Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Drama merupakan salah satu genre sastra yang menarik untuk dibahas. lstilah drama berasal dari Yunani, yaitu
dramoi yang berarti 'aksi' atau 'perbuatan'. lstilah drama itu sendiri sudah menyiratkan makna 'peristiwa', 'karangan',
dan 'risalah'.

Drama adalah sebuah genre sastra yang penampilan fisiknya memperlihatkan secara verbal adanya dialogue atau
cakapan di anatara tokoh-tokoh yang ada. Drama juga secara eksplisit memperlihatkan adanya petunjuk
pemanggungan yang akan memberikan gambaran tentang suasana, lokasi, atau apa yang dilakukan tokoh (Hall
dalam Wahyudi, 2006: 104).

Drama pada awalnya digunakan dalam suatu ritual pemujaan terhadap para dewa. Akan tetapi, ritual tersebut
mengalami perkembangan menjadi oratoria, yaitu seni berbicara, kemudian berkembang menjadi drama.

Malam Jahanam merupakan sebuah drama ciptaan Motinggo Busje yang ditulis pada tanggal 1Juni 1958 di Teluk
Betung. Malam Jahanam pernah memenangkan sayembara penulisan lakon yang diadakan Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan pada tahun 1958. Drama ini merupakan drama satu babak yang menampilkan sisi gelap manusia di
samping aspek ketulusan dan kelembutan hati.

Dalam Tugas ini, penulis menggunakan pendekatan objektif sebagai pendekatan dalam mengkaji Malam Jahanam.
Pendekatan objektif merupakan sebuah pendekatan yang menekankan karya sastra sebagai struktur yang sedikit
banyak bersifat otonom (Teeuw, 2003: 100). Pendekatan ini mencoba untuk memaparkan suatu karya sastra secara
struktural. Oleh karena itu, penulis tidak mengaitkan karya dengan lingkungannya, seperti pengarang dan
pembacanya. Penulis hanya membahas sistem formalnya yang membangun keutuhan karya, yaitu alur, latar, tokoh
dan penokohan, tema, dan amanat.

B. Biografi Motinggo Busje

Motinggo Boesje (ER, EYD: Motinggo Busye, nama lahir: Bustami Djalid) (21 November 1937 - 18 Juni 1999)
adalah seorang sastrawan, sutradara, dan pelukis Indonesia.

Lahir

21 November 1937

Kupang Kota, Bandar Lampung

Meninggal
18 Juni 1999 (umur 61)

Kebangsaan Indonesia

Nama lain Matinko

Bungo

Saidi Maharajo

Pekerjaan

Seniman, sutradara

Dikenal atas Sastrawan

Orang tua

Djalid Sutan Raja Alam

Rabiah Jakub

Latar Belakang Keluarga

Motinggo lahir dari pasangan Djalid Sutan Raja Alam dan Rabiah Jakub yang berasal dari Minangkabau. lbunya
berasal dari Matur dan ayahnya dari Sicincin, Padang Pariaman. Setelah menikah, mereka berdua pergi merantau
ke Kata Bandar Lampung. Di sana ayahnya bekerja sebagai pegawai Koninklijke Paketvaart Maatschappij di
Kupang Kata, sedangkan ibunya mengajar ilmu agama dan bahasa Arab.
Ketika usianya mendekati 12 tahun, kedua orang tuanya meninggal dunia. Sepeninggal orang tuanya, Motinggo
diasuh neneknya di Bukittinggi hingga ia menamatkan SLA-C.

Nama dan Gelar

Motinggo merupakan nama pena yang diambil dari bahasa Minangkabau, mantiko. Kata tersebut memiliki makna
bersifat bengal, eksentrik, suka menggaduh, kocak, dan tak tahu malu. Namun mantiko dalam diri Motinggo
bukanlah berkonotasi negatif, maka ia menambahkan kata bungo (bunga) di belakang nama samarannya itu,
sehingga lengkap tertulis Mantiko Bungo (MB). Dari inisial MB inilah akhirnya berkembang nama Motinggo Boesje.
Selain nama pena dan nama pemberian orang tua, ia juga memilki nama gelar adat Minangkabau yaitu Saidi
Maharajo.
Pendidikan dan Karier

Setelah tamat SMA di Bukittinggi, Motinggo melanjutkan pendidikannya ke Fakultas Hukum Universitas Gadjah
Mada, tetapi tidak selesai.

Tahun 1952 ia mengisi acara sandiwara radio RRI studio Bukittinggi. la sempat menjadi redaktur kepala
Penerbitan Nusantara (1961-1964) dan Ketua II Koperasi Seniman Indonesia.

Awai kariernya dalam dunia tulis-menulis dimulai ketika Tomoyuki Yamashita datang ke rumahnya memberi mesin
ketik. Mesin itu akhirnya menjadi sahabatnya untuk mencurahkan ide-idenya. Semenjak tekun membaca buku-
buku sastra Balai Pustaka, minatnya tumbuh untuk terjun di dunia sastra .
Dramanya, Malam Jahanam (1958), mendapat hadiah pertama sayembara penulisan drama dari Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan bagian kesenian pada tahun 1958. Cerpennya, "Nasihat Buat
Anakku", mendapat hadiah majalah Sastra pada tahun 1962.

la memasuki dunia film sejak tahun 1960 ketika ceritanya, "Si Pendek dan Sri Panggung" difilmkan
sutradara Alam Suawidjaja dan dia menjadi pembantunya.

Selain terlibat dalam dunia sastra, drama, dan film, ia juga menyukai seni lukis. la belajar melukis bersama
Delsy Syamsumar pada Wakidi. la turut mendirikan Himpunan Seniman Muda Indonesia Sumatra Utara dan
menjadi pemimpin majalah kebudayaan organisasi itu. Pada tahun 1954 sebuah pameran lukisan di Padang
menampilkan 15 lukisan karyanya.

Tanggapan atas karya Motinggo

Novelnya, Bibi Marsiti (1964) yang menjadi titik awal peralihannya ke penulisan yang lebih populer, mendapat
serangan dari Lekra. Ketika berceramah tentang karyanya di TIM pada tahun 1969 ia mendapat kritik tajam
dari kalangan sastra.

Novel-novelnya banyak difilmkan, di antaranya Di Balik Pintu Dosa (1970), Tiada Maaf Bagimu (1971), dan
lnsan Kesepian (1971).
Sepanjang hidupnya Motinggo telah menulis lebih dari 200 karya yang sampai saat ini masih tersimpan di
Perpustakaan Kongres di Washington, D. C.. Di taman kota Seoul, Korea Selatan, namanya terpahat di antara
1.000 sastrawan dunia. Karya-karyanya banyak diterjemahkan ke bahasa asing, antara lain bahasa Ceko, lnggris,
Belanda, Prancis, Jerman, Korea, Jepang, dan Mandarin.[1]

Karya

karya tulis :

Malam Jahanam (1961). Tidak Menyerah

(1963).

Hari lni Tak Ada Cinta (1963).

Perempuan ltu Bernama Barabah (1963).

Dosa Kita Semua (1963).

Tiada Belas Kasihan (1963) . Sejuta

Matahari (1963) .

Penerobosan di Bawah Laut (1964). Titian

Dosa di Atasnya (1964).

Cross Mama (1966).

Tante Maryati (1967).

Sri Ayati (1968). Retno Lestari (1968) .

Dia Musuh Keluarga (1968). Sanu, lnfita

Kembar (1985) . Madu Prahara (1985).

Dosa Kita Semua (1986).

Tujuh Manusia Harimau (1987). Dua

Tengkorak Kepala (1999). Fatimah Chen

Chen (1999).
Drama:

Malam Jahanam (1961). Badai Sampai

Sore (1962). Nyonya dan Nyonya (1963).

Malam Pengantin di Bukit Kera (1963).

Legenda:

Buang Tonjam (1963).

Ahim-Ha (1963).

Batu Serampok (1963).

Film:

Biarkan Musim Berganti (1971).

Tjintaku Djauh Dipulau (1971).

Takkan Kulepaskan (1972).

Si Rano (1973).

Sebelum Usia 17 (1974). One Way

Ticket (1976). Sejuta Duka lbu

(1977) . Raja Singa (1978) .


BAB II

PEMBAHASAN

A. Sinopsis Naskah Drama Malam Jahanam

Di sebuah perkampungan nelayan, tinggallah Mat Kontan beserta istri (Paijah) dan anaknya (Mat Kontan Kecil).
Soleman, teman dekat Mat Kontan, tinggal di seberang rumah mereka. Suatu malam, Paijah menunggu suaminya
yang belum juga pulang. la mengkhawatirkan anaknya yang sedang sakit. Akhirnya, Mat Kontan pulang membawa
seekor burung. Saat mengobrol dengan Soleman di teras rumahnya, dia menyombongkan burung perkututnya
yang baru, juga istri dan anaknya. Soleman yang tidak tahan mendengarnya mengungkit-ungkit ketakutan Mat
Kontan ketika nyawanya hampir melayang karena terperosok ke dalam pasir. Mat Kontan yang ketakutan
rahasianya dibongkar langsung berbaik-baik
pada Soleman.

Tak lama kemudian, Mat Kontan mulai menyombongkan diri lagi. Dia juga menuduh Soleman iri karena dia
mempunyai istri yang cantik dan seorang anak. Soleman bahkan dianggap takut menyentuh perempuan karena
sampai sekarang belum juga beristri.

Mat Kontan masuk untuk melihat burung beo kesayangannya tapi tidak menemukannya. Utai, seorang warga
kampung itu yang setengah pandir, mengaku pernah melihat bangkai burung tersebut di dekat sumur dengan leher
tergorok. Mat Kontan yang jadi marah besar mengajak Utai menemaninya ke tukang nujum untuk mengetahui siapa
pembunuhnya.

Paijah yang ketakutan bertanya pada Soleman apa yang sebaiknya ia katakan bila ditanya oleh Mat Kontan nanti.
Ternyata, Solemanlah yang membunuh burung beo kesayangan Mat Kontan agar perselingkuhannya dengan Paijah
tidak ketahuan. Soleman berjanji akan melindungi Paijah.

Mat Kontan segera pulang karena tukang nujum yang hendak ditemuinya sudah meninggal. Dia pun marah-marah
pada Paijah, bertanya siapa yang membunuh burung beonya. Paijah balas mengungkapkan kekesalannya pada
Mat Kontan yang tidak pernah memikirkan dan menyayangi dirinya dan anaknya tapi selalu membangga-banggakan
mereka pada semua orang.

Awalnya, Soleman membela Paijah dari amarah Mat Kontan. Lama-lama Soleman diam saja. Paijah kecewa pada
Soleman dan mengaku sebagai pembunuh burung beo Mat Kontan. Soleman pun mengaku bahwa dialah
pembunuh burung beo Mat Kontan dan bahwa dialah ayah dari anak Paijah, anak yang selama ini Mat Kontan
bangga-banggakan sebagai anaknya.
Mat Kontan marah dan mengangkat goloknya. Soleman membuat Mat Kontan takut lagi dengan mengingatkannya
tentang saat dia terperosok ke dalam pasir. Mat Kontan pergi dan menyerahkan Paijah serta anaknya pada
Soleman.

Soleman menyusul Mat Kontan yang dikiranya hendak bunuh diri. Ternyata, Mat Kontan dan Utai sudah
menunggu untuk membunuhnya. Soleman berhasil meloloskan diri dan pergi ke stasiun kereta api. Utai mati
karena ditendang oleh Soleman.

Mat Kontan kembali ke rumahnya dan masih mau hidup dengan Paijah serta anak Soleman. Dia bahkan mulai
memerhatikan anak itu dan pergi memanggil dukun untuk mengobati penyakitnya. Sayangnya, malam itu juga si
bayi meninggal dunia.

B. Kajian Naskah Drama Malam Jahanam

1. Realisme dalam Malam Jahanam

Karakteristik drama realis adalah sesuatu tidak boleh diperindah/diperburuk dari keadaan sebenarnya;
menyampaikan ke permukaan tanpa harus menutupi kebenaran yang terjadi di sekitarnya; menolak seni untuk seni
karena visualisasi digunakan untuk kepentingan masyarakat.

Selain itu, drama realis juga menggunakan bentuk well made play yang ciri-cirinya adalah eksposisi secara jelas
menggambarkan situasi dan watak tokoh; pengolahan situasi sangat cermat menuju peristiwa berikutnya; suspens
muncul tak terduga dan berbalik menurut logika; plot berlangsung kontinyu dan memuncak; dan resolusi terjadi
secara logis dan meyakinkan.

Sesuai dengan salah satu karakteristik drama realis, Malam Jahanam tidak memperindah maupun memperburuk
sesuatu dari keadaan sebenarnya. Drama ini menceritakan perselingkuhan sebagaimana adanya pada masa
naskah drama ini ditulis, yaitu pada tahun 1950-an.

Malam Jahanam juga menyampaikan perselingkuhan ini ke permukaan tanpa menutupi kebenaran yang terjadi di
sekitarnya. Motinggo Busye dengan jujur mengemukakan bagaimana tanggapan masyarakat saat itu dan reaksi
orang-orang yang berhubungan dengan perselingkuhan ini.

Drama ini merupakan penggambaran keadaan nyata yang dapat dijadikan contoh oleh masyarakat. Penyebab dan
dampak dari perselingkuhan Paijah dengan Soleman, kematian Mat Kontan Kecil yang tragis, dan keegoisan Mat
Kontan dapat dipelajari oleh masyarakat dan dipetik hikmah serta amanatnya. Dengan demikian, Malam Jahanam
dapat digunakan untuk kepentingan masyarakat.

Karakteristik drama realis yang tidak kalah penting adalah manusia diharuskan mampu mempertahankan dirinya di
tengah lingkungan tanpa harus melarikan diri dari kenyataan. Tokoh-
tokohnya dihadapkan pada cobaan-cobaan yang memojokkan mereka. Baik Soleman, Paijah, maupun Mat Kontan,
ketiganya mempunyai masalah yang membuat mereka tertekan. Akan tetapi, mereka tidak sanggup menghadapinya
secara langsung dan memilih untuk melarikan diri di balik rahasia dan keyakinan palsu yang dibuat-buat.

Malam Jahanam juga memenuhi bentuk well made play. Pengolahan situasinya sangat cermat menuju peristiwa
berikutnya. Sebab-akibat antarperistiwa terlihat jelas. Contohnya adalah pada adegan ke-V Soleman meminta
diceritakan tentang perkutut atau beo saja daripada tentang Paijah dan Mat Kontan Kecil yang membuatnya kesal.
Oleh karena itu, Mat Kontan teringat pada burung beo yang sudah dilupakannya selama dua hari. Mat Kontan tidak
dapat menemukan burung tersebut. Pencarian burung beo ini pada akhirnya mengungkapkan perselingkuhan
Soleman dengan Paijah.

Suspense atau unsur ketegangan dalam Malam Jahanam muncul secara tak terduga dan berbalik menurut logika.
Pembaca mungkin terkejut ketika Soleman mengatakan bahwa Mat Kontan Kecil adalah anaknya. Akan tetapi,
setelah mengingat-ingat atau membaca kembali bagian awal Malam Jahanam saat Mat Kontan mengatakan bahwa
dulu dia sering diolok-olok mandul oleh teman-temannya, pembaca tersadar bahwa pernyataan Soleman itu masuk
akal dan menurut logika.

Plot Malam Jahanam berlangsung kontinyu dan memuncak. Alurnya maju, tidak ada flashback, tidak ada plot
sampingan, dan tidak ada adegan yang tidak penting maupun yang tidak relevan. Ketegangan terus memuncak.
Penanda-penanda yang paling jelas adalah amarah Mat Kontan dan ketakutan Paijah yang semakin lama semakin
meninggi.

Resolusi atau pemecahan akhir, yaitu kematian Mat Kontan Kecil, terjadi secara logis dan meyakinkan. Bayi itu
sudah sakit sejak drama dimulai, tapi baru pada akhir cerita Mat Kontan pergi mencari dukun untuk mengobatinya.
Hal ini membuat pembaca teriris hatinya dan khawatir kemungkinan terburuk terjadi pada bayi itu. Tiba-tiba
tangisnya terhenti. Kekhawatiran pembaca menjadi kenyataan. Paijah keluar rumah sambil berteriak-teriak
mengatakan kalau anaknya sudah mati.

2. Alur

Alur adalah rangkaian peristiwa yang satu sama lain dihubungkan dengan hukum sebab-akibat (Sumardjo, 1994:
139). Alur merupakan salah satu aspek penting dalam drama karena alur merupakan pembentuk kerangka cerita.
Aristoteles bahkan menyatakan bahwa alur adalah roh drama (Sumardjo, 1994: 141). Alur Malam Jahanam
adalah alur maju atau linear, yaitu peristiwa yang dialami oleh tokoh cerita tersusun menurut urutan waktu
terjadinya (chronological order) secara berurutan. Alur ini berlangsung secara kontinyu dan memuncak.

Soleman : Sayalah yang melakukannya !

Mat Kontan : (berputar mengambil tempat ke dekat rumahnya) Jadi kenapa kau bunuh dia? Kau iri pada
saya ya?
Soleman : Ya, Saya iri!

Mat Kontan : Memang benar tebakan saya tadi-tadi.

Soleman : Ya! Saya iri pada semua yang kau punya. Pada uangmu. Pada binimu, pada anakmu,
pada burungmu. Dan pada kesombongan kamu !

Mat Kontan : Memang kau jahanam !

Soleman : Memang saya jahanam . Tapi kau juga jahanam (dan membalikan badan ke arah Paijah) kau
juga jahanam . Dan burung itu juga jahanam ! (lambat) Dan anak yang menangis itu juga jahanam !

Mat Kontan : Kenapa kau hina anak saya ha? Soleman : la bukan anakmu !

Unsur dadakan dalam drama Malam Jahanam terlihat ketika Soleman mengaku kepada Paijah bahwa dialah yang
membunuh burung beo milik Mat Kontan. Pengakuan Soleman membuat kejutan atau dadakan bagi pembacanya.

Soleman : Mungkin saya juga, Jah. Sekarang saya lebih baik mengaku saja (mereka kini saling
berpandang) . Saya juga punya takut (diam). Mungkin juga Nabi. Tapi Jah, saya bunuh beo itu karena binatang
jahanam itu telah menyiksa saya !

Paijah : (terkejut mendengar berita baru itu) Apa? Kau bunuh? Kau yang memotong lehernya?

3. Latar

Latar adalah segala keterangan, petunjuk, pengacuan yang berkaitan dengan waktu, ruang, dan suasana terjadinya
peristiwa dalam suatu karya yang membangun cerita (Sudiman dalam Teeuw, 2003: 44). Latar dibedakan atas dua
macam yaitu latar sosial dan latar fisik atau material (Hudson dalam Teeuw, 2003:
44) . Latar sosial mencakup penggambaran keadaan masyarakat, kelompok-kelompok sosial dan sikapnya,
adat kebiasaan, cara hidup, dan bahasa. Latar fisik adalah tempat di dalam wujud fisiknya, yaitu ruang, bangunan,
lokasi dan sebagainya. Latar sosial dalam Malam Jahanam yaitu lingkungan para pelayan yang hidup dalam
kemiskinan. Bahasa yang mereka gunakan kasar dan kurang sopan.

Di pinggir laut kota kami, para nelayan tampaknya selalu gembira, biarpun betapa miskinnya. Rumah mereka terdiri
dari geribik, tonggak bambu dan beratap daun kelapa. Suara mereka yang keras dan gurau kasar mereka, seolah-
olah mengesankan bahwa mereka kurang berpendidikan.

Latar fisik dalam drama Malam Jahanam yaitu di sebuah perkampungan nelayan. Penggambaran latar fisik dalam
drama ini sangat jelas dan mendetail, seperti yang dicirikan dalam sebuah karya drama realis.
4. Tokoh dan Penokohan

a. Tokoh

Tokoh adalah individu rekaan yang mengalami peristiwa atau berlakuan di dalam berbagai peristiwa
cerita (Sudjiman, 1991: 16). Tokoh-tokoh dalam drama ini adalah

1. Mat Kontan,

2.Paijah, Soleman,

3.Utai dan

4.Tukang Pijat.

Berdasarkan fungsinya, tokoh dapat dibedakan menjadi tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral
dapat dibagi menjadi tokoh protagonis, antagonis, dan wirawan atau wirawati.

Tokoh protagonis adalah tokoh yang memegang peran pimpinan atau tokoh utama dan menjadi pusat
sorotan dalam kisahan. Tokoh antagonis adalah tokoh yang merupakan penentang utama dari
protagonis. Tokoh wirawan atau wirawati juga merupakan tokoh penting yang cenderung dapat
menggeser kedudukan tokoh utama. Tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya di
dalam cerita tetapi kehadirannya sangat diperlukan untuk menunjang atau mendukung tokoh utama.

Tokoh protagonis dalam Malam Jahanam adalah Soleman sedangkan tokoh antagonisnya adalah Mat
Kontan. Paijah memegang peranan sebagai tokoh wirawati. Tokoh-tokoh bawahannya adalah Utai dan
Tukang Pijat.

Berdasarkan cara menampilkan tokoh dalam cerita, tokoh dibedakan menjadi tokoh datar (tokoh
sederhana) dan tokoh bulat (tokoh kompleks). Tokoh datar diungkapkan satu segi wataknya saja
sedangkan tokoh bulat ditampilkan lebih dari satu. Selain itu, tokoh bulat juga mampu memberikan
kejutan dengan munculnya segi watak lain yang tak terduga. Tokoh-tokoh datar dalam Malam Jahanam
adalah Utai dan Tukang Pijat. Tokoh-tokoh bulat adalah Mat Kontan, Paijah, dan Soleman.

b. Penokohan

Penokohan adalah penyajian watak tokoh dan penciptaan citra tokoh (Sudjiman dalam Sudjiman, 1991:
23). Metode penyajian penokohan dapat dibagi menjadi metode langsung, tak langsung, dan kontekstual.
Metode langsung dipakai pengarang yang langsung mengisahkan sifat-sifat tokoh hasrat, pikiran, dan
perasaannya. Jika pembaca harus menyimpulkan watak tokoh dari pikiran, cakapan, dan lakuan, metode
yang dipakai adalah metode tak langsung. Metode kontekstual adalah metode yang dapat menyimpulkan
watak tokoh dari bahasa pengarang. Malam Jahanam menggunakan metode langsung dan tak langsung.
1. Watak Mat Kontan adalah sombong, angkuh, penakut, egois, emosional, dan sok tahu. Mat Kontan juga
merupakan orang yang lari dari kenyataan. Dia tetap membanggakan istri dan anaknya padahal dia sudah menduga
bahwa istrinya tidak setia dan Mat Kontan Kecil bukanlah anak kandungnya. Mat Kontan dapat disebut penakut
karena dia takut Soleman akan membongkar rahasianya yang pernah terperosok ke dalam pasir.

Mat Kontan : (takut) Jangan bilang perkataan itu, Man. Saya paling takut kalau kaubilang perkataan itu
(melepaskan). 0, aku takut kalau kauulangi cerita lama itu. Saya adalah orang yang kepingin panjang umur, Man.
He, kau masih ingat peristiwa itu, Man?

Mat Kontan egois karena meskipun selalu membangga-banggakan Paijah dan anaknya, dia tidak memedulikan
anaknya yang sedang sakit. Dia hanya memedulikan koleksi burung dan kebahagiannya sendiri. Mat Kontan mudah
marah bila menyangkut burung dan harga dirinya.

2.Watak Soleman adalah pengecut, besar mulut, dan pembual. Ketika Paijah menceritakan ketakutannya terhadap
Mat Kontan kepada Soleman, Soleman berjanji akan melindungi Paijah. Soleman berkata bahwa dia bukan penakut.
Padahal, sebenarnya dia adalah pengecut. Karena takut terhadap amarah Mat Kontan, Soleman kabur naik kereta
api, meninggalkan Paijah dan anak kandungnya yang sedang sakit.

3.Watak Paijah adalah pencemas dan tidak setia. la takut Soleman dan dirinya sendiri akan dibunuh oleh Mat
Kontan apabila masalah burung beo dan perselingkuhan mereka terungkap . la juga takut dirinya dan Soleman akan
diusir dari kampung apabila ada yang mengetahui perihal perselingkuhan mereka.

Paijah juga seorang istri yang tidak setia. la berselingkuh dengan Soleman yang merupakan teman dekat
suaminya . Meskipun Mat Kontan egois dan mandul, tidak seharusnya Paijah lari ke dalam pelukan laki­laki lain
selama statusnya masih sebagai istri Mat Kontan.

4.Watak Utai adalah setia. Dia selalu menuruti perintah Mat Kontan, bahkan dapat dikatakan bahwa Utai adalah
tangan kanannya. Watak Tukang Pijat tidak begitu terlihat karena kemunculannya terlalu singkat.

5. Terna dan Amanat

Terna adalah gagasan, ide, atau pikiran utama yang mendasari suatu karya sastra itu (Sudjiman, 1991: SO).
Terna Malam Jahanam adalah sisi buruk dan baik manusia. Dalam drama ini, kita bisa melihat sisi buruk manusia
melalui Mat Kontan yang tidak menghargai orang lain, Paijah yang berselingkuh dengan Soleman, serta Soleman
yang berhubungan istri teman dekatnya sendiri. Sisi baik manusia dapat kita lihat pada kelembutan hati Paijah
terhadap anaknya serta Soleman yang mengakui kesalahannya pada
Mat Kontan. Perselingkuhan juga diangkat dalam drama ini, yaitu perselingkuhan antara Paijah dengan Soleman.

Amanat adalah pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang dalam sebuah karya sastra. Amanat Malam
Jahanam adalah kita harus dapat menghargai orang lain. Mat Kontan yang kurang menghargai Paijah dan
Soleman akhirnya dikhianati oleh mereka. Kita juga harus bertanggung jawab akan semua yang telah kita
lakukan walaupun akan berdampak buruk bagi kita. Seperti halnya Paijah dan Soleman yang mengakui kesalahan
mereka dan harus bersedia menanggung akibatnya.

Amanat lainnya adalah orang yang lemah akan selalu menjadi korban. Amanat ini dapat kita ambil dari Utai. Dia
setia terhadap Mat Kontan, tetapi harus menjadi korban dan meninggal ketika melawan Soleman demi Mat
Kontan. Karban yang lebih malang lagi adalah Mat Katan Kecil, bayi yang lemah dan tidak berdaya, yang
meninggal akibat keteledoran dan keegoisan orang tuanya.

Amanat yang tidak kalah pentingnya adalah tentang kesetiaan. Seorang istri seharusnya setia kepada suaminya
dan berkompromi mengenai kekurangan mereka masing-masing.

BAB Ill

PENUTUP

A. Kesimpulan

Malam Jahanam merupakan sebuah drama realis. Drama ini memenuhi karakteristik-karakteristik drama realis,
mengharuskan tokoh-tokohnya bertahan di tengah lingkungan tanpa melarikan diri dari masalah, dan menggunakan
bentuk well made play.

Setelah menganalisis Malam Jahanam dengan pendekatan objektif, kami menemukan bahwa tema drama ini adalah
sisi buruk dan baik manusia dengan mengangkat masalah perselingkuhan. Alur drama ini adalah alur maju atau
linear yang berlangsung secara kontinyu dan memuncak. Amanat Malam Jahanam adalah kita harus dapat
menghargai orang lain, kesetiaan, dan orang yang lemah akan selalu menjadi korban.
DAFTAR
PUSTAKA

Busye, Motinggo. 1995. Malam Jahanam. Banda Aceh

Riantiarno, Nano. Kitab Teater. Jakarta - Balai pustaka

Biografi Motinggo Busje, https://id.m.wikipedia.org/wiki/Motinggo_Boesje , diakses tanggal 26 September


2021, pukul 21.00 wib

Anda mungkin juga menyukai