Anda di halaman 1dari 9

Ikranagara Ikranagara

Lahir

19 September 1943 (umur 70) Jembrana, Bali, Indonesia

Pekerjaan aktor, sastrawan, sutradara, pelukis Pasangan Kay Ikranagara, PhD Anak Innosanto Nagara, Rakrian Biko Nagara

Ikranagara (lahir di Loloan Barat, Jembrana, Bali, 19 September 1943; umur 70 tahun) adalah pemeran dan sastrawan Indonesia.

1 Karier 2 Filmografi 3 Karya Teater 4 Karya Sastra 5 Sinetron 6 Penghargaan 7 Referensi 8 Pranala luar

Karier Ia memulai kiprah di dunia kesenian melalui drama dan puisi.[1] Keterlibatannya di dunia film sendiri diakui Ikra karena faktor keisengan belaka. Sekurangnya hingga detik ini sudah sekitar 13 film berhasil ia bintangi. Tidak hanya bermain film, penghargaan pun berhasil ia raih, seperti Pemeran Pembantu Pria Terpuji Festival Film Bandung (2009), dan Pemeran Utama Pria Terbaik Indonesian Movie Award (2009).[2] Ikranagara melakukan dekonstruksi terhadap teater tradisional (terutama yang ada di Bali) dalam arti yang positif, artinya berangkat dari hasilnya itu dia kemudian melanjutkan dengan proses intertekstualitas, atau kreatif dan kritis, sambil juga melibatkan intuisi kesenimanannya, yang berakhir dengan melahirkan karya teater masakini yang berakar kepada budaya pra-Indonesia. Bersama Putu Wijaya, ia mendekonstruksi teater tradisional dengan menggali budaya Bali, seperti yang dilakukan Rendra melalui budaya Jawa dan Arifin melalui kesenian Cirebon dan Betawi.[3] Filmografi

Bernafas dalam Lumpur (1970) Cinta Biru (1977) Dr. Siti Pertiwi Kembali ke Desa (1980) Untukmu Indonesiaku (1980) Djakarta 66 (1982) Kejarlah Daku Kau Kutangkap (1986) Keluarga Markum (1986) Bintang Kejora (1986) Under The Tree (2008) Laskar Pelangi (2008) Garuda di Dadaku (2009) Sang Pencerah (2010) Sang Kiai (2013)

Karya Teater

Topeng (1972) Saat-Saat Dramband Mengerang-ngerang (1973)

Karya Sastra

Angkat Puisi (1979) Tirai (1984)

Sinetron

Sebuah Pintu Sebuah Kalbu (1992) Masih Ada Waktu (1997)

Penghargaan

Pemeran Pembantu Pria Terpuji Festival Film Bandung (2009) Pemeran Utama Pria Terbaik Indonesian Movie Award (2009)

Elegi ~ Ikra Negara Pada akhirnya adalah sebuah nisan raksasa Yang mendesak lembut menelan ruang Nisan ini telah menelan punah dinosaurus Tak ada lagi ruang bagi pitekantropus Kecuali fosil dan debu Kain kafan compang-camping Menempel bagai krakap pada nisan ini Nisan ini nisan yang terus membengkak Ada bintik membusuk Yang terus mendidih Yang terus mengeram Yang terus merintih Di pusat ini bengkak Kita!

Puisi Oleh: Ikra Negara

Konflik sosial dan konflik batin dalam drama Terdakwa karya Ikranegara Konflik Sosial clan Konflik Batin dalam Drama Terdakwa karya Ikranegara (pembimbing: Ibnu Wahyudi,M.A.). Fakultas Sastra Universitas Indonesia, 1997. Untuk banyak kasus, penentuan tema atau klasifikasitema terhadap karya sastra tidak terlalu sulit, tema dapat ditangkap secara tegas. Namun untuk sejumlah kasus, penentuan tema tidak mudah. Hal ini dapat terjadi karena perbedaan latar belakang pembaca ataupenelaah. Akan tetapi ada kalanya perbedaan interpretasi dapat terjadi karena memang karya sastra itu sendiri yang sangat berpotensi untuk menimbulkan interpretasi ganda dalam hal tema. Dalam hal ini contohnya ialah drama Terdakwa karya Ikranegara. Drama Terdakwa memiliki kandungan tema sosial dan tema kejiwaan, yakni masalah konflik sosial dan konflik batin. Kedua tema tersebut terlihat sama kuat untuk disandangkan pada drama Terdakwa. Dengan menggunakan analisis intrinsik, yakni tokoh, latar, alur, kandungan masalah sosial dan kejiwaan dalam Terdakwa, serta dibantu dengan analisis ekstrinsik, yakni melihat kecenderungan tema karya-karya lain dari pengarang yang bersangkutan, penulis dapat menentukan tema utama dari drama Terdakwa

PROFIL IKRANEGARA Laki-Laki 19 September 1943, Bali PERSONAL Ikranagara adalah seorang aktor, sastrawan dan sutradara Indonesia kelahiran Loloan Barat, Bali 19 September 1943. Ia mewarisi darah Madura-Makasar dari sang ayah dan darah Jawa-Bali dari sang ibu. Sejak kecil, ia sudah diperkenalkan dengan seni pewayangan oleh rekan ayahnya yang berprofesi sebagai dalang dan pembuat wayang. Kegemaran ibunya terhadap puisi juga membuat Ikra hobi menulis sejak kecil. Beberapa puisinya sempat dimuat di Koran Bali. Ikranagara menikah dengan Kay Ikranagara dan memiliki dua orang anak bernama Innosanto Nagara dan Rakrian Biko Nagara. KARIR Ikra sebenarnya tidak sengaja menekuni dunia seni peran. Berawal dari pertemanannya dengan Putu Wijaya yang sama-sama menyukai dunia tulis-menulis, ia membuat grup teater bersama Putu Wijaya ketika SMA. Saat itu Ikra yang pemalu memilih untuk berada di balik layar sebagai penulis naskah dan Putu Wijaya sebagai pemain. OlehPutu Wijaya, Ikra kemudian dipaksa tampil. Ternyata Ikramenikmatinya dan bahkan karena terlalu sibuk dengan grup teaternya, ia pernah tidak naik kelas. Jiwa seninya semakin menjadi ketika pindah ke Banyuwangi dan bertemu dengan teman satu kosnya bernama Armaya yang merupakan seorang penyair. Ia kemudian bergabung dengan HSBI (Himpunan Seni Budaya Islam) pimpinan Hasnan Sibgodimayan dan banyak menimba ilmu dari beliau. Lulus SMA, Ikra melanjutkan kuliah ke Fakultas Kedokteran UGM namun tidak selesai karena Ikra memilih untuk terjun di bidang seni. Ia sendiri sebenarnya tidak pernah berpikir untuk berkecimpung di dunia akting, namun tawaran selalu datang padanya. Film pertamanya adalah PAGAR KAWAT BERDURI yang sempat dilarang tayang oleh Partai Komunis Indonesia. Meskipun akhirnya diamankan oleh Presiden Soekarno,namun film ini tetap tidak bisa ditayangkan di bioskop. Film keduanya adalah BERNAFAS DALAM LUMPUR yang dibintangi oleh Suzanna. Saat itu Ikra sempat berkelakar bahwa ia selalu ingin bermain film dengan Suzanna. Tibatiba Ikra dipanggil untuk datang ke lokasi syuting filmSuzanna dan ucapannya akhirnya menjadi kenyataan. Selain sebagai pemain film, ia juga pernah menjadi dosen tamu di Universitas California Tahun 1974 dan dilanjutkan dengan menjadi dosen di Universitas Ohio pada tahun 1980an. Sepanjang karirnya, Ikra telah bermain dalam13 judul film. Beberapa penghargaan yang pernah

diraih Ikra antara lain Pemeran Pembantu Pria Terpuji Festival Film Bandung (2009), dan Pemeran Utama Pria Terbaik Indonesian Movie Award (2009). Kecintaannya pada dunia seni peran membuat Ikra bersama Putu Wijaya melakukan dekonstruksi terhadap teater tradisional khususnya yang ada di Bali. Ia ingin menghasilkan pementasan teater yang berakar kepada budaya pra-Indonesia seperti yang dilakukan rekannya WS Rendra melalui budaya Jawa dan Arifin C. Noer pada budaya Cirebon dan Betawi. FILMOGRAFI PAGAR KAWAT BERDURI (1961) BERNAFAS DALAM LUMPUR (1970) SI DOEL ANAK MODERN (1976) CINTA BIRU (1977) DR. SITI PERTIWI (1979) UNTUKMU INDONESIAKU (1980) DJAKARTA 66 (1982) KEJARLAH DAKU KAU KUTANGKAP (1985) KELUARGA MARKUM (1986) BINTANG KEJORA (1986) LASKAR PELANGI (2008) UNDER THE THREE (2008) GARUDA DIDADAKU (2009) SANG PENCERAH (2010) SINETRON SEBUAH PINTU KALBU (1992) DUKUN PALSU (1995) MASIH ADA WAKTU (1997)

Sastra para seniman Puisi Kontemporer Puisi kontemporer dipelopori oleh penyair Sutardji Calzoum Bachri. Menurut Sutardji, dalam puisi kontemporer yang dipentingkan bentuk fisik (bunyi). Beliau ingin mengembalikan puisi pada mantra. Dalam puisi yang ditulisnya, beliau menyajikan ulangan kata, frasa, dan bunyi yang menjadi kekuatan puisinya. Puisi-puisi Sutardji diterbitkan dalam bukunya yang berjudul O, Amuk, Kapak. Di Betul kau pasti sedang menghitung berapa nasib lagi tinggal sebelum fajar terakhir kau tutup tanpa seorangpun tahu siapa kau dan di Kau Maka kini lengkaplah sudah perhitungan di luar akal tentang sesuatu yang tak bisa siapapun menerangkan kata pada saat itu kau mungkin sedang di Betul kan ? 74 Karya: Noorca Marendra Apa yang menarik dari puisi tersebut menurut Anda? Puisi tersebut termasuk jenis puisi kontemporer. Yang paling menonjol dari puisi kontemporer adalah tingkat tipografinya. Puisi kontemporer tidak mementingkan tipografi yang konvensional seperti puisi lama atau puisi baru. Puisi kontemporer lebih mementingkan bentuk grafis atau fisik untuk mengungkapkan perasaan penyairnya. Penyair menata kata-kata sedemikian rupa untuk menimbulkan bunyi yang indah. Demi tujuan tersebut, penyair kadang-kadang membalikkan kata-kata yang mengaburkan makna. Hal itu terjadi juga pada puisi karya Noorca Marendra di atas. Sebetulnya kata-kata yang digunakannya kata-kata dalam percakapan sehari-hari. Akan tetapi, pemenggalan beberapa kata yang tidak sesuai aturan membuat kabur arti kata-kata tersebut. Akibatnya, makna puisi itu pun menjadi tidak jelas. Adapun ciri-ciri puisi kontemporer sebagai berikut. 1. Bentuk fisiknya atau tipografinya tidak beraturan. 2. Kata-kata disusun secara acak sesuai dengan tipografi yang diinginkan penyair. 3. Sebagian penyair menganggap makna dalam puisi kontemporer tidak diutamakan. Yang diutamakan bentuk fisiknya. 4. Sebagian penyair masih tetap mengutamakan makna puisinya, tetapi disajikan dengan tipografi bebas.

Walaupun tidak mengutamakan makna, puisi kontemporer masih diikat dengan tema. Seperti contoh di atas, Noorca menuliskan puisi dengan mengangkat tema masalah sosial. Ingatlah! Tema adalah ide dasar atau ide pokok yang disampaikan penyair melalui puisinya. Contoh lain puisi kontemporer : O dukaku dukakau dukarisau dukakalian dukangiau resahku resahkau resahrisau resahbalau resahkalian raguku ragukau raguragu ragutahu ragukalian mauku maukau mautahu mausampai maukalian maukenal maugapai siasiaku siasiakau siasiasia siabalau siarisau siakalian siasiasia waswasku waswaskau waswaskalian waswaswaswaswaswaswaswas duhaiku duhaiku duhairindu duhaingilu duhaikalian duhaisangsai oku okau okosong orindu okalian obolong orisau oKau O . . . . . Karya: Sutardji Calzoum Bachri Angin Membantai Pucuk-Pucuk Tebu Bagi Rakyat Desa Negara Sakti Di antara tubuh petani yang terbakar, aku melihat kenyataan, sebara semangat, dan getar perlawanan pada nasib yang dihinakan. Aku melihat kutukan dan karma kemiskinan: membekas hangus pada keningnya yang terbakar. Aku melihat cinta dan harapan, aku melihat korban penindasan: pada dadanya yang terbakar. Angin membantai pucuk-pucuk tebu. Di sana perlawanan itu bermula: beratus tahun yang lalu, Petani-petani hina bergerak melawan kebekuan nasibnya, melawan beribu pertanyaan yang tak kuasa Dijawabnya. Lawan-lawan-lawan! Cangkul diayunkan, arit disambitkan, guru dilayangkan, tapi tidak ke tanah, melainkan ke sana: ke tubuh-kaki-tangan-kepala yang telah berabad menjajah mereka: merdeka? Beratus tahun sesudahnya, pertanyaan itu tetap sama, anak-cucu-cicit mereka menerima warisan yang sama: pemiskinan, pembodohan, dan perlawanan. Siklus kekerasan yang tak habis-habisnya. Di situ: di antara miang batang-batang tebu, di antara garang mesin pabrik-pabrik gula, penjajahan berulang kembali. Lalu dengan tubuh kurus dan bibir bergetar, dengan melipat rasa takut, petani-petani miskin itu berteriak dan bergerak maju: lawan-lawan-lawan! Dan tetap saja peluru-peluru panas itu yang menjawab pertanyaan mereka: merdeka? Di antara tubuh petani yang terbakar, pagi itu, aku melihat sisa spanduk, cangkul, arit, dan garu dengan bau darah, ya, aku melihat kenyataan: selongsong peluru, poster-poster dengan tulisan arang, dan sisa teriakan

yang terus terngiang: Kembalikan tanah nenek moyang kami! Karya: Ahmad Yulden Erwin Doktorandus Tikus I selusin toga me nga nga seratus tikus berkampus di atasnya dosen dijerat profesor diracun kucing kawin dan bunting dengan predikat sangat memuaskan Karya: F. Rahardi Halaman Buku Dari buku Tanpa kulit muka Tanpa kulit belakang Inilah Selembar halamannya Dibuka tangan matahari pagi Setelah jari telunjuknya Sempat dijilat embun Jangan tanya Mana halaman sebelumnya Inilah Selembar halaman baru Terang karena sorot lampu neon Apa bisamu Hanya Menatap Saja? *** .... Karya: Ikranegara

Anda mungkin juga menyukai