Anda di halaman 1dari 3

CIRI-CIRI DRAMA INDONESIA DI ERA REFORMASI

Sebagai istilah, “drama” dan “teater” dipinjam dari khazanah kebudayaan Barat. Secara lebih khusus,
asal kedua istilah ini adalah dari kebudayaan atau tradisi bersastra di Yunani. Pada awalnya, di Yunani,
“drama” maupun “teater” muncul dari rangkaian upacara keagamaan, suatu ritual pemujaan terhadap
para dewa. Istilah “drama” yang dikemukakan oleh Drs. Boen S. Oemarjati (1971), pada masa Aeschylus
(525-156 SM) –satu dari tiga penyair tragedi Yunani– sudah menyiratkan makna ‘peristiwa’, ‘karangan’,
dan ‘risalah’. Sedangkan istilah “teater” yang berasal dari “théátron” yang juga merupakan turunan dari
kata “theáomai” mengandung makna ‘dengan takjub melihat atau memandang’. Secara khusus lagi, pada
masa Thucydès (471-395 SM) dan Plato (428-348 SM), “teater” juga dimaksudkan sebagai ‘gedung
pertunjukan, panggung’, atau ‘publik auditorium’ pada zaman Herodotus (490-424 SM), dan ‘karangan
tonil’, sebagaimana disebutkan dalam kitab Perjanjian Lama (Wahyudi, 2006:99).

Ada juga yang menganggap bahwa teater dan drama ,secara substansial, kedua istilah itu berarti sama
(Dahana, 2000: 3). Hal tersebut karena seni drama dan teater bukanlah jenis sastra yang murni (pure
literature). Drama dapat dikaji dari dua aspek yaitu aspek literer (aspek sastra) dan aspek teateral (aspek
teatrikalnya). Dengan kata lain, seni drama adalah seni kolektif, kompleks, multikonteks; tetapi ansambel,
bulat, dan utuh (Satoto, 1986: 2).

Ciri khas penulisan naskah drama yang membedakannya dengan bentuk penulisan puisi dan prosa
adalah dominasi dialog dan adanya petunjuk pemanggungan. Hal ini sesuai dengan batasan drama
menurut Ibnu Wahyudi bahwa drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya
memperlihatkan secara verbal adanya dialogue atau cakapan di antara tokoh-tokoh yang ada. Selain
didominasi oleh cakapan yang langsung itu, lazimnya sebuah karya drama juga memperlihatkan adanya
semacam petunjuk pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa
yang dilakukan oleh tokoh (Budianta, 2006: 95).

Drama mulai tumbuh sekitar abad ke-19 dan awal abad ke-20, di Hindia Belanda telah tumbuh seni
pertunjukan berbahasa Melayu yang populer terutama di kota-kota besar yang umumnya dikenal
sebagai Komedi Bangsawan atau Komedi Stambul atau Opera Bangsawan. Asal-usul seni pertunjukan itu
tidak begitu jelas, tetapi menurut suatu pendapat berasal dari Tanah Melayu, dibawa oleh sutradara
keliling yang berdarah Rusia. Teater ini bukan sejenis teater rakyat yang diciptakan oleh masyarakat
untuk keperluan tertentu dan kemudian dianggap sebagai miliknya. Komedi Bangsawan adalah produk
kebudayaan populer yang sejak pertengahan abad 19 masuk ke Hindia Belanda.

Pertunjukan atau ritual rakyat yang dulu berlangsung di tempat-tempat yang sangat luas spektrumnya,
mulai dari pasar sampai kuil, sebagian berkembang menjadi berbagai jenis teater yang memerlukan
tempat khusus untuk mementaskannya. Pengaruh drama Barat masuk sejak akhir abad 19, mula-mula
dalam bentuk penulisan naskah yang dipentaskan untuk berbagai kepentingan sosial. Dalam
perkembangan tahap ini, dua jalur perkembangan pun muncul, yang pertama tiruan belaka dari seni
pertunjukan yang dikenal sebagai Komedi Stambul, yang kedua merupakan usaha beberapa kalangan
untuk menyerap pengaruh teater Eropa yang pada masa itu mengembangkan realisme.
Pada perempat abad 20, Kwee Tek Hoay, mencoba mengembangkan realisme yang meneladani Ibsen,
drama yang mengandalkan naskah. Drama pun mulai berkembang, yang khas pada perkembangannya di
Indonesia adalah bahwa berbagai jenis kecenderungan masuk bersama-sama. Kwee Tek Hoay dan
Wiggers mengembangkan gaya realis dalam drama, mereka adalah wartawan. Itu mungkin sebabnya,
drama-drama yang mereka tulis mengungkapkan berbagai masalah yang berkaitan dengan perubahan
sosial dengan gaya realis. Sementara itu, intelektual muda pribumi mengembangkan gaya penulisan
romantik untuk menyampaikan idealisme dalam rangka bangkitnya rasa kebangsaan.

Pergolakan pertama drama Indonesia terjadi pada tahun 1920-an, yang kemudian disusul dengan
kecenderungan yang semakin kuat untuk mengungkapkan idealisme dengan simbol-simbol. Sepanjang
tahun 1930-an, para dramawan pribumi kita umumnya adalah sastrawan yang tidak begitu akrab dengan
seni pertunjukan sehingga naskah-naskahnya bisa digolongkan ke dalam drama kamar. Perkembangan itu
praktis berubah ke arah lain ketika pada awal tahun 1940. Sensor yang sangat ketat dari pemerintahan
militer Jepang menyebabkan dramawan Indonesia tidak bisa berbuat lain kecuali mematuhinya dengan
menghasilkan sejumlah drama yang dianggap bisa menyebarluaskan gagasan dari Asia Timur Raya. Karya
Umar Ismail, dramawan utama Indonesia tahun 1940-an, merupakan tonggak penting dalam
perkembangan drama kita. Sesudah proklamasi kemerdekaan, tumbuh euforia kebebasan yang
mendukung tumbuhnya dramawan kita terhadap nasib kaum lemah dan rakyat kecil.

Kecenderungan yang ada pada awal 1950-an, disebabkan oleh kondisi sosial yang buruk sebagai akibat
revolusi yang mau tidak mau memaksakan perubahan sosial politik yang mendadak dan mendasar. Pada
masa itu, muncul drama-drama yang ditulis oleh Utuy Tatang Sontani, yang sebagian besar mengungkap
kehidupan rakyat kecil dan segala masalahnya. Di samping itu ia juga memanfaatkan cerita rakyat
sebagai sumber dramanya. Pada awal tahun 1960-an, panggung pertunjukan dimuati dengan gagasan
mengenai modernisasi yang tidak jarang diselewengkan kekecenderungan politik tertentu. Yang
kemudian terjadi pada masa sesudahnya adalah masuknya pengaruh jenis baru drama Barat yang di
negeri asalnya berkembang sejak tahun1940-an, yakni drama eksistensialis dan absurd. Dalam
perkembangannya, kecenderungan itu dikenal sebagai eksistensialisme suatu istilah yang bisa saja
dipertanyakan karena tidak pernah secara jernih disampaikan oleh para pendukungnya di Indonesia.
Sejak tahun 1960-an, drama berkembang dengan baik melaui penerjemahan yang menunjukan kualitas
dan gaya yang berbeda-beda.

Dalam perkembangan drama, Rendra boleh dikatakan menjadi tokoh utama yang menggerakkan arah
drama kita lewat sejumlah terjemahan dan pementasannya. Pementasan Rendra yang menggunakan
naskah Samuel Beckett, Menunggu Godot, mempunyai dampak luar biasa terhadap perkembangan
drama Indonesia sejak tahun 1970-an.

Dari pembahasan di atas dapat dilihat bahwa perkembangan drama sangat dipengaruhi oleh
perkembangan politik. Dalam masa akhir abad ke 20, ketika pemerintahan Soeharto disingkirkan muncul
drama-drama sosial dan protes yang tidak berbeda dalam hal gaya dan tema. Namun, Ratna Sarumpaet
berhasil mengusung tema baru dalam dunia drama Indonesia yaitu mengenai perempuan dan Hak Asasi
Manusia (HAM). Hal ini terlihat dari dua karyanya yaitu Marsinah: Nyanyian dari Bawah Tanah (1993) dan
sebuah monolog yang berjudul Marsinah Menggugat (1997).
Selain itu, reformasi yang puncaknya adalah peristiwa kerusuhan 13-14 Mei 1998 diangkat oleh Seno
Gumira Ajidarma melalui tiga buah naskah drama yaitu Tumirah: Sang Mucikari (1998), Mengapa Kau
Culik Anak Kami (1999), dan Jakarta 2039 (2000). Ia melukiskan kekejaman politik dan diskriminasi
terhadap etnis Tionghoa. Dalam naskah drama Jakarta 2039 merupakan gabungan dari dua cerpennya
yaitu Clara dan Jakarta suatu Ketika.

Demikianlah drama di Indonesia dan tentunya dimanapun selalu erat kaitannya dengan perubahan
sosial, dan drama yang baik serta mampu bertahan lama tentulah yang berhasil mengangkat inti gejala
itu dan kemudian menyampaikannya.

DAFTAR PUSTAKA

Budianta, Melani, dkk. 2006. Membaca Sastra. Magelang: IndonesiaTera.

Dahana, Radhar Panca. 2000. Ideologi Politik dan Teater Modern Indonesia. Magelang: IndonesiaTera.

Dipayana, Ags. Arya (peny.). 2005. Tiga Naskah Drama: Hasil Lokakarya Perempuan Penulis Naskah
Drama. Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta.

Eneste, Pamusuk (Ed.). 2001. Buku Pintar Sastra Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.

Anda mungkin juga menyukai