Anda di halaman 1dari 4

Nama : Dicky Maulana Saputra

NIM : 223020202030
Matakuliah : Membaca Sastra

BIOGRAFI PUTU WIJAYA


A. Profil Singkat
I Gusti Ngurah Putu Wijaya (lahir 11 April 1944) adalah seorang sastrawan yang dikenal
serba bisa. Ia adalah seorang penulis drama, cerpen, esai, novel, skenario film dan
sinetron, tokoh teater, dan pelukis. Putu Wijaya adalah bungsu dari lima bersaudara
seayah maupun dari tiga bersaudara seibu. Ia tinggal di kompleks perumahan besar, yang
dihuni sekitar 200 orang, baik anggota keluarga dekat dan jauh. Putu mempunyai
kebiasaan membaca sejak kecil. Ayahnya, I Gusti Ngurah Raka, seorang pensiunan
punggawa yang keras dalam mendidik anak dan ibunya yang bernama Mekel Ermawati
Semula, ayahnya mengharapkan Putu jadi dokter. Namun, Putu lemah dalam ilmu pasti.
Ia akrab dengan sejarah, bahasa, dan ilmu bumi.
B. Pendidikan
Sewaktu muda, Putu Wijaya mengenyam pendidikan dari sekolah rakyat hingga
sekolah menengah atas di Bali. Kemudian, Putu Wijaya melanjutkan sekolahnya di
Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada. Sebenarnya, ayah dari Putu Wijaya
mengharapkan putranya ini untuk menjadi seorang dokter. Namun, Putu merasa ia tidak
berbakat dalam bidang ilmu pasti. Putu Wijaya lebih tertarik dengan sejarah, bahasa, dan
ilmu bumi. Oleh sebab itu, sejak tahun 1959 Putu Wijaya sudah bermain drama dengan
Kelompok Sanggar Bambu. Selain itu, sembari berkuliah Putu Wijaya juga belajar di
Akademi Seni Drama dan Film (Asdrafi) selama satu tahun, pada 1964.
Berikut adalah riwayat pendidikan Putu Wijaya :
 SR, Tabanan (1956)
 SMP Negeri, Tabanan (1959)
 SMA-A, Singaraja (1962)
 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (1969)
 ASRI dan Asdrafi, Yogyakarta
 LPPM, Jakarta (1981)
 International Writing Programme, Iowa, AS (1974)
Pada tahun 1973, Putu Wijaya mendapat beasiswa untuk belajar drama di Jepang
selama satu tahun. Namun, Putu Wijaya hanya sanggup memanfaatkan beasiswa itu
selama tujuh bulan dan kembali ke Indonesia. Selama di Jepang, Putu Wijaya ikut hidup
bersama kelompok masyarakat komunal di Jepang. Tidak hanya itu, Putu juga turut
memberikan pertunjukan sandiwara rakyat keliling yang bernama Swaraji. Setelah Putu
kembali ke Indonesia, ia kembali disibukkan sebagai staf redaksi majalah Tempo. Tahun
1974, Putu berkesempatan untuk mengikuti lokakarya penulisan kreatif di Lowa City,
Amerika Serikat. Kegiatan ini bernama International Writing Program yang
diselenggarakan oleh Universitas Negeri Lowa. Putu Wijaya mengikuti program tersebut
selama kurang lebih satu tahun. Tahun 1975 Putu kembali ke Tanah Air dan langsung
bermain drama dalam Festival Teater Sedunia di Nancy, timur Kota Paris.
C. Karir
Putu menulis sejak SMP. Tulisan pertamanya sebuah cerita pendek berjudul "Etsa"
dimuat di harian Suluh Indonesia, Bali. Pertama kali main drama ketika di SMA,
memainkan drama sendiri dan menyutradarai dengan kelompok yang didirikannya sendiri
di Yogyakarta. Putu bergabung dengan Bengkel Teater pada 1967-1969. Kemudian ia
bergabung dengan Teater Kecil di Jakarta. Sempat main satu kali dalam pementasan
Teater Populer. Selanjutnya bergabung dengan Teater Mandiri yang didirikan pada tahun
1971, dengan konsep "Bertolak dari Yang Ada".

Putu Wijaya sudah menulis kurang lebih 30 novel, 40 naskah drama, sekitar seribu
cerpen, ratusan esei, artikel lepas, dan kritik drama. Ia juga telah menulis skenario film
dan sinetron. Sebagai seorang dramawan, ia memimpin Teater Mandiri sejak 1971, dan
telah mementaskan puluhan lakon di dalam maupun di luar negeri. Di antaranya yaitu
mementaskan naskah Gerr (Geez), dan Aum (Roar) di Madison, Connecticut dan di
LaMaMa, New York City, dan pada tahun 1991 membawa Teater Mandiri dengan
pertunjukkan Yel keliling Amerika. Puluhan penghargaan ia raih atas karya sastra dan
skenario sinetron.

Cerita pendek karangannya kerap mengisi kolom pada Harian Kompas dan Sinar
Harapan. Novel-novel karyanya sering muncul di majalah Kartini, Femina, dan Horison.
Sebagai penulis skenario, ia telah dua kali meraih Piala Citra di Festival Film Indonesia
(FFI), untuk Perawan Desa (1980), dan Kembang Kertas (1985). Sebagai seorang penulis
fiksi yang produktif, sudah banyak buku yang dihasilkannya. Di antaranya, yang banyak
diperbincangkan adalah Bila Malam Bertambah Malam, Telegram, Pabrik, Keok, Tiba-
Tiba Malam, Sobat, dan Nyali. Sejumlah karyanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Belanda, Inggris, Rusia, Perancis, Jepang, Arab, dan Thailand.
D. Penghargaan
 Pemenang penulisan lakon Depsos (Yogyakarta)
 Pemenang penulisan puisi Suluh Indonesia Bali
 Pemenang penulisan novel IKAPI
 Pemenang penulisan drama BPTNI
 Pemenang penulisan drama Safari
 Pemenang penulisan cerita film Deppen (1977)
 Tiga kali pemenang sayembara penulisan novel DKJ
 Empat kali pemenang sayembara penulisan lakon DKJ
 Pemenang penulisan esei DKJ
 Dua kali pemenang penulisan novel Femina
 Dua kali pemenang penulisan cerpen Femina
 Pemenang penulisan cerpen Kartini
 Hadiah buku terbaik Depdikbud (Yel)
 Pemenang sinetron komedi FSI (1995)
 SEA Write Award 1980 di Bangkok
 Pemenang penulisan esei Kompas
 Anugerah Seni dari Menteri P&K, Dr Fuad Hasan (1991)
 Penerima Profesional Fellowship dari The Japan Foundation Kyoto, Jepang
(1991-1992)
 Anugerah Seni dari Gubernur Bali (1993)
 Tanda Kehormatan Satyalancana Kebudayaan Presiden RI (2004)
 Penghargaan Achmad Bakrie (2007)
 Penghargaan Akademi Jakarta (2009) dsb.

E. Karya-Karya
Putu Wijaya telah menulis karya sastra dalam jumlah yang besar, baik dalam bentuk
drama, novel, cerpen, maupun puisi. Beberapa drama yang ditulis Putu Wijaya, antara
lain, (1) Lautan Bernyanyi, 1967, (2) Anu, 1974, (3) Aduh, 1975; (4) Dag Dig Dug, 1976,
(5) Edan, 1977, dan (6) Gerr, 1986. Kumpulan cerita pendek Putu Wijaya, seperti (1)
Bom, 1978, (2) Es, 1980, dan (3) Gres, 1982 juga dikenal secara luas. Kumpulan puisi
Putu Wijaya berjudul Dadaku adalah Perisaiku, terbit tahun 1974. Dia juga menulis
banyak novel yang mendapat sambutan luas. Novel-novel tersebut ialah (1) Bila Malam
Bertambah Malam, 1971, (2) Telegram, 1972, (3) Pabrik, 1976, (4) Stasiun, 1977, (5)
Ms, 1977, (6) Tak Cukup Sedih, 1977, (7) Ratu, 1977, (8) Sah, 1977, (9) Keok, 1978,
(10) Sobat, 1981, (11) Lho, 1982, (12) Nyali, 1983, (13) Pol, 1987, (14) Perang, 1995,
dan (15) Mala Tetralogi Dangdut (2008). Kumpulan cerpennya berjudul Klop (2010)
Sejak tahun 1990-an Putu bergiat juga dalam dunia perfilman. Dia mendirikan "Putu
Wijaya Mandiri Production", rumah produksi untuk pembuatan sinetron di televisi. Dia
telah menyutradarai 3 buah film untuk layar lebar, yaitu: "Cas-Cis-Cus, "Zig Zag", dan
"Plong". Untuk jenis sinetron, rumah produksinya telah menghasilkan "Dukun Palsu" (13
episode), "Pas" (52 episode), "None" (39 episode), "Warteg" (20 episode), dan "Jari-Jari
Cinta". Putu Wijaya mendapat beberapa penghargaan dan hadiah atas karya-karyanya.
Tahun 1967 naskah Putu Wijaya "Lautan Bernyanyi" mendapat hadiah ketiga dari Badan
Pembina Teater Nasional Indonesia dalam Sayembara Penulisan Lakon. Tahun 1980 ia
memperoleh Hadiah Sastra Asean (SEA Write Award) yang diselenggarakan di Bangkok,
Thailand atas karyanya Telegram dan tahun 2008 ia menerima Penghargaan Federasi
Teater Indonesia di Taman Ismail Marzuki.
F. Ciri khas penulisan karya
Ciri Khas Putu Wijaya dalam karya-karyanya salah satunya adalah absurditas. Cerita
absurd tergolong sulit diterima akal sehat. Hal-hal di luar nalar manusia kadang menjadi
santapan empuk bagi Putu. Boleh dikatakan, lewat keabsurdan itu Putu lebih mudah
menyampaikan pesan dalam ceritanya.
Karya Putu juga identik dengan kritik dan satir, Bukan cerita yang jadi poin utama
dalam setiap karya Putu, melainkan pesan yang hendak disampaikan. Cerita dalam karya
Putu bisa dikatakan hanya sebagai perantara pesan moral tersebut.
Ulasan beberapa cerpen karya Putu Wijaya.

A. Cerpen Valentine
Pada cerpen “Valentine” dijelaskan makna pada tokoh ibu yang menolak akan valentine
karena dianggap bukan budaya asli dari lingkungannya. Hal ini tentunya berkaitan
dengan zaman sekarang yang dimana para muda mudi cenderung banyak mengambil
budaya baru dari luar, hal ini juga yang menjadi permasalahan bagi umat beragama yang
tidak memperbolehkan budaya ini karena dianggap mengarah pada perzinaan dan
tindakan asusila lainnya.

Namun disisi lain cerpen ini juga berusaha menceritakan tentang pentingnya toleransi
yang tinggi. Hal ini dapat dilihat dari tokoh Amat yang berusaha memberi tahu ibunya
tentang pentingnya menghargai kebudaayan orang lain meskipun kita tidak ikut
merayakannya, berikut adalah percakapan Amat dengan Ibunya.

“Kita ini masyarakat plural, jadi harus bisa hidup saling menghargai. Itu namanya
silahturahmi,”kata Amat.

Cerpen ini memuat banyak pesan moral diantaranya nilai toleransi, serta nilai
kemanusiaan. Cerpen ini tentunya layak dibaca untuk kalangan manapun guna
mengedukasi bagaimana sikap kita terhadap budaya baru.

B. Cerpen Suap
Dalam cerpen “Suap” mengandung makna yang sangat dalam, yang dimana cerpen ini
menggambarkan keadaan pada zaman dahulu, dimana kasus korupsi dan suap terjadi
dimana- mana. Karena perekonomian yang kurang stabil membuat seseorang terpaksa
menerima suap demi kepentingan pribadi.

Cerpen ini juga menggambarkan tentang kondisi yang terjadi saat ini di negara kita,
dimana maraknya korupsi yang dilakukan para pejabat serta kaum atas yang hanya
mementingkan kepentingan pribadi atas dasar demi memenuhi kebutuhan hidup. Kita
harusnya sadar bahwa kasus korupsi ini dapat menghambat perekonomian negara serta
memperparah kemiskinan.

Cerpen ini juga memberikan amanat yang sangat baik. Terdapat amanat secara implisit
bahwa kita harus menghindari suap karena suap merupakan perbuatan yang buruk dan
dapat merugikan diri sendiri dan orang lain. Kita tidak boleh ragu-ragu dan harus berani
dalam mengambil keputusan. Kita harus bersyukur dengan apa yang kita miliki karena
masih banyak orang lain yang kurang beruntung daripada kita. Selain itu, juga terdapat
amanat secara eksplisit yaitu kalimat yang diucapkan oleh istri dari tokoh “saya” bahwa
“Jangan memaksakan sesuatu yang tidak baik, nanti tidak akan pernah baik”.

Anda mungkin juga menyukai