Anda di halaman 1dari 49

Mereka Menyebutnya,

Temu Amsal...
TEMUL AMSAL (singkatan dari Tengku Mulya

Amril Aman Saleh) Lahir di (desa bekas kerajaan)

Pelalawan, 31 Juli 1954. putra sulung Tengku Aman

Saleh dan Syarifah Hidayatul Akmal yang berdarah

Bangsawan Melayu berbias Arab Assaggaf. Nama yang

dipakainya, katanya, untuk menghilangkan kesan feodal

dan kebangsawanannya----seperti juga Tenas Efendy dan

Temasdoelhak.

Konon telah bermain drama dan menyukai hal-

hal sastera sejak masih kanak-kanak.menulis naskah

drama pentas dan naskah radio (yang pernah disiarkan

RRI Pekanbaru, RRI Stasiun Pusat Jakarta, dan oleh

Radio Malaysia), scenario film dokumenter objek wisata

daerah riau (untuk Diparda Tingkat I Riau), sajak, cerita-

cerita pendek, artikel sastera, melukis dan membuat

relief.
Semasa mahasiswa (di Progran Studi Bahasa dan

Sastera Indonesia FKIP Universitas Riau) dipercayai

menjadi asisten dosen untuk mata kuliah Apresiasi

Sastera, membantu kegiatan Penerangan Departemen

Penerangan RI di Riau, dan mendirikan Grup Teater

'Gema', juga bergabung dengan Grup Teater Bidang

Kesenian Depdikbud Kampar dan Sanggar Seni Budaya

Pemuda Bangkinang (1975).

Bila malam bertambah kelam, naskahnya yang

menjadi pemenang III pada sayembara menulis naskah

Sosio Drama DPD KNPI Riau. Pemenang I Penulisan

Sajak antar Mahasiswa Riau (1978)Grup Teater yang

disutradarainya pernah menempati urutan ke II Festival

Teater Remaja se Riau (1982), dengan judul naskah

Kodai Putra Sakai karya M.Rasul.


Naskah drama yang prnah dihasilkannya antara

lain Keris Sebagai Saksi (1980),Gerhana di Indrapura

(1981), Panglima Rantin Tunggal (1983), Ketobong

(1984), Lanun Pulau Batu (1985), Ketuban (1985-1991),

Sajak-sajaknya dimuat dalam Catatan Resah (1980),

Antologi Puisi Pekanbaru 80, Empat Berseru

(bersamaDasri, Al azhar dan Syafruddin Saleh Sai

Gergaji 1982), Blak-Blak Duka (Antologi bersama

1983),Lena (a.b, 1986), Syair Orang Orang Pinggiran

(bersama Dasri al-Mubary, 1991), Menggantang Warta

Nasib (app,1992), dan Jalan Bersama (a.b,1992),Menulis

Buku Belajar Membaca Sajak (bersama Dra. Saidat

Dahlan,1979). Kini bekerja sebagai pegawai negeri sipil

di Kanwil Deppen Provinsi Riau. Kuliah hanya hingga

Sarjana Muda. Memiliki seorang Putera Said Rega


Syahringga dari isterinya Norazizah, sarjana alumnus

Fisipol Unri.

Catatan panjang biodata Temul amsal

menggambarkan selasar resah kadar kegelisahan

kesenimanan (dan kesasteraan) pada perjalanannya

menempuh jembatan titian lebuh-tabuh sastera dan lukis.

Bermula dari wawasan estetika klasik di

panggung sandiwara, mengembara dengan sajak-sajak,

cerita pendek, dan skenario film, mencecahkan kuas ke

kanvas, hingga kepada lukisan tiga demensi relief,

Temul bergumul menuju kekuatan kreatifitas dan gurat

catnya, dengan resah buncah darah kegelisahan sang

seniman-sastrawan.

Desah keresahan bagi siapapun mestilah diluah

salurkan, yang memerlukan cara dan sarana sebagai


wadah yang dapat menampungnya. Membiarkannya

tersungkup, di dalam jiwa yang tertutup pintunya, sama

saja dengan membiarkan katup yang menunggu masanya

meletup.

Penguasa yang membiarkan warga-warganya

terjerat persoalan-persoalan kehidupan, dan tersekat pula

mulutnya untuk bicara terbuka sewajarnya, adalah

penguasa yang sedang membangun istan dan singasana

kesengsaraan, yang membiarkan bara menyala di dalam

sekam yang pelan-pelan marak meremuk redamkan,

yang memercik api ke padang ilalang yang akan segera

membakar pasar kehidupan dengan garang.

Sang seniman – sasterawan perekam dan pencatat

peristiwa kehidupan yang lebih tajam, daripada

wartawan ataupun sejarawan. Fiksionalitas yang mereka

sajikan bukan sekedar berisi fiksi basi dan hambar.


Karya mereka ditaja dari realitas yang ada

disertai idealita peristiwa, yang “berbicara” lewat

lukisan, gerak, ucapan, dan penuturan yang menghambur

ke kedalaman sumur-kehidupan hingga ke dasar samudra

fakta dan rahasianya, mengangkasa ke semesta-raya

jiwanya (kehidupan itu).

Hijrahiyah atau pemindahan suasana kehidupan

ke dalam wadah karya-karya mereka itu, berbancuh utuh

meresapi nilai-nilai filsafi, menghayati eksistensi hakiki

persoalan – persoalan kehidupan itu. Rekaan karya-karya

mereka bukan lawan dari kenyataan, tetapi juga memberi

informasi pemikiran mengenai memahami kenyataan dan

permasalahan – permasalahan pada wilayah kehidupan;

sedih – gembira, kegelisahan, harapan, dan sebagainya.


Sedangkan wartawan dan sejarawan memberikan

dan mencatat peristiwa apa adanya tanpa tambahan

rambahan luaran dan dalaman.

Menikmati karya seni – sastrawan – budaya,

berarti menghayati dan melibatkan diri ke dalam

kehidupan yang menyeluruh. Hal inilah yang

memudahkan kita mengerti mengapa para raja

memelihara para pujangga istana, dahulu kala.

Melecehkan kehadiran dan eksistensi seniman –

sasterawan, sama artinya dengan melecehkan kehidupan.

Subagio Sastrawardoyo menyatakan dengan amat

tepat tentang panyair, misalnya, yang dimuat di dalam

Horison wajah baru (no.7/XXVII, Juli

1993:57).”….’ingat, tanpa mata penyair menjadi

buta’….”mata mereka tak boleh dilecehkan, (al-Quran,

sebagai “karya mahasastra” dari Allah SWT),


mengungkapkan sejarah dan pristiwa kehidupan, sebagai

pelajaran dan juga memberikan gambaran kausalitas,

dilengkapi jalan keluar sebagai arah yang mesti

ditempuh agar kegaduhan tidak menggumuli dan

melumuri kehidupan! Tindakan yang berdampak cepat

atau timerespons singkat dijelaskan global, sedang yang

sebaliknya terperinci.

Masyarakat marginal merupakan komunal yang

selalu bergumal dengan sentral persoalan yang bukan

hanya dipecahkan oleh mereka saja, tapi pun oleh

tolehan menyeluruh. Orientasi masyarakat yang kian

kuat, tingkat konsumtif yang relatif tinggi, dan status

atau gengsi manusia (telah bergeser) diukur berdasarkan

kekayaan materi, serta globalisasi modernisasi, yang

dampaknya kontak sontak mengoyak-ngoyak tonggak

bijak kehidupan, menuntut penanganan kejiwaan.


Peran seniman-sasterawan (budayawan) tidak

dapat diabaikan, karena mereka bukan hanya

menuturkan kesan perasaan pribadi, tapi pula

menyalurkan pengamatannya terhadap kehidupan

dengan akurat, aspirasi, keresahan, keberhasilan,

kekurangan dan kegagalan.

Keresahan mereka bukanlah kegelisahan semasa,

namun alun yang berpulun ke segala arah wilayah,

merekam sejarah dan mencatatnya sebagai koreksi

fiksionalitas idealistis ke arah idealnya sasaran

kehidupan. Karya seni merupakan tanggapan seorang

seniman terhadap dunia sekelilingnya (Arief Budiman,

1976:7).

Catatan Resah, Orang-Orang Pinggiran, karya-

karya Temul Amsal kaya dengan nuansa keresahan yang

penuh membuncah.
Sajak-sajak awalnya yang terangkum dalam

Catatan Resah (1980), kental dengan rutuk ratap; walau

pengungkapannya (pada waktu itu) belum dengan

pintalan yang kuat dan masih didominasi citra puisi-puisi

lama.

Naskah-naskah Drama Klasik yang dikarangnya

(dipentaskan dan disutradarainya), menggaungkan gerak

pertarungan perlawanan menghadapi keresahan

persoalan pula. Sebuah patung semen “Chairil Anwar”

setengah badan (karyanya di taman halaman Saidat

Dahlan) tentulah menggambarkan pula kadar

keterombang ambingannya dalam keresahan dan

kebimbangan itu.

Seniman memang sering berupaya merangkul

etika pembebasan, dan menghendaki kebebasan yang


luas untuk melepaskan kreatifitas idealitas dalam karya-

karyanya.

Sajak Temul yang tampak menapak tegak,

mencari bentuk gaya pengucapannya (tanpa lupa

menyuarakan keresahannya), terlihat bermula pada

puisinya “Kuliah”. Secara sederhana dicobanya

menyaingi asosiasi imaji kata “kuliah”;

menghubungkannya dengan “kuli”, yang menyiratkan

keresahan lewat desah “ah” yang mempertanyakan

apakah kuliah merupakan jalan berliku untuk menjadi

kuli.

Sejumlah sajaknya dalam Syair Orang-Orang

Pinggiran, antologinya bersama Dasri Al Mubary (yang

beberapa diantaranya diulang muat pada Menggantang

Warta Nasib dan Jalan Bersama), di dominan laut

keresahan: laut bersama sungai, arus, surut, pasang, riak,


ombak, gelombang, buih, karang, bono, pantai, Lumpur,

puaka, beliung, angin, banjir, pencalang, lancang,

kajang, dan camar-terbang, juga air dari perigi dan telaga

yang ditimbanya.
KARYA SASTRA
TEMU AMSAL
Erosi

hari
yang membagi bagi waktu
mencencang petangnya
kuncup
yang membagi bagi kembang
mencencang warnanya

hati
yang membagi bagi duka
mencencang lukanya

sungai sungai mencampakkan airnya kelaut


membuang arusnya
orang orang mencampakkan diri dalam duka
membuang hatinya
laut memuntahkan ombak
menggoncang riaknya
menimbun duka buihnya
dalam riak

dalam diri kita


sungai sungai mengalir deras
menimbun tasik
melimpahkan arusnya

dalam hati kita


puaka menghadang
tali tali arus merentang
memaki dirinya
beliung

....................................
...................................
dirambahnya rimba
digalaunya riau

dengan putingnya yang tajam

………………………

………………………

beliung mengapak menyepak lagi

berbagi duka di riau riuh yang sepi

hari ini

liang

di liang liang batu beliang


pasang berlari
membasuh batu batu
lumpur Lumpur mengendapkan duka
ketebing tebing
seorang nelayan tua
mendaki gunung tak berpuncak
menatap lautnya sendiri
sepi
……………………..
................................
inikah negeri
digasak riak sepanjang hari
air mengalir meuntahkanarus
hujan merobohkan pematang
limbah limbah meludahkan busuknya
kekampung kampung
banjir datang
bono menghantam
sungai sungai mencari cari
tebingnya sendiri sendiri
riau digalau banjir tak berkesudahan
orang orang menumpahkan labu labu air
menghempaskan gelas dan kelalang
anak anak bermain gelombang
diliang liang batu beliang
mereka kehilangan jejaknya .

Keresahan Temul Amsal bagaikan gelombang yang

menerjang, kadang-kadang tenang, kadang-kadang

bimbang, kadang-kadang menerawang, kemudian

bangkit berjuang. Dia merambah resah, mencari-cari

tergagau, mencari dirinya, menemukan negerinya dengan

nyeri, berusaha kepada-Nya mengadu sampai jemu,

sampai jenuh, ditemuinya keserakahan:


Serakah

..............................
..............................

dengan serakah

ditimbanya lagi

ditimbanya

hari hari

yang

membakar

basahan

kita

-------
Pagelaran Teater Bangsawan
"KERIS MENJADI SAKSI"

Salah Satu Usaha Memperkenalkan Seni Budaya

Melayu Riau ke Mancanegara

Catatan : Temul Amsal

Mengangkat seni tradisi sebgagai upaya

melestarikan budaya bangsa perlu dihargai dan

disokong, terlebih upaya tersebut muncul dari Generasi

Muda yang berdepan-depan dengan budaya hedonis,

komsumtif yang rentan tercerabut dari akar budaya

leluhurnya……Demikian sambutan HM.Lukman Edy

Ketua Umum Persatuan Masyarakat Riau Jakarta pada

malam pagelaran Road Show Sosialisasi Budaya

Melayu Riau (zapin, bahasa & sastra) di Gedung Sapta


Pesona jl. Medan Merdeka Barat 17 Jakarta Pusat 21

Oktober 2010 yang lalu.

Acara yang tampak megah ini diltukangi tak

kurang dari 20 orang mahasiswa asal Riau dari berbagai

Universitas – Perguruan Tinggi yang ada di Jakarta.

Ditambah dengan delapan orang anggota Sanggar Tari

‘Seri Gemilang’ Indragiri Hilir yang telah banyak

melenggang lenggak ke luar Indonesia. Mereka

semuanya gembira . Karena malam itu mereka akan

dilepas oleh Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI.

Besoknya mereka berangkat menuju Brunei Darussalam,

dan selanjutnya direncanakan ke Malaysia dan

Singapura.

Sekelompok anak muda asal Riau yang lagi

asyik-asyiknya menimba ilmu pengetahuan di berbagai

bidang ilmu di Ibukota tersebut dengan sengaja berusaha


mengangkat ‘Teater Bangsawan’ sebagai upaya mereka

memperkenalkan budaya Melayu Riau ke mancanegara,

terutama Negara Tetangga sebagai ajang usaha

kreativitas mereka untuk ikut menyukseskan program

pembangunan Provinsi Riau yang sedang asyik bersolek

diri menuju ‘TERWUJUDNYA PROVINSI RIAU,

SEBAGAI PUSAT PEREKONOMIAN DAN

KEBUDAYAAN MELAYU, DALAM LINGKUNGAN

MASYARAKAT YANG AGAMIS, SEJAHTERA

LAHIR DAN BATIN DI ASIA TENGGARA’ TAHUN

2020.

Teater Bangsawan adalah salah satu pola teater

konvesional yang hampir punah di Riau saat ini. Lakon

Teater Bangsawan ini pada zamannya sekitar tahun 60-

an lebih popular dengan nama Drama Klasik. Teater

bangsawan sengaja diangkat kembali kepermukaan oleh


sutradara Asrizal Nur dikarenakan bentuk lakon ini

memiliki ciri khas Melayu Riau dan memiliki daya tarik

tersendiri bagi masyarakatnya.

Salah satu adegan dalam 'Keris Menjadi Saksi'

Teater Bangsawan punya keunikan tersendiri,

karena bukan saja dalam pagelarannya ia melihat lebih

dari seorang yang mempunyai latar belakang keahlian

yang berbeda, tapi ia juga melibatkan sejumlah orang

(pihak ketiga) sebagai penonton.

Teater Bangsawan merupakan hasil karya

kolektif yang hanya terujud karena adanya interaksi

social yang terjadi antara Seniman dan Penonton. Teater

Bangsawan dapat bertahan dikarenakan ia cukup

komunikatif, memiliki nilai-nilai keindahan yang masih


berlaku dalam masyarakat Melayu itu sendiri (seperti

peribahasa, filsafah, ungkapan-ungkapan dsbnya).

Oleh karena itu jenis pagelaran ini merupakan

arena social, dimana para Seniman dapat

mengembangkan bakat dan kreativitasnya dalam usaha

mengungkapkan rasa keindahan itu tadi, dilain pihak

Teater Bangsawan ini merupakan atraksi kesenian yang

dapat dinikmati penonton yang memerlukan hiburan

sebagai media untuk memecahkan monotonous

kehidupan sehari – hari. Itu pulalah sampai saat ini

dimana tiupan topan kesenian modern sedang melanda

dunia kesenian kita, namun tidak berhasil menggoyang

Teater Bangsawan dari masyarakatnya.

Pada Teater Bangsawan Kesenian itu komplet.

Disinilah tempat berpadunya segala yang ada, seperti

seni rupa, seni tari, musik, humor, seni sastra dan adat
istiadat pun ada. Apalagi kalau cabang kesenian yang

telah lengkap itu, ditata pula sedemikian rupa, diangkat

kepermukaan, oleh tenaga-tenaga ahli, menggunakan

peralatan tekhnologi multi media dengan segala

kecanggihannya tentu ia akan menjadi tontonan yang

mengagumkan ratusan, ribuan bahkan jutaan pasang

mata yang pasti menatapnya dengan penuh pesona.

Antusias para penonton "Keris Menjadi Saksi" dari


Riau di Auditorium Radio & Televisen Brunei
Darussalam

Lakon yang dipagelarkan adalah “Keris Menjadi

Saksi” naskah Temul Amsal yang disutradarai oleh

Asrizal Nur. Lakon ini menceritakan pada masa dahulu,

di sebuah kerajaan di Riau terjadi tragedi. Sultan Syah


Alam dikhianati oleh Kiap, seorang Panglima

kepercayaannya sendiri.

Setelah ia berhasil membunuh Sultan, Permaisuri

dan anak anak sultan yang masih muda belia. Panglima

Kiap menobatkan dirinya sebagai Raja. Putra bungsu

Sultan yang masih dalam ayunan disuruh bunuh pula

pada Datuk Bendahara. Tapi sebaliknya Datuk

Bendahara berhasil menyelamatkan putra mahkota,

mereka dan beberapa pengikutnya yang masih setia

melarikan diri kesebuah pulau dan menjadi bajak laut di

sana. Tujuh belas tahun kemudian Putra Makhota dan

orang-orang yang setia kepada Sultan Syah Alam datang

menuntut bela.

Lakon ini ditaja dalam gaya lama yang

dipadukan dengan peralatan modern, sehingga tanpa

disengaja dapat menghilangkan rasa jenuh. Saya berani


berkata begitu karena tak kurang dari 300 orang yang

menyaksikan pagelaran Lakon berbahasa Melayu Riau

ini, sejak awal tetap bertahan di tempat duduk mereka

masing-masing hingga pagelaran usai, termasuk

diantaranya 12 orang Duta Besar dari 12 negara sahabat

yang saya percaya mereka tak tahu ber- Bahasa Melayu.

Namun dengan wajah ceria mereka bertepuk tangan,

berdiri mendekati pentas bersama Menteri Kebudayaan

& Pariwisata, Gubernur Riau dan beberapa tokoh lainnya

berfoto bersama para mahasiswa yang berperan dalam

lakon tersebut.
Salah satu hiburan dalam pagelaran 'Keris
Menjadi Saksi'

“Keris Menjadi Saksi“, merupakan fenomena

kehidupan orang Melayu Riau Tempo Dulu. Penuh

dengan nilai-nilai budaya, filsafah hidup dan kehidupan.

Syarat dengan pengajaran rahasia yang dapat

memberikan nilai tambah bagi masyarakat penontonnya.

Saya percaya itu. Saya nyatakan tahniah kepada

para mahasiswa asal Riau yang bergabung dalam ‘Pusat

Latihan Teater Semenanjung Jakarta’ terutama para

pendukung naskah ‘Keris Menjadi Saksi ‘ : (M.Damri,

Said Rega Syahringga, Agustina, Deddy, Robithoh,

Masitoh, Maria Darwis, M.Ashsubli, Afni, M.Rasyid,

Supriadi,Azlin Arifin, M.Zukhri, Khairul Anwar, Ruddy,


dan Farhan) yang dengan semangat berkobar-kobar

(tanpa istirahat) setelah mentas di Gedung Sapta Pesona

Jakarta. Bongkar dekor, mengemasi barang-barang,

langsung tancap ke Bandara Soekarno Hatta. Pagi itu

juga 22-10- 2010. Menjelang sholat Jumat, kami telah

tiba di Bandar Seri Begawan Negara Brunei Darussalam.

Lain di Jakarta, lain lagi di Brunei Darussalam.

Di Jakarta ibukota Negara kita, yang berani bicara

berbahasa “Melayu Riau” di sana, mestilah bawa

penerjemahnya. Kalau di Bandar Seri Begawan, semua

yang dekat jadi kawan. Bahasanya sama, masyarakatnya

ramah.

Awal perkenalan, anggota Teater Bangsawan dan

pemain musik diberi jamuan makan siang. Sekitar pukul

11 siang Kami dibawa ke sebuah pemondokan, sejak itu

kami terpisah dengan Sanggar Tari dan Pimpinan Team


dari Dinas Kebudayaan & Pariwisata Riau, karena

mereka menginap di salah satu Hotel berbintang. Selesai

melaksanakan Sholat Jumat, setelah Istirahat sejenak

Kami diajak mengunjungi Mesium Tekhnologi Melayu,

sore harinya mendapat jamuan makan malam di salah

satu Geray makanan di Bandar Seri Begawan.

Malamnya rombongan di hantar ke studio

(auditorium) Radio & Televisi Brunei untuk penyesuaian

pentas dan menata set dekor, karena di tempat inilah

pagelaran akan dilaksanakan besok.

Memang di Brunei kami banyak mendapat

kemudahan. Atas kemurahan hati teman – teman di sana

kami diberi arena pagelaran yang sangat menawan.

Walaupun tanpa di dampingi pimpinan rombongan

Asrizal Nur (sang Sutradara) dan Saya (penulis naskah

yang juga dibebani tugas sebagai penata artistic), Dody


(penata video) dan Parulian (penata lampu), tetap saja

mendampingi anak-anak agar semangat mereka tetap

tumbuh berkembang tak patah di tengah jalan.

Rupanya beban berat menghimpit kami malam

itu, karena pada malam itu juga Set Dekor harus

diselesaikan. Di sinilah Asrizal dan Saya jadi kalang

kabut karena berada dinegeri orang: pertama tak tahu

siatuasi dimana harus membeli peralatan yang

dibutuhkan, kedua di Brunei Tak ada Taxi atau angkot,

tak ada kendaraan roda dua, tambahan lagi tak

seorangpun diantara kami yang sempat menukarkan

Rupiah ke Ringgit Brunei.

Untunglah akhirnya menjelang tengah malam

masalah tersebut dapat dipecahkan atas bantuan teman-

teman dari Balai Bahasa dan Pustaka .


Beda Negara beda Undang-Undangnya, beda

tempat berbeda pula adat resamnya. Menampilkan suatu

karya seni di Brunei Darussalam kita mendapatkan

fasilitas tempat yang menyenangkan, tapi segala tetek

bengeknya harus disensor terlebih dahulu oleh pihak

kerajaan. Menurut pengalaman kawan - kawan, di sana

jarang kesenian dari daerah ini yang lulus murni. Banyak

yang dipotong – potong, malah kadang-kadang langsung

tak jadi dipagelarkan. Maklumlah di sana kekuasaan

Sultan. Kuat menjaga marwah dan agama, menegakkan

adat serta martabat.

Dengan semangat yang gigih, pagi itu anak-anak

memberanikan diri, bermain di depan anggota Badan

Sensor Kerajaan Brunei Darussalam. Adegan demi

adegan berlangsung dengan penuh hikmat, akhirnya


mereka berhasil menamatkan permainan. Semua

pendukung peran di suruh berdiri, Asrizal dan Saya

tegak di depan. Satu persatu anggota sensor

mengomentari. Ketua Badan Sensor mengacungkan

jempolnya. Berarti Teater Bangsawan “Keris Menjadi

Saksi” boleh dipentaskan. Semua pemain, Asrizal dan

saya termasuk teman-teman yang membantu kita di sana

bersorak gembira dengan rasa bangga. Jarang teater yang

begituan ‘menceritakan tentang kebusukan orang-orang

kerajaan ‘ diluluskan oleh Badan Sensor di sana.

Begitulah kerja keras. Berkat kebersamaan antara

pemain, sutradara, penulis naskah, penata artistic, penata

video, penata lampu, make up, dan penata busana .

Semuanya dapat diselesaikan. Gambaran hitam putih

suatu lakon dapat memberikan penjelasan, dan

dinikmati para penonton tanpa keraguan. Yang sangat


menggembirakan lagi adalah bahwa pementasan ini

dibantu sepenuhnya oleh Radio dan Televisi Brunei

Darussalam. Kami diberi keleluasaan untuk

menggunakan peralatan dekor studio, menggunakan

ruang make-up (malah bagian seksi solek tv Brunei

langsung turun tangan me make-up anak-anak),

disamping kami juga mendapat panduan penyesuaian

pentas oleh mereka.

Keberhasilan ini amat mengagumkan. Ini

dibuktikan lewat tempik sorak ratusan penonton yang

memecah kesunyian Ruang Auditorium Radio &

Televisi Brunei malam itu. Para penonton tak urung

pulang. Mereka naik kepentas berfoto bersama. Malah

ada diantara kawan-kawan yang secara berbisik-bisik

mendapat tawaran pekerjaan kalau mau tinggal di sana.

Ada pula yang saling tukar nomor hp.


Ada yang nyajak datang lagi dalam even yang

lain seperti main sepak bola dan sebagainya dan

sebagainya. Inilah keberhasilan. Kurang tidur beberapa

minggu belakangan tak lagi jadi masalah. Begitulah,

penat dan letih telah terobati dengan ketawa. Suatu

keberhasilan yang patut dibanggakan memang.


Secuil Kepedihan yang tersisa

Dibalik keberhasilan ‘Pusat Latihan Teater

Semenanjung‘ yang dengan susah payah melangkah,

menelapak meninggalkan jejak mengangkat budaya

Melayu, sebagai ajang usaha kreativitas untuk ikut

menyukseskan program pembangunan Provinsi Riau

yang sedang asyik-asyiknya bersolek diri menuju

‘TERWUJUDNYA PROVINSI RIAU, SEBAGAI

PUSAT PEREKONOMIAN DAN KEBUDAYAAN

MELAYU, DALAM LINGKUNGAN MASYARAKAT

YANG AGAMIS, SEJAHTERA LAHIR DAN BATIN

DI ASIA TENGGARA’ TAHUN 2020.

Citra kebersamaan itu tiba-tiba ternodai dengan

rasa saling curiga antara Pimpinan Rombongan yang


katanya dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Tingkat I

Riau dengan para anggota.

Hal ini dibuktikan dengan tidak hadirnya

Pimpinan Rombongan dari Riau pada beberapa acara

puncak seperti Diskusi Bahasa dan Sastra. Pimpinan

Rombongan seolah-olah dengan sengaja, sejak awal

selalu membiarkan apa adanya (tak pernah mengunjungi

pemondokan anggota) dan sama sekali tak hendak

memberikan motivasi kepada para pemain yang sudah

bersusah payah mengorbankan kuliah mereka demi

negerinya.

Hal ini terbukti dengan tidak adanya temu ramah

seperti sesekali makan atau minum teh bersama. Mereka

seolah olah sengaja memisahkan diri dari rombongan

yang dipimpinnya. Tidah hadirnya pemakalah

Fakhrunnas M.A. Jabbar dalam Diskusi Bahasa dan


Sastra tersebut, karena ketersinggungannya dengan

sikap/ perlakuan Dinas Kebudayaan.

Yang amat menyedihkan adalah uang lelah anak-

anak yang jumlahnya tak seberapa itu, yang seharusnya

dapat dimanfaatkan untuk membeli cendramata, baru di

bayarkan setelah berada dalam ruang tunggu Bandara

Berunai Darussalam (beberapa menit akan kembali ke

Jakarta). Tapi tak mengapa.

Kita semua berharap untuk lebih maju kedepan.

Salah besar diperkecil, salah kecil dihilangkan. Dengan

demikian semua kita dapat berusaha kembali menjaga

marwah dan budaya,


yang tua tahu kedudukannya

yang muda tahu tempat tegaknya

yang pantang dibuang jauh

yang larang ditanam dalam

yang budi ditanam tumbuh

yang niat dihajat dapat


Di Provinsi Riau geliat teater yang dibawa oleh

kelompok (sanggar) teater tidak pernah berhenti. Setiap

waktu berganti waktu memunculkan generasi muda yang

‘berani’ mengambil jalan dan membuat ‘rumah’ di

padang sunyi bernama teater. Mulai dari masa kejayaan

Tanas Effendi, Idrus Tintin, BM. Syamsuddin, Ibrahim

Sattah, Ediruslan Pe Amanriza sampai zaman sekarang

ini.

Tulisan ini hendak merangkum secuil perjalanan

kelompok teater di Riau. Saya mengakui bahwa data

yang saya dapt memang sedikit, tapi mudah-mudahan

kawan-kawan yang membaca tulisan ini dapat

menambahnya.
Dimulai dari Tenas Effendi. Saya belum dapat data, apa

nama kelompok teater yang dinahodai Tenas Effendi.

Naskah drama yang ditulis Tenas berjudul Lancang

Kuning, merupakan naskah yang sering dipentas kembali

oleh kelompok teater di Riau.

Ibrahim Sattah dengan ‘perahu’ teater Bengkel Teater

Bayangkaranya banyak menghasilkan pekerja teater lain,

(maaf hanya menyebut beberapa nama yang saya

ketahui) Dasri Al Mubary, Azuan Razak, Armawi KH.

Idrus Tintin merupakan roh Teater Bahana. Dari

kelompok ini, Idrus Tintin melahirkan banyak sekali

tokoh-tokoh teater di Riau. Sebut saja, Al Azhar,

Norham Wahab, Rhoni Riansyah, Hendrizal, Aini

Arbaiti, Helda, dan masih banyak lagi. Idrus Tintin,

selain sebagai teraju utama, namanya juga merupakan

simbol teater Riau. Siapa tak kenal Idrus Tintin di dunia


teater Riau. Untuk mengenang pengabdian Idrus Tintin

di bidang teater, maka namanya diabadikan di satu

gedung pertunjukan termegah di kawasan Bandar Seni

Raja Ali Haji (Bndar Serai) Pekanbaru, Riau.

Nama kelompok yang dikomandoi oleh BM

Syamsuddin, belum saya ketahui. Tetapi paling tidak

karyanya berjudul Warung Bulan, berulang-ulang

dipentaskan. Begitu juga Temul Amsal, saya belum

dapat data nama kelompoknya. ‘Kecubung’ merupakan

naskah drama Temul Amsal yang masih dipentaskan

oleh generasi teater selanjutnya.

Hutan Palam, itulah nama kelompok teater yang diasuh

Ediruslan Pe Amanriza. Selanjutnya kelompok Teater

Sempadan digawangi oleh Taufik Ikram Jamil. Setelah

meninggalnya Ibrahim Sattah, Dasri Al Mubari

melanjutkan Bengkel Teater Bayangkara dan selalu


disingkat BTB. Norham Wahab muncul dengan

kelompok teaternya Pandan Sembilan. Kelompok

Pandan Sembilan yang diterajui oleh Norham Wahab

menyuguhkan pementasan teater berjudul Patung-

patung, Penjara dan lain sebagainya.

Geliat Teater di Riau bukan saja berpusat di Pekanbaru.

Di daerah tingkat dua juga kelompok teater

menampakkan wajahnya. Sanggar Tasik di Bengkalis

dengan tulang punggungnya Musrial Mustafa, Suhaimi,

Riza Pahlevi, berkali-kali pula menedahkan pementasan

mereka. Di Rengat (Inhu) ada Mini Teater yang diasuh

Salimi, dan Mini Teater juga berulang-ulang

mementaskan karya mereka. Tembilahan (Inhil) ada

Sandy Sebastian (nama kelompoknya lupa) dan ada Aini

Arbaiti dengan kelompok teaternya Bujang Dara. Di

Dumai ada kelompok teater Biduk Bertuah, Ahyar


(Ucok) yang mengepalai kelompok ini. Kabupaten

Rokan Hilir (Bagan Siapi-api) ada pula kelompok teater

Bulan Biru Multivisual yang digawangi oleh Walid

Singkit. Kelompok-kelompok teater dari daerah tingkat

dua Riau ini terus aksis sampai sekarang.

Kembali ke Pekanbaru. Pada tahun 90-an ke atas,

kelompok teater berkecambah dari kampus. Universitas

Lancang Kuning, Fakultas Ilmu Budaya (dulu Fakultas

Sastra) melahirkan Sanggar Selembayung yang sekarang

diketuai oleh Fedli Aziz dan pada tahun 2004 sanggar ini

melebarkan sayapnya, tidak berada di kampus lagi. Di

kampus ini juga muncul kelompok teater Cis yang

dikepali oleh TM Sum. IAIN sekarang Universitas Islam

Negeri Sultan Syarif Khasim melahirkan kelompok

teater Latah Tuah dan GP Ade Darmawi menjadi roh

kelompok ini. Universitas Riau atau UR tepatnya di


Fakultas Ilmu Pendidikian Keguruan memunculkan

kelompok teater Bahtera. Universitas Islam Riau (UIR)

Parlindungan mencetus kelompok teater Lisendra Dua

Terbilang. Pada tahun 2002 Akademi Kesenian Melayu

Riau membuka Jurusan Teater dan dari sinilah muncul

kelompok Teater Mara.

Demikian tulisan tidak seberapa ini. Mudah-mudahan

tulisan ini ada kelanjutannya. Bagi generasi muda Riau

yang terjun ke dunia teater, mudah-mudahan tulisan ini

membangkitkan semangat kalian untuk tetap berkarya

dan berkarya.

Anda mungkin juga menyukai