Pendidikan
Amir Hamzah mulai mengenyam pendidikan pada umur 5 tahun dengan bersekolah di
Langkatsche School di Tanjung Pura pada 1916. Setamat dari Langkatsche School, Amir
Hamzah melanjutkan pendidikannya di MULO, sekolah tinggi di Medan. Setahun kemudian,
Amir Hamzah pindah ke Batavia (Jakarta) untuk melanjutkan sekolah di Christelijk MULO
Menjangan dan lulus pada tahun 1927. Amir Hamzah kemudian melanjutkan studinya di AMS
(Aglemenee Middelbare School), sekolah lanjutan tingkat atas di Solo, Jawa Tengah.
Di sana dia mengambil disiplin ilmu pada Jurusan Sastra Timur. Amir Hamzah adalah seorang
siswa yang memiliki kedisiplinan tinggi. Disiplin dan ketertiban itu nampak pula dari keadaan
kamarnya. Segalanya serba beres, buku-bukunya rapih tersusun di atas rak, pakaian tidak
tergantung di mana saja, dan sprei tempat tidurnya pun licin tidak kerisit kisut. Persis seperti
kamar seorang g4dis remaja.
Sekitar tahun 1930, pemuda Amir terlibat dengan gerakan nasionalis dan jatuh cinta dengan
seorang teman sekolahnya, Ilik Soendari. Bahkan setelah Amir melanjutkan studinya di sekolah
hukum di Batavia (sekarang Jakarta) keduanya tetap dekat, hanya berpisah pada tahun 1937
ketika Amir dipanggil kembali ke Sumatera untuk menikahi putri sultan dan mengambil
tanggung jawab di lingkungan keraton. Meskipun tidak bahagia dengan pernikahannya, dia
memenuhi tugas kekeratonannya.
Selama mengenyam pendidikan di Solo, Amir Hamzah mulai mengasah minatnya pada sastra
sekaligus obsesi kepenyairannya. Pada waktu-waktu itulah Amir Hamzah mulai menulis
beberapa sajak pertamanya yang kemudian terangkum dalam antologi Buah Rindu yang terbit
pada tahun 1943. Pada waktu tinggal di Solo, Amir Hamzah juga menjalin pertemanan
dengan Armijn Pane dan Achdiat K Mihardja. Ketiganya sama-sama mengenyam pendidikan di
AMS Solo, bahkan mereka satu kelas di sekolah itu. Di kemudian hari, ketiga orang ini
mempunyai tempat tersendiri dalam ranah kesusastraan di Indonesia.
Setelah menyelesaikan studinya di Solo, Amir Hamzah kembali ke Jakarta untuk melanjutkan
studi ke Sekolah Hakim Tinggi pada awal tahun 1934. Semasa di Jakarta, rasa kebangsaan di
dalam jiwa Amir Hamzah semakin kuat dan berpengaruh pada wataknya. Bersama beberapa
orang rekannya di Perguruan Rakyat, termasuk Soemanang, Soegiarti, Sutan Takdir
Alisyahbana, Armijn Pane, dan lainnya, Amir Hamzah menggagas penerbitan majalah
Poedjangga Baroe.
Karya
Amir Hamzah mulai menyiarkan sajak-sajak karyanya ketika masih tinggal di Solo. Di majalah
Timboel yang diasuh Sanusi Pane, Amir Hamzah menyiarkan puisinya berjudul “M4buk” dan
“Sunyi” yang menandai debutnya di dunia kesusastraan Indonesia. Sejak saat itu, banyak sekali
karya sastra yang dibuat oleh Amir Hamzah.
Andrea Hirata
Andrea Hirata
Pekerjaan Penulis
Andrea Hirata lahir di Gantung, Belitung Timur, Bangka Belitung, 24 Oktober 1967; umur 50
tahun, adalah novelis yang telah merevolusi sastra Indonesia. Ia berasal dari Pulau
Belitung, provinsi Bangka Belitung. Novel pertamanya adalah Laskar Pelangi yang
menghasilkan tiga sekuel.
Daftar isi
1Biografi
2Novel karyanya
3Penghargaan
4Referensi
5Pranala luar
Biografi NH Dini
Peraih penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah Thailand ini sudah
telajur dicap sebagai sastrawan di Indonesia, padahal ia sendiri mengaku hanyalah seorang
pengarang yang menuangkan realita kehidupan, pengalaman pribadi dan kepekaan terhadap
lingkungan ke dalam setiap tulisannya. Ia digelari pengarang sastra feminis. Pendiri Pondok
Baca NH Dini di Sekayu, Semarang ini sudah melahirkan puluhan karya.
Beberapa karya Nurhayati Sri Hardini Siti Nukatin yang dikenal dengan nama NH Dini, ini yang
terkenal, di antaranya Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975) atau Namaku Hiroko (1977),
Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), belum termasuk
karya-karyanya dalam bentuk kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan.
Budi Darma menyebutnya sebagai pengarang sastra feminis yang terus menyuarakan kemarahan
kepada kaum laki-laki. Terlepas dari apa pendapat orang lain, ia mengatakan bahwa ia akan
marah bila mendapati ketidakadilan khususnya ketidakadilan gender yang sering kali merugikan
kaum perempuan. Dalam karyanya yang terbaru berjudul Dari Parangakik ke Kamboja (2003), ia
mengangkat kisah tentang bagaimana perilaku seorang suami terhadap isterinya.
Ia seorang pengarang yang menulis dengan telaten dan produktif, sepertl komentar Putu Wijaya;
'kebawelan yang panjang.'
Hingga kini, ia telah menulis lebih dari 20 buku. Kebanyakan di antara novel-novelnya itu
bercerita tentang wanita. Namun banyak orang berpendapat, wanita yang dilukiskan Dini terasa
“aneh”. Ada pula yang berpendapat bahwa dia menceritakan dirinya sendiri. Pandangan
hidupnya sudah amat ke barat-baratan, hingga norma ketimuran hampir tidak dikenalinya lagi.
Itu penilaian sebagian orang dari karya-karyanya. Akan tetapi terlepas dari semua penilaian itu,
karya NH Dini adalah karya yang dikagumi. Buku-bukunya banyak dibaca kalangan
cendekiawan dan jadi bahan pembicaraan sebagai karya sastra.
NH Dini dilahirkan di Semarang, 29 Februari 1936 dari pasangan Saljowidjojo dan Kusaminah.
la anak bungsu dari lima bersaudara, ulang tahunnya dirayakan empat tahun sekali. Masa
kecilnya penuh larangan. Konon ia masih berdarah Bugis, sehingga jika keras kepalanya muncul,
ibunya acap berujar, “Nah, darah Bugisnya muncul.”
la mengaku mulai tertarik menulis sejak kelas tiga SD. Buku-buku pelajarannya penuh dengan
tulisan yang merupakan ungkapan pikiran dan perasaannya sendiri. Ia sendiri mengakui bahwa
tulisan itu semacam pelampiasan hati. Ibu Dini adalah pembatik yang selalu bercerita padanya
tentang apa yang diketahui dan dibacanya dari bacaan Panji Wulung, Penyebar Semangat,
Tembang-tembang Jawa dengan Aksara Jawa dan sebagainya. Baginya, sang ibu mempunyai
pengaruh yang besar dalam membentuk watak dan pemahamannya akan lingkungan.
Sekalipun sejak kecil kebiasaan bercerita sudah ditanamkan, sebagaimana yang dilakukan ibunya
kepadanya, ternyata Dini tidak ingin jadi tukang cerita. la malah bercita-cita jadi supir lokomotif
atau masinis. Tapi ia tak kesampaian mewujudkan obsesinya itu hanya karena tidak menemukan
sekolah bagi calon masinis kereta api.
Kalau pada akhirnya ia menjadi penulis, itu karena ia memang suka cerita, suka membaca dan
kadang-kadang ingin tahu kemampuannya. Misalnya sehabis membaca sebuah karya, biasanya
dia berpikir jika hanya begini saya pun mampu membuatnya. Dan dalam kenyataannya ia
memang mampu dengan dukungan teknik menulis yang dikuasainya.
Dini ditinggal wafat ayahnya semasih duduk di bangku SMP, sedangkan ibunya hidup tanpa
penghasilan tetap. Mungkin karena itu, ia jadi suka melamun. “Barangkali renungan dan
khayalan itu yang membentuk perkembangan saya,” kata Dini.
Bakatnya menulis fiksi semakin terasah di sekolah menengah. Waktu itu, ia sudah mengisi
majalah dinding sekolah dengan sajak dan cerita pendek. Dini menulis sajak dan prosa berirama
dan membacakannya sendiri di RRI Semarang ketika usianya 15 tahun. Sejak itu ia rajin
mengirim sajak-sajak ke siaran nasional di RRI Jakarta dalam acara Tunas Mekar.
Bukti keseriusannya dalam bidang yang ia geluti tampak dari pilihannya, masuk jurusan sastra
ketika menginjak bangku SMA di Semarang. Ia mulai mengirimkan cerita-cerita pendeknya ke
berbagai majalah. Ia bergabung dengan kakaknya, Teguh Asmar, dalam kelompok sandiwara
radio bernama Kuncup Berseri. Sesekali ia menulis naskah sendiri. Dini benar-benar remaja yang
sibuk. Selain menjadi redaksi budaya pada majalah remaja Gelora Muda, ia membentuk
kelompok sandiwara di sekolah, yang diberi nama Pura Bhakti. Langkahnya semakin mantap
ketika ia memenangi lomba penulisan naskah sandiwara radio se-Jawa Tengah. Setelah di SMA
Semarang, ia pun menyelenggarakan sandiwara radio Kuncup Seri di Radio Republik Indonesia
(RRI) Semarang. Bakatnya sebagai tukang cerita terus dipupuk.
Pada 1956, sambil bekerja di Garuda Indonesia Airways (GIA) di Bandara Kemayoran, Dini
menerbitkan kumpulan cerita pendeknya, Dua Dunia. Sejak itu, karyanya terus mengalir. Hingga
kini, buku-bukunya mudah dijumpai di toko-toko buku. Beberapa karyanya yang menjadi
percakapan luas adalah Pada Sebuah Kapal (1972), La Barka (1975), Namaku Hiroko (1977),
Orang-orang Tran (1983), Pertemuan Dua Hati (1986), Hati yang Damai (1998), Dari
Parangakik ke Kampuchea (2003). Belum termasuk di dalamnya karya-karyanya dalam bentuk
kumpulan cerpen, novelet, atau cerita kenangan.
Sejumlah bukunya bahkan mengalami cetak ulang sampai beberapa kali - hal yang sulit dicapai
oleh kebanyakan buku sastra. Buku lain yang tenar karya Dini adalah Namaku Hiroko dan
Keberangkatan. la juga menerbitkan serial kenangan, sementara cerpen dan tulisan lain juga terus
mengalir dari tangannya. Walau dalam keadaan sakit sekalipun, ia terus berkarya.
Dini dikenal memiliki teknik penulisan konvensional. Namun menurutnya teknik bukan tujuan
melainkan sekedar alat. Tujuannya adalah tema dan ide. Tidak heran bila kemampuan teknik
penulisannya disertai dengan kekayaan dukungan tema yang sarat ide cemerlang. Dia mengaku
sudah berhasil mengungkapkan isi hatinya dengan teknik konvensional.
Pengarang yang senang tanaman ini, biasanya menyiram tanaman sambil berpikir, mengolah dan
menganalisa. la merangkai sebuah naskah yang sedang dikerjakannya. Pekerjaan berupa bibit-
bibit tulisan itu disimpannya pada sejumlah map untuk kemudian ditulisnya bila sudah terangkai
cerita.
Dini dipersunting Yves Coffin, Konsul Prancis di Kobe, Jepang, pada 1960. Dari pernikahan itu
ia dikaruniai dua anak, Marie-Claire Lintang (kini 42 tahun) dan Pierre Louis Padang (kini 36
tahun). Anak sulungnya kini menetap di Kanada, dan anak bungsunya menetap di Prancis.
Sebagai konsekuensi menikah dengan seorang diplomat, Dini harus mengikuti ke mana
suaminya ditugaskan. Ia diboyong ke Jepang, dan tiga tahun kemudian pindah ke Pnom Penh,
Kamboja. Kembali ke negara suaminya, Prancis, pada 1966, Dini melahirkan anak keduanya
pada 1967. Selama ikut suaminya di Paris, ia tercatat sebagai anggota Les Amis dela Natura
(Green Peace). Dia turut serta menyelamatkan burung belibis yang terkena polusi oleh
tenggelamnya kapal tanker di pantai utara Perancis.
Setahun kemudian ia mengikuti suaminya yang ditempatkan di Manila, Filipina. Pada 1976, ia
pindah ke Detroit, AS, mengikuti suaminya yang menjabat Konsul Jenderal Prancis. Dini
berpisah dengan suaminya, Yves Coffin pada 1984, dan mendapatkan kembali kewarganegaraan
RI pada 1985 melalui Pengadilan Negeri Jakarta.
Mantan suaminya masih sering berkunjung ke Indonesia. Dini sendiri pernah ke Kanada ketika
akan mengawinkan Lintang, anaknya. Lintang sebenarnya sudah melihat mengapa ibunya berani
mengambil keputusan cerai. Padahal waktu itu semua orang menyalahkannya karena dia
meninggalkan konstitusi perkawinan dan anak-anak. Karena itulah ia tak memperoleh apa-apa
dari mantan suaminya itu. Ia hanya memperoleh 10.000 dollar AS yang kemudian digunakannya
untuk membuat pondok baca anak-anak di Sekayu, Semarang.
Dini yang pencinta lingkungan dan pernah ikut Menteri KLH Emil Salim menggiring Gajah
Lebong Hitam, tampaknya memang ekstra hati-hati dalam memilih pasangan setelah pengalaman
panjangnya bersama diplomat Perancis itu. la pernah jatuh bangun, tatkala terserang penyakit
1974, di saat ia dan suaminya sudah pisah tempat tidur. Kala itu, ada yang bilang ia terserang
tumor, kanker. Namun sebenarnya kandungannya amoh sehingga blooding, karena itu ia banyak
kekurangan darah. Secara patologi memang ada sel asing. "Setelah lima tahun diangkat, sudah
lolos. Kandungan saya diangkat pada 1980. Ketika itu keluarga di sini tidak mau tanggung, takut
kalau saya tidak bangun lagi," kenangnya.
Kepulangannya ke Indonesia dengan tekad untuk menjadi penulis dan hidup dari karya-
karyanya, adalah suatu keberanian yang luar biasa. Dia sendiri mengaku belum melihat ladang
lain, sekalipun dia mantan pramugrari GIA, mantan penyiar radio dan penari. Tekadnya hidup
sebagai pengarang sudah tak terbantahkan lagi.
Mengisi kesendiriannya, ia bergiat menulis cerita pendek yang dimuat berbagai penerbitan. Di
samping itu, ia pun aktif memelihara tanaman dan mengurus pondok bacanya di Sekayu. Sebagai
pencinta lingkungan, Dini telah membuat tulisan bersambung di surat kabar Sinar Harapan yang
sudah dicabut SIUPP-nya, dengan tema transmigrasi.
Menjadi pengarang selama hampir 60 tahun tidaklah mudah. Baru dua tahun terakhir ini, ia
menerima royalti honorarium yang bisa menutupi biaya hidup sehari-hari. Tahun-tahun
sebelumnya ia mengaku masih menjadi parasit. Ia banyak dibantu oleh teman-temannya untuk
menutupi biaya makan dan pengobatan.
Tahun 1996-2000, ia sempat menjual-jual barang. Dulu, sewaktu masih di Prancis, ia sering
dititipi tanaman, kucing, hamster, kalau pemiliknya pergi liburan. Ketika mereka pulang, ia
mendapat jam tangan dan giwang emas sebagai upah menjaga hewan peliharaan mereka.
Barang-barang inilah yang ia jual untuk hidup sampai tahun 2000.
Dini kemudian sakit keras, hepatitis-B, selama 14 hari. Biaya pengobatannya dibantu oleh
Gubernur Jawa Tengah Mardiyanto. Karena ia sakit, ia juga menjalani USG, yang hasilnya
menyatakan ada batu di empedunya. Biaya operasi sebesar tujuh juta rupiah serta biaya lain-lain
memaksa ia harus membayar biaya total sebesar 11 juta. Dewan Kesenian Jawa Tengah,
mengorganisasi dompet kesehatan Nh Dini. Hatinya semakin tersentuh ketika mengetahui ada
guru-guru SD yang ikut menyumbang, baik sebesar 10 ribu, atau 25 ribu. Setelah ia sembuh,
Dini, mengirimi mereka surat satu per satu. Ia sadar bahwa banyak orang yang peduli kepadanya.
Sejak 16 Desember 2003, ia kemudian menetap di Sleman, Yogyakarta. Ia, yang semula menetap
di Semarang, kini tinggal di kompleks Graha Wredha Mulya, Sinduadi, Mlati, Sleman,
Yogyakarta. Kanjeng Ratu Hemas, istri Sultan Hamengku Buwono X yang mendengar
kepindahannya, menyarankan Dini membawa serta perpustakaannya. Padahal empat ribu buku
dari tujuh ribu buku perpustakaannya, sudah ia hibahkan ke Rotary Club Semarang.
Alhasil, Dini di Yogya tetap menekuni kegiatan yang sama ia tekuni di Semarang, membuka
taman bacaan. Kepeduliannya, mengundang anak-anak di lingkungan untuk menyukai bacaan
beragam bertema tanah air, dunia luar, dan fiksi. Ia ingin anak-anak di lingkungannya membaca
sebanyak-banyaknya buku-buku dongeng, cerita rakyat, tokoh nasional, geografi atau lingkungan
Indonesia, cerita rekaan dan petualangan, cerita tentang tokoh internasional, serta pengetahuan
umum. Semua buku ia seleksi dengan hati-hati. Jadi, Pondok Baca Nh Dini yang lahir di Pondok
Sekayu Semarang pada 1986 itu, sekarang diteruskan di aula Graha Wredha Mulya. Ia senantiasa
berpesan agar anak-anak muda sekarang banyak membaca dan tidak hanya keluyuran. Ia juga
sangat senang kalau ada pemuda yang mau jadi pengarang, tidak hanya jadi dokter atau
pedagang. Lebih baik lagi jika menjadi pengarang namun mempunyai pekerjaan lain.
Dalam kondisinya sekarang, ia tetap memegang teguh prinsip-prinsip hidupnya. “Saya tidak mau
mengorbankan harga diri demi uang. Misalnya saya disuruh bikin biografi seseorang, dikasih
bahan padahal bahan itu bayangan. Saya tolak, meski pada saat yang sama saya butuh uang,”
jelasnya.
la merasa beruntung karena dibesarkan oleh orang tua yang menanamkan prinsip-prinsip hidup
yang senantiasa menjaga harga diri. Mungkin karena itu pulalah NH Dini tidak mudah menerima
tawaran-tawaran yang mempunyai nilai manipulasi dan dapat mengorbankan harga diri.
la juga pernah ditawari bekerja tetap pada sebuah majalah dengan gaji perbulan. Akan tetapi dia
memilih menjadi pengarang yang tidak terikat pada salah satu lembaga penerbitan. “Saya pikir,
kalau tidak punya pekerjaan rutin, kreativitas dan daya cipta berkembang dan terus diasah,”
kilahnya.
Bagi Dini, kesempatan untuk bekerja di media atau perusahaan penerbitan sebenarnya terbuka
lebar. Namun seperti yang dikatakannya, ia takut kalau-kalau kreativitasnya malah berkurang.
Untuk itulah ia berjuang sendiri dengan cara yang diyakininya; tetap mempertahankan
kemampuan kreatifnya.
Agama: Islam
Suami:
Yves Coffin (bercerai)
Anak:
Marie Claire Lintang
Pierre Louris Padang
Pendidikan:
SD di Semarang, 1950
SMP di Semarang. 1953 -SMA di Semarang, 1956
Kursus Pramugari GIA di Jakarta, 1956
Kursus B 1, Sejarah, 1957-1959
Penghargaan:
Penghargaan sastra terbaik dari Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas)
SEA Write Award bidang sastra dari Pemerintah Thailand
Organisasi:
Wahana Lingkungan Hidup
Forum Komunikasi Generasi Muda Keluarga Berencana
Pada era Soekarno pernah dipenjara selama sepuluh tahun karena tulisannya yang dianggap
subversif dengan judul Indonesia di Mata Dunia, yang menceritakan duta-duta besar Indonesia
yang kerjanya hanya berfoya-foya saja,selama dalam tahanan ia menerbitkan bukunya yang
berjudul catatan Subversif.
Sebagai seorang wartawan, ia pernah memperoleh hadiah Magsaysay dan Hadiah Pena Emas
dari World Federation of Editors and Publishers.Selain itu novelnya yang berjudul Jalan tak ada
ujung -1952, memenangkan hadiah Sastra Nasional BMKN.Karya-karyanya Harimau-harimau -
1975, Si Jamal dan Cerita-cerita lain -1951, Teknik mengarang Skenario film -1952, Tanah
gersang -1966, Harta KArun-1964, Senja di Jakarta-1970, Judar bersaudara -1971, Penyamun
dalam Rimba-1972, Maut dan Cinta-1977, Manusia Indonesia-1977 dsb.
Terjemahannya antara lain, Tiga cerita dari Negeri Dollar karangan Jhon Steinbeck, Orang kaya
karangan F Scott F dsb.Sedangkan perlawatannya ke berbagai negara dibukukannya dalam
Perlawatan ke Amerika Serikat-1951, Perkenalan DI Asia Tenggara, Catatan Korea -1951,
Indonesia di Mata dunia-1955.
Biografi Armijn Pane
Armijn Pane adalah seorang Sastrawan Indonesia, Ia termasuk ke dalam Sastrawan Angkatan
Pujangga Baru. Pada tahun 1933 bersama Sutan Takdir Alisjahbana dan Amir
Hamzah mendirikan majalah Pujangga Baru yang mampu mengumpulkan penulis-penulis dan
pendukung lainnya dari seluruh penjuru Hindia Belanda untuk memulai sebuah pergerakan
modernisme sastra. Salah satu karya sastranya yang paling terkenal ialah
novel Belenggu (1940). Armijn Pane dan adik bungsunya, Prof. Dr. Lafran Pane yang menjadi
sarjana ilmu politik yang pertama, juga mewarisi bakat ayahnya sebagai pendidik. Armijn Pane
menjadi guru Taman Siswa dan Lafran Pane adalah Guru Besar IKIP Negeri Yogya dan
Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Biografi
Armijn Pane dilahirkan tanggal 18 Agustus 1908 di Muara Sipongi, Tapanuli Selatan, Sumatra
Utara. Ia adalah anak ketiga dari delapan bersaudara. Ayahnya Sutan Pangurabaan Pane adalah
seorang seniman daerah yang telah berhasil membukukan sebuah cerita daerah berjudul Tolbok
Haleoan. Setelah lulus ELS di Bukittinggi, Armijn Pane melanjutkan pendidikannya di
STOVIA, Jakarta (1923) dan NIAS, Surabaya (1927) (STOVIA dan NIAS adalah sekolah
dokter), kemudian pindah ke AMS-A di Solo (lulus pada 1931). Di AMS A-1 (Algemene
Middelbare School), ia belajar tentang kesusastraan dan menulis, lulus dari jurusan sastra barat.
Sebagai pelajar di Solo, ia bergabung dengan organisasi pemuda nasional yakni Indonesia Muda,
namun politik tampaknya kurang menarik minatnya daripada kesusasteraan. Saat itu ia memulai
kariernya sebagai penulis dengan menerbitkan beberapa puisi nasionalis, dan dua tahun
kemudian menjadi salah seorang pendiri majalah Pujangga Baru.
Armijn Pane pernah menjadi wartawan surat kabar Soeara Oemoem di Surabaya (1932),
mingguan Penindjauan (1934), surat kabar Bintang Timoer (1953), dan menjadi wartawan lepas.
Ia pun pernah menjadi guru di Taman Siswa di berbagai kota di Jawa Timur. Menjelang
kedatangan tentara Jepang, ia duduk sebagai redaktur Balai Pustaka. Pada zaman Jepang, Armijn
bersama kakaknya Sanusi Pane, bekerja di Kantor Pusat Kebudayaan (Keimin Bunka Shidosho)
dan menjadi kepala bagian Kesusasteraan Indonesia Modern. Sesudah kemerdekaan, ia aktif
dalam bidang organisasi kebudayaan. Ia pun aktif dalam kongres-kongres kebudayaan dan
pernah menjadi anggota pengurus harian Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional (BMKN)
(1950-1955). Ia juga duduk sebagai pegawai tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
(Bagian Bahasa) hingga pensiun.
Tahun 1969 Armijn Pane menerima Anugerah Seni dari pemerintah RI karena karya dan jasanya
dalam bidang sastra. Pada bulan Februari 1970, beberapa bulan setelah menerima penghargaan
tersebut, ia meninggal. Armijn Pane meninggal di Jakarta, pada 16 Februari 1970 pada umur 61
tahun.
Meninggal dunia
Armijn Pane meninggal dunia pada hari Senin, tanggal 16 Februari 1970, pukul 10.00, di Rumah
Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dalam usia 62 tahun. Ia mengalami pendarahan otak dan
tidak sadarkan diri selama dua hari. Ia diserang pneumonic bronchiale. Tempat peristirahatannya
yang terakhir ada di pemakaman Karet, Jakarta, berdampingan dengan makam kakaknya, Sanusi
Pane, yang meninggal satu tahun sebelumnya.
Armijn Pane meninggalkan seorang istri dan seorang anak angkatnya berusia enam tahun yang
pada saat ia meninggal beralamat di Jalan Setia Budi II No. 5 Jakarta.
Nama-nama yang pernah digunakan Armijn Pane
Armijn Pane juga bernama Ammak, Ananta, Anom Lengghana, Antar Iras, AR., A.R., Ara bin
Ari, dan Aria Indra. Nama itu ia gunakan dalam majalah Pedoman Masyarakat, Poedjangga
Baroe, dan Pandji Islam. Di samping itu, ia mempunyai nama samaran Adinata, A. Jiwa, Empe,
A. Mada, A. Panji, dan Kartono.
Karya-karyanya
Selain menulis puisi dan novel, Armijn Pane juga menulis kritik sastra. Tulisan-tulisannya yang
terbit pada Pujangga Baru, terutama di edisi-edisi awal menunjukkan wawasannya yang sangat
luas dan, dibandingkan dengan beberapa kontributor lainnya seperti Sutan Takdir
Alisjahbana dan saudara laki-laki Armijn, Sanusi Pane, kemampuan menilai dan menimbang
yang adil dan tidak terlalu terpengaruhi suasana pergerakan nasionalisme yang terutama di
perioda akhir Pujangga Baru menjadi sangat politis dan dikotomis.
Puisi
Cerpen
Novel
Belenggu, Jakarta: Dian Rakyat. Cet. I 1940, IV 1954, Cet. IX 1977, Cet. XIV 1991
Kumpulan Cerpen
Drama
Karya lainnya