut.

193
Gambar 14 : Panggung Realis

Gambar 15 : Panggung Simbolis

3
Tata Artistik Rias dan Busana

a. Tata Rias dalam Teater


Tata rias dapat diartikan sebagai seni mengubah
penampilan wajah menjadi lebih sempurna. Tata rias

194
dalam teater mempunyai arti lebih spesifik, yaitu seni
mengubah wajah untuk menggambarkan karakter tokoh.
Pada zaman Yunani, tata rias wajah melekat pada topeng
untuk menggambarkan karakter.
Manfaat tata rias adalah untuk memperjelas wajah
dan ketokohan pemain. Kalau tidak diperjelas dengan rias
(dan busana), penonton akan bingung siapakah tokoh
tersebut. Ibunya atau anaknya, sekalipun yang main anak-
anak, mereka tetap bisa dikenali sebagai ibu atau nenek
dengan cara dirias (wajah dan rambutnya), dan dilengkapi
dengan busana (Riantiarno, 2011: 166). Sedangkan
Endraswara (2011: 97) mengatakan fungsi pokok dari
rias, adalah mengubah watak seseorang, baik dari segi
fisik, psikis, dan sosial. Fungsi bantuan rias adalah untuk
memberikan tekanan terhadap perannya. Jika rias
menuntut berperan sebagai fungsi pokok, maka berarti
mengubah diri aktor ke dalam peran yang lain. Sementara
Santoso, dkk (2011: 273) mengemukakan fungsi atau
tujuan tata rias sebagai berikut.
1) Menyempurnakan penampilan wajah
2) Menggambarkan karakter tokoh
3) Memberi efek gerak pada ekspresi pemain
4) Menegaskan dan menghasilkan garis-garis wajah yang
sesuai dengan tokoh
5) Menambah aspek dramatik.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat
disimpulkan bahwa tata rias memilik, paling tidak tiga
fungsi, yaitu: 1) memperjelas wajah aktor; 2) memberikan
tekanan pada karakter peran dari aktor; dan 3) memberi

195
efek dramatik. Untuk memenuhi ketiga fungsi tersebut,
tata rias terdiri atas tiga macam sebagai berikut.
1) Tata Rias Korektif, yaitu tata rias yang biasa digunakan
sehari-hari dalam kehidupan. Tujuannya untuk
memperjelas dan mempercantik diri. Dalam teater tata
jenis ini bertujuan untuk memperjelas wajah pemain
agar bisa terlihat dari jauh.
2) Tata Rias Karakter, yaitu tata rias yang bertujuan untuk
memperjelas karakter pemain. Misalnya menjadi tua,
jelek, penuh keriput. Lebih dari itu, tata rias karakter
dapat juga mengubah wajah seseorang menjadi buruk.
Wajah bisa berubah-ubah, dicetak, digambar, atau
bahkan dibuat seperti binatang. Tergantung dari
sasaran apa yang akan dibuat.
3) Tata Rias Fantasi, yaitu tata rias yang berhubungan
dengan khayalan atau imajinasi seseorang. Tata rias ini
bisa di wajah atau di badan. Misalnya, mengkhayal
tentang ratu ular, maka penata rias akan membuat tata
rias seperti ular (Riantiarno, 2011: 166-167).
Sedangkan menurut Waluyo (2001) mengemukakan
delapan jenis tata rias berikut ini.
1) Rias jenis, yaitu rias yang mengubah peran dari jenis
kelamin lelaki menjadi perempuan atau sebaliknya.
2) Rias bangsa, yaitu rias yang mengubah kebangsaan
seseorang. Misalnya orang Jawa berperan menjadi
orang Belanda, yang ciri-ciri fisiknya berbeda.
3) Rias usia, yaitu rias yang mengubah usia seseorang.
Misalnya orang muda berperan menjadi orang tua atau
sebaliknya.

196
4) Rias tokoh, yaitu rias yang membentuk tokoh tertentu
yang ciri-ciri fisiknya sudah dimiliki oleh tokoh
tersebut dan harus ditiru. Misal seseorang berperan
menjadi Superman, Gatutkaca, atau yang lain.
5) Ria watak, yaitu rias sesuai dengan watak peran. Tokoh
sombong, penjahat, tuna susila, dan sebagainya
membutuhkan rias watak.
6) Rias temporal, yaitu rias yang dibedakan karena waktu
atau saat tertentu. Misalnya rias sehabis mandi, bangun
tidur, pesta, piknik, sekolah, dan sebagainya.
7) Rias aksen, yaitu rias yang hanya memberikan tekanan
kepada pelaku yang mempunyai anasir sama dengan
tokoh yang dibawakan.
8) Rias lokal, yaitu rias yang ditentukan oleh tempat atau
hal yang menimpa peran saat itu. Misalnya rias di
penjara, di sawah, di pasar, dan sebagainya.
Pengetahuan tentang jenis-jenis rias di atas perlu
juga dipahami oleh seorang penata rias. Paling tidak, dapat
memberikan wawasan tentang tugas dan tanggung
jawabnya. Di samping itu, yang tidak kalah penting adalah,
penata rias juga harus memahami jenis-jenis rias
berdasarkan sifatnya, sebagaimana berikut.
1) Base (dasar), jenis rias ini berguna untuk melindungi
kulit, memudahkan pemberian rias, dan memudahkan
penghapusan rias.
2) Foundation, yaitu rias berwujud stick atau pasta untuk
menutup ketidakrataan pada kulit.
3) Line, yaitu rias berupa garis untuk memberikan batas
anatomi wajah. Biasanya berupa: eyebrow, pencil, ey
elash, lipstick, dan shadow.

197
4) Rouge, yaitu jenis rias untuk menghidupkan bagian pipi
dekat mata tulang pipi, dagu, dan kelopak mata.
5) Cleansing (cream), yaitu cream pembersih untuk
menghilangkan semua rias yang melekat pada wajah
(Endraswara, 2011: 100).
Hal-hal di atas paling tidak yang mesti diketahui
oleh penata rias, juga crew artistik yang lain. Segala yang
diperlukan dan dilakukan dalam kaitannya dengan tata
rias diarahkan untuk mewujudkan tata artistik pementas-
an teater.

b. Tata Busana dalam Teater


Tata busana adalah seni pakaian dan segala per-
lengkapan yang menyertai untuk menggambarkan tokoh.
Tata busana termasuk segala asesoris seperti topi, sepatu,
syal, kalung, gelang , dan segala unsur yang melekat pada
pakaian. Tata busana dalam teater memiliki peranan
penting untuk menggambarkan tokoh. Pada era teater
primitif, busana yang dipakai berasal dari bahan-bahan
alami, seperti tumbuhan, kulit binatang, dan batu-batuan
untuk asesoris. Ketika manusia menemukan tekstil dengan
teknologi pengolahan yang tinggi, maka busana ber-
kembang menjadi lebih baik (Santoso, dkk., 2011: 360).
Tata busana dalam panggung berguna untuk
menandakan karakter dari seorang tokoh. Tetapi dalam
perwujudannya, tata busana mesti memperhatikan
bentuk, warna, dan konsep warna secara keseluruhan. Di
samping itu, tak kalah pentingnya adalah koordinasi
dengan penata gerak, penata rias, penata artistik, penata
cahaya, pemain, dan sutradara. Koordinasi tersebut

198
penting manfaatnya karena semua diarahkan untuk
mencapai tujuan yang sama, yaitu keberhasilan suatu
pementasan teater.
Tata busana memiliki fungsi untuk mengidentifikasi
peiode saat lakon itu dilaksanakan. Perlu diingat bahwa
dalam pementasan suatu lakon, cerita memiliki latar
waktu dan tempat. Tata busana atau kostum dapat
membantu untuk memvisualkan zaman atau periode
waktu tertentu dari cerita yang terkandung dalam naskah.
Misalnya, periode tahun 40-an, 60-an, 80-an, atau 2000-
an, tentu memiliki trend busana yang berbeda-beda.
Dengan melihat model busana yang dipakai aktor dapat
diidentifikasikan pada masa apakah cerita itu ber-
langsung.
Tata busana juga dapat menunjukkan asal usul dan
status sosial tertentu. Dari busana yang dipakai seorang
aktor dapat diketahui peran apa yang dimainkan aktor
tersebut. Misalnya, seorang pembantu, majikan, polisi,
tentara, guru, kyai, orang Jawa, Irian, Belanda, dan
sebagainya dapat diketahui lewat busana yang dipakainya.
Di samping itu, lewat busana yang dipakai juga dapat
menunjukkan usia peran yang dimainkan seorang aktor.
Misalnya, seorang lelaki tua, lelaki muda, perempuan tua,
perempuan muda, dan seterusnya dapat dibantu dengan
tata busana, di samping tata rias, gerak, akting, dan
sebagainya.
Dalam kaitannya dengan tipe atau gaya pementasan,
tata busa juga dapat mengekspresikan gaya pementasan
yang hendak diciptakan di atas panggung. Gaya realis,
simbolis, absurd, dramatik, surealis, komedi, karikatur,

199
dan seterusnya, peran tata busana sangat penting. Oleh
karena itu, penata busana harus selalu berkoordinasi
dengan sutradara dan melihat latihan, di samping
mempelajari naskah.
Untuk mewujudkan apa yang dijelaskan di atas,
dapat dilakukan melalaui klasifikasi busana yang banyak
dipraktikkan dalam proses pementasan. Misalnya, pakaian
dasar, pakaian kaki, pakaian tubuh, pakaian kepala, dan
kostum pelengkap. Klasifikasi yang lain dikemukakan
beberapa pendapat bahwa busana dapat dikelompokkan
menjadi: busana sehari-hari, busana tradisional, busana
fantasi, busana sejarah, dan lain-lain. (baca: Endraswara,
2011; Santoso, 2011).
Bebera upaya yang harus dilakukan seorang penata
busana atau kostum, untuk melaksanakan tugas dan
tanggung jawabnya, adalah sebagai berikut.
1) Mempelajari naskah untuk menggali segala hal yang
berhubungan dengan tata busa.
2) Mengadakan riset kepustakaan untuk membuat busana
yang bagaimana yang sesuai dengan kebutuhan pe-
mentasan.
3) Berkoordinasi dengan sutradara dan tim proses
lainnya.
4) Mendesain busana masing-masing peran di atas
gambar dan mengonsultasikan kepada sutradara,
untuk mendapatkan persetujuannya.
5) Mengujicobakan busana yang sudah dirancang dan
dibuatnya pada saat latihan, untuk mendapatkan
kesempurnaan.

200
4
Tata Artistik Cahaya (Lighting)

a. Fungsi Tata Cahaya


Dalam bukunya Seni Teater Jilid II untuk Sekolah
Menengah Kejuruan, santoso, dkk. (2011: 331-332)
menjelaskan tentang tata artistik cahaya ini. Tata cahaya
yang hadir di atas panggung dan menyinari semua objek
sesungguhnya menghadirkan kemungkinan sutradara,
aktor, dan penonton untuk saling melihat dan
berkomunikasi. Semua objek yang disinari memberikan
gambaran yang jelas kepada penonton tentang segala
sesuatu yang akan dikomunikasikan. Dengan cahaya,
sutradara dapat menghadirkan ilusi imajinatif.
Mengutip pendapat Mark Carpenter (1988),
Santoso, dkk. menyebutkan empat fungsi dasar tata
cahaya, yaitu: penerangan, dimensi, pemilihan, dan
atmosfir.
1) Penerangan. Inilah fungsi paling mendasar dari tata
cahaya. Lampu memberi penerangan pada pemain dan
setiap objek yang ada di atas panggung. Istilah
penerangan dalam tata cahaya panggung bukan hanya
sekedar memberi efek terang sehingga bisa dilihat
tetapi memberi penerangan bagian tertentu dengan
intensitas tertentu. Tidak semua area di atas panggung
memiliki tingkat terang yang sama tetapi diatur dengan
tujuan dan maksud tertentu sehingga menegaskan
pesan yang hendak disampaikan melalui laku aktor di
atas pentas.

201
2) Dimensi. Dengan tata cahaya kedalaman sebuah objek
dapat dicitrakan. Dimensi dapat diciptakan dengan
membagi sisi gelap dan terang atas objek yang disinari
sehingga membantu perspektif tata panggung. Jika
semua objek diterangi dengan intensitas yang sama
maka gambar yang akan tertangkap oleh mata
penonton menjadi datar. Dengan pengaturan tingkat
intensitas serta pemilahan sisi gelap dan terang maka
dimensi objek akan muncul.
3) Pemilihan. Tata cahaya dapat dimanfaatkan untuk
menentukan objek dan area yang hendak disinari. Jika
dalam film dan televisi sutradara dapat memilih adegan
menggunakan kamera maka sutradara panggung
melakukannya dengan cahaya. Dalam teater, penonton
secara normal dapat melihat seluruh area panggung,
untuk memberikan fokus perhatian pada area atau aksi
tertentu sutradara memanfaatkan cahaya. Pemilihan
ini tidak hanya berpengaruh bagi perhatian penonton
tetapi juga bagi para aktor di atas pentas serta
keindahan tata panggung yang dihadirkan.
4) Atmosfir. Yang paling menarik dari fungsi tata cahaya
adalah kemampuannya menghadirkan suasana yang
mempengaruhi emosi penonton. Kata “atmosfir” di-
gunakan untuk menjelaskan suasana serta emosi yang
terkandung dalam peristiwa lakon. Tata cahaya mampu
menghadirkan suasana yang dikehendaki oleh lakon.
Sejak ditemukannya teknologi pencahayaan panggung,
efek lampu dapat diciptakan untuk menirukan cahaya
bulan dan matahari pada waktu-waktu tertentu.
Misalnya, warna cahaya matahari pagi berbeda dengan

202
siang hari. Sinar mentari pagi membawa kehangatan
sedangkan sinar mentari siang hari terasa panas. Inilah
gambaran suasana dan emosi yang dapat dimunculkan
oleh tata cahaya.
Keempat fungsi pokok tata cahaya di atas tidak
berdiri sendiri. Artinya, masing-masing fungsi memiliki
interaksi (saling mempengaruhi). Fungsi enerangan
dilakukan dengan memilih area tertentu untuk mem-
berikan ambaran dimensional objek, suasana, dan emosi
peristiwa.
Lebih lajut dikemukakan Santoso, dkk. (2011: 33)
bahwa tata cahaya juga memiliki fungsi pendukung yang
dikembangkan secara berlainan oleh masing-masing ahli
tata cahaya. Beberapa fungsi pendukung yang dapat
ditemukan dalam tata cahaya adalah sebagai berikut.
1) Gerak. Tata cahaya tidaklah statis. Sepanjang
pementasan, cahaya selalu bergerak dan berpindah
dari area satu ke area lain, dari objek satu ke objek lain.
Gerak perpindahan cahaya ini mengalir sehingga
kadang-kadang perubahannya disadari oleh penonton
dan kadang tidak. Jika perpindahan cahaya bergerak
dari aktor satu ke aktor lain dalam area yang berbeda,
penonton dapat melihatnya dengan jelas. Tetapi
pergantian cahaya dalam satu area ketika adegan
tengah berlangsung terkadang tidak secara langsung
disadari. Tanpa sadar penonton dibawa ke dalam
suasana yang berbeda melalui perubahan cahaya.
2) Gaya. Cahaya dapat menunjukkan gaya pementasan
yang sedang dilakonkan. Gaya realis atau naturalis
yang mensyaratkan detil kenyataan mengharuskan tata

203
cahaya mengikuti cahaya alami seperti matahari, bulan
atau lampu meja. Dalam gaya Surealis tata cahaya
diproyeksikan untuk menyajikan imajinasi atau fantasi
di luar kenyataan sehari-hari. Dalam pementasan
komedi atau dagelan tata cahaya membutuhkan tingkat
penerangan yang tinggi sehingga setiap gerak lucu yang
dilakukan oleh aktor dapat tertangkap jelas oleh
penonton.
3) Komposisi. Cahaya dapat dimanfaatkan untuk men-
ciptakan lukisan panggung melalui tatanan warna yang
dihasilkannya.
4) Penekanan. Tata cahaya dapat memberikan penekan-
an tertentu pada adegan atau objek yang dinginkan.
Penggunaan warna serta intensitas dapat menarik
perhatian penonton sehingga membantu pesan yang
hendak disampaikan. Sebuah bagian bangunan yang
tinggi yang senantiasa disinari cahaya sepanjang
pertunjukan akan menarik perhatian penonton dan
menimbulkan pertanyaan sehingga membuat penonton
menyelidiki maksud dari hal tersebut.
5) Pemberian tanda. Cahaya berfungsi untuk memberi
tanda selama pertunjukan berlangsung. Misalnya, fade
out untuk mengakhiri sebuah adegan, fade in untuk
memulai adegan dan black out sebagai akhir dari
cerita. Dalam pementasan teater tradisional, black out
biasanya digunakan sebagai tanda ganti adegan diiringi
dengan pergantian set.

b. Peralatan Tata Cahaya

204
Pengetahuan tentang tata cahaya sangat ribet dan
banyak perlengkapan yang mesti diketahui oleh penata
cahaya. Oleh karena itu, penata cahaya biasanya dipilih
seseorang yang telah memiliki pengetahuan dan ke-
terampilan di bidang elektronik. Sebagai bahan untuk
sekedar diketahui oleh para pekerja teater yang mau tidak
mau harus memikul tanggung jawab itu, meski dengan
bekal yang minimal, berikut ini dikemukakan beberapa
peralatan yang dibutuhkan dalam tata cahaya.

1) Lampu (lantern); yaitu sumber cahaya. Orang awam


sering menyebutnya dengan sebutan bola lampu.
Tetapi untuk kebutuhan teater dibedakan dengan
lampu rumah (lamp). Jenis lampu dalam teater ada
beberapa jenis, sebagai berikut.
a. Floodlight; yaitu lampu yang memiliki sifat me-
nyebar. Dari sinar cahaya yang dihasilkannya
membuat besaran area yang disinari tergantung
dari jarak lampu terhadap objek.
b. Scoop; yaitu lampu flood yang menggunakan
reflektor ellipsoidal dan dapat digunakan untuk
berbagai macam keperluan. Sinar cahaya yang di-
hasilkan memancar secara merata dengan lembut.
c. Fresnel; merupakan lampu spot yang memiliki garis
batas sinar cahaya yang lembut.
d. Profile; yaitu termasuk lampu spot yang mengguna-
kan lensa plano convex sehingga lingkaran sinar
cahaya yang dihasilkan memiliki garis tepi yang
tegas. Dengan mengatur posisi lensa, maka
lingkaran sinar cahaya bisa disesuaikan. Jika lampu

205
profile dalam keadaan fokus maka batas lingkaran
cahaya akan jelas terlihat dan jika tidak fokus batas
lingkaran cahayanya akan mengabur meskipun
tidak selembut lampu fresnel.
e. Follow spot sering juga disebut lime adalah lampu
yang dapat dikendalikan secara langsung oleh
operator untuk mengikuti gerak laku aktor di atas
panggung.
2) Filter atau color adalah plastik warna yang diguna-
kan untuk memberi warna pada cahaya. Filter adalah
asesori yang paling penting untuk mengubah warna
natural cahaya yang dihasilkan lampu sesuai ke-
inginan dengan cara memasang filter di depan
perangkat.
3) Dimmer; untuk mengkontrol intensitas cahaya dan
mengatur perubahan cahaya dalam intensitas tertentu
dibutuhkan alat yang disebut dimmer. Secara se-
derhana sumber listrik dialirkan ke sebuah dimmer
untuk mengalirkan arus listrik ke lampu. Dimmer
dapat mengubah intensitas cahaya dari rendah ke
tinggi atau sebaliknya dengan mengatur panas
(temperatur) yang mengalir ke filamen bohlam.

Gambar 16: Instalasi Dimmer

206
4) Holder; yaitu alat yang digunakan untuk memasang
lampu dan digantung pada bar. Bar adalah pipa besi
yang berderet di atas panggung atau di atas penonton
untuk pemasangan holder. Bentuk holder didasarkan
atas jenis lampu.

Gambar 17: berbagai bentuk holder

5) Reflektor; yaitu alat yang digunakan untuk memancar-


kan cahaya dari bohlan ke obyek yang disinari.
Apa yang dikemukakan tentang perlengkapan tata
cahaya di atas belumlah memdai. Tetapi untuk kebutuhan
pementasan dalam komunitas-komunitas teater setingkat
teater pelajar atau mahasiswa di daerah-daerah, dengan
keterbatasan gedung teater dan perlengkapan pe-
manggungan, perlengkapan di atas kiranya cukup.

c. Denah Tata Cahaya


Salah satu tugas penata cahaya adalah membuat
desain tata cahaya. Desain tata cahaya adalah gambar
rancangan atau desain tentang kebutuhan penataan
cahaya yang dibutuhkan dalam pemanggungan. Di sub-

207
bab Tata Artistik Panggung telah dijelaskan bahwa pe-
nataan cahaya perlu mempertimbangkan pembagian
ruang panggung. Di samping itu, penataan cahaya juga
mesti mempertimbangkan kebutuhan obyek yang hendak
disinari. Obyek tersebut meliputi properti, set dekor, dan
aktor.
Perlu diketahui bahwa berdasarkan posisinya,
cahaya atau lampu di atas panggung terdiri atas beberapa
macam.
1) Top light; yaitu cahaya/lampu yang terpasang di atas
panggung, tepat di atas kepala aktor atau bagian-bagian
ruang panggung.
2) Back light; yaitu cahaya/lampu yang terpasang di baris
belakang/tepi belakang panggung.
3) Side light; yaitu cahaya/lampu yang terpasang di sisi
kanan dan kiri panggung.
4) Front light; yaitu cahaya/lampu yang terpasang di
depan atas panggung.
Khususnya jenis cahaya/lampu nomor 1-4 dapat
dilihat dalam denah tata cahaya sebagai berikut.

Gambar 18: Denah Tata Cahaya

208
Gambar 19: Letak dan Area Penyinaran Cahaya

Apa yang mesti dilakukan oleh penata cahaya dalam


melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya? Berikut
beberapa hal yang harus dilakukan dalam kaitannya
dengan penataan cahaya.
1) Mempelajari naskah
2) Diskusi dengan sutradara
3) Diskusi dengan tim artistik yang lain
4) Mempelajari desain tata panggung
5) Menghadiri latihan
6) Membuat konsep pencahayaan
7) Menggambar desain tata cahaya
8) Percobaan penataan cahaya
Kedelapan hal yang harus dilakukan oleh penata
cahaya di atas, akan membantu meningkatkan kualitas
dan keberhasilan tata artistik cahaya.

*****

209
DAFTAR PUSTAKA

Adjib Hamzah, 1985. Pengantar Bermain Drama.


Bandung: CV Rosda
Achmad, A. Kasim. 2006. Mengenal Teater Tradisional
di Indonesia. Jakarta: Dewan Kesenian
Jakarta.
................ (1981). Teater Rakyat di Indonesia. Analisis
Kebudayaan, Tahun 1 Nomor 2.
Arifin C. Noer. 1970. Kapai-Kapai. Jakarta: Pustaka Jaya.
Boen S. Oemarjati, 1971. Bentuk Lakon Indonesia.
Jakarta: PT Gunung Agung.
Endraswara, Suwardi. 2011. Metode Pembelajaran Drama.
Yogyakarta: CAPS.
Hamzah, A.A. 1985. Pengantar Bermain Drama.
Bandung: Rosda.
Harymawan, RMA. 1988. Dramaturgi. Bandung:
Rosda.
Herman J. Waluyo, 2001. Drama Teori dan
Pengajarannya. Yogyakarta: PT.
Hanindita Graha Widia.
Jakob Sumardjo, 2004. Perkembangan Teater Modern dan
Sastra Drama Indonesia. Bandung: STSI PRESS.
Konstantin Stanislavski,1980. Persiapan Seorang Aktor
terj. Asrul Sani. Jakarta: Dunia Pustaka Jaya.

210
Rendra. 1976. Tentang Bermain Drama:
Catatan
Elementer bagi Calon Pemain. Jakarta Pustaka
Jaya.
............... 1993. Seni Drama untuk Remaja. Jakarta: Pustaka
Jaya.
Riantiarno, Nano. 2011. Kitab Teater; Tanya Jawab Seputar
Seni Pertunjukan. Jakarta: Grasindo.
RMA Harymawan, 1993. Dramaturgi. Bandung: PT
Remaja Rosdakarya.
Santoso, Eko. dkk. 2008. Seni Teater Jilid 1 untuk SMK.
Jakarta Direktorat Pembinaan Sekolah.
................ 2008. Seni Teater Jilid 2 untuk SMK. Jakarta:
Departemen Pendidikan Nasional
Satoto, Soediro. 2012. Analisis Drama dan Teater.
Yogyakarta: Ombak.
Sumardjo, Jakob. 1992. Perkembangan Teater Modern
dan Sastra Drama Indonesia. Bandung: Citra
Aditya Bakti.
Sumardjo, Jakob dan Saini K.M. 1986. Apresiasi
Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.
Soemanto, Bakdi. 2001. Jagat Teater. Yogyakarta:
Media Pressindo.
Supriyanto, Henri. 1986. Pengantar Seni Teater.
Surabaya: Kopma IKIP Surabaya.
Suryo, B. 1983. Pengantar Teater dalam Studi dan

211
Praktek. Jakarta: Gunung Mulia.
Sudjiman, P. (editor). 1990. Kamus Istilah Sastra.
Jakarta: UI Press.
Taylor, Loren E. 1984. Drama Formal dan Teater
Remaja. (terj. A.J. Soetrisman) Yogyakarta:
Hanindita.
Tambayong, Yapi. 1981. Dasar Dramatisasi. Bandung:
Pustaka Prima.
..................2012. 123 Ayat Tentang Seni. Bandung:
Nuansa Cendekia.

*****

212
LAMPIRAN

DRAMA KOMEDI SATU BABAK


ORANG KASAR
Karya ANTON CHEKOV
Saduran WS RENDRA

PELAKU:

NYONYA MARTOPO
BAITUL BILAL
MANDOR DARMO
TIGA ORANG PEKERJA

DI SATU TEMPAT DAERAH PERKEBUNAN KOPI DI JAWA


TIMUR. SUATU DAERAH YANG BERALAM INDAH, SEGAR
DAN KAYA. DI SINILAH PEMILIK-PEMILIK PERKEBUNAN
MEMPUNYAI RUMAH-RUMAH YANG BESAR, BAGUS DAN
MEWAH.

MEREKA SUKA MEMELIHARA KUDA DAN WAKTU


SENGGANG SUKA BERBURU TUPAI ATAU BURUNG.
MEREKA SUKA PULA BERTAMASYA DENGAN KERETA
DAN KUDA MEREKA YANG BAGUS.

213
KETIKA LAYAR DIBUKA, NAMPAKLAH KAMAR TAMU DI
RUMAH TUAN MARTOPO YANG MEWAH ITU.
PERABOTAN DI KAMAR ITU SERBA BAGUS. DI DINDING
TERDAPAT TUPAI-TUPAI YANG DIISI KAPAS, TERPAKU
DENGAN LUCU. JUGA TERDAPAT TANDUK-TANDUK
RUSA, BURUNG-BURUNG BERISI KAPAS DIJADIKAN
HIASAN DISANA-SINI. SEDANG DI LANTAI BEREBAHLAH
SEEKOR HARIMAU YANG DAHSYAT YANG TENTU SAJA
JUGA BERISI KAPAS.

BERMACAM GOLOK, PEDANG DAN SENAPAN ANGIN


TERSIMPAN DI SEBUAH LEMARI KACA YANG BESAR.
PADA SUATU SIANG HARI, KIRA-KIRA JAM 12.00, DI
KAMAR TAMU YANG MEWAH ITU, NYONYA MURTOPO,
SANG JANDA, DUDUK DI ATAS SOFA SAMBIL
MEMANDANG DENGAN PENUH LAMUNAN KE GAMBAR
ALMARHUM SUAMINYA YANG GAGAH, BERMATA BESAR
DAN BERKUMIS TEBAL ITU. MAKA MASUKLAH MANDOR
DARMO YANG TUA ITU.

DARMO
Lagi-lagi saya jumpai nyonya dalam keadaan seperti ini.
Hal ini tidak bisa dibenarkan, nyonya Martopo. Nyonya
menyiksa diri! Koki dan babu bergurau di kebun sambil
memetik tomat, semua yang bernafas sedang menikmati
hidup ini, bahkan kucing kitapun tahu bagaimana
berjenakanya dan berbahagia, berlari-lari kian kemari di
halaman, berguling-guling di rerumputan dan menangkapi
kupu-kupu, tetapi nyonya memenjarakan diri nyonya
sendiri di dalam rumah seakan-akan seorang suster di
biara.
Ya, sebenarnyalah bila dihitung secara tepat, nyonya tak
pernah meninggalkan rumah ini selama tidak kurang dari
satu tahun.

214
NYONYA
Dan saya tak akan pergi ke luar! Kenapa saya harus pergi
keluar? Riwayat saya sudah tamat. Suamiku terbaring di
kuburnya, dan sayapun telah mengubur diri saya sendiri
di dalam empat dinding ini. Kami berdua telah sama-sama
mati.

DARMO
Ini lagi ! Ini lagi ! Ngeri saya mendengarkannya, sungguh!
Tuan Martopo telah mati, itu kehendak Allah, dan Allah
telah memberikannya kedamaian yang abadi. Itulah yang
nyonya ratapi dan sudah sepantasnya nyonya
menyudahinya. Sekarang inilah waktunya untuk berhenti
dari semua itu. Orang toh tak bisa terus menerus
melelehkan air mata dan memakai baju hitam yang
muram itu! Istri sayapun telah meninggal dunia beberapa
tahun yang lalu. Saya berduka cita untuknya, sebulan
penuh saya melelehkan air mata, sudah itu selesai sudah.
Haruskah orang berkabung selama-lamanya? Itu sudah
lebih dari yang sepantasnya untuk suami nyonya!

(ia mengeluh) Nyonya telah melupakan semua tetangga


nyonya. Nyonya tidak pergi keluar dan tidak menjamu
seorangpun juga. Kita hidup, maafkanlah, seperti laba-
laba, dan kita tak pernah menikmati cahaya matahari yang
gemilang.

Pakaian-pakaian pesta telah dikerikiti tikus, seakan-akan


tak ada lagi orang baik di dunia ini. Tetapi di daerah ini
penuh dengan orang-orang yang menyenangkan. Di desa
ini Perfini mengadakan location, wah, bintang-bintang
filmnya kocak! Orang tak akan puas-puas melihat mereka.
Setiap malam minggu mereka mengadakan malam

215
pertemuan, bintang-bintang yang cantik pada bernyanyi
dan Raden Ismail bermain pencak. Oh, nyonyaku,
nyonyaku, nyonya masih muda dan cantik. Ah, seandainya
memberi kesempatan pada semangat nyonya yang remaja
itu… Kecantikan toh tak akan abadi. Jangan sia-siakan.
Apabila sepuluh tahun lagi nyonya baru mau keluar ke
pesta, ya, sudah terlambat!

NYONYA (Tegas)
Saya minta, jangan bicara seperti itu lagi. Pak Darmo telah
tahu, bahwa sejak kematian mas Martopo, hidup ini tak
ada harganya lagi bagi saya. Bapak kira aku ini hidup? Itu
hanya nampaknya saja, mengertikah Pak Darmo? Oh, saya
harap arwahnya yang telah pergi itu melihatbagaimana
aku mencintainya. Saya tahu, ini bukan rahasia pula
bagimu, suamiku sering tidak adil terhadap saya, kejam,
dan ia tidak setia, tetapi saya akan setia, kepada
bangkainya dan membuktikan kepadanya betapa saya bisa
mencinta. Di sana, di akhirat ia akan menyaksikan bahwa
saya masih tetap sebagai dulu.

DARMO
Apakah faedahnya kata-kata semacam itu, bila lebih patut
nyonya berjalan di kebun atau memerintahkan orang
memasang kuda kesayangan kita si Tobby dan si Hero di
depan kereta, dan kemudian pergi pesiar ataupun
mengunjungi para tetangga?

NYONYA (menangis)

DARMO (setelah keheranan sejenak)


Nyonyaku, nyonyaku, ada apa? Nyonya Martopo, demi
Tuhan ada apa?

216
NYONYA
Suami sangat mencintai kuda itu, si Tobby itu. Ia selalu
tahu mengendarainya apabila meninjau kebun-kebun.
Bahkan ia pernah pula membawanya mendaki gunung
Bromo. Ia sangat gagah kalau naik kuda. Alangkah gayanya
apabila ia menarik kekang kuda dengan tangan-tangannya
yang perkasa itu. Tobby, Tobby, berilah ia rumput dua kali
lipat hari ini.

DARMO
Baiklah, nyonya, baik.

BEL DIBUNYIKAN ORANG DENGAN KERAS

NYONYA (gugup)
Siapa itu? Saya tak mau terima tamu!

DARMO
Ya, nyonya. (pergi keluar, ke pintu tengah)

NYONYA (menatap gambar suaminya)


Engkau akan melihat, Martopo, betapa aku dapat
mencintai dan mengampunimu. Cintaku bisa mati hanya
bila akupun telah mati. (ia tersenyum melehkan air mata)
Dan tidakkah engkau baik dan setia, aku telah memalu?
Aku adalah istri yang mengurung dirku sendiri dan saya
akan tetap tinggal setia sampai mati, dank au, kau, kau tak
punya malu, monyet yang tercinta. Kau selalu mengajak
bertengkar dan meninggalkan aku berminggu-minggu
lamanya.

DARMO MASUK DENGAN GUGUP

217
DARMO
Oh, nyonya, ada orang ingin bertemu dengan nyonya,
mendesak untuk bertemu dengan nyonya…

NYONYA
Sudah bapak katakan bahwa sejak kematian suami saya,
saya tak mau menerima seorang tamupun?

DARMO
Sudah, tetapi ia tidak mau mendengarkannya, katanya
urusannya sangat penting.

NYONYA
Sudah bapak katakana tak menerima tamu!?
DARMO
Saya sudah berkata begitu, tetapi ia orang yang ganas, ia
mencaci maki dan nekad saja masuk ke dalam kamar, ia
sekarang sudah menerobos ke kamar makan.

NYONYA (marah sekali)


Baiklah! Bawa dia kemari! Orang tak tahu adat!

DARMO KELUAR KE PINTU TENGAH

NYONYA
Orang-orang tanpa guna! Apa pula yang mereka kehendaki
dari saya! Kenapa mereka mengganggu ketentramanku?
(mengeluh) Ya, sekarang sudah tenang, saya harus masuk
biara. (merenung) Ya, biara.

BILAL MASUK DIIRINGI DARMO

BILAL (Kepada Darmo)

218
Orang goblog! Engkau terlalu banyak omong! Engkau
keledai! (melihat nyonya martopo, sopan)
Nyonya, saya merasa terhormat untuk memperkenalkan
diri saya. Mayor Lasykar Rakyat di jaman revolusi,
sekarang mengundurkan diri dan menjadi pengusaha
perkebunan, adapun nama saya: Baitul Bilal. Saya terpaksa
menggangu nyonya untuk suatu urusan yang luar biasa
mendesak.

NYONYA (Ringkas)
Tuan mau apa?

BILAL
Almarhum suami nyonya, denga siapa saya merasa
beruntung bisa bersahabat, meninggalkan kepada saya
dua buah bon yang jumlahnya duabelas ribu rupiah.
Berhubung saya harus membayar bunga untuk sebuah
hutang di Bank Rakyat besok pagi, maka saya akan
memohon kepada nyonya, hendaknya nyonya suka
membayar hutang tersebut, hari ini.

NYONYA
Dua belas ribu, suami saya ngebon apa saja pada tuan?

BILAL
O, macam-macam, beras, kacang, kedelai, minyak dan oh,
ya –dan juga rumput untuk kuda-kudanya.

NYONYA (Dengan mengeluh, kepada Darmo)


Oh, rumput, Pak Darmo jangan lupa bahwa si Tobby harus
diberi rumput duakali lipat hari ini.

DARMO KELUAR
NYONYA (Kepada Bilal)

219
Bila mas Martopo berhutang kepada tuan, tentu saya akan
membayarnya, tapi sayang hari ini uangnya tidak ada pada
saya. Besok pagi bendahara saya akan kembali dari kota,
dan saya akan memintanya untuk membayar apa yang
sepantasnya harus tuan terima, tapi, pada saat ini saya
tidak bisa memenuhi permintaan tuan. Lebih daripada itu,
baru tepat tujuh bulannya suami saya meninggal dunia
dan saya tidak bernafsu untuk membicarakan masalah
uang.

BILAL
Dan saya sangat bernafsu untuk bunuh diri bila saya tak
bisa membayar bunga hutang saya besok pagi. Mereka
akan menyita perkebunan saya.

NYONYA
Besok lusa tuan akan menerima uang itu.

BILAL
saya tak membutuhkannya besok lusa, tapi hari ini.

NYONYA
Saya menyesal, tapi hari ini saya tak bisa membayar.

BILAL
Dan saya tak bisa menunggu sampai besok lusa.

NYONYA
Tapia pa daya saya kalau memang tak punya uang hari ini?

BILAL
Jadi nyonya tak bisa bayar.

220
NYONYA
Tak bisa!

BILAL
Hm, itukah kata nyonya yang terakhir?

NYONYA
Yang terakhir.

BILAL
Sungguh-sungguh.

NYONYA
Sungguh-sungguh.

BILAL
Terima kasih (mengangkat bahu) Dan mereka
mengharapkan saya untuk menahan diri. Penagih Pajak di
jalan tadi bertanya kepada saya, kenapa saya selalu
kuatir? Saya membutuhkan uang, saya merasa leher saya
terjerat. Sejak kemarin pagi saya meninggalkan rumah
saya di waktu hari masih subuh dan menagih hutang
kesana kemari. Seandainya ada saja yang membayar
hutangnya kan lumayan juga! Tapi tidak! Saya telah
berusaha keras. Setanpun menyaksikan bagaimana aku
terpaksa menginap di penginapan terkutuk itu. Di dalam
kamar yang sempit dengan balai-balai penuh kepiding!
Dan akhirnya sekarang saya mengharap untuk menerima
uang sekedarnya dan nyonya Cuma bilang “tidak
bernafsu”. Kenapa saya tidak boleh khawatir begini
halnya?

221
NYONYA
Saya kira saya telah cukup menjelaskannya, bahwa
bendahara akan kembali dari kota, dan kemudian tuan
akan mendapatkan uang tuan kembali!

BILAL
Saya datang tidak untuk bertemu dengan bendahara
nyonya, saya datang untuk bertemu dengan nyonya. Saya
tak peduli pada bendahara itu! Demi syetan tidak peduli! –
Maafkan bahasa saya ini!

NYONYA
Sesungguhnyalah tuan, saya tak biasa dengan bahasa
seperti itu, ataupun tingkah laku seperti itu, saya tidak
bernafsu untuk berbicara lebih lanjut.

NYONYA MARTOPO PERGI KE KIRI

BILAL
Apa bisa kukatakan sekarang? Tidak bernafsu. Tepat tujuh
bulan setelah suaminya mati! Saya harus membayar bunga
bukan? Suaminya mati begitu saja, bendaharanya pergi
entak kemana – semoga ditelan syetan dia! Sekarang,
terangkanlah, apa yang harus saya lakukan? Apakah saya
harus lari dari penagih dari Bank itu dengan helicopter.
Ataukah saya harus membenturkan kepala saya ke
tembok batu?

Ketika saya datang ke Sudargo itu untuk menagih


hutangnya, ia pakai taktik “tak ada di rumah” dan Irwan
itu terang-terangan saja lari sembunyi, saya telah pula
bertengkar dengan si KArto dan hampir-hampir saya
lempar ia keluar jendela, Marno pura-pura sakit, dan
wanita ini, “tak bernafsu” katanya! Tak seorangpun

222
diantara mereka mau membayar hutang mereka! Dan
semuanya ini sebab saya terlalu memanjakan mereka,
saya terlalu ramah dan terlalu sopan santun. Saya terlalu
lembut hati terhadap mereka! Tapi tunggulah! Saya tak
akan membiarkan seseorangpun memperdayakan saya,
syetan akan menghajar mereka! Saya akan tinggal di sini
dan tak akan beranjak sebelum ia membayar utangnya!

Brrr! Betapa marah saya! Betapa heibat marah saya!


Segenap urat saya gemetar, karena marah dan saya
hampir-hampir tak bisa bernafas! Oh, sampai-sampai saya
hampir sakit. Syeitan! (Memanggil) Mandor! Pak
Mandor!

DARMO
Ada apa?

BILAL
Ambilkan saya kwas dan sitrun. (Darmo keluar)
Nah, apa yang bisa kita perbuat. Ia tak punya uang kontan
di dompetnya? Logika macam apa ini? Saya merasa
terjerat leher saya, membutuhkan uang dengan sangat,
dan hampir-hampir bunuh diri, dan ia tak mau membayar
utangnya sebab ia tak bernafsu untuk memperbincangkan
masalah uang. Inilah logika perempuan! Itulah sebabnya
saya benci bicara dengan perempuan dan sekarang ini
benci saya luar biasa. Lebih baik saya duduk di atas kotak
dinamit daripada berbicara dengan perempuan!

Brrr! Saya merasa dingin seperti es. Soal ini menyebabkan


saya sangat marah. Melihat mahluk romantis seperti dia
itu dari jauh saja sudah cukup untuk membuat orang
berteriak minta tolong.

223
DARMO MASUK

DARMO (memberikan segelas air kwas)


Nyonya Martopo sakit dan tidak mau bicara dengan tamu.

BILAL
Minggat!! (Darmo pergi)
Sakit dan tak mau bicara dengan tamu! Baiklah, boleh saja.
Sayapun juga tak mau bicara! Saya akan duduk di sini dan
tinggal di sini sampai kau bayar hutang saya. Kalau kau
sakit seminggu, saya akan duduk di sini seminggu. Kalau
kau sakit setahun, saya akan duduk di sini setahun.
Seluruh isi sorga menjadi saksinya, saya harus
mendapatkan kembali uang saya! Kau tidak akan
mengguncangkan saya dengan duka citamu itu—dan juga
tidak dengan alis matamu yang bagus itu! Bah! Aku tak
lagi heran melihat alis matamu itu!
(ia berteriak keluar jendela)
Ali! Lepaskan kuda dari kereta. Kita tak akan buru-buru
pulang. Saya akan tinggal di sini. Katakana pada orang-
orang di kandang itu supaya memberinya rumput. Dua
kali lipat! Kuda yang kiri itu rewel sekali. Jangan dipukul,
goblog! Ya, ya, boleh juga dipukul tapi pelan-pelan saja!
Nah, begitu. (meninggalkan jendela) Jahanam betul!
Puasnya tak terkira, tak ada uang semalam tak bisa tidur
dan sekarang, baju berkabung yang hitam dan “tidak
bernafsu”.
Kepala saya sakit, mungkin saya harus minum.
Ya, saya harus minum.
(memanggil)
Mandor! Mandor!

DARMO MASUK

224
DARMO
Ada apa?

BILAL
Saya minta minum! (Darmo keluar. bilal duduk lagi dan
melihat pada pakaiannya) Ugh, gagalnya sudah nyata. Tak
bisa dibantah lagi. Debu, sepatu kotor, belum mandi,
belum bersisir, jerami mengotori pakaian – nyonya itu
barangkali mengira saya ini seorang garong. (Ia menguap)

Memang agak kurang sopan masuk ke ruang tamu seperti


pakaian seperti ini. Nah, ya, ya tak ada salahnya sampai
sekarang. Saya datang kemari tidak sebagai tamu. Saya
penagih hutang, dan taka pa pakaian yang khusus bagi
penagih hutang !

DARMO (Masuk dengan segelas kwas)


Wah, tuan tampak bebas betul di sini.

BILAL (Marah)
Apa? Kepada siapa kau tujukan ucapanmu itu? Diam! Tak
usah ngomong!

DARMO (Marah)
Kacau! Kacau! Orang ini tak mau pergi! (Keluar)

BILAL
Ya, syeitan, betapa marahnya saya! Cukup marah untuk
melempari seluruh dunia ini dengan Lumpur! Sampai saya
merasa sakit! – Mandor!

NYONYA MARTOPO MASUK DENGAN MATA MEREDUP KE


BAWAH

225
NYONYA
Tuan, selama hidup saya sepi ini saya tak bisa mendengar
suara manusia dan saya tak bisa tahan mendengar bicara
orang keras-keras. Saya minta kepada tuan, sukalah
hendaknya supaya tidak menggangu kedamaian saya.

BILAL
Bayarlah saya dan saya akan pergi.

NYONYA
Tadi sudah saya katakana dengan jelas, dalam bahasa
Indonesia bahwa saya tak punya uang kontan, tunggulah
sampai besok lusa.

BILAL
Dan sayapun merasa terhormat untuk menerangkan
kepada nyonya, juga dalam bahasa Indonesia, bahwa saya
membutuhkan uang sekarang tidak besok lusa.

NYONYA
Tapi apa daya saya, bila saya tak punya uang?

BILAL
Jadi nyonya tak akan membayar segera? Begitu bukan?

NYONYA
Saya tak bisa.

BILAL
Kalau begitu saya akan duduk di sini sampai saya
mendapat uang. (Iapun duduk)
Nyonya akan membayar besok lusa? Bagus sekali! saya
akan tinggal di sini sampai besok lusa. (Melompat bangkit)
Saya Tanya kepada nyonya, saya harus membayar bunga

226
besok pagi, bukan? Ataukah nyonya kira saya Cuma
berolok-olok?

NYONYA
Tuan, saya minta tuan jangan berteriak. Ini bukan kandang
kuda!

BILAL
Saya bukannya sedang membicarakan kandang kuda, saya
sedang bertanya, saya akan membayar bunga besok pagi
bukan?

NYONYA
Tuan tak tahu bagaimana caranya memperlakukan
seorang wanita.

BILAL
Tentu saja saya tahu.

NYONYA
Tidak! Tuan tidak tahu! Tuan ini orang kampung, orang
tak tahu adat! Seorang tuan yang terhormat tak akan
bicara seperti itu di depan seorang wanita!

BILAL
Wah, hebat betul! Nyonya tau, bagaimana seharusnya
orang bicara kepada nyonya dalam bahasa Inggeris,
barangkali? Dear lady, would yau like to lend me your
beautiful eyes? Pardon me for having disturb you! What a
beautiful wheather We are having today! Shell we meet
again tomorrow?(Membungkuk memberi hormat dengan
cara mengejek)

227
NYONYA
Sama sekali tak lucu, biadab namanya!

BILAL (Meniru)
Sama sekali tak lucu, biadab! Saya tak tahu bagaimana
bersikap terhadap orang-orang wanita. Nyonya yang
terhormat, sepanjang umur saya ini, saya telah melihat
wanita lebih banyak daripada nyonya melihat burung
gereja. Sudah tiga kali saya berkelahi karena urusan
wanita, dua belas wanita telah saya tinggalkan dan
sembilan wanita telah meninggalkan saya. Memang
pernah pada saya bertingkah bagaikan bahasa yang
bermadu, membungkuk-bungkuk, dan kemalu-maluan.
Saya pernah mencinta, menderita, mengeluh kepada
bulan, melelh disiksa oleh cinta. Saya pernah mencinta
dengan dahsyat, mencinta sampai gila, mencinta dalam
semua tangga nada, berkicau sebagai burung ketilang
tentang emansipasi, mengorbankan separo dari harta
bendaku dalam pengaruh nafsu yang lembut, tetapi
sekarang, demi syeitan, itu semua telah cukup.

Hambamu yang patuh ini tak mau lagi ditarik-tarik kesana


kemari seperti lembu yang bodoh. Cukup! Mata yang
hitam mata yang bergairah, bibir yang mungil, dekik di
pipi, bisikan di terang bulan, keluh kesah yang menawan.

Bah Untuk semua itu, nyonya, aku tak mau membayarnya


setalen! Yang saya maksud bukannya teman saya
berbicara sekarang, tetapi wanita pada umumnya, dari
yang kecil sampai yang besar, mereka itu sombong
hipokritis, cerewet, menjengkelkan, tak setia dari kaki
sampai kepala, pongah tanpa guna, picisan, kejam dengan
logika yang memusingkan, dan … (memukul dahinya)
dalam hal ini, harap dimaafkan keterusterangan saya ini,

228
seekor burung gereja dapat mengalahkan sepuluh filsuf
yang memakai kebaya, apabila orang melihat seorang
wanita yang romantis di depan matanya, maka ia lalu
membayangkan bahkan yang dilihatnya itu suatu mahluk
yang suci, begitu hebat sehingga apabila ia tersentuh oleh
nafas mahluk itu maka iapun merasa dirinya terapung
dalam lautan pesona yang mengagumkan, tetapi apabila
orang melihat ke dalam jiwanya, tak lain tak bukan hanya
buaya!
(menghantam sebuah kursi)
Tetapi yang lebih buruk dari semuanya ialah bahwa buaya
ini menganggap dirinya sebagai mahluk yang sangat
artistik, seakan-akan mengambil monopoli sebagai
mahluk yang menggiurkan. Biarlah syeitan menggantung
diriku jungkir balik kalau memang ada yang pantas dicinta
pada wanita!

Apabila ia jatuh cinta, apa yang ia tahu Cuma mengaduk


dan melelehkan air mata. Apabila lelakinya sudah mulai
menderita dan suka berkorban, maka si wanita mulai
melagak dan mencoba menyeret lelaki itu seperti keledai.

Nyonya mempunyai nasib yang malang karena lahir


sebagai seorang wanita, dan tentu saja nyonya tahu
bagaimana sifat wanita itu, coba katakana pada saya, demi
kehormatan nyonya apakah nyonya pernah menjumpai
wanita yang benar-benar jujur dan setia? Tak pernah,
tentu saja! Hanya wanita yang tua dan jelek saja yang bisa
setia. Lebih gampang mencari kucing yang bertanduk atau
gagak yang berbulu putih daripada mencari wanita yang
bisa setia.

229
NYONYA
Tapi ijinkanlah saya bertanya, siapakah yang jujur dan
setia dalam bercinta? Lelaki, barangkali?

BILAL
Ya, tepat sekali! Lelaki tentu saja!

NYONYA
Lelaki ! (Ia tertawa kasar) Lelaki bisa jujur dan setia dalam
bercinta! Nah, inilah suatu berita yang baru! (Pahit)
Bagaimana tuan sampai bisa berkata begitu?Lelaki jujur
dan setia! Sementara sola ini sudah sampai begitu jauh,
saya bisa menyatakan di sini bahwa dari segala lelaki yang
saya kenal, suami saya adalah lelaki yang terbaik, saya
mencintainya dengan hangat, dengan segenap jiwa saya,
seperti yang hanya bisa dilakukan oleh seorang wanita
yang muda dan bijaksana, saya serahkan kepada
kemudaan saya, kebahagiaan saya, kekayaan saya dan
hidup saya. Saya menyembah kepadanya sebagai seorang
kafir. Dan apakah yang terjadi?

Lelaki yang terbaik ini mengkhianati saya pada segala


macam kesempatan…. Setelah ia meninggal dunia, saya
temukan laci mejanya penuh dengan surat-surat cinta.
Ketika ia masih hidup ia suka meninggalkan saya
berbulan-bulan lamanya, memikirkannya saja sudah ngeri.
Ia bercinta-cintaan dengan wanita lain dihadapan saya, ia
memboroskan uang saya, dan memperolok-olokkan
perasaan saya, tetapitoh saya masih tetap jujur dan setia
kepadanya. Dan lebih daripada itu, ia sudah mati dan saya
masih tetap setia kepadanya. Saya kuburkan diri saya di
dalam empat tembok ini dan saya akan tetap memakai
baju hitam ini sampai keliang kubur saya.

230
BILAL (Tertawa kampungan)
Berkabung! Nyonya berkabung! Nyonya kira saya ini apa?
Jangan dikira saya tak tahu kenapa nyonya memakai baju
bagus yang hitam ini dan mengubur diri nyonya diantara
empat dinding ini! Rahasia macam itu. Betapa
romantisnya! Nyonya mau meniru dongeng!

Seorang bangsawan berkuda akan lewat di depan puri, ia


akan berkata dalam hatinya: “Di sinilah tinggal sang putrid
Candra Kirana, yang demi cintanya kepada suaminya telah
mengubur dirinya dalam empat dinding kamarnya”.
Oh, saya sudah mengerti akan sandiwara ini!

NYONYA (Meloncat)
Apa? Apa maksud tuan dengan mengatakan kata-kata itu
kepadaku?

BILAL
Nyonya telah mengubur hidup-hidup diri nyonya, tetapi
sementara itu nyonya lupa tak lupa membedaki hidung
nyonya!

NYONYA
Alangkah lancangnya mulut tuan!

BILAL
Saya mohon untuk tidak membentak saya, saya bukannya
bendahara nyonya! Ijinkanlah saya menyebutkan
kenyataan-kenyataan. Saya bukannya seorang wanita, dan
saya sudah biasa serba berterus terang mengeluarkan apa
isi hati saya. Maka dari itu dengan hormat saya minta,
jangan menjerit.

231
NYONYA
Saya tidak menjerit. Tuanlah yang menjerit. Saya minta
tuan meninggalkan rumah ini!

BILAL
Bayarlah dan saya akan pergi.

NYONYA
Saya tak mau bayar!

BILAL
Nyonya tak mau?1 Nyonya tak mau membayar uang yang
menjadi hak saya?

NYONYA
Saya tak perduli tuan mau bertindak apa? Satu rupiahpun
saya tak mau membayar! Pergi dari sini!

BILAL
Sebab saya bukan suami nyonya atau tunangan saya, maka
janganlah nyonya membikin rebut.
(Duduk)
Saya tak tahan lagi.

NYONYA (Menarik nafas jengkel)


Apakah tuan berniat akan duduk?

BILAL
Saya memang sudah duduk.

NYONYA
Dengan hormat, pergilah!

232
BILAL
Dengan hormat, bayarlah uang saya!

NYONYA
Saya tak sudi bicara dengan orang biadab. Pergi !(Pause)
Pergi, atau tidak.

BILAL
Tidak.

NYONYA
Tidak ?

BILAL
Tidak.

NYONYA (Mengebel, Darmo masuk)


Pak Darmo, antarkan tuan Baitul Bilal ini pergi.

DARMO (Dengan gagah menghampiri bilal)


Tuan, mengapa tuan tidak pergi kalau memang diminta
pergi? Mau apa sebenarnya tuan ini?

BILAL (Meloncat bangun)


Kau kira kau bicara dengan siapa? Kugilas lumat-lumat
kau nanti.

DARMO (Memegang jantungnya)


Ya Tuhan. (Jatuh di kursi) Oh, saya sakit, saya tak bisa
bernafas.

NYONYA
Dimana Suto? (Memanggil) Suto ! Suto !Amat ! Amat !
(Mengebel)

233
DARMO
Mereka sedang pergi semua! Dan saya mendadak sakit.
Oh, air!

NYONYA
Tuan Baitul Bilal! Pergilah… Oh, pergi! Keluar!

BILAL
Dengan hormat, agak sopankah sedikit!

NYONYA (Meninju udara menghentakkan kaki)


Engkau kasar! Engkau biadab! Engkau monyet!

BILAL
Apa katamu?

NYONYA
Engkau biadab, engkau monyet!

BILAL (Cepat menghampirinya)


Ijinkanlah saya bertanya, atas hak apa nyonya menghina
saya?

NYONYA
Habis, mau apa lagi? Tuan kira saya takut pada tuan?

BILAL
Nyonya kira karena nyonya ini mahluk yang romantis lalu
nyonya bebas menghina saya tanpa mendapat balasan?
Saya menentang nyonya!

DARMO
Ya, Robbi! Air!

234
BILAL
Ini harus diselesaikan dengan duel.

NYONYA
Apakah tuan mengira karena tuan begitu gagah, lalu saya
takut kepada tuan?

BILAL
Saya jelaskan di sini bahwa saya tak mengijinkan
seorangpun menghina saya, dan saya tak akan
mengecualikan nyonya hanya semata-mata karena nyonya
seorang wanita, seorang “sex yang lemah”, katanya.

NYONYA (Mencoba mengalahkannya dengan tangis)


Badak ! Kamu badak ! Badak!

BILAL
Inilah saatnya untuk membuang tahyul lama yang
beranggapan bahwa hanya lelaki saja yang harus memberi
kepuasan. Bila ada persamaan antara laki dan wanita,
mestinya persamaan itu dalam segala hal. Emansipasi
wanita! Bah! Akhirnya toh ada batasnya! Inilah buktinya!

NYONYA
Jadi tuan betul-betul menantang duel atau bagaimana?
Baiklah…

BILAL
Segera.

NYONYA
Segera. Aku kurang berlatih tinju, tapi suamiku punya
banyak senapan di sini. Beberapa tupai dan burung saja

235
sudah gugur karenanya, dan sekarang senapan itu dengan
mudah akan menggugurkan tuan juga.

BILAL
Oh, senapan angin! Boleh saja!

NYONYA
Dengan gembira saya akan menembus kepala tuan.
Semoga tuan dimakan syeitan! (Mengambil senapan,
masuk)

BILAL
Akan saya tembak alis matanya yang bagus itu. Saya bukan
orang banyak cincong, bukan pula pemuda hijau yang
sentimental. Bagi saya tak ada “sex yang lemah”.

DARMO
Oh, tuan! (Berlutut) Kasihanilah saya, seorang tua seperti
saya ini. Pergilah. Tuan sudah menakut-nakuti saya
sampai hampir mati, dan sekarang tuan ingin berduel
pula.

BILAL (Tak perduli)


Ya, duel! Itulah persamaan, itulah emansipasi. Dengan
begitu lelaki dan wanita sama. Saya akan menembaknya
demi prinsip ini. Apalagi yang harus saya katakana
terhadap wanita semacam dia.
(Menirukan) “Dengan gembira saya akan menembus
kepala tuan. Semoga tuan dimakan syeitan!”

Apalagi yang bisa dikatakan tentang ini? Ia marah,


matanya berkilauan, ia menerima tantangan. Demi
kehormatan saya, baru inilah pertama kalinya saya jumpai
wanita seperti itu!

236
DARMO
Oh, tuan. Pergilah. Pergi!

MASUK NYONYA MARTOPO, MEMBAWA DUA SENAPAN


ANGIN

NYONYA
Inilah senapannya. Tetapi sebelum kita berduel, saya
minta ajarilah dulu caranya menembak.
Saya agak kurang biasa dengan senapan tadinya.

DARMO
Ya robbi, kasihanilah kami! Saya akan pergi dan
memanggil orang. Oh, kenapa malapetaka ini menimpa
kepala kami! (Pergi keluar)

BILAL (Memeriksa senapan)


Ini namanya senapan angin. Ya, ini pelurunya, memang
bagus untuk menembak burung, tetapi ini lain dari
senapan biasa, ya, ya, boleh juga.
Lihatlah, BSA, caliber 5,5. Dua senapan ini harganya tak
kurang dari dua belas ribu. Beginilah cara memakai.
(Kesamping) Aduh, alis matanya! Sungguh wanita sejati!

NYONYA
Sudah ?

BILAL
Ya, beginilah, lalu tariklah bila ditembakkan.(Mengajar)
Begini – bidiklah. Coba miringkan sedikit kepala nyonya.
Popornya harus tepat di bahu ini. Ya, begitu. Tangan
hendaknya jangan kaku. Lemas tapi kuat – coba – ya,
jangan gemetar. Pelan-pelan bernafas. Bidiklah baik-baik.
– aha, enak bukan?

237
NYONYA
Tak enak menembak di dalam rumah, marilah kita keluar
kebun.

BILAL
Ya, tapi saya belum selesai mengajar, saya beri contoh
dulu. Saya ajar cobanya menembak ke udara.

NYONYA
Terlalu! Itu tak perlu! Kenapa?

BILAL
Sebab.. sebab. Itu urusan saya.

NYONYA
Tuan takut? Ya, memang! Aaaah! Jangan begitu, tuan
terhormat jangan gila-gilaan.
Ayo, ikut saya. Saya belum merasa tentram sebelum
membuat lubang di dahi tuan yang saya benci itu. Apakah
tuan takut?

BILAL
Ya, saya takut.

NYONYA
Bohong! Kenapa tak mau bertempur?

BILAL
Sebab…, sebab…, sebab…, saya suka kepada nyonya.

NYONYA (Tertawa marah)


Tuan suka saya! Begitu berani ya bilang kalau suka saya!
(Menunjuk) Pergi!!

238
BILAL (Meletakkan senapan pelan-pelan di atas meja,
mengambil topinya dan pergi ke pintu. di pintu ia berhenti
sebentar dan menatap nyonya martopo, lalu ia
menghampirinya agak bimbang)
Dengarlah! Apa nyonya masih marah? Saya begitu gila
seperti syeitan, tetapi saya harap nyonya bisa mengerti,
ah, bagaimana saya akan menyatakannya? Soalnya adalah
begini…, soalnya ialah…, (Meninggikan suara) Lihatlah
apakah salah saya bahwa nyonya berhutang kepada saya?
Saya tak bisa disalahkan bukan? Saya suka kepada
nyonya! Mengertikah? Saya… saya hampir jatuh cinta.

NYONYA
Pergi! Saya benci kepada tuan!

BILAL
Ya, Robbi! Alangkah hebatnya wanita ini! Saya belum
pernah melihat wanita yang sehebat ini. Saya kalah, remuk
redam! Saya seperti tikus yang kena perangkap.

NYONYA
Pergilah, atau saya tembak nanti!

BILAL
Tembaklah! Nyonya tak tahu bagaimana bahagia rasanya
mati di depan pandangan mata sepasang mata yang
berkilauan itu. – ah, alisnya! – Mati ditembak oleh senapan
angin yang dipegang oleh tangan yang halus dan mungil
itu! Saya gila! Cobalah pertimbangkan baik-baik, dan
cepatlah putuskan, sebab bila saya pergi sekarang, itu
artinya kita tak akan pernah berjumpa lagi. Putuskanlah,
bicaralah, -- saya masih priyayi, orang terhormat,
penghasilan saya sebulan tak kurang dari sepuluh ribu,
saya bisa menembak burung yang sedang terbang. Saya

239
banyak punya kuda yang bagus. Maukah nyonya menjadi
istriku?

NYONYA (Membidik)
Saya tembak!

BILAL
Ah, saya bingung, saya kurang mengerti! – Mandor, air!
Saya telah jatuh cinta seperti anak sekolahan saja.
(Ia menjamah tangan nyonya murtopo dan wanita
itumenangis) Saya cinta kepadamu! (Berlutut) Saya belum
pernah mencinta wanita seperti ini. Dua belas wanita telah
saya tinggalkan dan sembilan meninggalkan saya, tetapi
tak seorangpun pernah saya cintai sebagaimana saya
mencintaimu. Saya sudah kalah, tunduk seperti orang
tolol, saya meniarap dilantai memohon tanganmu.

Terkutuklah saya ini! Sudah lima tahun saya tidak jatuh


cinta, saya seperti sebuah kereta yang terkait pada kereta
lain. Saya mohon pertolonganmu! Ya, atau tidak? Sudikah
nyonya? –Baiklah! (Ia bangkit dan cepat-cepat menuju
pintu)

NYONYA
Tunggu dulu!

BILAL (Berhenti)
Ya?

NYONYA
Tidak apa-apa. Tuan boleh pergi. Tetapi tunggu dulu.
Tidak, pergilah, pergi. Saya bensi kepada tuan. Atau…
tidak, jangan pergi, oh,kalau tuan tahu bagaimana marah
saya! (Membuang Senapan)

240
Jari saya linu-linu memegang barang seperti ini.
(Menghapus air mata dengan marah) Untuk apa tuan
berdiri di situ? Keluar!

BILAL
Selamat tinggal!

NYONYA
Ya, pergilah (Menangis) Kenapa pergi? Tunggu! – Tidak,
pergi! Oh alangkah marahnya saya ini! Jangan mendekat…,
oh…, kemarilah…, jangan!... jangan dekat-dekat.

BILAL (Menghampiri)
Saya marah kepada diri saya sendiri. Jatuh cinta seperti
anak sekolah, berlutut dan menghiba-hiba. Saya merasa
demam. (Tegas) Saya cinta kepadamu. Ini sehat.

Apa yang saya butuhkan, ialah jatuh cinta. Besok pagi saya
harus membayar bunga ke bank, panen kopi sudah tiba,
dan kemudian muncullah nyonya! (Mencium tangan
nyonya martopo) Tak akan saya maafkan diri saya ini.

NYONYA
Pergilah! Ngan cium di tangan saya! O, saya benci… saya
benci… saya…
(Tangannya yang satunya membelai kepala bilal)

MASUK DARMO DAN DUA ORANG YANG LAINNYA.


MEREKA MEMBAWA SAPU, SABUT DAN SEKOP.

DARMO (Terpesona)
Ya, Tuhan! Ya, Robbi!

Yogyakarta, Februari 2007 Diketik ulang oleh studio


teater PPPG Kesenian Yogyakarta

241

Anda mungkin juga menyukai