Anda di halaman 1dari 18

ANALISIS NOVEL KARYA SASTRA ANGKATAN 66

PERTEMUAN DUA HATI

Karya nh. Dini

Untuk memenuhi tugas sejarah sastra

Dosen pembimbing : ade hikmat M,pd

Fahrani wafik azizah 1801045128

2c

PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS MUHAMMDIYYAH PROF DR. HAMKA

2019
Identitas novel

 Judul novel : pertemuan


dua hati
 Pengarang           : Nh. Dini
 Penerbit                : PT Gramedia
Pustaka
 Tahun Terbit        : 1986
 Jumlah Halaman : 87 Halaman

Identitas pengarang

Nh.
Dini, seorang
sastrawan, yang
mempunyai
nama lengkap
Nurhayati Sri
Hardini Siti
Nukatin, lahir
tanggal 29
Februari 1936
di Semarang, Jawa Tengah. Sebagai sastrawan, Nh. Dini menulis berbagai
genre sastra, yaitu puisi, drama, cerita pendek, dan novel, tetapi ia lebih
terkenal sebagai novelis yang kebanyakan karyanya mempergunakan latar
negara-negara luar Indonesia.
Nh. Dini putri adalah bungsu pasangan Salyowijiyo, seorang
pegawai perusahaan kereta api, dan Kusaminah. Dini juga berdarah bugis
selain Jawa. Nh. Dini berkakak empat orang, yaitu (1) Heratih, (2) Mohamad
Nugroho, (3) Siti Maryam, dan (4) Teguh Asmar. Dari keempat saudaranya
itu yang paling akrab dengan Dini adalah Teguh Asmar karena keduanya
sama-sama seniman. Nh. Dini juga dekat dengan ayahnya yang telah
membimbingnya dalam mencintai seni. Sebelum meninggal, ayahnya
berpesan agar Dini belajar menari dan memukul gamelan yang tujuannya
untuk mendidiknya supaya Dini memahami kelembutan dalam kehidupan.
Itulah sebabnya, mengapa tokoh utama wanita dalam novelnya Pada Sebuah
Kapal sangat menonjol sifat kelembutannya.
Tahun 1960 Nh. Dini dipersunting seorang diplomat Perancis, Yves
Coffin, yang pada saat itu sedang bertugas selama empat tahun di Indonesia.
Setelah menikah, mereka pindah ke Jepang. Setahun kemudian, yaitu tahun
1961, lahir anak pertamanya yang diberi nama Marie Glaire Lintang. Dari
Jepang mereka pindah ke Kamboja. Tahun 1967 lahir pula anak kedua (laki-
laki) Louis Padang di L'Hay-'les Roses, Perancis. Akhirnya, mereka menetap
di Perancis. Rumah tangga pasangan Nh. Dini dan Yves Coffin ini retak
setelah mereka jalani selama lebih kurang dua puluh tahun. Setelah
menyelesaikan urusan perceraiannya, tahun 1980 Nh. Dini kembali ke tanah
air dalam keadaan sakit kanker. Setelah kesehatannya pulih, Nh. Dini aktif
menulis dan membimbing anak-anak di desa Kedung Pani, sambil memupuk
bakat menulis anak-anak bersama pondok bacaannya di Pondok Sekayu, di
desa Kedung Pani, Semarang pada tahun 1986.
Setelah Nh. Dini pindah ke Yogyakarta, Pondok Baca itu dipindah
pula ke Yogyakarta di alamat Nh. Dini, Graha Wredha Mulya 1-A (2003).
Selain itu, Nh. Dini juga mempunyai pondok baca cabang Jakarta, dan di
Kupang Timur. Dalam hal keyakinan, Nh. Dini tidak tegas memeluk salah
satu agama, hanya diakuinya bahwa ia pernah mendapat pendidikan agama
Islam Jawa. Kepada anaknya ia juga tidak memaksakan agama apa yang harus
mereka anut walaupun ia mengirim anak-anaknya ke gereja ketika mereka
masih kecil. Dini memberikan kebebasan memilih agama kepada anak-
anaknya.
Dini tidak sempat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi
karena ketika usianya tiga belas tahun, ayahnya meninggal dunia. Akan tetapi,
ia sangat haus akan ilmu. Oleh karena itu, setiap ada kesempatan, ia
menyempatkan diri mengikuti pendidikan, seperti mengikuti pendidikan untuk
menjadi pegawai GIA. Di samping itu, dengan kelincahannya, ia juga
mengikuti Kursus B-1 Sejarah dan bahasa asing pada tahun 1957 di
Semarang. Nh. Dini pernah bekerja sebagai penyiar RRI Semarang. Setelah
lulus pendidikan di GIA, ia bekerja sebagai pramugari di Jakarta (1957—
1960). Akan tetapi, setelah bersuami, 1960, Dini berhenti dari pekerjaannya.
Bakat kepengarangannya terbina sejak kecil, terutama karena dorongan
ayahnya yang selalu menyeiakan bacaan bagi putri bungsunya ini.
Nh. Dini baru menyadari bahwa bakat menulisnya muncul ketika
gurunya di sekolah mengatakan bahwa tulisannya merupakan yang terbaik di
antara tulisan kawan-kawannya dan tulisannya itu dijadikan sebagai contoh
tulisan yang baik. Nh. Dini memupuk bakatnya dengan selalu mengisi
majalah dinding di sekolahnya. Dia juga menulis esai dan sajak secara teratur
dalam buku hariannya.
Tahun 1952 sajak Nh. Dini dimuat dalam majalah Budaja dan
Gadjah Mada di Yogyakarta dan juga dibacakan pada acara "Kuntjup Mekar"
di Radio Jakarta. Cerpennya dimuat di dalam majalah Kisah dan Mimbar
Indonesia, seperti "Kelahiran" (1956), "Persinggahan" (1957), dan "Hati yang
Damai" (1960). Cerita-cerita pendeknya "Penungguan" (1955), "Pagi Hudjan"
(1957), "Pengenalan" (1959), "Sebuah Teluk" (1959), "Hati yang Damai"
(1960), dan "Seorang Paman" (1960) juga dimuat di "Gelanggang", lembar
kebudayaan majalah Siasat. Bakat kesenimanannya tidak terbatas pada karya
sastra. Bersama kakaknya, Teguh Asmar, Nh. Dini mendirikan perkumpulan
seni "Kuntjup Seri" yang kegiatannya berlatih karawitan atau gamelan,
bermain sandiwara, dan menyanyi, baik lagu-lagu Jawa maupun lagu
Indonesia.
Di samping aktif dalam kegiatan itu, Nh. Dini juga masih sempat
bekerja sebagai anggota redaksi ruang "Kebudayaan" dalam majalah pelajar
kota Semarang, Gelora Muda. Nh. Dini juga menulis naskah drama yang
disajikan di RRI Semarang. Dalam acara lomba naskah drama di RRI
Semarang, Nh. Dini mendapat hadiah pertama. Nh. Dini juga pernah
mendapat penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah
Thailand pada tahun 2003.
Nh. Dini banyak dinilai sebagai pengarang sastra prosa Indonesia
terkemuka. Salah seorang tokoh yang mengungkapkan hal itu adalah A.
Teeuw yang juga menyatakan bahwa novel-novel Dini sangat mengesankan,
baik jumlah maupun mutunya. Selain itu, Nh. Dini juga dikenal sebagai
pengarang yang secara intens membicarakan masalah perempuan. Berikut ini
sejumlah karya Nh.
Dini, baik yang berbentuk puisi, kumpulan cerita pendek, maupun
novel adalah sebagai berikut. Puisi (1) "Bagi Seorang jang Menerima"
(Gadjah Mada, 1954); (2) "Penggalan" (Gadjah Mada, 1954); (3) "Kematian"
(Indonesia, 1958); Kumpulan cerita pendek (1) Dua Dunia (NV Nusantara,
1956,), (2) Tuileries (Penerbit Sinar Harapan, 1982), (3) Segi dan Garis
(Pustaka Jaya, 1983); Novel (1) Hati jang Damai (NV Nusantara, 1961), (2)
Pada Sebuah Kapal (Pustaka Jaya, 1972), (3) La Barka (Pustaka Jaya, 1975),
(4) Sebuah Lorong di Kotaku (1976), (5) Namaku Hiroko (Pustaka Jaya,
1977), (6) Padang Ilalang di Belakang Rumah (Pustaka Jaya, 1978), (7)
Langit dan Bumi Sahabat Kami (Pustaka Jaya, 1979), (8)Sekayu (Pustaka
Jaya, 1981), (9) Kuncup Berseri (Gramedia Pustaka Utama, 1982),
(10)Orang-Orang Trans(1985),(11) Pertemuan Dua Hati (Gramedia, 1986)
novel ini telah ddiangkat ke layar perak oleh Wim Umboh (12)
Keberangkatan (Gramedia, 1987), (13) Jalan Bendungan (Jambatan, 1989),
(14) Tirai Menurun (Gramedia, 1993), (15) Tanah Baru, Tanah Air Kedua
(Grasindo, 1997), (16) Kemayoran: cerita Kenangan (Gramedia, 2000), (17)
Jepun Negerinya Hiroko (Gramedia, Pustaka Utama, 2000), Dari Parangakik
ke Kamboja (2003).

Sinopsis novel
  Beberapa bulan yang lalu, sebuah keluarga Purmodadi yang terdiri dari
Bu Suci, suaminya, tiga orang anak, dan bibinya dipindahkah ke kota besar
Semarang karena suaminya dipindah tugaskan. Sehingga, mau tidak mau Bu Suci
juga meninggalkan pekerjaannya sebagai guru di Purwodadi. Pekerjaan menjadi
seorang guru bukanlah pilihan Bu Suci melainkan pilihan orang tuanya.
Walaupun begitu Bu Suci tidak menyesal telah menuruti keinginan orang tuanya.
Bu Suci malahan sangat menyukai karirnya sebagai seorang guru. Karena setiap
hari Ia bisa berhadapan dengan anak-anak yang berlainan watak dan geraknya.

            Pada suatu hari Bu Suci menerima surat dari Kepala Sekolah tempat
anaknya bersekolah. Bu suci diminta datang ke sekolah. Kepala Sekolah
memberitahu bahwa Bu Suci akan membimbing dua kelas tiga yang keduanya
dihubungkan oleh sebuah pintu samping. Untuk sementara waktu Bu Suci
mengajar pagi sambil menunggu perkembangan. Dan memang kelas itulah yang
menjadi tanggung jawab Bu Suci setelah guru-guru pulang dari penataran.

Hari pertama mengajar Bu Suci memperkenalkan diri kepada murid-


murid. Agar suasana menjadi lebih santai, Bu Suci menceritakan sedikit tentang
karirnya sebagai guru. Bu Suci juga mengatakan berapa anaknya dan apa
pekerjaan suaminya, tidak lupa juga Ia mengatakan bahwa anaknya juga
bersekolah di sekolah tersebut. Berangsur-angsur keadaan menjadi sedikit lebih
santai, Bu Suci membuka buku daftar nama. Bu suci memanggil seorang demi
seorang. Untuk memudahkan mengingat, di samping setiap nama murid Ia
member tanda. Ada lima deretan bangku memanjang. Dihitungnya nomor satu
dari kiri ke kanan. Misalnya nama rusidah ditandai dengan pensil tulisan 3-te.
Artinya, murid itu duduk di deretan bangku ke-3 di kelompok tengah.

Hari demi hari pun berlalu, nama-nama murid pun mulai dikenal.
Bahkan beberapa murid sudah dihafal tempat duduknya oleh Bu Suci. Hari itu
murid yang bernama Waskito belum juga masuk semenjak dia mengajar kelas
tersebut. Bu Suci pun bertanya kepada murid-murid di kelas itu dimana Waskito
tinggal. Tetapi tidak ada yang menyahut. Setiap murid yang ditanya dimana
tempat tinggal Waskito, semuanya menghindari pandangan Bu Suci yang
membuat Ia semakin heran. Dan pada akhirnya ada siswa yang mengatakan
bahwa Waskito adalah seorang anak nakal yang suka memukul dan menyakiti
murid lainnya.

             Selama beberapa waktu Bu Suci membiarkan murid-muridnya berbincang


antara mereka. Bu Suci mendengarkan dan mencoba mengerti. Kepala Sekolah
atau guru lain yang pernah memegang kelas itu tidak memberitahukan perihal
tentang murid sukar di kelas tersebut. Waktu istirahat tiba, Bu Suci mencari
keterangan selengkap mungkin. Guru-guru yang pernah mengajar kelas itu
mengetahui sedikit. Waskito memang dianggap sebagai anak yang tidak tetap,
atau labil. Sifatnya selalu berubah.

            Bu Suci berusaha sedapat mungkin untuk memisahkan pekerjaan dari


kehidupan keluarga. Tetapi kali itu sangat sulit baginya meneruskan kebiasaan
tersebut. Barangkali karena Bu Suci merasa lemah menolak tantangan guna
mencoba sesuatu yang baru. Mengikuti keterangan guru-guru yang mengenal
Waskito, anak itu termasuk murid sukar jenis yang lain. Kekerasan-kekerasannya
dapat membahayakan kelas.

            Urusan murid sukar belum selesai, Bu Suci harus memilih. Manakah yang
lebih penting? Sepintas, tentu saja Bu Suci mementingkan anaknya daripada
muridnya. Tetapi benarkah sikap itu? Benarkah pilihan itu ditekankan oleh suara
hatinya yang sesungguhnya. Tarikan Waskito sedemikian besar bagi Bu Suci,
karena jauh di lubuk hatinya, Ia menyadari bahwa Ia harus mencoba menolong
anak itu. Demi meyelamatkan seorang calon anggota masyarakat. Pantaskah Ia
mengabaikan Waskito, yang berarti Ia mengingkari tugas dalam karirnya?
Akhirnya Bu Suci memilih anak dan murid, bukan anak atau murid. Bu Suci pun
meminta kepada Tuhan, agar diberi kesempatan mencoba mencakup tugasnya di
dua bidang. Sebagai ibu dan sebagai guru.

            Konon dalam keluarga Waskito terjadi perundingan. Tidak jelas


bagaimana asal-usulnya., atau siapa yang mengusulkan pertemuan tersebut. Yang
sangat menyenangkan hati Bu Suci ialah kali itu kabarnya, anak yang
bersangkutan ditanya apa kemauannya. Kakak perempuan ibunya yang biasa
dipanggil Bu De, ingin mengambil Waskito, meskipun anaknya sendiri tujuh
orang.

            Bu Suci mencoba membuka hati anak-anak didiknya agar rela menerima
Waskito jika dia kembali ke sekolah. Bersama mereka Bu Suci mencari dan
meneliti sebab-sebab mengapa Waskito paling membenci murid yang bernama
Wahyudi dan tiga atau empat anak tertentu. Bu Suci pun bertanya tentang
kebiasaan-kebiasaan mereka setiap hari, dari waktu masuk hingga pulang.
Bagaimana dan naik apa , bersama siapa mereka datang dan beraangkat kembali
ke rumah masing-masing. Lalu Bu Suci dan anak-anak didiknya menemukan
mengapa Waskito berbuat demikian. Waskito tidak mau menerima kenyataan
bahwa anak-anak lain memiliki bapak yang memperhatikan, yang menyisihkan
waktu, sampai-sampai membawa mereka di belakang kendaraan roda dua hingga
pintu sekolah. Sedangkan dia, Waskito, yang mempunyai ayah seorang insinyur
dan berkendaraan sedan, mengapa tidak pernah pergi ke sekolah bersamanya?
Waskito dan adik-adiknya selalu dititipkan kepada sopir. Selalu disuruh berangkat
lebih dahulu.

            Alangkah besar penderitaan batin Waskito. Bu Suci mencoba meyakinkan


anak-anak didiknya bahwa jauh di lunuk hatinya, Waskito tidak membenci,
seperti yang selalu dia katakana. Yang sebenarnya ialah dia merasa iri. Cara
sebaiknya barangkali ialah dengan bersikap sebiasa mungkin. Menganggap
kehadiran Waskito bukan sesuatu yang menyebalkan, tetapi juga bukan sesuatu
yang istimewa.

            Demikian sebulan berlangsung. Bu Suci dapat tabah mengalami loncatan-


loncatan kebiasaan Waskito yang sekali-sekali tenang, di lain saat, berturut-turut
hingga beberapa hari mengganggu murid-murid lain. Demikian Bu Suci
meneruskan pekerjaannya sebagai guru. Kali itu di kota besar, disertai persoalan
dan penyesuaian dengan lingkungan baru. Tetapi Bu Suci tidak menganggap itu
sebagai kesulitan yang tidak dapat diatasi. Hal itu  hanyalah salah satu dari sekian
banyak ramuan yang membumbui kehidupan.

             Bu Suci berencana membentuk menunjukkan teori bejana berhubungan di


kelasnya. Bu Suci membentuk kelompok-kelompok untuk bekerja sama. Setelah
Bu Suci menggambarkan modelnya di papan tulis, memaparkan keterangan sesuai
dengan kemampuan pengertian anak-anak didiknya, setiap kelompok ditugaskan
membuat alat yang sama. Bu Suci menganjurkan supaya anak-anak didiknya tidak
mengeluarkan biaya. Hari pengumpulan tiba, hanya kelompok Waskito yang
hasilnya sangat memuaskan dan hasilnya disimpan di ruang keterampilan untuk
dijadikan teladan. Kini Bu Suci mengetahui bahwa Waskito memang terampil.

            Hampir tiga bulan Bu Suci bekerja, keadaan dapat dikatakan tenang. Tiba-
tiba keadaan berubah. Guru-guru sedang beristirahat di kantor, menunggu lonceng
masuk kembali. Seorang murid Bu Suci terengah-engah datang dan berseru bahwa
Waskito kambuh mengamuk dan mencoba membakar kelas. Sekali pandang Bu
Suci mengetahui bahwa Waskito kaget oleh kedatangan Kepala Sekolah. Tanpa
berpikir panjang tiga atau empat langkah Bu Suci bergegas mendahului Kepala
Sekolah, gunting yang ada di tangan Waskito langsung direbut oleh Bu Suci. Dan
langsung berbalik, memberikan gunting kepada Kepala Sekolah yang telah berada
di samping Bu Suci. Tanpa sesuatu kata, Bu Suci merangkulkan lengan ke pundak
Waskito. Segera setelah didorong, Bu Suci mengajak Waskito keluar menuju ke
kantor.

            Peristiwa itu menggoncangkan kepercayaan sekolah kepada Waskito. Terus


terang banyak rekan guru yang mengusulkan agar Waskito dikeluarkan saja.
Dengan susah payah Bu Suci mempertahankan Waskito dan meminta waktu satu
bulan untuk merubah Waskito.  Sejak kejadian yang disebut “kecelakaan” oleh
murid-murid. Dalam kesibukan apa pun, Bu Suci selalu minta bantuan Waskito.
Bu Suci tidak dapat lagi mempertahankan kebiasaan lamanya memisahkan
kehidupan keluarga dari sekolah. Atau sebaliknya.

            Bu Suci berhasil mengetahui bahwa Waskito sangat suka memancing. Bu


Suci pun berjanji apabila Waskito naik kelas, Bu Suci akan membawa dia ke kota
kecil Purwodadi. Di sana  banyak sungai yang berair jernih. Sehingga, Waskito
dapat memancing sepuasnya. Waskito dibawa Bu Suci pulang ke rumahnya. Bu De-
nya sepakat membiarkan kemenakannya tinggal hingga sore bersama keluarga Bu
Suci. Waskito pun mulai dekat dengan anak kedua dan suami Bu Suci. Tanpa
diusulkan, suami Bu Suci meminta Waskito untuk datang lagi . waskito pun
menyanggupinya, akan datang hari Minggu berikutnya. Semua kemajuan ke arah
perbaikan kebiasaan atau sifat Waskito disampaikan Bu Suci kepada Kepala
Sekolah. Semua kejadian yang bersangkutan dengan Waskito diceritakan Bu Suci
kepada rekan-rekan guru.

            Dalam pelajaran keterampilan, Bu Suci menyiapkan murid-murid


mengerjakan beberapa pilihan. Di antaranya, pada waktu-wajtu tertentu mereka
diarahkan ke cocok tanam oleh Bu Suci. Bu Suci hanya ingin menunjukkan kepada
anak didiknya bagaimana alam menumbuhkan sebuah biji menjadi batang dan daun
dengan bentuk serta ukuran beraneka ragam. Hari itu lonceng sudah agak lama
dibunyikan, tetapi Bu Suci belum selesai dalam salah satu rundingan di kantor.
Ketika akhirnya Bu Suci berjalan menuju ke kelas, Wahyudi mencegat Bu Suci. Dia
hanya mengatakan Waskito yang membuat jantung Bu Suci berdebar. Sampai di
kelas, Bu Suci melihat kaleng-kaleng yang tidak hanya dibanting, melainkan
diinjak-injak. Penyot ringsek bekas sepatu dan tindihan berat badan! Dalam hati Bu
Suci berkata untunglah kaleng dan tanaman yang dihancurkan bukan murid lain
yang dipukul atau diinjak ayau dicekik.

            Suasana kelas tenang, tetapi tegang.aku merasa anak didikku khawatir. Bu
Suci pun melarang anak didikku yang ingin membersihkan tebaran tanah serta
kaleng.mereka menurut dan mundur teratur. Di pintu Bu Suci sudah melihat
Waskito duduk di pinggir selokan, di arah depan kelas-kelas termuda. Bu Suci
mendekati Waskito dan bertanya mengapa dia disitu. Dan tanpa menunggu
jawaban, Bu Suci menyentuh tangannya, dan menarik dia agar berdiri. Waskito
menurut, tangannya tetap di dalam genggaman dan Waskito dibawa Bu Suci
menuju kantor. Bu Suci pun berhasil menenangkan Waskito dan akhirnya Bu Suci
membawa Waskito kembali ke kelas untuk sama-sama dengan murid-murid lainnya
membersihkan lantai dengan tanah yang berserakan. Kejadian itu merupakan
tambahan yang melengkapi pertemuan hati Waskito dan Bu Suci. Akhir tahun
pelajaran, Waskito naik kelas. Bu Suci pun menepati janjinya yang akan membawa
Waskito ke kampung halamannya di Purwodadi.
Unsur intrinsik
 Tema                            : perjuangan seorang wanita dalam membagi tugas
nya
 Tokoh dan penokohan                        
A. Bu Suci

Baik, penyayang, perhatian, sabar, bijaksana, taat beragama,


berbakti kepada orang tua.

“Dan sekali lagi aku menuruti nasehat mereka (orang


tuaku).”

B. Waskito

Agresif, sering memukuli temannya, emosional, sulit bergaul


dengan orang lain karena sifatnya yang kadang berubah-ubah,
butuh perhatian dan bimbingan lebih dari orang tuanya.

“Waskito jahat atau nakal, saya tidak tahu, Bu! Tapi dia
mempunyai kelainan. Suka memukul! Menyakiti siapa
saja!”

C. Suami Bu Suci
Baik, penyayang, perhatian, tegas, bertanggung jawab, pekerja
keras.

“Dia berjanji akan mengambil cuti mendekati waktu-waktu


Lebaran kelak. Selain itu, dia juga harus membuat rak
buku.”

D. Anak pertama Bu Suci

Lembut, baik, penurut pada orang tua, capat mengerti, gemar


membaca buku.

“Kami berterima kasih kepada Tuhan karena dikaruiai anak


pertama yang lembut dan cepat mengerti.”

E. Anak kedua Bu Suci

Terampil

“Saat di Taman Kanak-Kanak menunjukkan keterampilan


jari-jarinya.”

F. Bu De Waskito

Baik, perhatian dan peduli pada anak-anaknya dan juga pada


Waskito.

“Kakak perempuan ibunya yang biasa dipanggil Bu De,


ingin mengambil Waskito, meskipun anaknya sendiri tujuh
orang.”

G. Kepala Sekolah

Tegas, bijaksana, berwibawa

“Untuk pelajaran pertama hari itu, Kepala Sekolah menuruti


jadwal. Dia member pelajaran PMP di kelas tiga yang satu.”
H. Uwak              

Baik, perhatian kepada anak Bu Suci, percaya akan adanya


takhyul.

“Dia masih merasa lebih aman menyandarkan diri pada


ajaran keluar yang bersifat takhyul.”            

I. Murid-murid SD Semarang

Patuh dan penurut kepada guru.

“Kukira kedua anak itu tetap tidak mengerti maksudku,


namun menutut, mundur teratur.”

 Latar

 Latar tempat :             


 Rumah

“Sambil menunggu surat pengangkatan kepindahan kerja,


aku tinggal di rumah.”

 Ruang kelas

“Kembali dari mengantar Kepala Sekolah ke pintu, aku


berdiri menghadapi isi kelas.”

 Kantor guru

“Hari itu lonceng sudah agaak lama dibunyikan, tetapi aku


belum selesai dalam salah satu rundingan di kantor.”

 Rumah Sakit
“Dua hari terakhir, aku berturut-turut ke dokter perusahaan
dan ke rumah sakit.”

 Rumah kakek dan nenek Waskito

“Pada suatu sore yang telah ditentukan, aku berkunjung ke


rumah kakek dan nenek tersebut.”

 Latar suasana :
 Tegang

“Suasana kelas tenang, tetapi tegang.”

 Membingungkan

“Pantaskah aku mengabaikan Waskito yang berarti aku


mengingkari tugas dalam karirku?”

 Bersyukur

“Kami berterima kasih kepada Tuhan karena dikaruniai


anak pertama yang lembut dan cepat mengerti.”

 Latar waktu :
 Pagi hari

“Pagi itu udara cerah.”

 Sore hari

“Pada suatu sore yang telah ditentukan, aku berkunjung ke


rumah kakek dan nenek tersebut.”

 Tengah malam hari

“Di tengah malam aku terjaga berkali-kali, aku tetap tidak


dapat tidur nyenyak.”
 Alur          :  Dilihat dari jalan ceritanya, Novel berjudul Pertemuan Dua Hati
karya Nh. Dini termasuk kedalam alur campuran (dimana cerita dimulai dari
masa dahulu – masa sekarang – kembali ke masa dahulu – dan seterusnya).

 Sudut pandang                 : Orang pertama

“Aku bercita-cita menjadi seorang sekretaris.”

 Amanat                       
 Sesibuk-sibuknya orang tua, harusnya meluangkan waktu kepada anak-
anaknya dan memberikan perhatian serta bimbingan yang membantu
perkembangan anak.
 Kita harus mendengarkan dan menerima pendapat orang lain.
 Jangan melampiaskan kemarahan atau emosi kepada orang lain di sekitar
kita yang dapat membahayakan orang tersebut.
 Jangan memandang remeh seseorang dan hanya melihat dari sisi
buruknya.
  Berusahalah mengendalikan diri ketika hati sedang kesal. Sebelum
kemarahan semakin besar lebih baik pergi menghindar. Mengalah tidak
berarti kalah. Biarlah orang lain mengganggap kita pengecut. Tetapi diri
kita tahu betul bahwa kita menghindari pertikaian dan kekerasan.

 Gaya bahasa               

Dalam novel ini banyak digunakan kata-kata istimewa, yaitu sukar,


konon, sekoyong-koyong, pelosok. Novel ini juga mengandung gaya bahasa
metanomia misalnya “Kepunyaan kami adalah Honda Bebek.”,”Orang tidak
pernah mengetakan akan naik bemo, melainkan “akan naik
Daihatsu”, “Selama bulan-bulan pertama, anakku harus makan pil
Dilatin.” Novel ini juga mengandung gaya bahasa metafora misalnya “Orang
tua itu kuanggap sebagai mata rantai yang menghubungkan anak-anak ke
masa yang hampir silam”  Novel ini juga mengandung gaya bahasa hiperbola
misalnya “Dengan sekali gerak, guru-guru lelaki dan aku berlarian menuju
kelasku. Aku ketinggalan, kehilangan nafas sempat bertanya kepada murid si
pembawa berita.

Unsur ektrinsik
 Nilai Moral

Anak-anak tumbuh tidak hanya memerlukan makanan. Mereka juga


membutuhkan kemesraan, menginginkan perhatian. Rasa cinta kepada mereka
yang diperlihatkan, menanamkan benih kekuatan tersendiri yang bisa
menumbuhkan kepercayaan diri untuk mengokohkan sifat kepribadian yang
baik.

 Nilai Sosial

Hubungan antara guru dan murid tidak sebatas hanya dengan


menyampaikan materi pelajaran sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan
oleh program pendidikan, melainkan harus ada keterikatan seperti hubungan
orang tua dan anak agar murid dapat bersosialisasi dengan baik terhadap
lingkungan sekitarnya.

 Nilai Budaya
Seorang suami juga harus bisa mendengarkan dan menerima pendapat
istri terutama dalam urusan membimbing atau mendidik anak.

Anda mungkin juga menyukai