2c
2019
Identitas novel
Identitas pengarang
Nh.
Dini, seorang
sastrawan, yang
mempunyai
nama lengkap
Nurhayati Sri
Hardini Siti
Nukatin, lahir
tanggal 29
Februari 1936
di Semarang, Jawa Tengah. Sebagai sastrawan, Nh. Dini menulis berbagai
genre sastra, yaitu puisi, drama, cerita pendek, dan novel, tetapi ia lebih
terkenal sebagai novelis yang kebanyakan karyanya mempergunakan latar
negara-negara luar Indonesia.
Nh. Dini putri adalah bungsu pasangan Salyowijiyo, seorang
pegawai perusahaan kereta api, dan Kusaminah. Dini juga berdarah bugis
selain Jawa. Nh. Dini berkakak empat orang, yaitu (1) Heratih, (2) Mohamad
Nugroho, (3) Siti Maryam, dan (4) Teguh Asmar. Dari keempat saudaranya
itu yang paling akrab dengan Dini adalah Teguh Asmar karena keduanya
sama-sama seniman. Nh. Dini juga dekat dengan ayahnya yang telah
membimbingnya dalam mencintai seni. Sebelum meninggal, ayahnya
berpesan agar Dini belajar menari dan memukul gamelan yang tujuannya
untuk mendidiknya supaya Dini memahami kelembutan dalam kehidupan.
Itulah sebabnya, mengapa tokoh utama wanita dalam novelnya Pada Sebuah
Kapal sangat menonjol sifat kelembutannya.
Tahun 1960 Nh. Dini dipersunting seorang diplomat Perancis, Yves
Coffin, yang pada saat itu sedang bertugas selama empat tahun di Indonesia.
Setelah menikah, mereka pindah ke Jepang. Setahun kemudian, yaitu tahun
1961, lahir anak pertamanya yang diberi nama Marie Glaire Lintang. Dari
Jepang mereka pindah ke Kamboja. Tahun 1967 lahir pula anak kedua (laki-
laki) Louis Padang di L'Hay-'les Roses, Perancis. Akhirnya, mereka menetap
di Perancis. Rumah tangga pasangan Nh. Dini dan Yves Coffin ini retak
setelah mereka jalani selama lebih kurang dua puluh tahun. Setelah
menyelesaikan urusan perceraiannya, tahun 1980 Nh. Dini kembali ke tanah
air dalam keadaan sakit kanker. Setelah kesehatannya pulih, Nh. Dini aktif
menulis dan membimbing anak-anak di desa Kedung Pani, sambil memupuk
bakat menulis anak-anak bersama pondok bacaannya di Pondok Sekayu, di
desa Kedung Pani, Semarang pada tahun 1986.
Setelah Nh. Dini pindah ke Yogyakarta, Pondok Baca itu dipindah
pula ke Yogyakarta di alamat Nh. Dini, Graha Wredha Mulya 1-A (2003).
Selain itu, Nh. Dini juga mempunyai pondok baca cabang Jakarta, dan di
Kupang Timur. Dalam hal keyakinan, Nh. Dini tidak tegas memeluk salah
satu agama, hanya diakuinya bahwa ia pernah mendapat pendidikan agama
Islam Jawa. Kepada anaknya ia juga tidak memaksakan agama apa yang harus
mereka anut walaupun ia mengirim anak-anaknya ke gereja ketika mereka
masih kecil. Dini memberikan kebebasan memilih agama kepada anak-
anaknya.
Dini tidak sempat mengenyam pendidikan di perguruan tinggi
karena ketika usianya tiga belas tahun, ayahnya meninggal dunia. Akan tetapi,
ia sangat haus akan ilmu. Oleh karena itu, setiap ada kesempatan, ia
menyempatkan diri mengikuti pendidikan, seperti mengikuti pendidikan untuk
menjadi pegawai GIA. Di samping itu, dengan kelincahannya, ia juga
mengikuti Kursus B-1 Sejarah dan bahasa asing pada tahun 1957 di
Semarang. Nh. Dini pernah bekerja sebagai penyiar RRI Semarang. Setelah
lulus pendidikan di GIA, ia bekerja sebagai pramugari di Jakarta (1957—
1960). Akan tetapi, setelah bersuami, 1960, Dini berhenti dari pekerjaannya.
Bakat kepengarangannya terbina sejak kecil, terutama karena dorongan
ayahnya yang selalu menyeiakan bacaan bagi putri bungsunya ini.
Nh. Dini baru menyadari bahwa bakat menulisnya muncul ketika
gurunya di sekolah mengatakan bahwa tulisannya merupakan yang terbaik di
antara tulisan kawan-kawannya dan tulisannya itu dijadikan sebagai contoh
tulisan yang baik. Nh. Dini memupuk bakatnya dengan selalu mengisi
majalah dinding di sekolahnya. Dia juga menulis esai dan sajak secara teratur
dalam buku hariannya.
Tahun 1952 sajak Nh. Dini dimuat dalam majalah Budaja dan
Gadjah Mada di Yogyakarta dan juga dibacakan pada acara "Kuntjup Mekar"
di Radio Jakarta. Cerpennya dimuat di dalam majalah Kisah dan Mimbar
Indonesia, seperti "Kelahiran" (1956), "Persinggahan" (1957), dan "Hati yang
Damai" (1960). Cerita-cerita pendeknya "Penungguan" (1955), "Pagi Hudjan"
(1957), "Pengenalan" (1959), "Sebuah Teluk" (1959), "Hati yang Damai"
(1960), dan "Seorang Paman" (1960) juga dimuat di "Gelanggang", lembar
kebudayaan majalah Siasat. Bakat kesenimanannya tidak terbatas pada karya
sastra. Bersama kakaknya, Teguh Asmar, Nh. Dini mendirikan perkumpulan
seni "Kuntjup Seri" yang kegiatannya berlatih karawitan atau gamelan,
bermain sandiwara, dan menyanyi, baik lagu-lagu Jawa maupun lagu
Indonesia.
Di samping aktif dalam kegiatan itu, Nh. Dini juga masih sempat
bekerja sebagai anggota redaksi ruang "Kebudayaan" dalam majalah pelajar
kota Semarang, Gelora Muda. Nh. Dini juga menulis naskah drama yang
disajikan di RRI Semarang. Dalam acara lomba naskah drama di RRI
Semarang, Nh. Dini mendapat hadiah pertama. Nh. Dini juga pernah
mendapat penghargaan SEA Write Award di bidang sastra dari Pemerintah
Thailand pada tahun 2003.
Nh. Dini banyak dinilai sebagai pengarang sastra prosa Indonesia
terkemuka. Salah seorang tokoh yang mengungkapkan hal itu adalah A.
Teeuw yang juga menyatakan bahwa novel-novel Dini sangat mengesankan,
baik jumlah maupun mutunya. Selain itu, Nh. Dini juga dikenal sebagai
pengarang yang secara intens membicarakan masalah perempuan. Berikut ini
sejumlah karya Nh.
Dini, baik yang berbentuk puisi, kumpulan cerita pendek, maupun
novel adalah sebagai berikut. Puisi (1) "Bagi Seorang jang Menerima"
(Gadjah Mada, 1954); (2) "Penggalan" (Gadjah Mada, 1954); (3) "Kematian"
(Indonesia, 1958); Kumpulan cerita pendek (1) Dua Dunia (NV Nusantara,
1956,), (2) Tuileries (Penerbit Sinar Harapan, 1982), (3) Segi dan Garis
(Pustaka Jaya, 1983); Novel (1) Hati jang Damai (NV Nusantara, 1961), (2)
Pada Sebuah Kapal (Pustaka Jaya, 1972), (3) La Barka (Pustaka Jaya, 1975),
(4) Sebuah Lorong di Kotaku (1976), (5) Namaku Hiroko (Pustaka Jaya,
1977), (6) Padang Ilalang di Belakang Rumah (Pustaka Jaya, 1978), (7)
Langit dan Bumi Sahabat Kami (Pustaka Jaya, 1979), (8)Sekayu (Pustaka
Jaya, 1981), (9) Kuncup Berseri (Gramedia Pustaka Utama, 1982),
(10)Orang-Orang Trans(1985),(11) Pertemuan Dua Hati (Gramedia, 1986)
novel ini telah ddiangkat ke layar perak oleh Wim Umboh (12)
Keberangkatan (Gramedia, 1987), (13) Jalan Bendungan (Jambatan, 1989),
(14) Tirai Menurun (Gramedia, 1993), (15) Tanah Baru, Tanah Air Kedua
(Grasindo, 1997), (16) Kemayoran: cerita Kenangan (Gramedia, 2000), (17)
Jepun Negerinya Hiroko (Gramedia, Pustaka Utama, 2000), Dari Parangakik
ke Kamboja (2003).
Sinopsis novel
Beberapa bulan yang lalu, sebuah keluarga Purmodadi yang terdiri dari
Bu Suci, suaminya, tiga orang anak, dan bibinya dipindahkah ke kota besar
Semarang karena suaminya dipindah tugaskan. Sehingga, mau tidak mau Bu Suci
juga meninggalkan pekerjaannya sebagai guru di Purwodadi. Pekerjaan menjadi
seorang guru bukanlah pilihan Bu Suci melainkan pilihan orang tuanya.
Walaupun begitu Bu Suci tidak menyesal telah menuruti keinginan orang tuanya.
Bu Suci malahan sangat menyukai karirnya sebagai seorang guru. Karena setiap
hari Ia bisa berhadapan dengan anak-anak yang berlainan watak dan geraknya.
Pada suatu hari Bu Suci menerima surat dari Kepala Sekolah tempat
anaknya bersekolah. Bu suci diminta datang ke sekolah. Kepala Sekolah
memberitahu bahwa Bu Suci akan membimbing dua kelas tiga yang keduanya
dihubungkan oleh sebuah pintu samping. Untuk sementara waktu Bu Suci
mengajar pagi sambil menunggu perkembangan. Dan memang kelas itulah yang
menjadi tanggung jawab Bu Suci setelah guru-guru pulang dari penataran.
Hari demi hari pun berlalu, nama-nama murid pun mulai dikenal.
Bahkan beberapa murid sudah dihafal tempat duduknya oleh Bu Suci. Hari itu
murid yang bernama Waskito belum juga masuk semenjak dia mengajar kelas
tersebut. Bu Suci pun bertanya kepada murid-murid di kelas itu dimana Waskito
tinggal. Tetapi tidak ada yang menyahut. Setiap murid yang ditanya dimana
tempat tinggal Waskito, semuanya menghindari pandangan Bu Suci yang
membuat Ia semakin heran. Dan pada akhirnya ada siswa yang mengatakan
bahwa Waskito adalah seorang anak nakal yang suka memukul dan menyakiti
murid lainnya.
Urusan murid sukar belum selesai, Bu Suci harus memilih. Manakah yang
lebih penting? Sepintas, tentu saja Bu Suci mementingkan anaknya daripada
muridnya. Tetapi benarkah sikap itu? Benarkah pilihan itu ditekankan oleh suara
hatinya yang sesungguhnya. Tarikan Waskito sedemikian besar bagi Bu Suci,
karena jauh di lubuk hatinya, Ia menyadari bahwa Ia harus mencoba menolong
anak itu. Demi meyelamatkan seorang calon anggota masyarakat. Pantaskah Ia
mengabaikan Waskito, yang berarti Ia mengingkari tugas dalam karirnya?
Akhirnya Bu Suci memilih anak dan murid, bukan anak atau murid. Bu Suci pun
meminta kepada Tuhan, agar diberi kesempatan mencoba mencakup tugasnya di
dua bidang. Sebagai ibu dan sebagai guru.
Bu Suci mencoba membuka hati anak-anak didiknya agar rela menerima
Waskito jika dia kembali ke sekolah. Bersama mereka Bu Suci mencari dan
meneliti sebab-sebab mengapa Waskito paling membenci murid yang bernama
Wahyudi dan tiga atau empat anak tertentu. Bu Suci pun bertanya tentang
kebiasaan-kebiasaan mereka setiap hari, dari waktu masuk hingga pulang.
Bagaimana dan naik apa , bersama siapa mereka datang dan beraangkat kembali
ke rumah masing-masing. Lalu Bu Suci dan anak-anak didiknya menemukan
mengapa Waskito berbuat demikian. Waskito tidak mau menerima kenyataan
bahwa anak-anak lain memiliki bapak yang memperhatikan, yang menyisihkan
waktu, sampai-sampai membawa mereka di belakang kendaraan roda dua hingga
pintu sekolah. Sedangkan dia, Waskito, yang mempunyai ayah seorang insinyur
dan berkendaraan sedan, mengapa tidak pernah pergi ke sekolah bersamanya?
Waskito dan adik-adiknya selalu dititipkan kepada sopir. Selalu disuruh berangkat
lebih dahulu.
Hampir tiga bulan Bu Suci bekerja, keadaan dapat dikatakan tenang. Tiba-
tiba keadaan berubah. Guru-guru sedang beristirahat di kantor, menunggu lonceng
masuk kembali. Seorang murid Bu Suci terengah-engah datang dan berseru bahwa
Waskito kambuh mengamuk dan mencoba membakar kelas. Sekali pandang Bu
Suci mengetahui bahwa Waskito kaget oleh kedatangan Kepala Sekolah. Tanpa
berpikir panjang tiga atau empat langkah Bu Suci bergegas mendahului Kepala
Sekolah, gunting yang ada di tangan Waskito langsung direbut oleh Bu Suci. Dan
langsung berbalik, memberikan gunting kepada Kepala Sekolah yang telah berada
di samping Bu Suci. Tanpa sesuatu kata, Bu Suci merangkulkan lengan ke pundak
Waskito. Segera setelah didorong, Bu Suci mengajak Waskito keluar menuju ke
kantor.
Suasana kelas tenang, tetapi tegang.aku merasa anak didikku khawatir. Bu
Suci pun melarang anak didikku yang ingin membersihkan tebaran tanah serta
kaleng.mereka menurut dan mundur teratur. Di pintu Bu Suci sudah melihat
Waskito duduk di pinggir selokan, di arah depan kelas-kelas termuda. Bu Suci
mendekati Waskito dan bertanya mengapa dia disitu. Dan tanpa menunggu
jawaban, Bu Suci menyentuh tangannya, dan menarik dia agar berdiri. Waskito
menurut, tangannya tetap di dalam genggaman dan Waskito dibawa Bu Suci
menuju kantor. Bu Suci pun berhasil menenangkan Waskito dan akhirnya Bu Suci
membawa Waskito kembali ke kelas untuk sama-sama dengan murid-murid lainnya
membersihkan lantai dengan tanah yang berserakan. Kejadian itu merupakan
tambahan yang melengkapi pertemuan hati Waskito dan Bu Suci. Akhir tahun
pelajaran, Waskito naik kelas. Bu Suci pun menepati janjinya yang akan membawa
Waskito ke kampung halamannya di Purwodadi.
Unsur intrinsik
Tema : perjuangan seorang wanita dalam membagi tugas
nya
Tokoh dan penokohan
A. Bu Suci
B. Waskito
“Waskito jahat atau nakal, saya tidak tahu, Bu! Tapi dia
mempunyai kelainan. Suka memukul! Menyakiti siapa
saja!”
C. Suami Bu Suci
Baik, penyayang, perhatian, tegas, bertanggung jawab, pekerja
keras.
Terampil
F. Bu De Waskito
G. Kepala Sekolah
I. Murid-murid SD Semarang
Latar
Ruang kelas
Kantor guru
Rumah Sakit
“Dua hari terakhir, aku berturut-turut ke dokter perusahaan
dan ke rumah sakit.”
Latar suasana :
Tegang
Membingungkan
Bersyukur
Latar waktu :
Pagi hari
Sore hari
Amanat
Sesibuk-sibuknya orang tua, harusnya meluangkan waktu kepada anak-
anaknya dan memberikan perhatian serta bimbingan yang membantu
perkembangan anak.
Kita harus mendengarkan dan menerima pendapat orang lain.
Jangan melampiaskan kemarahan atau emosi kepada orang lain di sekitar
kita yang dapat membahayakan orang tersebut.
Jangan memandang remeh seseorang dan hanya melihat dari sisi
buruknya.
Berusahalah mengendalikan diri ketika hati sedang kesal. Sebelum
kemarahan semakin besar lebih baik pergi menghindar. Mengalah tidak
berarti kalah. Biarlah orang lain mengganggap kita pengecut. Tetapi diri
kita tahu betul bahwa kita menghindari pertikaian dan kekerasan.
Gaya bahasa
Unsur ektrinsik
Nilai Moral
Nilai Sosial
Nilai Budaya
Seorang suami juga harus bisa mendengarkan dan menerima pendapat
istri terutama dalam urusan membimbing atau mendidik anak.