Anda di halaman 1dari 81

Mengulas Naskah Drama Mega-Mega

Karya Arifin C. Noer

Disusun oleh
Fina Agustin XI MIA 2 / 10

SMA NEGERI 1 TUMPANG


Jalan Kamboja No 10 Malangsuko,Tumpang 65156 Telepon (0341)787237
Tahun ajaran 2019-2020
BIOGRAFI ARIFIN C NOER

Arifin memiliki nama lengkap Arifin Chairin Noer, lahir di Cirebon Jawa Barat 10 Maret
1941.Ia meninggal di Jakarta, pada 28 Mei 1995 diusia yang ke 54 tahun. Ayahnya
merupakan seseorang yang berprofesi sebagai tukang sate dan gulai, meskipun terlahir dari
keluarga yang sangat sederhana, akan tetapi ia memiliki semangat yang tinggi untuk
menimba ilmu. Pendidikan pertama yang ditempuhnya di sekolah SD Taman Siswa, Cirebon,
kemudian melanjutkan pendidikan di SMP Muhammadiyah, Cirebon. Tak lama setelah lulus
dari SMP ia melanjutkan ke sekolah tingkat atas di SMA Negeri Cirebon, meskipun tidak
diselesaikan. Lalu mencoba melanjutkan kembali pendidikannya di Sekolah Jurnalistik, Solo.
Setelah lulus, pada tahun 1967 masuk ke perguruan tinggi dan mengambil pendidikan di
Fakultas Sosial Politik Universitas Cokroaminoto, Yogyakarta. Serta International Writing
Program, Universitas Iowa, AS pada tahun 1972.Sejak SLP Arifin sudah giat bermain
sandiwara, karyanya yang pertama kali berjudul Dunia Yang Retak, ia menulis sekaligus
menyutradarai pementasan tersebut. Saat masih sekolah di Solo, ia bergabung dengan
Himpunan Peminat Sastra Surakarta(HPSS) sambil mencanangkan hari puisi.Pada tahun
1960-an Arifin menikah dengan Nurul Aini dan tinggal di Yogyakarta. Semenjak pindah ke
Yogyakarta pada tahun 1960-an ini kreativitasnya dibidang penulisan puisidan drama
semakin berkembang. SebelumSebelum akhirnya Arifin menekuni dunia Tetaer, pertama kali
ia bergabung dengan sebuah teater bernama "Teater Muslim" pimpinan Mohammad
Diponegoro kemudian bergabung dengan "Bengkel Teater" pimpinan W.S. Rendra. Pada
tahun 1968 dengan modal kreativitasnya yang tinggi dalam dunia teater kemudian pindah ke
Jakarta dan mendirikan sebuah teater yang diberi nama “Teater Kecil”, teater ini pun
dijadikan sebagai wadah untuk mengekspresikan kreatifitas seni khususnya teater di
Indonesia. Melalui teater kecil ini Arifin memiliki harapan agar kesenian di Indonesia dapat
dikembangkan agar memiliki kualitas yang lebih baik. Semenjak memiliki “Teter Kecil” ia
mulai memikirkan kebutuhan finansial untuk dapat menujang proses kreatifitas teaternya
dalam berkesenian agar kehidupan berteater dapat berjalan terus, kemudian ia mulai bekerja
sebagai manajer pengelola Balai Bimbingan dan Latihan Kerja di Kawasan Industri
Pulogadung, Jakarta Timur. Namun karena merasa kreativitas seninya tidak terasah saat
bekerja sebagai Manager, ia pun memilih untuk berhenti dan menjabat menjadi Ketua Dewan
Kesenia Jakarta. Ia juga pernah diundang ke sebuah akademi teater di Amerika Serikat untuk
menjadi dosen tamu di sana. Selain itu Arifin juga pernah menjabat sebagai kepala humas
majalah Sarinah. Merasa tidak dapat mengembangkan kreativitasnya dibidang seni, pada
akhirnya untuk kesekian kalinya Arifin keluar dari pekerjaannya untuk menekuni dunia
perfilman dan teater. Arifin mulai terjun ke dunia film pada tahun 1971. Berkat kegigihannya
dan konsistensinya dalam dunia seni, lewat film karyanya berjudul Pemberang,ia dapat
menyabet piala The Golden Harvest pada Festival Film Asia (1972), film berjudul Melawan
Badai pun tak luput mendapat penghargaan sebagai sekenario terbaik, film Suci Sang
Primadona juga menjadi film terbaik dalam Festival Film Indonesia (1973, 1974, 1990), pada
tahun 1982 film Serangan Fajar menyabet 5 piala Citra, dan film yang dibintangi oleh
Meriam Bellina dengan Rano Karno berjudul Taksi menjadi film terbaik dalam Festival Film
Indonesia pada tahun 1990 dan meraih 7 piala citra, selain itu Arifin juga mendapat piala
Vidia dalam Festival Sinetron Indonesia (1995). Lebih hebatnya lagi melalui film hasil
garapannya yang mendapat penghargaan terbesar selama pemerintahan Orde Baru adalah
film "Pengkhianatan G.30.S/PKI" yang dibintangi Umar Kayam, keberhasilan kembali
diraihnya dengan gelar sebagai penulis sekenario terbaik. Film ini selalu diputar setiap tahun
melalui TVRI dalam memperingati "Hari Kesaktian Pancasila" dan baru diberhentikan
setelah pemerintahan Orde Baru tumbang. Selain film-film karyanya, beberapa naskah drama
Arifin pun tak luput dari kemenangan, karya drama tersebut yaitu: drama Mega,Mega,
menjadi pemenang kedua sayembara naskah drama Badan Pembinaan Teater Nasional
Indonesia(BPTNI) tahun 1967, naskah drama Kapai-kapai memenangkan Hadiah I
sayembara penulisan lakon DKJ. Sebagai sastrawan yang unggul dan kreatif, ia juga sering
mendapat hadiah sastra, antara lain, Pemenang Sayembara Penulisan Naskah Lakon dari
Teater Muslim, Yogyakarta (1963) atas karyanya "Matahari di Sebuah Djalan Ketjil" dan
"Nenek Tertjinta", Anugerah Seni dari Pemerintah Republik Indonesia (1972) atas jasanya
dalam mengembangkan kesenian di Indonesia, Hadiah Sastra ASEAN dari Putra Mahkota
Thailand (1990) atas karyanya Ozon, dan Hadiah Sastra dari Pusat Pembinaan dan
Pengembangan Bahasa (1990). Dramanya Kapai-Kapai diterjemahkan ke dalam bahasa
Inggris oleh Harry Aveling dengan judul Moths dan diterbitkan di Kuala Lumpur, Malaysia
ULASAN DRAMA MEGA-MEGA
1. Orientasi

Judul Drama: Mega – Mega


Naskah : Arifin C Noer
Genre : Drama

Sinopsis Mega-Mega

Babak Pertama diawali dengan Di panggung, Mae menimang bayi dan Retno sedang berdiri
menunggu pelanggan. Retno lalu menyayikan lagu yang bernuansa ceria. Setelah menyanyi,
Mae memuji suara Retno dan mengusulkan Retno untuk menjadi penyiar radio atau
mengamen saja. Retno hanya menanggapi dengan ketus. Tiba-tiba seorang pemuda berlalu,
Retno bersiap untuk menyambut. Pemuda tersebut kabur kemudian dikejar oleh Retno. Panut
masuk ke dalam panggung dengan berpura-pura bisu. Mae percaya bahwa Panut benar-benar
bisu dan menjadi sangat khawatir. Ketika Panut berhenti berpura-pura dan tertawa hebat, Mae
marah-marah. Panut langsung kabur, lari meninggalkan Mae sendirian. Panut masuk lagi.
Kini, Panut sangat ceria karena dirinya sudah menemukan pekerjaan yang lebih
menggiurkan. Mae hanya menasehati bahwa pekerjaannya sebagi pencopet itu tidak baik.
Panut tersinggung dengan nasihat Mae lalu menceritakan kesialannya mencopet di pasar tadi.
Retno masuk sambil mengumpat-umpat pemuda yang tak jadi menggunakan jasanya. Mae
lalu bertanya apakah Retno pernah memiliki anak. Retno tersinggung dengan pertanyaan Mae
lalu dia mengeluarkan isi hatinya tentang masa lalu Retno dan anaknya yang sudah
meninggal. Semakin Retno menceritakan, semakin Retno menjadi kesal lalu mengatai Mae
mandul. Mae tersinggung dengan ungkapan Retno lalu menceritakan bahwa semua bentuk
perhatian Mae kepada mereka adalah bentuk kasih sayang Ibu bagi mereka. Hamung masuk
ke panggung. Hamung tampak kesal menceritakan bahwa Tukijan tidak jadi berangkat. Topik
tersebut menarik bagi aktor-aktor lain kemudian ikut menimpali pembicaraan Hamung
tentang Tukijan. Di tengah obrolan mereka, Panut dipanggil oleh Mas Woto. Mae menjadi
khawatir karena Mas Woto bukan orang yang baik dan melarang Panut untuk ikut Mas Woto.
Ketika Mae lengah, Panut langsung keluar , menyisakan Mae yang sangat khawatir. Hamung
dan Retno mencoba menentramkan Mae agar tak perlu khawatir. Tiba-tiba Koyal masuk
dengan gembira sambil membawa kertas di dua tangannya, kertas koran dan lotre. Koyal
menceritakan bahwa dirinya hampir menang lotre. Semua tokoh terhibur dengan tingkah
Koyal yang konyol. Koyal bercerita bahwa dirinya melihat pengumuman di koran lalu
menyobek koran tersebut. Ternyata Koyal hanya hampir menang belum menang lotre. Ketika
tahu Tukijan hendak mendekati tempat mereka, Hamung dan Koyal meninggalkan Mae dan
Retno. Mae menuju pohon beringin memberikan ruang bagi Tukijan dan Retno. Tukijan
masuk lalu mendekati Retno. Tukijan menyatakan perasaannya pada Retno dan hendak
mengajak Retno untuk ikut merantau. Retno juga mengungkapkan perasaan cintanya pada
Tukijan, namun Retno belum bisa ikut dengan Tukijan. Setelah memeluk Tukijan, Retno
pergi meninggalkan Tukijan.
Babak kedua diawali dengan Koyal bercerita sendiri pada bulan, rumput dan beringin tua.
Koyal bercerita bahwa dirinya hampir menang lotre. Lalu, Koyal mengambil sobekan
korannya tadi dan lotrenya. Ketika melihat kedua kertas itu, Koyal sangat kaget dan begitu
girang karena dia menemukan bahwa nomor lotrenya sama dengan pengumuman. Koyal
begitu senang lalu membangunkan setiap tokoh yang sedang tertidur. Koyal hanya takut
ketika membangunkan Tukijan. Ternyata Koyal kena marah ketika membangunkan Tukijan.
Semua tokoh sudah terbangun. Koyal mengajak mereka untuk pergi ke bank menukarkan
lotre dengan hadiah uang yang dijanjikan. Semua tokoh setuju kecuali Tukijan yang
bermalas-malasan dengan khayalan Koyal. Akhirnya, mereka pergi ke bank dan
membangunkan direktur bank yang sedang tertidur. Kata direktur bank, tidak perlu ditukar
lotre dengan uang, cukup menunjukkan lotre tersebut sudah dapat menjadi jaminan bagi
Koyal. Akhinya Koyal dan para tokoh lainnya sepakat untuk makan gudeg di pasar
Beringharjo. Koyal berjanji akan mentraktir semua tokoh untuk makan sepuasnya karena dia
baru saja menang lotre. Semua tokoh kemudian memesan gudeg dengan lauk kesukaannya
masing-masing. Hanya Tukijan yang tetap kesal dengan khayalan yang tak masuk akal
baginya. Tukijan hanya mengikuti khayalan Koyal tersebut dengan malas-malasan. Setelah
puas makan gudeg, Koyal berencana membeli keraton dan menjadi raja di keraton. Akhirnya
khayalan berpindah ke keraton dan Koyal menjadi Rajanya. Koyal memberikan gelar pada
masing-masing tokoh dan semua harus menuruti perintah Koyal. Karena sudah sangat muak,
Tukijan pun menuturkan kekesalannya. Semua tokoh balik menyerang Tukijan. Pada
akhirnya, Koyal merasa lelah dan menitahkan semua tokoh untuk beristirahat.
Babak ketiga diawali dengan Koyal kembali dari lamunannya. Koyal melihat kaki Retno
yang begitu mulus lalu mendekati Retno. Koyal mengelus kaki Retno. Tiba-tiba, Tukijan
membentak Koyal dan memarahi tingkah Koyal. Tukijan mengancam bahkan hendak
memukul Koyal. Karena ketakutan Koyal berteriak-teriak sehingga membangunkan semua
tokoh. Hamung membela Koyal saat Tukijan mengintimidasi Koyal. Mae melerai
pertengkaran yang terjadi. Koyal pun turut meninggalkan panggung terpukul dengan amarah
Tukijan. Retno tiba-tiba meninggalkan panggung karena perkelahian tersebut kemudian
disusul Tukijan yang mengejarnya. Yang tersisa hanya Hamung dan Mae di panggung. Panut
datang membawa beberapa bungkus rokok dan memamerkannya pada Hamung. Masih
terguncang oleh peristiwa perkelahian Tukijan dan Koyal, Mae tambah terpukul ketika Panut
datang membawa banyak rokok yang pasti hasil dari ikut Mas Woto. Hamung menyanjung
jerih payah Panut agar dia diberi rokok yang banyak itu. Panut terus saja mengoceh tentang
dirinya yang sekarang merokokan sudah menjadi lelaki sejati. Hamung pun turut mendukung
argumen-argumen Panut. Hanya Mae yang tersia sendiri melihat tingkah Panut dan Hamung.
Hamung berpamitan hendak pergi jauh lalu meminta rokok yang dibawa Panut. Panut
memberikan rokoknya karena dia senang dengan perlakuan Hamung. Ketika rokok sudah
diberikan, Hamung juga meminta beberapa uang untuk bekal di perjalanan. Mae melarang
Panut untuk memberikan uangnya karena itu hasil jerih payahnya. Namun, Panut lebih
percaya Hamung daripada Mae dan pada akhirnya memberikan beberapa lembar uang pada
Hamung. Tersisa Panut dan Mae setelah kepergian Hamung. Mae terus saja menasihati Panut
karena perilakunya yang benar-benar tak mencerminkan orang yang baik. Mae menasihati
mengenai pekerjaan dan prinsip hidup. Panut terpancing emosinya ketika diberikan nasihat
oleh Mae. Hampir saja Panut memukul Mae tetapi terhenti begitu saja dan Panut memilih
pergi meninggalkan Mae. Mae menangis meratapi tingkah Panut. Dari kejauhan terdengar
suara Retno dan Tukijan, Mae segera menghapus tangisnya dan berpura-pura tak terjadi apa-
apa. Tukijan dan Retno tampak bersiap-siap untuk pergi merantau. Mereka hendak
berpamitan dengan Mae. Mae merestui mereka berdua bahkan meyakinkan Retno yang masih
ragu karena tak sampai hati meninggalkan Mae sendirian. Akhirnya, Retno dan Tukijan
berpamitan dengan Mae dan meninggalkan Mae sendirian. Tersisalah Mae sendirian,
meratapi dirinya yang ditinggalkan oleh anak-anaknya. Mae merasa kesepian dan
menceritakan rasa sepinya. Mae bersedih sebagai manusia dia hanya selalu bertemu rasa
sepinya. Mae menangis, tiba-tiba Mae menghampiri boneka anak lalu menimangnya,
menghiburnya. Mae kemudian menyanyikan lagu lelo ledhung dan pertunjukan berakhir.

2. Unsur intrinsik
2.1 Tema
Tema Mega-Mega adalah penggambaran kerinduan orang miskin untuk menuju
kesejahteraan hidup dengan cara mereka masing masing. Hal tersebut ditunjukkan dengan
pemilihan tokoh, penokohan, latar, dan pilihan-pilihan akting yang merujuk pada kehidupan
kaum miskin. Keadaan tiap tokoh tersebut juga dapat dilihat dari penjelasan penokohan dan
juga penjelasan alur bagian perkenalan. Kehidupan mereka sederhana, hanya tidur di bawah
pohon beringin dan beralaskan koran ataupun kardus
2.2 Alur
Cerita drama Mega,mega karya Arifin C.Noer cukup lama, yakni drama dipentaskan dalam
kurun waktu 01.41 menit akan tetapi alur yang digunakan dalam drama Mega,mega karya
Arifin C. Noer menggunakan alur maju.
Tahapan alur tersebut akan dipaparkan sesuai dengan struktur teks ulasan, yaitu sebagai
berikut:
2.2.1 Perkenalan
Tahap yang memberi pelukisan dan pengenalan situasi latar dan tokoh-tokoh cerita. Tahap ini
merupakan tahap pembukaan cerita dan pemberian informasi awal. Dalam drama Mega,mega
karya Arifin C.Noer ini dimulai dari pembukaan bagian pertama. Pada tahap awal ini dibuka
dengan menceritakan dua tokoh wanita yang dimunculkan pertama kali, yakni tokoh Mae dan
Retno. Beberapa saat sebelum layar disingkapkan, kedengaran seorang perempuan muda
menyanyikan sebuah tembang jawa. Kemudian penonton menyaksikan perempuan muda itu
menyanyi dengan gairah sekali. Ia berdiri .Di antara jemari tangannya terselip sebatang
rokok.Sementara itu di sebelahnya seorang perempuan tua bersandar. Ia adalah seorang
perempuan tua dengan bentuk bibir yang selalu nampak tersenyum . Ia biasa dipanggil Mae.
Situasi pun dimulai dari percakapan antara Mae dan Retno yang membicarakan tentang
pekerjaan dengan tidak saling memandang satu sama lain.Situasi selanjutnya terjadi saat
kemunculan Panut. Ia datang dengan berpura-pura bisu hingga membuat Mae panik. Akan
tetapi seketika Mae kesal setelah tahu ia dibohongi oleh Panut. Pada tahap situasi ini
beberapa tokoh mulai muncul, baik melalui dialog disertai kemunculannya maupun melalui
perantara dialog tokoh lain terlebih dahulu.
2.2.2 Awal konflik
Tahap ini merupakan tahap awal munculnya konflik kemudian konflik itu sendiri akan
berkembang dan atau dikembangkan menjadi konflik-konflik pada tahap selanjutnya. Tahap
pemunculan konflik yang terjadi dalam drama Mega,mega karya Arifin adalah saat satu per
satu tokoh mulai mengetahui Tukijan menunda keberangkatannya ke Sumatera.
Panut : siapa?
Mae : Tukijan. Pagi tadi ia naik kereta api ke Jakarta. Dari sana nanti ia menyebrang ke
Sumatrah.
Panut : mulut rusak! Baru saja saya lihat dia sedang nongkrong dekat bioskop indra.
Mae : siapa?
Panut : Tukijan.
Mae : kau salah lihat pasti. Bukan Tukijan yang kudisan. Tukijan yang bersih ganteng.
Panut : ya, Tukijan yang gandrung pada si Retno kemayu itu.
Mae : kau sngguh-sungguh?
Panut : Biar buta mata saya kalau saya bohong. Kemaren
Tukijan memang bilang begitu pada semua orang. Tadi saya lihat sendiri ia sedang
nongkrong dekat bioskop indra.
Konflik mulai terlihat saat membicarakan Tukijan yang menunda kepergiannya. Melalui
kutipan di atas dapat terlihat kekecewaan Mae saat mengetahui Tukijan tidak jadi pergi hari
itu. Pada tahap ini pemunculan konflik juga ditunjukan melalui dialog Hamung yang
membicarakan Tukijan. Pada dialog ini Hamung seolah meluapkan kekesalannya dengan
Tukijan yang menunda keberangkatan ke Sumatera.
Hamung : maunya kita sama-sama, tapi si Tukijan itu plintat-plintut seperti orang banci.
Saya kira dia sudah sedang tidur di Senen dan niat saya pagi nanti akan menyusulnya.
Setidaknya saya tidak langsung ke Sumatera. Saya memang belum berniat kesana. E, tahu-
tahu, baru saja keluar dari Stasiun Tugu sore tadi, keluar dengan karcis di tangan,
nyelonong hidungnya.
Retno : hidung siapa?
Hamung : Tukijan.
Mae : betul, Retno. Panut juga bilang begitu.
2.2.3 Menuju Klimaks
Tahap ini merupakan tahap peningkatan konflik di mana peristiwa yang muncul sebelumnya
semakin berkembang intensitasnya. Cerita semakin menegangkan.Peningkatan konflik
terlihat setelah membicarakan Tukijan yang menunda keberangkatannya. Hal tersebut terlihat
melalui dialog Mae dengan Retno, saat Mae mulai mencurahkan isi hatinya kepada Retno.
Retno : Mae tak usah khawatir. Saya tak akan meninggalkan Mae
Mae : semua akan meninggalkan Mae pada akhirnya. Suamiku yang pertama pun berkata
begitu dulu tapi akhirnya ia pun mengusirku juga. Dan kemudian suamiku yang bernama
Sutar meninggalkan aku. Malah suamiku yang paling setia dan paling tua pergi juga,
dimakan gunung Merapi.
Retno : tidak, Mae. Saya juga sebatang kara saya juga tersia. Sebab itu saya lebih senang
dengan Mae. Berkumpul sangat membantu mengurangi kesusahan.
Mae : tidak. Kau tidak tersia, kau masih muda. Belum masanya kau berputus asa. Sekiranya
kau menurut nasehat Mae dan tak usah menjadi…
Kutipan tersebut menunjukan tahap situasi mulai terasa rumit, baik dari segi keadaan maupun
perasaan yang sedang dirasakan tiap tokoh. Masing-masing tokoh mulai dihadapkan dengan
situasi yang mengharuskan mereka menerima keadaan yang tidak mereka inginkan. Mereka
harus rela jauh dengan orang-orang yang mereka sayangi demi mencari kehidupan yang lebih
baik agar dapat keluar dari kemiskinan. Selain itu, Mae juga berusaha memberi nasehat pada
Retno bahwa orang yang lebih muda sudah seharusnya bisa mendapatkan kebahagiaan yang
selayaknya. Orang muda juga sudah seharusnya menggunakan kemampuannya untuk
mewujudkan impian-impiannya agar mendapatkan kehidupan yang lebih baik.
2.2.4 Klimaks
Pada tahap ini konflik yang telah terjadi pada tokoh cerita mencapai titik intensitas
puncaknya. Klimaks ini ditandai dengan koyal yang menyentuh paha Retno dan ketahuan
oleh tukijan, sehingga tukijan marah dan terjadi perkelahian di sana.Mae yang merupakan
tokoh utama mengalami konflik batin dengan keadaan yang harus ia hadapi. Gejolak
perubahan sikap Mae pun terlihat di sini.Kesedihan Mae yang merupakan sosok wanita tua
tidak terbendung lagi i.Satu sisi Mae merasa sedih karena akan ditinggalkan anak-anaknya,
namun di sisi lain Mae harus mencoba menerima apa yang akan terjadi terhadap dirinya. Hal
yang ditunggu-tunggu Mae di masa tuanya yaitu mengharapkan orang-orang yang iakasihi
dapat berkumpul dan dapat menemaninya. Ia tidak lagi menginginkan hidup sendirian dan
tentunya saat anak-anaknya pergi ia akan merindukan sikap menghargai para tokoh terhadap
dirinya sebagai lambang bahwa ia merupakan sosok yang dituakan dalam keluarga tersebut.
2.2.5 Penyelesaian
Pada tahap ini konflik yang telah mencapai klimaks diberi jalan keluar dan cerita diakhiri.
Mae yang sejak awal tidak siap ditinggal sendirian oleh anak-anaknya, kini mulai melepaskan
egonya dan memberikan izin Retno untuk pergi bersama Tukijan.
Mae : kau memang anak perempuan saya. Kau cantik dan baik budi. Itulah yang
sebenarnya. Sayang, kau sendiri tak tahu. (diam) sekarang sebagai anak yang baik turutlah
apa kata Mae: pergilah dengan Tukijan.
Retno : (menangis dan memeluk) Tidak, Mae. Saya tidak bisa.
Mae : tentu kau tidak bisa. Dan siapa ynag suka akan ajal?Tidak ada. Tapi siapa yang bisa
menolaknya? Juga tidak ada. Dan apakah kau mengira Mae mengharap kau pergi
meninggalkan
Mae? (Retno menggeleng-geleng kepala) tidak, bukan? Mae juga tidak mau kau
tinggalkan…tapi apakah kau berpikir Mae juga ingin mempertahankan kau tetap di sini
terus menjual diri?.
Pada tahap sebelumnya Mae mengalami kegelisahan dengan dirinya sendiri untuk menahan
Retno agar tidak pergi, namun dilain sisi Mae harus merelakan kepergian Retno demi masa
depannya. Pada tahap inilah sikap Mae terlihat mulai mengosongkan dirinya untuk dapat
kembali berpikir realistis bahwa suatu saat orang yang datang pasti dikemudian hari akan
pergi juga, seperti halnya kehidupan manusia yang suatu saat akan mati.
2.3 Gambaran Tokoh dan Penokohan
Ada 8 tokoh yang memerankan drama ini. Delapan tokoh tersebut yaitu Mae, Panut, Retno,
Hamung, Koyal, Tukijan, Pemuda dan Mas Woto.
2.3.1 Mae

Mae diidentifikasi sebagai wanita tua dengan usia sekitar enam puluhan tahun, bahkan
merujuk enam puluhan tahun akhir. Dalam dialog, usia Mae dapat ditafsirkan lebih dari lima
puluh tahun yang ditunjukan dalam dialog Mae berikut, “Saya telah menjalani hidup tidak
kurang dari lima puluh tahun, panjang dan lengang” Dalam video pertunjukannya, Usia Mae
didukung dengan tata rias yang penuh kontur kerutan pada kening Mae. Selain itu, rambut
Mae tampak berwarna putih. Kostum Mae juga mengacu pada rujukan usia enam puluh
tahunan dengan mengenakan kebaya cokelat dan jarik batik yang serba lusuh warnanya. Mae
adalah sosok ibu yang sangat menyayangi anak-anaknya walaupun bukan anak kandungnya.
Bentuk perhatiannya bermacam-macam bergantung kepada siapa perhatian itu akan
diberikan. Selain itu, Mae memiliki rasa kekhawatiran yang besar terhadap anak-anaknya.
Mae takut jika terjadi apa-apa pada anak-anaknya karena Mae ingin semua anak- anaknya
menjadi orang yang baik. Sikap sayang Mae sebagai ibu bagi mereka semua ditunjukkan juga
dari kutipan dialog ketika khawatir Panut ikut Mas Woto. Berikut kutipannya, “Mae tak
pernah bertanggung jawab. Sekarang disini Mae berusaha jadi Ibu kalian. Salah satu di
antara kalian sedang menuju ke penjara tanpa disadarinya. Apakah Mae harus diam saja’’
Mae dapat dilihat sebagai orang yang ada pada kalangan orang tidak mampu secara ekonomi.
Hal itu ditunjukan dengan tempat tinggal Mae yang berada di beringin Alun-Alun. Selain itu,
lingkungan tokoh Mae juga merupakan orang-orang tidak mampu yang bekerja sebagai
pelacur (Retno), preman (Tukijan), pengamen (Koyal) dan pencopet (Panut).
Tokoh Mae merupakan representasi sosok ibu (orang tua) yang merawat dan mengasuh anak-
anaknya. Mulai dari tokoh Retno, Koyal, Panut, Hamung hingga Tukijan, Mae selalu
mengajarkan mengenai baik dan buruk. Selai itu melalui keberadaan para tokoh yang sudah
Mae anggap sebagai anak, Mae pun memiliki harapan-harapan dan ia berharap anak-anaknya
dapat mewujudkannya.
Mae : apa kata Mae? Nguli saja, nguli saja. kau nekat coba-coba nyopet. Nguli lebih baik
dari apapun yang dapat kau lakukan. Mae juga ingin nguli saja kalau ada orang yangsuka…
percayalah Panut. Kalau nguli kau bisa merasa senang.
PanutPanut : saya tidak akan mencopet lagi.
Mae : nah, itu baik sekali. Mae percaya kau memang anak yang baik
2.3.2 Panut

Panut diidentifikasi sebagai seorang pemuda dengan usia sekitar dua puluhan tahun. Usia
Panut yang masih muda dapat dicermati dalam dialog Mae yang menegur Panut untuk
menjadi kuli saja pada dialog berikut, “Ototmu masih kuat tubuhmu masih utuh'' Dengan
dialog tersebut, Panut ditunjukkan masih muda dan memiliki tubuh yang kuat. Dari video
pementasan, usia Panut ditunjukkan dengan tata rias Panut yang tidak banyak memiliki
kontur tegas. Penggunaan kontur yang tidak banyak ini menunjukkan Panut masih pada
tataran usia yang muda. Kostum Panut yang serba lusuh juga menunjukkan bahwa Panut
bukan orang yang mampu. Panut adalah seorang lelaki yang tidak memiliki pekerjaan tetap
dan menjadi copet ditunjukan dengan dialog “Saya tidak akan mencopet lagi” Panut dapat
dilihat sebagai orang yang tidak mampu dan dijelaskan juga memiliki pekerjaan yang tidak
halal, mencopet. Panut ditunjukkan sering bekerja di lingkungan pasar yaitu pasar
Beringharjo. Tempat kerja Panut di pasar Beringharjo ditunjukkan dengan dialog “Coba di
pasar Bringharjo. Jelas laki-laki itu orang yang ceroboh. Artinya kalau saja pinter dan
cekatan tentu handphonenya sudah saya dapatkan” Melalui tokoh Mae, Panut juga
dijelaskan sebagai anak yang nakal dan tidak menurut dengan Mae sebagai Ibu angkatnya.
Tokoh Panut dihadirkan sebagai representasi karakter orang yang lugu dan suka mengikuti
orang terdekatnya, hal tersebut terlihat saat Panut menjawab pertanyaan dari Mae mengenai
Tuhan.
2.3.3 Retno
Retno diidentifikasi sebagai wanita pada usia tiga puluhan tahun dan tidak ada dialog yang
mengacu langsung pada usianya. Dari video pementasan, tata rias Retno tidak mengacu
langsung pada usia tiga puluhan tahun dengan penggunaan kontur yang tipis. Namun, tata
rias Retno menggambarkan secara tidak langsung usia tersebut dengan penambahan tata rias
yang genit untuk menjelaskan profesinya sebagai pelacur. Profesi ini didukung dengan dialog
Retno berikut, “Dan perempuan seperti aku. Lonte” . Retno adalah seorang wanita yang
berprofesi sebagai pelacur dan memiliki sikap yang keras dalam bertutur kata. Profesi dan
sikap keras Retno ditunjukkan dengan dialog “Banci sintiiing banci sinting banci sintiing!
UUuuh! Pasti Mahasiswa dia. Nafsu melimpah uang Cuma serupiah”. Dulu, Retno pernah
menikah dan mempunyai anak. Namun, Retno berpisah dengan suaminya dan anaknya
meninggal dunia karena suaminya. Retno juga menaruh rasa cinta pada Tukijan, seorang
lelaki yang kemudian ia temui. Namun, Retno tidak mudah lagi percaya terhadap lelaki
karena pengalaman masa lalunya yang pahit. Pengalaman traumatik ini yang kemudian
menjadi motivasi dasar Retno takut untuk diajak bertransmigrasi bersama Tukijan
Retno cenderung lebih sinis dalam menghadapi hidup. Sikap sinisnya terlihat melalui setiap
peristiwa yang ia hadapi. Retno cenderung menunjukan amarahnya disetiap peristiwa.
2.3.4 Hamung

Hamung diidentifikasi sebagai seorang pemuda pada usia tiga puluhan tahun. Usia Hamung
tidak ditunjukkan dalam kutipan dialog hanya dapat dicermati dari video pementasan. Hal
tersebut ditunjukan dengan tata rias Hamung yang memiliki garis kontur agak tegas. Selain
itu, kostum Hamung yang mengenakan surjan lurik, celana panjang dan sarung yang
diselempangkan juga mendukung untuk pembangunan karakter pada tataran usia tiga puluhan
tahun. Hamung adalah orang yang selalu bergantung dengan orang lain dan oportunis.
Hamung selalu saja memanfaatkan Panut dengan selalu memuji apa yang dilakukan Panut
sehingga nanti Hamung mendapat imbalan. Hamung juga memiliki sikap yang tidak peduli
dengan orang lain. Saat Panut ikut Mas Woto, Hamung hanya diam aja dan terus saja
meyakinkan Mae untuk tidak khawatir. Yang dilakukan Hamung merupakan bentuk rasa
malas Hamung melihat tingkah khawatir Mae yang berlebihan.
Tokoh Hamung merupakan tokoh yang sudah memiliki pemikiran sebagai seorang laki-laki
dewasa. Hal tersebut pula yang dapat menjadikan Hamung tidak terlihat membenci atau
menentang tokoh Koyal. Ia merupakan salah satu tokoh yang dapat menahan egonya terhadap
orang lain. Ia juga memiliki sisi kebapakan. Hamung yang mengajarkan Panut untuk dapat
menjadi laki-laki dewasa dan tidak cengeng menghadapi kehidupan mereka yang keras dan
serba terbatas, meski mereka berada dalam kemiskinan.
2.3.5 Koyal

Koyal diidentifikasi sebagai seorang pemuda pada usia dua puluhantahun. Usia Koyal tidak
ditunjukkan secara langsung dalam dialog hanya dapat dicermati dari video pementasan. Tata
rias Koyal yang tidak penuh dengan guratan kontur mengacu pada usia yang masih belia.
Selain itu, kostum yang compang-camping dan lusuh menandakan Koyal yang juga orang
tidak mampu secara ekonomi. Properti seruling yang selalu dibawa Koyal juga menandakan
profesi Koyal sebagai pengamen. Koyal adalah orang yang dianggap tidak waras oleh para
tokoh lain karena kegemarannya mengkhayal. Koyal punya kesukaan untuk membeli lotre
dan berangan-angan menjadi orang yang kaya. Kegemaran Koyal untuk mengkhayal tersebut
dapat dicermati pada sepanjang babak dua dengan adegan Koyal mengkhayal dirinya menang
lotre lalu membelanjakan uangnya dengan makan guded serta membeli keraton. Pembawaan
Koyal juga selalu ceria namun Koyal takut kepada Tukijan. Tukijan Koyal takut kepada
Tukijan karena sebenarnya Koyal juga menaruh ketertarikan pada Retno. Hal tersebut
ditunjukkan dengan adegan Koyal yang mengelus kaki Retno ketika Retno tertidur.
Ketakutan Koyal juga mengacu pada tubuh Tukijan yang lebih besar daripada Koyal.
Tokoh Koyal dalam dramamerupakan representasi orang yang mengukur segala sesuatunya
dengan uang. Ia memiliki ambisi untuk menjadi kaya raya secara instan
Mae : memang. Biasanya Koyal terus saja nyelonong kalau kita sedang asyik-asyikmya
ngobrol.
Hamung : yakin saya. Dia bisa gila. setengah mati ia ingin jadi orang kaya.
Panut : impiannya selangit.
Hamung : lucunya dia cuma ingin punya uang bertumpuk. Tapi sintingnya sedikit pun ia
tidak mau bekerja. Ia Cuma ngemis.
2.3.6 Tukijan
Tukijan dapat dilihat sebagai seorang pemuda pada usia tiga puluhan. Tata rias Tukijan tidak
terlalu kuat dengan kontur tetapi perawakan aktor yang memainkan Tukijan menunjukkan
tataran usia tiga puluhan tahun. Perawakan tiggi, gempal, dan berambut panjang sepundak
menggambarkan Lelaki keras pada usia tiga puluhan tahun. Usia dan postur Tukijan tidak
ditunjukkan langsung melalui dialog dalam naskah namun dapat dicermati dari video
pementasan. Tukijan adalah orang yang keras dan mau berusaha bekerja dengan halal demi
masa depan yang baik Tukijan juga menaruh perasaan cinta terhadap Retno Bahkan
mengajak Retno menikah. Selain itu, Tukijan juga mengajak Retno.untuk turut ikut dia
transmigrasi ke Sumatera Tukijan tidak suka pada Koyal karena Koyal yang selalu
mengkhayal menjadi kaya namun tidak ada usaha realistis untuk menjadi kaya.
Ketidaksukaan Tukijan terhadap khayalan Koyal tersebut dapat dicermati sepanjang babak
dua yang selalu menjawab dengan kesal. Selain itu, Tukijan juga mengetahui bahwa diam-
diam Koyal menaruh ketertarikan pada Retno.
Tukijan merupakan tokoh yang memiliki pemikiran realistis dalam menyikapi hidup dan
optimis menjalaninya. Ia lebih percaya bahwa kesuksesan dapat diraih dengan cara bekerja
keras. Peristiwa yang menggambarkan watak Tukijan tersebut dapat dilihat dalam kutipan
dialognya bersama Retno di bawah ini:
Tukijan : impian itu meski diwujudkan,barulah ada artinya.
Retno : (Cuma memandang laki-laki itu. itupun Cuma beberapa saat)
Tukijan :Saya juga tidak suka menjanjikan apa-apa. Semua masih bakal. Yang saya miliki
hanya kemauan. Dan lagi kita hanya mendengar bahwa tanah di seberang penuh kekayaan
yang masih terpendam. Sangat luas. Segalanya masihterpendam. Segalanya. Di dalam tanah
dan di dalam diri kita. Kalau kita sungguh-sungguh menghendaki, kita harus mengangkatnya
kepermukaan hidup kita. Saya kira begitu.
2.3.7 Pemuda lain

Pemuda diidentifikasi pada usia dua puluhan tahun dan berprofesi sebagai mahasiswa. Hal
tersebut ditunjukan dengan properti tas yang digendong di depan dada. Pemuda hanya
berlalu-lalang hendak membeli jasa Retno sebagai pelacur. Pemuda ini hanya sebagai figuran
yang lewat dengan malu-malu.
2.3.8 Mas Woto
Mas Woto adalah tokoh yang tidak muncul di panggung hanya suaranya saja yang terdengar
dan keberadaannya diceritakan oleh tokoh.lain. Dialog Mas Woto hanya diungkapakan
dengan “NUUUUT!! AYO!!” Berdasarkan cerita tokoh Mae, Mas Woto memiliki
kepribadian yang buruk karena pekerjaannya bukan pekerjaan yang baik-baik
2.4 Latar
Latar disini dibagi menjadi 3 yaitu latar tempat,.latar suasana,latar waktu.
2.4.1 Latar tempat
Secara garis besar latar tempat yang digunakan dalam drama Mega,mega adalah di kota
Yogyakarta. Meskipun pada babak kedua terdapat beberapa tempat yang dikunjungi para
tokoh, akan tetapi tempat tersebut hanya merupakan hasil dari khayalan Koyal semata dan
bukan tempat sesungguhnya. Tempat-tempat khayalan Koyal tersebut antara lain: Gedung
Bank, Tawangmangu, Rumah makan, Toko pakaian, dan Kerajaan. Adapun tempat yang
bukan merupakan hasil khayalan Koyal dan merupakan tempat yang dijadikan mereka untuk
tinggal adalah sebagai berikut:
 Yogyakarta
Retno : lama-lama aku jadi ingin pergi dari Yogya ini
Mae : kemana?
Retno : kemana saja. (tiba-tiba) Aduuuuuh!
Mae : kalau kau bilang begitu pada Tu….
Retno : diam! Si banci itu lewat lagi.
 Di bawah tiang listrik
Mae, Retno, dan Hamung sudah nyenyak tidur. Tukijan terbaring gelisah setengah tidur di
atas tikar. Sedangkan Koyal asyik masyuk di tengah impian-impiannya dengan serulingnya
duduk di bawah tiang listrik.Latar tempat di tiang listrik ini sering digunakan untuk
menggambarkan tokoh Koyal saat ia semakin gila dengan khayalannya. Jika dilihat melalui
peristiwa yang berlangsung, maka tempat tiang listrik ini merupakan tempat yang biasa
Koyal gunakan untuk menumpahkan segala keinginan dan tempat berkhayalnya.
2.4.2 Latar waktu
Latar waktu yang terdapat dalam drama Mega,mega merupakan latar waktu yang sangat
singkat, sebab seluruh peristiwa hanya berlangsung dalam satu malam saja. Latar waktu yang
terjadi dalam drama ini hanya satu, yakni malam hari
Malam hari
Koyal :(berhenti bermain suling) Uuuuu.Uuuu!Uuuuu!!(melepas nafas kepada beringin)
Selamat malam, beringin tua. (kepada bulan) Selamat malam, bulan gendut. (kepada
rumputan) Selamat malam, rumput. (memandang keliling) selamat malam semuanya. Huh
malam!...
Latar dan peristiwa yang terjadi dalam dialog di atas yaitu malam hari saat Koyal akan
memulai .khayalannya. Malam hari merupakan waktu yang sering digunakan manusia untuk
bermimpi, dan Koyal pun memanfaatkan waktu tersebut dengan baik, yakni bermimpi
melalui khayalan. Ia sedang menikamti kemenangan lotrenya dan ingin mengajak semua
menikmati kemenangannya, tak terkecuali malam hari saat bulan masih menunjukan
bentuknya.
2.4.3 Latar suasana
 Sedih
Latar suasana sedih terjadi ketika Retno mengatakan bahwa Mae memang perempuan
mandul, lalu Panut yang marah dan mengatakan bahwa Panut bukan anak Mae,dan
yang terakhir satu persatu anak mae meninggalkan Mae.
 Khawatir
Latar suasana khawatir terjadi ketika Mae khawatir dengan kepergian Panut
mengikuti Mas Woto.
 Menegangkan
Latar suasana menegangkan terjadi ketika Tukijan marah dan memukul Koyal,
perdebatan antara Hamung dan Tukijan.
 Senang
Latar suasana senang terjadi ketika tokoh Koyal masuk ke dalam panggung, sikap
sikapnya yang sangat lucu dan membuat semua tokoh terhibur.

2.5 Gaya Bahasa


Terdapat beberapa gaya bahasa yang digunakan dalam Mega,mega antara lain: metafora, pars
prototo, simile, antonomasia.Menurut saya bahasa yang digunakan adalah bahasa sehari-hari
sehingga mudah dipahami.
2.6 Amanat

 Kita harus berbuat baik meskipun dianggap rendah oleh orang lain jangan sampai kita
melakukan perbuatan buruk karena jika telah kita melakukan itu akan menjadi
kebiasaan.
 Kita harus saling menyayangi satu sama lain dan harus menjaga satu sama lain.
 kita tidak boleh menggantungkan hidup kepada orang lain.

3. UNSUR EKSTRINSIK

3.1 Nilai Agama


Dalam drama mega-mega nilai agama terjadi pada saat Mae bertanya kepada Panut apakah ia
percaya kepada Tuhan.
Bukti:
MAE : Nah, itu baik sekali. Mae percaya kau memang anak yang baik. Kau pernah dengar
suara adzan tidak?Maksudku kau percaya pada Tuhan tidak?

PANUT : Seperti setiap orang. Tapi Mas Woto bilang Tuhan itu tidak ada. Tuhan itu racun.
Tuhan itu arak. Candu. Tuhan itu asap rokok. Kata Mas Marwoto.

3.2 Nilai Ekonomi

Dalam drama ini keadaan ekonomi mereka yaitu orang yang tidak punya dilihat dari mereka
yang tidak punya tempat tinggal tetap, dan pekerjaan mereka salah satunya ada yang
pencopet pengemis dan pelacur.

Bukti:

PANUT : Saya bilang saya tidak akan mencopet lagi. Bajingan. Kemarin saya coba-coba
bantu Mas Wiryo tapi sial juga.

MAE : Membantu apa?

PANUT : Maling.

3.3 Nilai Sosial

Dalam drama ini terdapat nilai sosial yaitu emak yang peduli terhadap siapapun yang
menganggapnya ia sebagai ibu.

Bukti:

MAE: Mae tau Mae mandul maka dari itu mae peduli kepada siapapun yang menganggap
mae sebagai ibunya

3.4 Nilai Moral

Dalam drama ini terdapat nilai moral yaitu saling sayang satu sama lain dan ingin hidup
sukses bersama-sama.

Bukti:

TUKIJAN: Saya juga menyayangi Koyal saya hanya ingin ia waras

4. Evaluasi
4.1 Kelebihan Drama
Kelebihan dari drama Mega Mega Karya Arifin C Noor menurut saya adalah cerita yang
dibuat sangatlah menarik, bahasa bahasanya yang mudah dipahami, kejadian demi kejadian
yang bisa dimengerti, dan mengandung berbagai keadaan kehidupan yang dapat
menyadarkan kita akan kehidupan. dan dalam drama ini tidak ada kata-kata simbol yang
merujuk pada sesuatu.
ketika saya melihat drama mega-mega di YouTube saya sangat menyukai drama ini karena
drama ini mengandung banyak hikmah, penggambaran tokoh dalam drama ini juga sangat
rapi. Setting tempat cahaya juga sangat rapi,akting akting tokoh yang sangat menjiwai
membuat kita juga ikut merasakan alur yang ada.
4.2 Kelemahan Drama
Kelemahan dari drama Mega Mega karya Arifin C Noor menurut saya adalah banyak kata-
kata yang kasar sehingga drama ini tidak cocok di tonton kan untuk anak di bawah umur,
banyak perbuatan-perbuatan yang yang tidak bisa ditiru atau kata lain perbuatan jelek seperti
bertengkar, mencuri, merokok. Selain itu kostum dari tokoh Retno juga sedikit vulgar
sehingga tidak enak ditonton.
4.3 Sasaran
Seperti yang sudah dijelaskan diatas drama ini cocok untuk usia yang sudah mencukupi
dikarenakan bahasa bahasanya yang sedikit kasar dan ada sedikit scene yang tidak dapat
ditiru oleh anak-anak di bawah umur.

5. Kesimpulan
Kesimpulan dari ulasan saya adalah drama ini sangat wajib untuk ditonton oleh anak yang
sudah mencukupi umur seperti SMP atau SMA karena disini memberikan banyak pengajaran
yang sangat berharga, drama ini di ringkas cara sederhana tetapi memiliki makna yang sangat
mendalam. Drama ini tidak cocok untuk anak di bawah umur karena ada bahasa yang sedikit
kasar dan perbuatan yang tidak dapat dicontoh. Tapi untuk keseluruhan drama ini sangat
menarik dan menghiburr

6. Daftar Pustaka

 http://ensiklopedia.kemdikbud.go.id/sastra/artikel/Mega-Mega
 https://id.m.wikipedia.org/wiki/Arifin_C._Noer
 https://banongautama-wordpress-
com.cdn.ampproject.org/v/s/banongautama.wordpress.com/2015/09/2
8/naskah-mega-mega-karya-arifin-c-noer/amp/?
usqp=mq331AQQKAGYAdbywfuOmqOSPrABIA%3D
%3D&amp_js_v=a2&amp_gsa=1#referrer=https%3A%2F
%2Fwww.google.com&ampshare=https%3A%2F
%2Fbanongautama.wordpress.com
%2F2015%2F09%2F28%2Fnaskah-mega-mega-karya-arifin-c-noer
%2F
 https://youtu.be/WhftEEFp9Fc
 https://www.google.com/url?
sa=t&source=web&rct=j&url=https://www.yuksinau.id/contoh-teks-
ulasan/&ved=2ahUKEwicnKPX36XoAhUDeysKHWxeB3QQFjAAeg
QIAxAB&usg=AOvVaw3mNtZ3-ElopFSqXnZ8Io3k

Naskah Mega-Mega Karya Arifin C Noer


BAGIAN PERTAMA
di bawah mega

( Beberapa saat sebelum layar disingkirkan, kedengaran seorang perempuan muda


menyanyikan sebuah tembang Jawa. Kemudian penonton akan menyaksikan perempuan
muda itu menyanyi dengan gairah sekali. Ia berdiri dan bersandar pada batang beringin yang
tua berkeriput itu. Di antara jemari tangannya terselip sebatang rokok kretek. Ia biasa
dipanggil kawan-kawannya dengan panggilan RETNO.

Sementara itu, disebelahnya seorang perempuan tua bersandar. Ia adalah seorang perempuan
tua dengan bentuk bibir yang selalu nampak tersenyum dan dengan kelopak matanya yang
biru. Senyum itu rupanya ditujukan pada suatu harapan yang telah lama dinantikanya ; tak
kunjung tiba. Adapun malam yang selalu ia isi dengan perhatian itu agaknya hanya
memberikan warna gelap pada sekeliling matanya. Ia biasa dipanggil MAE.

Sesekali di antara nyanyian itu terjadi percakapan yang sama sekali tak diharapkan Retno
sendiri )

MAE : Tidak kalah dibanding Srimulat. Tambahan dia cantik. Seperti aku! Persis. ( diam )
Cantik dan tersia.  ( tiba-tiba seperti mencari sesuatu di sekelilingnya, tapi ia pun tersenyum
apabila sadar yang dicarinya itu sebenarnya tak ada. Lalu ia berseru keras ) Retno! Suaramu
merdu.

RETNO : Ho-oh! ( kembali menyanyi)

MAE : Percaya. Asli! tidak dibuat-buat.

( Mereka bercakap tanpa saling menengok dan keduanya menerima cahaya listrik dari lampu
yang tergantung pada tiang listrik yang berhadapan dengan beringin itu )

MAE : Sebenarnya dia bisa mbarang (berseru) kau bisa mbarang* (*maksudnya ngamen)

RETNO : Kenapa tidak? Segala bisa. Asal mau. Apalagi cuma mbarang.

MAE : Kenapa kau tidak mbarang saja?

RETNO : Sama saja. (Menyanyi lagi)


MAE : Tidak. Kalau kau mbarang untung-untung bisa masuk radio. Pasti bisa. Kalau kau
masuk radio kau akan lebih baik.

RETNO : (meludah)

MAE : Semuanya harus dicoba!

RETNO : Sama saja. Sama edan. (menyanyi lagi tapi baru sekecap ia berhenti). Sama edan.
Sama…alaaahh setan! (menyanyi lagi)

( Sejenak tak ada bicara. Tiba-tiba Retno berhenti menyanyi sebab ada seorang pemuda lewat
)

MAE : Saya kira enak mbarang. Cobalah. Tidak salahnya. Kenapa?

RETNO : Diam (pada yang lewat). Mampir Mas!

( Pemuda itu cuma lewat tapi jels ia naik nafsu )

RETNO : Banci edan! (meludah) Sinting!

MAE : Kenapa? Siapa?

RETNO : Laki-laki itu.

MAE : Kenapa?

RETNO : Saya cantik, kan?

MAE : Lantas?

RETNO : ( tertawa lalu meludah ). hanya orang banci saja yang lewat di sini tanpa
sekerlingpun melihat pinggang saya.

MAE : Memang. Kau cantik.

RETNO : Tidak cuma itu. Montok. (tertawa lalu meludah). Kadang-kadang saya ingin
berpidato di alun-alun ini. Pidato dihadapan berjuta-kuta laki-laki. Telanjang. Kalau tidak, –
sebentar! Pemuda itu berdiri saja dipojok jalan itu. (membetulkan letak kutangya) Rejeki
tidak boleh terbang percuma begitu saja. (pergi menyusup gelap)

( Sepeninggal Retno, Mae dicekam suasana sepi. Ia menatap keliling : Kegelapan dan
kesenyapan. Ia menggigil. Dingin. Takut. Aneh. Angin kencang lewat. Ia tersenyum waktu
matanya bertemu dengan bulan yang gendut dilangit. Dan ia pun keramaian dirinya dengan
khayalan-khayalan. Sekonyong-konyong ia marah. Ia membayangkan seakan ia kini
mengorek-ngorek bulan itu )

MAE : Sinuwun! Sinuwun! malam lagi! ini malam syura. Malam Syura Apa? (menggeleng-
geleng dengan sedih. Ia menangis tapi ia sudah cape).
Diam, nak. Diam sayang. kalau tidak juga kita dapatkan disini, tentu kita pindah lagi. Di sini
sayangku. Kita tidur di sini malam ini. cah bagus. Ini malam syura, Kita tidur bersama
Sinuwun Gusti Pangeran di alun-alun keramat ini. ( dengan kasih ia meninabobokan anak-
nya dengan sebuah tembang jawa)

( Muncul Seorang pemuda remaja. Ia mendekati Mae dengan isyarat-isyarat tangannya,


berlaku seperti orang bisu. Namanya PANUT.)

PANUT : (menunjuk-nunjuk perutnya dengan mulutnya) bbbbb….aaaaa..a….bbbb..bbb,,aaaa

MAE : (jantungnya bergertar sangat cepat) Kenapa? Kenapa kau? Kenapa kau? Kenapa kau,
Panut? Panut?

PANUT : bbbbb….aaaaaa..bbb….

MAE : Gustiku. Gusti Pangeran. Kenapa? Gusti. Kenapa kau jadi bisu?

PANUT : (menggeleng-geleng) AAAaaaaa..aaa..bbbbb..

MAE : (menangis) Gusti. Saya jadi bingung. Siapa yang salah? Kenapa? Panut, anakku
Panut.

( Tiba-tiba Panut tertawa sangat keras.)

MAE : Edan!!

(Panut terus tertawa)

MAE : Kurang ajar (mengambil sebilah kayu dan mengacung-acungkan kayu itu) Awas kalau
kau ulangi. Ayo!

( Panut menyusup kegelapan seraya tertawa )

MAE : Kurang ajar. Anak nakal……Tidak. Bukan kau sayang. Diam, sayang, (melemparkan
kayu itu) Nah, diam sekarang. Panut nakal, ya?

( Panut muncul lagi. Ia masih tertawa )

PANUT : Gampang. Gampang, Mae! Lebih gampang dari mencopet,

MAE : Kau ini sedang apa?

PANUT : Tapi ada cara lain. Menari. (menari jawa seraya mulutnya memusiki). Ha, ini lebih
gampang tapi saya harus membedaki dan menghiasi muka segala. Terlalu banyak kerja.

MAE : Nanti dulu. Kau ini sedang bicara apa?

PANUT : Saya tidak akan mencopet lagi.

MAE : Berapa kali Mae bilang? tidak usah kau belajar mencopet. tidak baik.

PANUT : Soal baik tidaknya saya tidak peduli. Soalnya tangan ini. Sial. Setengah tahun
sudah latihan tapi sekalipun tak pernah saya berhasil. Bagaimana saya tidak jengkel.

MAE : Jengkel pada siapa?


PANUT : Pada diri saya sendiri. Coba di pasar Bringharjo. Jelas laki-laki itu orang yang
ceroboh. Artinya kalau saja pinter dan cekatan tentu pulpennya sudah saya dapatkan. Tapi
saya gemetaran. karena gemetar rusak segalanya. Pulpen sudah ditangan tapi kaki sukar
dilangkahkan. Terpaksa saya berikan pulpen itu ketika mata laki-laki itu melotot dan segera
saya menghilang.

MAE : Apa kata Mae? Nguli saja, nguli saja. Kau nekat coba-coba nyopet. Nguli lebih baik
dari apapun yang dapat kau lakukan. Mae juga ingin nguli saja kalau ada orang yang suka.
Tapi Mae sudah terlalu tua. Cari kerja untuk orang semacam Mae yang tidak punya tempat
tinggal tentu sangat sukar. Orang takut kepada kita. Orang sukar percaya. Percayalah Panut.
kalau nguli kau bisa merasa senang.

PANUT : Saya tidak akan mencopet lagi.

MAE : Nah, itu baik sekali. Mae percaya kau memang anak yang baik. Kau pernah dengar
suara adzan tidak?

PANUT : Setiap kali saya dengar.

MAE : Maksudku kau percaya pada Tuhan tidak?

PANUT : Seperti setiap orang. Tapi Mas Woto bilang Tuhan itu tidak ada. Tuhan itu racun.
Tuhan itu arak. Candu. Tuhan itu asap rokok. Kata Mas Marwoto.

MAE : Itu tidak perlu. Kau sendiri percaya tidak? kalau kau percaya memang tak layak kau
mencopeti barang milik orang lain.

PANUT : Saya bilang saya tidak akan mencopet lagi. Bajingan. Kemarin saya coba-coba
bantu Mas Wiryo tapi sial juga.

MAE : Membantu apa?

PANUT : Maling.

MAE : Astaga.

PANUT : Untung saya tidak tertangkap. Kasihan Mas Wiryo

MAE : Maling itu kan lebih jahat daripada mencopet.

PANUT : Tentu saja, maling itu kan tidak berjiwa ksatria seperti pencopet.

MAE : Bukan itu maksud mae!

PANUT : Soalnya tangan ini Mae. Sial. Tapi Tunggu dulu. Tad itu Mae betul-betul percaya
to? Kalau Panut bisu?

MAE : Haduuuuuuh, hampir Mae tidak bisa bernapas tadi. Kaget bukan kepalang. Kok tiba-
tiba kamu jadi bisu tadi. Padahal kamu itu anak mae yang paling cerewet. Banyak omong
banyak cerita.

PANUT : Itu sudah cukup. Itu namanya saya berhasil. Besok pagi saya akan mulai
MAE : Mulai apa?

PANUT : Ngemis

MAE : Astaga

PANUT : Apa salah?

MAE : Panut! Kalau kamu anak saya, kupingmu itu sudah saya jewer. Otot mu masih kuat
tubuh mu masih utuh. Kamu mau minta-minta seperti tua bangka yang tersia sebatang kara?
Oalah le le. Kakimu itu akan membusuk kalau tidak dipakai buat bekerja.

PANUT : Ngemis kan juga kerja. Kamu kira ngemis itu enteng? Kan makan tenaga dan
perasaan juga. Soalnya bukan itu. Soalnya sial saya ini. Dan lagi soal makan, bukan soal
perasaan.

MAE : Ya, tapi kau masih kuat untuk bekerja. Bekerja baik-baik maksud Mae. Tidak
mencelakakan. Nguli misalnya. Kau bisa seperti Tukijan. Begitu rajin dia bekerja di pasar.
Tapi dasar orang suka bekerja dan rajin. Tadi pagi-pagi benar ia pergi ke Sumantrah.

PANUT : Siapa?

MAE : Tukijan. Pagi tadi ia naik kereta api ke jakarta. Dari sana nanti ia nyeberang ke
Sumantrah.

PANUT : Mulut rusak. Baru saja saya lihat dia sedang nongkrong dekat bioskop Indra.

MAE : Siapa?

PANUT : Tukijan.

MAE : Kau salah lihat pasti. Bukan Tukijan yang kudisan. Tukijan yang bersih ganteng.

PANUT : Ya, Tukijan yang gandrung pada si Retno kemayu itu to.

MAE : Kau sungguh-sungguh?

PANUT : Biar buta mata saya kalau saya bohong. Kemaren Tukijan memang bilang begitu
pada semua orang. Tadi saya lihat sendiri ia sedang nongkrong dekat bioskop Indra.

MAE : Sedang apa dia?

PANUT : Tukijan?

MAE : Ya

PANUT : Nongkrong, Melamun, seperti Gatotkaca kehilangan sayap.

MAE : Saya tidak percaya

PANUT : Percaya terserah, tidak terserah. Bukan urusan saya! Tikarnya Mae. Saya kira enak
sekali malam terang bulan ini tidur di tengah alun-alun (tertawa) Tukijan, Tukijan.
Mae memberikan sehelai tikar buruk pada panut. Tiba-tiba muncul Retno dari kegelapan.

RETNO : Sial!

PANUT : (seraya membaringkan badan)

RETNO : Apa?

PANUT : Tidak (baring)

MAE : Siapa yang sial?

RETNO : (meludah) Siapa lagi? Pemuda itu. (meludah)

MAE : Bukan kau?

RETNO : tentu saja dia. Tengik. Akik

PANUT : (tertawa)

MAE : Kau memang cantik.

RETNO : Luar biasa! (tertawa pahit. lalu menarik nafas kesal) Setan. Tukijan edan!

MAE : Siapa yang kau kutuk? Sejak sore tidak habis-habis kau mengutuk. Selalu kau marah-
marah.

(sunyi sebentar)

RETNO : Lama-lama aku jadi ingin pergi dari Jogja ini.

MAE : Kemana?

RETNO : Kemana saja. (tiba-tiba) Aduuuuuuh!

MAE : Kalau kau bilang begitu pada Tu…..

RETNO : Diam! SI banci itu lewat lagi.

(Pemuda yang tadi muncul lagi dari kegelapan)

RETNO : ( membusungkan dadanya) Mlampah-mlampah dik?

( Setelah beberapa lama berpaling dengan nafas yang kacau segera pemuda itu menghilang
dalam kegelapan)

RETNO : Banci sintiiing banci sinting banci sintiing! UUuuh! (meludah) Pasti Mahasiswa
dia. Nafsu melimpah uang cuma serupiah.

PANUT : Ngaku santri lagi.

RETNO : Tahu saya. Kita sering lihat dia lewat. Rumahnya pastidekat rumah Haji Bilal.
Kalau saya sedang mencuci ia selalu lewat. Kalau siang ia buang mukanya jauh-jauh dari
saya (meludah). Tapi kalau malam niak turun nafasnya melihat kecantikan saya (tertawa).
Besok malam saya peluk dia dari belakang (meludah) Pura-pura.

MAE : Kau memang cantik.

RETNO : Menggiurkan! (tertawa pahit lalu meludah)

MAE : kau tidak pernah mengandung?

PANUT : (tertawa keras)

RETNO : Apa?

MAE : Kau tidak pernah mengandung?

RETNO : Gila! (senyum pahit tapi genit) Diam!

MAE : Tidak habis-habis kau mengutuk.

RETNO : (tak tahu kepada siapa) Gara-gara kau semuanya serba sial.

MAE : Tidak baik. Apalagi untuk malam ini. Aku bilang sekarang. Malam ini malam terang
bulan. Sangat menyenangkan tidur di alun-alun ini. Di muka pagelaran. Berkat. Sinuwun itu
sakti. Alangkah segarnya. Kita boleh melalmun dengan sempurna di sini.

PANUT : Tidak bau air kencing seperti di Musium

MAE : Nyaman. Banyak angin. Tapi juga angin yang baik. Bersih. Anak-anak mesti
dilindungi dari angin yang terbaik sekalipun (menina-bobokan lagi anaknya dengan sebuah
tembang jawa).

RETNO : Tukijan edam!

MAE : Apa?

RETNO : Bulan—–AH, Setan!

MAE : Kuning montok seperti kau (diam) Kau kira enak orang tidak punya anak?

RETNO : (diam)

PANUT : (menyanyikan sebuah lagu picisan tema cinta)

MAE : Retno!

RETNO : (malas) Hmmmm? (Makin kesal) Alaaaah setan!

MAE : Kau kira enak orang tidak punya anak?

RETNO : (diam)

MAE : Kau pernah mengandung?


RETNO : Ho-oh!

MAE : Berapa kali?

RETNO : Satu kali tapi persetan!

MAE : Berapa?

RETNO : Satu!!

MAE : Enak?

RETNO : Sakit!

MAE : Jadi sungguh-sungguh?

RETNO : (diam) Persetan!

MAE : Sungguh-sungguh sakit?

RETNO : Iya. kalau Mae ingin tahu, melahirkan itu rasanya sakit.

PANUT : (tertawa)

RETNO : Ketawa

PANUT : Sakit (tertawa)

(Mae tertawa juga. Retno juga akhirnya)

RETNO : Memang lucu juga.

MAE : Melahirkan. Sakit. Semuanya.

(Sunyi sebentar)

MAE : Anak-anak manis. Semua orang berjuang untuk mereka. (tiba-tiba bergetar dadanya)
Aduuuuh biyuuuung…..(kepada Retno) Kemana anak itu?

RETNO : (meledak) Mati!!!! (menyesal) Dia mati!!!

MAE : (marah) Kau juga yang salah.

RETNO : (meledak) Jangan banyak mulut!!! (diam) Maaf Mae

MAE : Kau yang patut disalahkan. Sebenarnya kau bisa berrbuat yang lebih baik.

RETNO : Memang. (tiba-tba) Aduuh! Setan!

MAE : Memang. Selalu ada pemecahan buat setiap persoalan. Tapi kau malas mencari.

RETNO : Bukan aku.


MAE : Kau!

RETNO : Bukan.

MAE : Orang punya anak itu mesti prihatin! Mesti hati-hati. kau tahu, Retno? Angin itu
lembut ya? Nyaman ya? Tapi Angin itu berbahaya bagaimanapun juga. Yang enak di badan
tidak selamanya enak di hati. Yang enak di hati tidak enak di badan. Kau harus jujur. He,
Retno angin bukan? Angin itu kosong kelihatannya padahal setan isinya. Kau tidak hati-hati.
Tidak mau, kau salah.

RETNO : Bukan aku. Suamiku.

MAE : Kau! Kau adalah Ibunya!

RETNO : Dan suamiku adalah bapaknya! Dia harus cari makan.

MAE : Apa dia tidak cari makan?

RETNO : Cari makan! Untuk perkutut! (tiba-tiba ia menangis. ia menghindar. Beberapa lama
ia tersedu) Sebenarnya aku sangat sayang padanya.

PANUT : (bangkit). Tadi Koyal makan, Mae? (karena Mae tidak menjawab, ia kembali
berbaring)

RETNO : Sejak gadis dulu aku mengidamkan dapat melahirkan anak laki-laki. Anak itu laki-
laki dengan mata yang teduh seperti kolam. Hatiku selalu bergetaran menyanyi setiap kali
bertemu dengan mata itu. Tapi makin lama mata itu makin kering sebab bapaknya tidak
pernah melakukan apa-apa. Suatu ketika aku sakit. (lama diam) Anak itu sakit. Kelaparan. Ia
mati. Sejak itu aku hampir gila oleh perasaan kecewa dan kesal. (diam) Suatu hari suamiku
pulang setelah menuntaskan bergelas-gelas arak. Bukan main aku marah. Dan sekonyong
nasib turut campur. Rumah itu terbakar (gerahamnya merapat ketat) Setan! Setan!

MAE : Pendeknya kalian berdua. Kalian berdua salah. Kalian malas. Kalau anak itu sekarang
masih hidup, barangkali ia sudah cukup mampu menolong kau. Saya yakin kau sangat
menyesal dan suatu ketika kau bisa gila bila kau merasa kangen kepada anak yang malang
itu.

RETNO : Sudahlah.

MAE : Retno….

RETNO : (diam pergi dan bersandar pada tiang listrik)

MAE : Tapi tidak semua orang melahirkan anak.

PANUT : Laki-laki tidak.

RETNO : Dan….

MAE : Dan?

RETNO : Dan perempuan seperti aku. Lonte.


MAE : Tidak.

RETNO : Kenapa?

MAE : Perempuan seperti Mae. Ya, tidak?. Tidak semua perempuan. Saya telah menjalani
hidup tidak kurang dari lima puluh tahun, panjang dan lengang. Tidak pernah sekalipun
melahirkan anak.

RETNO : Mae memang mandul.

MAE : (marah) Saya tahu! Tahu! Tahu! Saya tahu! (menangis dan mengusap-usap matanya)

RETNO : (menyesal akan omong tadi tapi didahului Mae)

MAE : (seraya menangis) Setiap orang dijagat raya. Semuanya. Seluruh isi jagat. Semut-
semut pun tahu saya perempuan mandul. Tapi tidak sepatutnya kau berkata begitu dihadapan
saya.

RETNO : Saya minta maaf. Mae

MAE : (makin reda tangisnya) Saya kesepian. Saya sungguh-sungguh kesepian sebagai
perempuan. Tidak itu saja. Bahkan saya sangat kesepian sebagai manusia. Sampai-sampai
saya sangsi pada diri saya sendiri. Sampai-sampai saya tidak tahu lagi dimana saya ini
berada. Betul-betul seperti mimpi. Mimpi yang sangat buruk! Kalau sampai pada tempat itu
alangkah ngerinya. Saya tidak lagi dapat melihat apa-apa. Saya mulai menyangsikan
semuanya. Saya sangsi apakah saya ada atau tidak ada. Atau apakah yang ada dan apa yang
tidak ada. Apakah saya yang ada dan yang lain tidak ada. Atau apakah yang lain ada dan saya
tidak ada. apakah….tak taulah! Seluruhnya hanyalah jalanan panjang yang lengang tak
berujung. Sementara tapak kaki mulai kabur.(diam) Segala yang hidup disibuki oleh tugas
kewajibannya masing-masing. Tapi Mae…perempuan kertas yang dipinjami nyawa cuma.
Tersia dan disingkirkan dimana-mana.

RETNO : Kita sama-sama Mae.

(Sekonyong-konyong muncul HAMUNG si Kaki Pincang)

HAMUNG : Maunyya kita sama-sama, tapi si Tukijan itu plintat-plintut seperti orang banci.
Saya kira dia sudah tidur di Senen dan niat saya pagi nanti akan menyusulnya. Setidaknya
saya tidak langsung ke Sumatera. Saya memang belum berniat kesana. Ee, tahu-tahu, baru
saja keluar dari stasiun Tugu sore tadi, keluar dengan karcis di tangan,, nyelonong hidungnya.

RETNO : Hidung siapa?

HAMUNG : Tukijan.

MAE : Betul, Retno. Panut juga bilang begitu.

PANUT : (bangkit) Betul. Aku juga melihatnya di Bioskop Indra. Mula-mula aku kira
mataku yang salah. dan aku mengira cuma hantu atau rohnya., (tertawa) agaknya memang
Tukijan.Jaaaaan!….. Jan! Lama sudah ia memimpikan tanah. Selalu ia ceritakan nenek-
neneknya. Petani semuanya. Tanah itu kotak wasiat, katanya (tertawa) Kotak wasiat. Pernah
satu kali saya diajak olehnya ke Bantul Lihat-lihat sawah, katanya. (tertawa) Lihat-lihat
sawah. Saya tahu dia punya kemauan keras. Saya hormat kepadanya. Apalagi saya jauh lebih
muda. Tapi saya tak salah kalau mengajak dia supaya meniru perbuatan saya. Terus terang
saja saya bilang bahwa mencopet itu penghasilannya banyak. Kuncinya tentu saja terletak
pada keterampilan. dan kelincahan kita. Mas Marwoto sendiri mengatakan bahwa mencopet
itu seni hidup yang paling tinggi. Seperti halnya berjudi, dasarnya memang untung-untungan.
Tapi kata Mas Woto, untung-untungan itu sudah sifatnya dunia, sifatnya……

HAMUNG : Tutup moncongmu, bocah.

RETNO : Jadi…..

MAE : Saya juga heran.

PANUT : Kan saya sudah bilang tadi Dia saya temi dekat bioskop Indra. Lagi melamun. Tapi
juga seperti orang bingung. Ah, dia itu. Seperti bukan laki-laki saja. Nih, lihat. Panut!

RETNO : (tak ambil perduli pada Panut seperti yang lainnya juga) Kalau begitu….
(tersenyum dan dibalik senyumnya ia menyembunyikan sesuatu) Aneh sekali bukan?

HAMUNG : Aneh sekali. Dia itu orang yang teguh pendirian. Tapi, eh. Mengherankan sekali.
Saya tanya kenapa dia belum berangkat padahal dia sudah pamit pada kita, ia cuma diam.

PANUT : Bukan mustahil ia pun telah pamit dan minta restu pada Kanjeng Sinuwun.
(tertawa) Memang sedih juga kalau dia jadi berangkat. Tapi memang aneh….

MAE : Waktu adzan subuh tadi pagi untuk pertama kalinya saya menangis seperti seorang
Ibu yang sedang melepas anaknya pergi jauh. Tidak kurang dari satu jam mata saya
meneteskan air. Berkali-kali saya menggelengkan kepala. Mulut saya tak henti-henti berdoa.
Eh, tahu-tahu dia belum berangkat. Betul kata orang dulu. Orang yang bepergian tak merasa
tenang kalau ada diantara orang yang ditinggalkannya belum rela.

(Panut bangkit berdiri dan sekonyong-konyong bisu-bisuan lagi)

PANUT : Bbbb….Aaaaaa…..bBbbbb.

HAMUNG : Kumat. Kemasukan setan! Kalau tidak ayan.

PANUT : Bajigur.

HAMUNG : Habis kau seperti orang yang kehilangan kepala, Kalau kau terus begitu kau bisa
sinting.. Tapi ya bagus juga. Kalau kamu miring, si Koyal ada kawannya. Ya, tentu ada
bedanya. Kalau Koyal kesana kemari pamer bahwa dia anaknya Kumico dan bangga akan
badannya yang jangkung seperti opsir Belanda. Sebaliknya tentu kamu gembar-gembor
bilang masih keturunan Jepang (tertawa)

PANUT : Jangan menghina begitu Mung! Kan tidak kamu saja yang punya perasaan?

HAMUNG : Tidak. Celeng juga punya perasaan.

MAE : Sudah Hamung. Jangan kau teruskan seperti kemarin. Nanti dia nangis lagi. Eh, siapa
yang nangis kemarin?
PANUT : Bukan saya! Koyal. Dia cemburu, pacarnya serong. Tiap malam pacarnya
digandeng orang katanya.

RETNO : Biasanya dia sudah datang.

PANUT : Siapa? Tukijan?

RETNO : (genit) Cih! Koyal!

PANUT : O, Koyal. Daripada menunggu lama-lama, Kan ada saya? (tertawa)

RETNO : Ee

MAE : Memang. Biasanya Koyal terus saja nyelonong kalau kita sedang asyik-asyinya
ngobrol

HAMUNG : Yakin saya. Dia bisa gila. Setengah mati dia ingin jadi orang kaya.

PANUT : Impiannya selangit

HAMUNG : Lucunya dia cumua ingin punya uang bertumpuk. Tapi sintingnya, sedikitnpun
ia tidak mau bekerja. Ia cuma ngemis.

PANUT : Makan pun tak mau ia urunan seperti kita-kita ini. Dia cuma makan. Bayar tidak
mau.

RETNO : (tertawa) Dan edannya uang hasil minta-minta nya ia belikan lotre. Entah sudah
berapa puluh lembar lotre dibelinya. Satu kalipun belum pernah ia menang.

MAE : Biarkan ia tidak urunan. Ini permintaan Mae. Mae bilang, kalau kalian semua yang
Mae masakkan boleh Mae anggap sebagai anak-anak Mae. Dan sudah umumnya anak-anak.
Tidak semuanya rajin. Mesti ada saja yang nakal ataupun malas. Mae ingin kalian semua
rukun satu sama lain. Sedikit-sedikit yang malas diajar kerja. Sedikit-sedikit yang suka
nyopet diajar kerja. Mae ingin semua senang lahir batin.

(Terdengar suara daari jauh : NUUUUT!! AYO!! )

PANUT : Itu suara Mas Woto. (berseru) Hooooiiii!!

MAE : Tak usah turut Panut. Tak usah. Lebih baik kau pura-pura tak dengar.

PANUT : (berseru) Kemana Mas?

( Terdengar dari jauh : Ada makanan! Cepat! )

MAE : (gelisah) Jangan turut, Nak. Jangan. Kasihan dirimu.

PANUT : (semangat) Sebentar Moaaasss!

( Panut pergi Mae terluka dan sedih )

MAE `: Dia pasti mednapat celaka! Pasti mendaat celaka! Tapi memang dia masih bocah.
Bukan salahnya (menangis)
HAMUNG : Jangan pedulikan

MAE : Dia tidak bersalah. Dia masih bocah. Setiap orang harus…….

HAMUNG : Sama sekali tak ada salahnya. Tak ada yang salah.

MAE : Orang tuanya yang salah. Tapi siapa orang tuanya? Di sini saya orang tuanya. Jadi
saya yang bersalah. Seharusnya saya terus menahannya.

HAMUNG : Tak ada gunanya.

RETNO : Mae tak usah terlalu susah.

MAE : Siapa bilang? Mae tak pernah bertanggung jawab. Sekarang disini Mae berusaha jadi
Ibu kalian. Salah satu di antara kalian sedang menuju ke penjara tanpa di sadarinya. Apakah
Mae harus diam saja? Kalian tahu? Dialah yang satu-satunya yang Mae harapkan selain
Koyal. Hamung, kau besok ke Jakarta. Mungkin juga Tukijan. Dan kemudian Retno. Dan
kalau Mae biarkan Panut masuk penjara dan koyal pergi ke tempat lain, apakah yang terjadi
atas diri Mae? Pulang ke Tegal? Tempat itu bukan lagi tempat Mae…….Tak ada tempat. Mae
akan kembali seperti ketika pertama Mae datang kemari. Sebatang kara. Kering.

RETNO : Mae tak usah khawatir. Saya tak akan meninggalkan Mae.

MAE : Semua akan meninggalkan Mae pada akhirnya. Suamiku yang pertama pun berkata
begitu dulu, tapi akhirnya ia pun mengusirku juga. Dan kemudian suamiku yang bernama
Sutar meninggalkan aku. Malah suamiku yang paling setia dan paling tua pergi juga. dimakan
gunung merapi.

RETNO : Tidak, Mae. Saya juga sebatang kara. Saya juga tersia. sebab itu saya lebih senang
dengan Mae. Berkumpul sangat membantu mengurangi kesusahan.

MAE : Tidak. Kau tidak tersia. Kau masih muda. Belum masanya kau berputus asa.
Sekiranya kau menurut nasihat Mae dan tak usah kau menjadi….

RETNO : (memotong) Mae.

MAE : Retno. Mae sayang sekali padamu. Pada Hamung, pada Tukijan, pada Koyal, pada
Panut dan pada siapa saja yang memandang Mae sebagai Ibunya, Seperti juga Mae sangat
sayang pada Mas Ronggo (diam) Ia kena lahar (diam) Retno, diam-diam perasaan Mae remuk
waktu Tukijan pamit tadi pagi. Tambah lagi Hamung……dan Panut.

RETNO : Sudahlah Mae.

HAMUNG : Ya Mae. Retno akan tinggal di sini dan akan selalu bersama Mae.

MAE : Keinginan Mae memang begitu juga, tetapi sebaliknya bagi Retno….

HAMUNG : Setidak-tidaknya dia tidak akan melupakan Mae (menguap)

RETNO : Percayalah Mae. Kami tak akan begitu saja melupakan Mae. Kami juga
menganggap diri kami sebagai putra-putri Mae yang nakal-nakal. Bukan Panut dan Koyal
yang nakal, tapi kami semua juga nakal-nakal. (tersenyum menghibur) Dan kenakalan kami
tidak mengurangi cinta kami pada Mae.

MAE : (menangis)

RETNO : Mae, jangan menangis begitu. Mae.

MAE : Mae kesepian.

RETNO : Mae sendiri yang bilang dan selalu bilang pada si Koyal bahwa kawan kita banyak.
Bintang-bintang , Bulan, Langit…

MAE :Mae bahkan lupa pada wajah Mae sendiri.

RETNO : Mae.

MAE : Kalau kau menurut kata Mae, kau kawin dan Mae kau tinggalkan. Sebaliknya kalau
kau tetap tinggal disini dan kau terus begini…oh, Mae tak tahu apa yang Mae kehendaki.

( Ketika cuma beberapa angin yang berkata. Tiba-tiba terdengar teriakan Koyal :
HOOOOIIII! Aku dapat lotre!! Hoooiiii!!! Aku menang!! )

MAE : (menghapus air matanya) Koyal.

RETNO : Dapat lotre. Dia menang.

HAMUNG : Memuncak sintingnya.

( Lelaki kurus tinggi berkulit terang, meski banyak daki, dan berambut lurus, muncul dengan
nafas kacau)

KOYAL : Wah! saya cari kemana-mana, rupanya kalian disini

MAE : Kita disini malam ini. Malam terang bulan. Malam syyura. Malam penuh berkah.

HAMUNG : Kau nanti….

KOYAL : Betul! Malam berkah melimpah (tertawa menang) Lihatlah kedua tanganku. Di
tangan kiri ; lembaran lotre. Di tangan kanan sobekan koran.! Kalian tahu? Aku telah
menyobek koran yang terpasang di muka gedung Agung. Aku terlalu girang. Aku sobek saja
koran itu. Tak peduli! ( tertawa )

MAE : Koyal…..

RETNO & HAMUNG : (hampr bersamaan) Kau menang?

KOYAL : ( tersenyum bangga ) Hampir!

RETNO : Ha?

KOYAL : (tersenyum bangga) Hampir! Cuma beda sedikit. Beda satu (tertawa)

RETNO : Edan.
HAMUNG : Biasa. Kepala penjol otaknya ya penjol.

MAE : ( riang ) Anakku dapat lotre!

KOYAL : (bangga) Hampir Mae.

MAE : Syukur. Syukurlah. Hampir.

KOYAL : Kau lihat, Mung. Pada koran ini tertulis : “hadiah seratus juta jatuh pada nomer
432480, Solo”, sedangkan punyaku 432488. Ha, beda satu, kan? (tertawa senang) Hampir
aku menang. Betul tidak?

HAMUNG : Belum menang sudah hilang ingatan.

KOYAL : Tak ambil pusing aku. Yang penting aku hampir menang. Artinya tak lama lagi
aku pasti menang. Kau lihat, Muung. (menunjukan lot yang lain) Nih, aku sudah beli lagi.
tidak cuma itu malah. Baru saja aku tanya tukang nujum. Burung glatik yang cerdik itupun
menjanjikan kemenangan itu. Satu kartu dengan gambar bunga mawar, satu kartu dengan
gambar sapi, satu kartu dengan gambar rumah. kau mesti tak percaya?

HAMUNG : Kau sendiri percaya?

KOYAL : Tentu saja. Saya sudah bayar kok

HAMUNG : Ya, udah. Sama saja.

KOYAL : Apanya yang sama?

HAMUNG : Ya, kalau kau sendiri percaya pada tukang nujum itu, saya ya turut-turut
percaya. Biar kau senang. Kau kan slalu ingin senang?

KOYAL : (tertawa) Bagaimana kau ini. Senang itu kan tujuan semua orang?

HAMUNG : Syukur, kalau kau mengerti itu.

KOYAL : Ah. Kalau kau percaya saya mengerti itu. Itu sudah sejak semua orang tua saya
hilang.

HAMUNG : Kau sendiri percaya?

KOYAL : Ha?

HAMUNG : Ya, sudah. Percaya. (diam) Nah saya yakin kau telah melupakan sesuatu.

KOYAL : Apa?

HAMUNG : Nah betul kan? Belum kejatuhan uang kau sudah melupakan sahabatmu sendiri.

KOYAL : Ikat pinggang ini? Kau kira dapat mencuri? Tidak. Saya tidak mau seperti Panut.
Juga lantaran Bapak saya dulu kumico. Sungguh mati. Ikat pinggang ini dihadiahkan Tukijan
sendiri waktu ia akan berangkat tadi pagi.

HAMUNG : Apa ikat pinggang itu sahabatmu? Betul-etul kau lupa. Suling mu Yal!
KOYAL : (tertawa) mana bisa saya lupa? (mengambil suling dari selipan ikat pinggangnya).
Mau lagu apa?

MAE : Leloledung, Yal

KOYAL : Aduh. Lagu nenek-nenek

RETNO : Koyal sih biasanya lagu India.

KOYAL : Itu dia. Selera kita ternyata sama. Kau ingat Retno? Nanti dulu. Kau ini harum
sekali. ( pada Hamung ) Retno cantik ya? (tertawa) Nah, kau ingat lakon Ali Baba?

RETNO : Yang main…eee…

KOYAL : Kura-kura makan kelapa, ya? Pura-pura lupa, biar orang lain bilang; eh Retno kau
persis bintang Film Sakila (tertawa)

RETNO : Dan kau seperti Mahipal.

KOYAL : Kalau begitu tepat sekali kita menyanyi malam ini. Dengar. (memainkan sulinhg)
(jangan lupa; sebenarnya permainannya sumbang)

HAMUNG : Koyal pintar ya?

RETNO : Kau memang pintar, Yal.

MAE : Anakku pinter…..

KOYAL : (berhenti) Itu sudah bakat. Pinter itu sudah bakat saya. Kau sendiri pernah dengar
cerita ayah saya yang dulu pernah jadi Kumico. Sudah lumrah kalau ia punya anak sepintar
saya. Cuma sayangnya mereka terlampau cepat mati.

HAMUNG : Maumu kapan?

KOYAL : Apanya yang kkapan?

MAE : Hamung, sudah.

HAMUNG : (keras) Maumu kapan orang tuamu mati?

KOYAL : Mau saya setelah saya dewasa. Tapi mereka terburu matii dan membiarkan saya
terlunta-lunta (melamun) Kalau saya ingat nasib saya, ingat saya pada filem Malaya. P. Ramli
Maksud saya. Retno tentu ingat juga.

RETNO : Jambulnya jambul onta

KOYAL : Betul lho. Saya ingat nasib saya kalau dengar lagu-lagunya. Saya jadi ingat ibu
bapak saya. Terutama saya tidak bisa melupakan pipa gadingnya yang panjang itu. Pipa itu
dikagumi semua orang. Ah (diam) He, Mung. Kau lahir dimana?

HAMUNG : Tak ambil pusing.

KOYAL : Orang ditanya tempat lahirnya dimana kok, jawabnya tak ambil pusing.
HAMUNG : Habis? Apa kau kira saya tahu tempat dimana saya dilahirkan? Apa orang lain
pun tahu tempat dimana dia dilahirkan? Apa kau tahu?

KOYAL : Kenapa tidak tahu?

HAMUNG : Kau tahu darimana ?

KOYAL : Dari ibu bapak saya tentu saja.

HAMUNG : Atau dari tetangga-tetanggamu.

KOYAL : Tidak. Dari ibu bapak saya sendiri

HAMUNG : Sama saja.

KOYAL : Ya, tidak.

HAMUNG : Ya, sama. Artinya kau sendiri tidak tahu. Apa kau dilahirkan di ranjang atau di
atas rumput tentu kau sendiri tidak tahu. Dan bagaimana bisa tahu? (tertawa)

KOYAL : Kau ini main-main. Ditanya betul-betul kok.

HAMUNG : Kau kira saya main-main? Tanyalah lagi saya. He, Mung, di mana kau lahir?
Atau di atas ranjang atau di meja kau dilahirkan?

KOYAL : He, Mung. Di mana kau lahir?

HAMUNG : Tidak tahu (tertawa) Pasti kau anggap itu main-main. Coba kau fikirkan. atau
coba kau tanya lagi. He, Mung, Bagaimana kakimu bisa pincang?

KOYAL : He, Mung. Bagaimana kakimu bisa pengkor?

HAMUNG : Tidak tahu (tertawa) Ha, kau anggap saya main-main lagi? Tidak. Coba kau
fikirkan. Saya tahu bahwa saya ada, tatkala saya merasa sakit hati kalau kaki pincang saya
dijadikan ejekan oleh kawan-kawan saya.

KOYAL : (keras gembira) Nah, disanalah kampung halamanmu.

HAMUNG : Rumah tempat saya tinggal maksudmu>

KOYAL : Dimana lagi?

HAMUNG : Rumah itu berisi puluhan anak-anak kalau kau mau tahu.

KOYAL : Keluarga apa itu? Berapa ibunya?

HAMUNG : Rumah itu, rumah yatim piatu. Rumah itu musnah waktu pecah perang dulu.
Nah, bagaimana saya bisa tahu di mana saya dilahirkan? Atau tanyalah. He, Mung, siapa
orang tuamu?

KOYAL : He, Mung. Siapa oorang tuamu?


HAMUNG : Tidak tahu. (tertawa) Mengerti? (tertawa) Karena itu kenapa saya mesti ambil
pusing? Yang penting sekarang saya ada. Sebab itu saya harus memberi diri saya makan.

KOYAL : Itu kau. Saya tetap ambil pusing. Habis saya punya orang tua. Hanya sayang
mereka, juga paman saya dan keluarganya, semuanya dicincang pemuda-pemuda waktu
revolusi dulu. Mereka membantu Belanda dan Jepang. Bagaimana lagi? Kami perlu makan.
Akhirnya tinggal saya seorang. Kalau saya kaya tentu…

HAMUNG : ( memotong ) …tentu tidak miskin (tertawa)

MAE : Sudah, Hamung.

( Retno yang sejak tadi gelisah, dalam diamnya, sekarang turut tertawa )

KOYAL : Tidak, tentu saya bisa memperkembangkan bakat kepintaran saya. Lalu saya
fikir…

HAMUNG : (memotong) Lalu saya melamun (tertawa)

MAE : Hamung.

RETNO : (tertawa)

KOYAL : ( tidak peduli ) Lalu saya fikir saya harus punya banyak uang dulu. Malah akhir-
akhir ini saya mencintai uang. Mengapa tidak? Saya telah melihat rumah yang bagus-bagus.
Saya telah melihat mobil yang bagus-bagus. Saya telah melihat segala apa saja yang hanya
bisa didapatkan dengan uang. Lalu…

HAMUNG : …..ngemis (tertawabersama Retno)

KOYAL : ……lalu saya mulai mengumpulkan uang. Tapi pasti terlalu lama. Lalu saya
belikan lotre. Dan baru saja saya hampir menang (tertawa) Itu tandanya tidak lama lagi saya
akan menang. Dan kalau saya menang dan menang dan menang dan menang…dan menang
lagi….oh, uang saya. Bertumpuk setinggi gunung Merapi. (tertawa) Ya, Mung. Kau boleh
pergi ke Jakarta besok dan membuat rumah setinggi pohon kelapa, dan di sebelahnya,
Tukijan boleh membangun rumah yang besarnya lima kali keraton. Apa yang saya perbuat?

HAMUNG : Ngemis. (tertawa bersama Retno)

KOYAL : Tidak. Saya akan mendirikan di antara rumah raksasa itu hanya sebuah gubug
kecil saja. Tapi..dengar. Kalau jam tujuh pagi saya, Raja Uang, Keluar dari gubug itu dengan
dua buah koper penuh berisi uang. Jangan lupa, becak langganan saya sudah menunggu di
muka. Dengan dua koper itu saya berkeliling kota. (tertawa) Orang-orang di sepanjang jalan
bersorak sorak ; Hidup Raja Uang, Hiduup Raja uang! Tentu saja saya hanya manggut-
manggut. Dan dari koper itu, saya hambur-hamburkan uang. Pasti saya tertawa menyaksikan
orang-orang berebutan uang seperti anak-anak ayam. Nah, kalau sudah jam 2 siang saya
pulang. Uang habis sama sekali. Dalam gubug ajaib itu saya tidur siang. Tidur di atas kasur
yang berisi uang. Berbantalkan bantal yang berisi uang, seraya memeluk guling berisi uang
(tertawa). Sorenya saya keluar jalan-jalan dengan empat buah koper berisi uang. Tentu saja
kali ini saya mesti menyewa mobil. Tiap-tiao rumah saya masuki dan saya taburi dengan
uang. Terutama sekali rumah kau dan rumah Tukijan. (tertawa) Dan kalau sudah habis…
HAMUNG : (memotong) Ngemis lagi.

(Sekonyong muncul Panut dengan tergesa.)

PANUT : Tidak usah, Yal. He, Yal. Dengan gampang kau akan punya banyak uang asal kau
mau turut saja malam ini.

KOYAL : Kemana?

PANUT : Turut sajalah.

HAMUNG : Ya, turut saja biar penjolmu bertambah penjol.

MAE : Jangan. Ayo, Panut, kau membantah Mae. Jangan pergi! Disini saja! Koyal, kau pun
tak usah pergi.

PANUT : Ayo, Yal. Jangan seperti kerbau banci.

KOYAL : Mencuri?

PANUT : Turut saja. Tanggung beres.

KOYAL : Tidak. Saya tidak mau.

MAE : Nah, kau anak pintar, Koyal.

PANUT : Betul kau tidak mau uang?

KOYAL : Kalau uang saya mau.

PANUT : Turut lah dengan saya. Segera.

KOYAL : (lama) Tidak mau.

PANUT : Betul?

KOYAL : ……

MAE : Panut, turut kata Mae. Jangan pergi. Jangan. Kemanapun jangan.

PANUT : Betul, Yal? Betul kau tidak mau?

KOYAL : (melihat pada bulan)

PANUT : Syukur. ( melihat kejauhan ) Nah, kebetulan ada seekor kerbau yang lain. Itu jantan
sungguh. Sijio. ( Berseru ) Jioooo!! (pada Koyal ) Kerbau yang itu akan berkubang uang.
( pergi segera )

MAE : ( patah ) Panut! ( marah ) Harus ada yang dimarahi! Siapa? Jangan diam saja! Kenapa
diam saja! (amarahnya terkumpul pada wajahnya)

HAMUNG : (melihat kejauhan) Itu dia si Tukijan. Ia sedang menuju kemari.


RETNO : ( berdebar ) Mana?

KOYAL : ( tak percaya ) Mana? Ah, kau pasti main-main kan. Dia sudah berangkat ke
Jakarta tadi pagi? ( melihat ) Eh, betul Mae, si Tukijan. (gemetar) Celaka. Celaka.

HAMUNG : Ada apa?

KOYAL : Tidak (gugup) Itu. Mungkin. Mungkin dia dapat celaka. Barangkali. Ia (gugup
mencari sarung dari dalam kantongnya). (lalu tiba-tiba seperti kedinginan) Hhhhhh,
dinginnya. Hhhhhh. (dikenakannya sarungnya sehingga celananya tak nampak).

MAE : Betul si Tukijan? Kau betul…

HAMUNG : Betul. Kenapa?

MAE : Kalau dia berniat pergi lagi besok atau lusa atau besok atau lusa seharusnya dia tidak
menolak. Tapi kenapa? (diam) Tak tahu saya. Tak tahu. (melihat arah darimana Tukijan akan
muncul)

HAMUNG : Barangkali banyak untungnya kelak. Siapa tahu? Barangkali kau lebih senang
juga. Tapi itu urusanmu. Nah, saya tentu saja tak hendak mencampuri sedikitpun. Memang
bukan watak saya ambil peduli urusan orang lain. Salah-salah malah menjerumuskan.

MAE : Kelihatannya sangat aneh. Sangat lesu kelihatannya.

KOYAL : (semakin gemetar dan itu diselimutinya dengan gigilan dingin yang dibuat-buat)
Hhuuuuufff. Hhhhhhh, dinginya..

(Muncul seorang laki-laki sebaya dengan Hamung. Agaknya orang ini pendiam tapi matanya
tajam dan segera mengesankan sebagai seorang lelaki yang penuh kesungguhan. Namun ia
juga emosionil. Dia langsung duduk disebelah Mae. Retno tidak pernah melihat kepadanya.
Hamung bangkit.)

KOYAL : Kemana, Mung?

HAMUNG : Ngopi. (lenyap dalam kegelapan)

KOYAL : Ikut, Mung. (bangkit lalu lenyap dalam kegelapan)

(Sepi berapa detik. Angin)

TUKIJAN : Mae.

MAE : Mae mengerti (menangis)

TUKIJAN : Kalau sekali ini juga gagal lagi, saya berharap subuh nanti saya sungguh-
sungguh sudah punya ketetapan hati yang teguh; setidaknya sudah beli karcis lagi;
seharusnya memang begitu.

( Samar-samar dari kejauhan kedengaran orkes jalanan sedang memainkan keroncong


langgeng jawa tema cinta “erotik )

TUKIJAN : Mae tentu mengerti.


MAE : (mengangguk dalam sisa tangisnya)

TUKIJAN : Sama sekali salah kalau orang mengira bahwa niat saya ini didorong oleh rasa
ingin menolong. Kalau hanya lantaran perasaan itu barangkali tak perlu sampai-sampai saya
harus memperistri kau. Saya membutuhkan kau. Tak lebih dari itu.

RETNO : (Masih membisu)

TUKIJAN : Impian itu mesti diwujudkan, barulah ada artinya.

RETNO : (cuma memandang laki-laki itu. Itupun cuma beberapa saat).

TUKIJAN : Saya juga tidak suka menjanjikan apa-apa. Semuanyya masih bakal. Yang saya
miliki hanya kemauan. Dan lagi kita hanya mendengar bahwa tanah di seberang penuh
kekayaan yang masih terpendam. Sangat luas. Segalanya masih terpendam. Segalanya. Di
dalam tanah dan di dalam diri kita. Kalau kita sungguh-sungguh menghendaki, kita harus
mengangkatnya ke permukaan hidup kita. Saya kira begitu.

RETNO : (kembali memandang lelaki itu).

TUKIJAN : Retno! Kau percaya? Saya tak peduli siapa kau. Saya hanyya membutuhkan kau.
Tak lebih dari itu. Saya tidak tahu tapi betul saya tak akan melakukan apa-apa seandainya kau
tak ada. Itu saja. Itu pun.

RETNO : Lantaran saya sangat mencintaimu, saya terpaksa menolak kau ajak. Percayalah,
kau akan lebih senang sekiranya kau berangkat sendiri. Tak ada orang yang akan merepoti
kau. Waktu kau lebih banyak.

TUKIJAN : ( bernafas berat. Sebentar menundukan kepalanya lalu melihat pada Mae ).

MAE : ( memandang kosong. ia hanya membayangkan dirinya menangis. kosong).

RETNO : ( tiba-tiba ) Setan! Setan! ( sebentar menutup mukanya lalu sekonyong ia


melangkah menyusup dan lenyap dalam kegelapan )

( Tukijan meludah. Bersama orkes jalanan yang sayup-sayup suaranya. Cahaya pentas pun
menyusup surut dan gelap mutlak akhirnya. istirahat Sesaat.)

BAGIAN KEDUA
Di Atas Mega

( Bersamaan dengan makin terangnya cahaya pentas, terdengar suara seruling Koyal yang
sumbang itu menyusup di sela-sela angin malam yang bergemuruh. Mae, Retno dan Hamung
sudah nyenyak tidur. Tukijan terbaring gelisah setengah tidur di atas tikar. Sedangkan Koyal
masih asyik masyuk di tengah impian-impiannya dengan serulingnya duduk di bawah tiang
listrik )

KOYAL : ( Berhenti main suling ) Uuuu. Uuuuu! Uuuuuu!! ( melepas nafas kepada
beringin ) Selamat malam, beringin tua. ( kepada bulan ) Selamat malam, bulan gendut.
( kepada rumputan ) Selamat malam rumput, ( memandang keliling ) Selamat malam
semuanya. Huh, malam! ( kepada bulan ) Apa? Melamun? Enak memang. Melamun itu
nikmat. ( kepada beringin ) Melamun juga kerja kan? Dan tidak cuma itu, Aku membeli lotre
untuk menjelmakan keinginanku. Uang! Uang! Uang! ( tertawa memperlihatkan lotnya )
Lihat. ( kepada bulan ) Menang? ……Akan menang. Baru hammpir menang. ( kepada
rumputan ) Kau yang tuli! ( kepada bulan ) Aku baru akan menang…Tidak…satu bedanya
(memperlihatkan sobekan koran ) Aku bacakan ya! ( membacanya lambat-lambat ) Di koran
tertulis 4-3-2-4-8-0, sedangkan kepunyaan saya : 4-3-2-4-8-0, ( terkejut ) Heran aku (tak
pecaya) Ah, mungkin aku salah baca. 4-3-2-4-8-….0 ( kepada bulan ) He, aku menang
artinya ( matanya makin melotot ) aku menang sekarang ( tertawa ) Aku menang. Aku
menang. Tentu engkau yang telah menyulap. Bulan, kau, main-main. Tapi biarlah. aku
senang ( tertawa ) Aku menang. He, rumpur aku menang. (tertawa) Biar! Aku menang
beringin tua. (tertawa) Biar. Enak! ( kepada bulan ) Terimakasih, bulan. Terimakasih….Ya,
enak. Segar, ya? Horeee!!! Hiudp bulan! Hidup impian! Dongnengmu indah, sangat indah,
bulanku. Horeeee!!!

( Sejak itu maka cahaya pentas pun berubah dengan cahaya yang fantastis. Koyal berteriak
kegirangan )

KOYAL : Horee!! Aku menang lotre!! Horee (diam) Melamun sendirian kurang nikmat.
Lebih asyik kalau kubangunkan semua orang. Semua saja (berteriak) Hoooooooiiiiiii!!!
Koyal menaaaaaaaaang!!! Aku menang lotreeeeeeeee!!! (tertawa) Kubangunkan saja orang-
orang itu.

( Fantastis. Koyal meniup sulingnya. Mae bangun )

KOYAL : (berhenti main suling) Mae, lihat (menunjukan lotnya serta sobekan korannya)
Aku menang. Baca. Ayo, baca. Sama ya?

MAE : Mae tidak bisa membaca.

KOYAL : Mae bilang saja. Koyal menang!

MAE : Koyal menang! O, ya. Koyal menang!

KOYAL : (tertawa) Horeeee! Koyal menang!!!!

( Fantastis. Koyal meniup sulingnya. Retno bangun )

KOYAL : (berhenti main suling) Ha, lihat. Aku menang, ya?

RETNO : Tadi kau bilang baru hampir menang?

KOYAL : Sekarang bilanglah; Kau menang!

RETNO : Kau menang – Setan

KOYAL : (tertawa) Horeee!!! Menang!!! Menang!!!

( Fantastis. Koyal meniup sulingnya. Hamung bangun )

KOYAL : (berhenti main suling) Lihat Mung. Sama kan? 432480, di koran dan punyaku juga
432480.

HAMUNG : Kau sendiri percaya?


KOYAL : Tentu saja. Kau?

HAMUNG : Ya percayaaaa.

KOYAL : Horeee!!! (tertawa) Menang!!! Horeee!!!

(Fantastis Koyal meniup sulingnya. Tukjan malas bangkit)

KOYAL : (berhenti main suling) Jan, katakan aku menang.

TUKIJAN : (diam dan jengkel)

KOYAL : Jan, katakan. Aku menang. Katakan.

TUKIJAN : (masih diam)

KOYAL : Jan.

TUKIJAN : (sekonyong meletus) Diam, anjing!

KOYAL : Tentu aku akan diam nanti setelah kau bilang aku menang.

TUKIJAN : (menahan amarhnya)

KOYAL : Jan, tolong. Tolonglah. Katakan aku menang lotre.

TUKIJAN : DIam tidak?

KOYAL : Tentu. Tapi katakan dulu.

TUKIJAN : Kutampar kau nanti.

KOYAL : Kau mau. Pasti. Pasti. Nah, katakan. Aku menang.

TUKIJAN : (dengan kesal) Kau menang! Monyet!

KOYAL : Ah, aku senang (tertawa) Horeee!!!

TUKIJAN : Mampus kau nanti. Gila.

KOYAL : Horeee!!! Koyal dapat lottre!!!

MAE : Kau tak boleh enak sendiri.

HAMUNG : Tak boleh

RETNO : Sama sekali tak boleh.

MAE : Kau tak boleh mengucapkan Koyal menang lotre. Di sini kau harus bilang; Kita
menang lotre (berteriak) KIta menang lotre!!!

KOYAL : Betuul (berteriak) Horeeee!!! Kita menang lotre!!! (tertawa)


MAE : Kau juga harus serukan itu. Retno.

HAMUNG : Ya, kau juga, Retno.

KOYAL : Kau juga, Hamung.

MAE : Juga Tukijan.

KOYAL : Ayo serukan, Retno.

RETNO : Aku menang lotreeee!!!

MAE : KIta.

KOYAL : Bukan kau!

RETNO : Kita menang lotreeee!!!!

KOYAL : Kau, Hamung.

HAMUNG : Kita menang lotreeee!!!

MAE : Sekarang kau, Tukijan.

TUKIJAN : (terpaksa) Kita menang lotre!

MAE : Sekarang kita sama-sama.

KOYAL : Ya. Kita sama-sama berseru sekarang. Satu, dua, tiga.

SEMUA : Kita menang lotre!!!

KOYAL : Kurang keras. satu, dua tiga!

SEMUA : Kita menang lotre!!!

KOYAL : Sedikit keras lagi. Biar orang mendengar seruan kita.

MAE : Ya, biar langit terbelah dan mengirimkan keajaibannya.

KOYAL : Satu, dua, tiga!!

SEMUA : Kita menang lotre!!!

KOYAL : Satu, dua, tiga!!!

SEMUA : Kita menang lotre!!!!

KOYAL : Satu, dua, tiga!!!!

SEMUA : Kita menang lotre!!!!!!

TUKIJAN : Ini gila. Ini gila. Mimpi gila!


KOYAL : Biar. Lezat. (tertawa) Jangan terlampau sadar. Kita sibuk sekarang. Kita harus urus
kemenangan kita. Jangan biarkan waktu jadi terbuang. Kita harus punya rancangan. Jadi
pertama-tama kita harus menukarkan lot ini ke bank. Betul, Mung?

HAMUNG : Betul.

KOYAL : Uang! Uang! Uang! (tertawa) Kita ke bank sekarang.

RETNO : Jam berapa sekarang?

( Lonceng keraton berdentang tiga kali.)

RETNO : Terang sudah tutup.

KOYAL : Perduli amat. Begitu, kan Mung?

HAMUNG : Begitu.

KOYAL : KIta mulai, bulan sayang (pada Retno) Iya. Perduli tutup perduli buka. Uang, uang
kita. Kalau perlu bank itu kita beli. Akur, Mung?

HAMUNG : Akur.

KOYAL : Uang. (tertawa) Kita ke Bank sekarang. Tidak jauh dari sini. Dekat kantor pos.
Setuju?

SEMUA : Setuju.

KOYAL : Kemana kita?

SEMUA : Ke Bank.

KOYAL : Tukar apa kita?

SEMUA : Tukar uang.

KOYAL : Uang siapa punya?

SEMUA : Uang kita punya.

KOYAL : Siap semua!

(Semua siap berbaris)

KOYAL : Kita serbu gudang uang. Maju jalan!

SEMUA : (sambil jalan ke krii) Kita serbu gudang uang. Kita bongkar kantor Bank.

( Berkali-kali mereka menyerukan itu. Sampai sayup-sayuo dan lenyap. Lampu jalan
tergoyang-goyang. Suara mereka mulai jelas lagi kedengarannya setelah agak beberapa lama.
Dari sebelah kanan itu muncul mereka berada di muka Bank sekarang. Gednug itu bertingkat
dua.)
KOYAL : Untung sekali kita. Direktur Bank ini berumah di bagian atas gedung ini.

MAE : Mae pernah tidur disana.

HAMUNG : Saya pernah tidur dimana-mana.

RETNO : Tapi kita agak payah juga. Kita tak bisa mengetuk pintu itu. Bagaimana bisa?
Ketukan kita tak akan ada artinya. Sama sekali pada pintu berterali besi itu.

KOYAL `: Susah-susah. Apa tidak ada yang bernama batu di atas dunia ini. (tertawa) Akur
tidak, Mung?

HAMUNG : Akur.

MAE : Tapi sebelum kita pergunakan batu, kita coba dulu dengan seruan kita.

KOYAL : Boleh juga. (berseru) Pak Direktur!!! Ayolah.

SEMUA : Pak Direktur!!! (tertawa) Pak DIrektur!!!! (Tertawa) Pak Direktur!!!!

MAE : Kerbau juga tidur orang gede itu.

HAMUNG : Baru tau? Orang gede itu daging semuanya. Seperti kerbau. Apalagi kalau
sedang tidur.

KOYAL : Terpaksa dengan batu.

RETNO : Kalau dia marah?

KOYAL : Kita kan punyya uang. Sumbat saja mulutnya dengan uang.

HAMUNG : Uang itu sumbat ajaib.

KOYAL : Ayo, ambil batu yang besar. Masing-masing satu.

(Semua ambil batu)

KOYAL : Ayo, kita ketuk saja keras-keras.

(Lima batu pada lima tangan di ketukan pada pintu besi.


Sound Effect.. Lima batu pada lima tangan di ketukan pada pintu besi.
Sound Effect)

SEMUA : Pak Direktut!!!

( lima batu pada lima tangan di ketukan pada pintu besi. Sound effect )

RETNO : (menunjuk ke atas) Itu dia. Kasihan. Masih dalam kanttuknya.

MAE : Hmmmm. Gemuknya. Persis babi.

HAMUNG : Tidak,. Babi di kebiri.


SEMUA : (tertawa)

RETNO : Hush. Betul kataku. Dia marah-marah.

KOYAL : Maaf, pak–Kebutuhan mendesak.

MAE : Betu;, Tuan.

RETNO : — Tapi sangat mendesak sekali.

KOYAL : —Tukar lotre, pak. Maksud kami, kami menang lotre. Kami mau tukar. — Tidak
pak. Kami butuh malam ini.

RETNO : Kasihan dia. Menguap terus.

MAE : Husssh.

KOYAL : Tapi uang, uang kami kan? Kenapa mesti tunggu segala? — Tidak, pak. Tidak
bisa.

HAMUNG : Tidak.

MAE : Tidak bisa

RETNO : Tidak. Tidak.

KOYAL : — Apa? —- Sungguh-sungguh pak? — (pada kawan-kawannya) Apa betul


omongannya?

RETNO : Tentu saja betul.

MAE : Tentu saja.

HAMUNG : Tentu.

KOYAL : Bagaimana, Jan?

TUKIJAN : (marah) Betul!!!!

KOYAL : (tertawa) Jadi betul kita bebas beli apa saja cuma dengan menunjukan lot ini,
Mung?

HAMUNG : Betul.

KOYAL : Cuma dengan menunjukan lot?

HAMUNG : Cuma dengan menunjukan lot.

KOYAL : (tertawa besar kesenangan) Horeee!! Hidup Pak Direktur!!!!

SEMUA : Hidup!!

KOYAL : Hidup uang!!!


SEMUA : Hidup!!!

KOYAL : Terimakasih, Pak. Silakan meneruskan tidur.

SEMUA : Selamat tidur, Pak (tertawa).

KOYAL : Kemana kita sekarang?

RETNO : Ke mana?

KOYAL : Mae?

MAE : Mae? Mae ingin makan.

RETNO : Makan gudeg.

MAE : Iya, gudeg.

KOYAL : Ke mana, Mung?

HAMUNG : Ke mana saja.

MAE : Ke tempat di mana kita paling sering dihina orang.

KOYAL : Ke pasar Gede Beringharjo.

MAE : Itu salah satunya. Tapi baik juga.

KOYAL : Ayo, Siap semua.

( semua berbaris )

KOYAL : Ke pasar makan gudeg.

SEMUA : (ambil jalan ke kanan) Ke pasar makan gudeg.

( Berkali-kali mereka menyerukan itu. Sampai mereka lenyap dan sayup-sayup


kedengarannya. Angin gemuruh mengaduknya. Lampu jalan tergoyang-goyang.
Suara mereka mulai makin jelas lagi kedengarannya agak beberapa lama.
Dari sebelah kiri mereka muncul. Mereka di muka pasar sekarang. Di sana banyak becak
yang parkir. Juga bakull-bakul sudah mulai meramaikannya dengan jual beli mereka )

RETNO : Kebetulan sekali. Cuma ada seorang disana yang sedang makan.

KOYAL : Nampaknya malah sudah selesai.

MAE : Sudah ramai benar pasar.

HAMUNG : Memang waktunya. Sekarang sudah hampir pagi.

TUKIJAN : Kita ini mimpi.

KOYAL : Cerewet! Soalnya kan kita cari kenikmatan!


TUKIJAN : (menantang) Apa?

KOYAL : (ketakutan) Tidak—Kenapa takut? Bukankah malam ini saya yang jadi raja? (pada
bulan) Bukankah begitu bulan?—-Harus? Baik (seketika berubah sikap untuk meyakinkan
dirinya ia bertolak pinggang) He, Jan! Dengar!

TUKIJAN : (takut) Ya, Yal.

KOYAL : Kamu jangan banyak cerewet ya?

TUKIJAN : Ya, Yal.

KOYAL : Malam ini kita akan makan kabut.

TUKIJAN : Ya, Yal.

KOYAL : Dan menelan bulan.

TUKIJAN : Ya, Yal.

KOYAL : Kita akan mengenakan pakaian dari angin.

TUKIJAN : Iya, Yal.

MAE : Kalau perlu kita akan mencoba meniti garis kaki langit.

TUKIJIAN : Ya, Yal.

KOYAL : (pada bulan) Begitukah, bulan? (tertawa) Enak juga.

RETNO : E, kita ini jadi makan apa tidak?

KOYAL : Kenapa pula urung. Ayo. Makan sekenyang-kenyangnya. Toh cuma mega—-
Hamung, yang baik cara kau berjalan.

HAMUNG : Lupa? Pincang (menunjuk kakinya)

KOYAL : (tersenyum agung) O, ya (pada mae) Mae, cepat sedikit berjalan supaya tidak
kalah dengan matahari. Kalau ketinggalan akan sia-sia saja pesta kita. Nah, ambil tempat
duduk masing-masing. Hamung, sopan sedikit. Sopan santun diperlukan bagi siapa saja yang
memilki kekayaan. Dan kita? Kaya. Mulya. Faham? (akan duduk) Permisi, mas (duduk)
Retno di sisi saya. Yang lain satu deret. (diam) Jangan pergi dulu, mas. Saksikan dulu pesta
kami —- Makan lagi? Boleh saja. Sepuas anda (tertawa) Dunia kita yang punya. Semuanya
kita yang punyya (tertawa) Monggo, monggo. Silahkan. Sampai ketemu. Kalau kesusahan
soal uang temui saja saya mas. Rumah kami di…… (pada Mae) Di mana, Mae?

MAE : Baru dibangun besok. Besok jadi.

KOYAl : Baru dibangun. Besok jadi. (tertawa) Monggo. Monggo

HAMUNG : Kopi susu panas, pak!

RETNO : Saya coklat susu panas, pak!


KOYAL : Mae apa?

MAE : Teh susu panas.

KOYAL : Teh susu panas satu. Lalu satu gelas campuran dari ketiga macam minuman yang
tadi (oada Tukijan) Segera kau pesan, Jan. Jangan sampai kadaluarsa seperti Sangkuriang.

TUKIJAN : Minuman yang tidak ada, pak!

RETNO : Bagaimana, mbak yu? — Dada mentok.

KOYAL : Saya juga mbakyu. (pada yang lain) Kalian sama?

HAMUNG : Tambah telor lima butir.

MAE : Yang lain tidak usah kecuali enam potong hati dan rempelo.

TUKIJAN : Campur aduk bijih besi dan kawat yang ruwet.

( Begitulah mereka mendapatkan minuman mereka masing-masing. Begitulah mereka


mendapatkan makanan mereka masing-masing. Mereka bersantap dengan sopan dan rakus
sekali, kecuali Tukijan )

KOYAL : Enak jadi orang kaya, bukan?

RETNO : Ya. Terang enak. ( pada Mae ) Bagaimana, Mae?

MAE : Tidak tahu.

KOYAL : Bagaimana menurut kau, Mung?

HAMUNG : Sama saja.

KOYAL : Tentu saja tidak sama.

HAMUNG : Ya, tidak sama.

KOYAL : Sudah kenyang semua?

SEMUA : Sudah.

KOYAL : Minuman dulu. Hitung, pak. — Gudeg berapa, mbak yu? — Ya, semuanya saja
lihat lot ini dan lihat sobekan koran ini. —- Ha, beres? — (tertawa) Kalian lihat? (tertawa)

SEMUA : (tertawa)

KOYAL : Ke mana lagi kita?

RETNO : Sesudah makan tentu saja harus kita fikirkan soal pakaian.

HAMUNG : Tangkas sekali fikiranmu.


KOYAL : Ya, untuk melengkapi sopan-santun, kita harus membalut badan kita dengan
pakaian yang gemerlapan sehingga segalanya tersembunyi rapih.

RETNO : Kita ke toko Kim Sin.

KOYAL : Kita borong semua yang ada.

MAE : Saya akan ambil boneka.

HAMUNG : Betul semuanya.

TUKIJAN : Betul sekali. Saya butuh kampak dan cangkul.

KOYAL : Baiklah kita semuanya siap berangkat sekarang. Kita ke toko Kim SIn

( Beberapa kali mereka menyuarakan itu. Sampai mereka lenyap dan sayup-sayup
kedengarannya. Angin gemuruh mengaduknya. Lampu jalan tergoyang-goyang.
Suara mereka mulai jelas lagi kedengarannya setelah agak beberapa lama.
Dari sebelah kiri mereka muncul. Mereka di muka toko ramai sekarang. Pengusaha toko
kebetulan ada di muka pintu )

RETNO : ( gugup senang ) Selamat malam, taokeh.

KOYAL : Jangan sebut taokeh. Kita ini pembeli.

MAE : Selamat pagi, tuan.

KOYAL : Apa kita budaknya? Dan lagi sekarang belum waktunya matahari
mempertontonkan dirinya. Kalau sempat waktunya, tentulah selesai pula kita memiliki
kekuasaan ini. (dengan cara merendahkan Cina itu dan memegang pundah Cina itu) Selamat
malam menjelang pagi. Heh, selamat malam menjelang pagi. (Cina itu melepaskan diri dari
tangan Koyal) Apa? Sopan? —- Memang kamu bukan budak saya — (kejam) Ya, tadi
memang kamu bukan budak saya. Tapi dalam beberapa menit ini kamu adalah budak saya. Di
tangan saya ada cukup uang untuk mmenjadikan siapa saja budak-budak saya — Jangan ajari
saya soal kesopanan. Saya tahu saya kaya. Dan saya tahu sopan santun itu cuma milik mutlak
orang kaya dan saya…

MAE : Kita!

KOYAL : Kita…

RETNO : Kita!

KOYAL : Kami. Kami adalah orang-orang kaya pada saat ini. Lagi pula apa sebenarnya yang
mendorong kamu orang untuk tersinggung? padahal saya…

MAE : Kami datang akan menimbuni kamu orang dengan keuntungan yang berlebihan
dibanding dengan kebutuhan kamu orang untuk makan — Ya, pakaian biar sopan — Bukan.
Bukan untuk menghindari dingin. Demi sopan santun. Kalau hanya karena dingin kita
berpakaian maka pada musim kemarau kita tak perlu berpakaian artinya. Jadi, biar sopan.
Paham? Biar semuanya tersembunyi. Tapi apa perlunya kita berbincang soal ini. Yang
penting ini. Untuk kamu orang keuntungan, dan untuk kami orang pakaian. Beres? (pada
kawan-kawannya) Ketawa dia.

(semua ketawa)

KOYAL : (pada cina) Ya, ya …. (pada kawan-kawannya) Ayo masuk kita (pada cina) Tidak.
Tidak usah dibuka semua pintu. Cukup pintu ini saja. Kami maklum sebenarnya toko sudah
tutup kan.

( Semuanya masuk melalui pintu yang sempit itu. Mereka menyerbu lemari-lemari di mana
pakaian-pakaian bertumpukan dan juga barang-barang lain dipamerkan)

RETNO : Oh, Tuhan. Betapa bahagia saya. Sudah lama saya impi-impikan barang ini (pada
Mae) Lihatlah, Mae. Mungil. B-H ini sangat bagus, bukan?

MAE : Bagus sekali, Retno. Bagus sekali. Coba pilihkan Mae satu.

KOYAL : Satu! Satu kotak sekalian. Kamu tidak boleh begitu gampang melupakan bentuk
pakaian yang pertama setelah lama nenek-nenek kita kedinginan, eh bukan! Setelah lama
nenek-nenek kita tidak sopan.

HAMUNG : Bisa terus pakai di sini. Bah? — Terima kasih. Ah, pelayanannya sangat
memuaskan sekali ( ke tempat ganti pakaian)

( Koyal mendekati Hamung. Dia juga ganti pakaian. Dia mengenakan kemeja lebih dulu
kemudian celana. Setelah bercermin, ia bercermin pada Hamung)

HAMUNG : Kau tampak kukuh sekarang.

KOYAL : Persis bapak saya. Seperti orang Belanda, ya? (bangga)

( Lalu ia mencari dasi sekarang )

HAMUNG : Ah, pakai dasi segala.

KOYAL : Embel-embel. Biar sopan. Sopan itu embel-embel. Di sini (tertawa) Bagaimana
cara memasangnya?

HAMUNG : Kira-kira saja. Asal pantas.

( Koyal kini mondar-mandir menikmati pakaiannya. Demikian juga Hamung. Tukijan sampai
saat itu belum mendapatkan apa yang dikehendaki. Bahkan ia dibantu oleh Cina pemilik
toko. Tiba-tiba Retno dan Mae exit )

KOYAL : Hai, mau ke mana?

RETNO & MAE : (off stage) Ganti pakaian!

TUKIJAN : Ini dia! (begitu senangnya tangan pada dadanya)

KOYAL : Apa?

TUKIJAN : Kampak.
HAMUNG : COba sebatang, Yal.

KOYAL : Apa?

HAMUNG : Rokok.

(Koyal dan Hamung merokok)

TUKIJAN : Itu dia! (lari mendapatkan) Oh.

KOYAL : Apa Jan?

TUKIJAN : Cangkulku. Cangkulku. Hidupku. Hatiku

( Mae muncul, begitu lari ia mendapatkan sesuatu. Dipeluknya dan diciumnya kini. Dia
menangis kini)

MAE : Kangen….kangen….oh, anakku….kangen….. cah bagus…..bonekaku…


mataku….hidungku…tanganku….kakiku….
KOYAL : (heran takjub luar biasa) Aduuuh!

HAMUNG : Ada apa?

KOYAL : (menggeleng-geleng kagum dan nafasnya turun naik) Aduuuh, bidadari sungguh-
sungguh. Ratu bidadari. Aduuuuh, seribu bidadadri jadi satu.

( Retno dengan kemayu muncul )

KOYAL : Semuanya takluk. Aduuuh. Bagaimana bisa begitu cantik. Bisa-bisanya kau jadi
bidadari.

HAMUNG : Kau, cantik, Retno.

RETNO : Baru tahu sekarang?

KOYAL : Maksud saya kau jauh lebih, jauh lebih cantik dalam pakaian merah menyala
dengan ukuran yang ketat seperti itu.

( Tukijan membuang kampaknya )

KOYAL : He, kenapa? Kenapa dia buang kampaknya?

Tukijan membuang cangkulnya.

KOYAL : He, nanti dulu. Kenapa dia lempar cangkulnya?

MAE : Cemburu dia.

HAMUNG : Biasa. Tukijan. Cemburu.

KOYAL : Betul kau cemburu, Jan?

TUKIJAN : (melotot)
KOYAL : Lalu kenapa?

TUKIJAN : (melotot)

RETNO : Memang dia cemburu. Tidak mungkin dia tidak cemburu.

MAE : Tukijan, anakku sayang.

( Tukijan diam saja )

KOYAL : Kau jangan diam saja, Retno.

RETNO : (dengan genit) Kau cemburu, Mas Jan?

TUKIJAN : (sekonyong meleddak) Cape, Bangsat! Orang bisa cape oleh impian apa oun.
Lumpuh. Bajingan! Bajingan!

( Koyal menengadah )

KOYAL : Bagaimana, bulan? Apakah saya masih berkuasa? — Baik (bertolak pinggang) He,
Jan. Kau jangan mentang-mentang, ya!

TUKIJAN : (ketakutan) Tidak, Yal. Sungguh mati saya tidak mentang-mentang.

KOYAL : (lebih bangga) Saya tahu kau cape. Ya?

TUKIJAN : Cape.

KOYAL : Ingin istirahat? Mengaso?

TUKIJAN : Mengaso.

KOYAL : Katakan saja itu lebih baik. Ini peringatan terakhir ; ingat-ingat dengan baik
perananmu malam ini.

TUKIJAN : Saya usahakan.

KOYAL : Juga yang lainnya.

SEMUA : Saya usahakan.

KOYAL : Nah, karena saya juga cape kita harus mengaso. Tapi karena kita orang-orang
terkaya di seluruh jagat raya ini maka sudah sepatutnya tempat istirahat kita pun terhebat.
Ada usul?

MAE : Kaliurang.

RETNO : Kita semua pernah ke sana. Saya kira akan menyenangkan sekali kalau kita ke
Tawangmangu.

TUKIJAN : Sama saja.

MAE : Yang penting saya boleh naik kuda, kuda putih.


KOYAL : Bagaimana?

SEMUA : Tawangmangu.

KOYAL : Siap semua. (semua berbaris) Kita ke stanplat bus.

SEMUA : (sambil jalan ke kiri) Kita ke stanplat bus.

( Beberapa kali mereka menyerukan itu sampai mereka lenyap dan sayup-sayup
kedengarannya. Angin gemuruh mengaduknya. Lampu-lampu jalan tergoyang-goyang. Suara
mereka mulai lagi jelas kedengarannya setelah agak beberapa lama. Dari sebelah kanan
mereka muncul. Mereka di stanplat bus kini)

KOYAL : (tergesa) Ha, itu dia (mengejar) Solo! Solo! Sombong betul dia. Bagaimana kalau
kita sewa sedan saja?

HAMUNG : Kita bisa langsung.

RETNO : Begitu lebih baik. Kita bisa langsung. Bisa lebih cepat.

( Koyal mendekati sedan itu. Dia tampak berunding. Tapi kita tidak bisa mendengar apa yang
mereka cakapkan sebab mereka agak jauh. Akhirnya kita tahu koyal tersenyum dan
melambaikan tangannya. )

KOYAL : Ayo!

( Semua mendekati sedan itu. Satu demi satu masuk ke dalamnya. Koyal dengan Retno duduk
di muka di samping supir. Tak berapa lama mereka pun berangkat )

MAE : Naik apa kita?

KOYAL : Sedan!

MAE : (tersenyum) Lupa.

(Angin menderu-deru)

RETNO : Kita tidak mampir dulu ke prambanan?

HAMUNG : Mungkin saya dilahirkan di dalam candi sana.

KOYAL : Betul?

HAMUNG : Saya bilang mungkin. Mungkin saja saya dilahirkan di atas pohon kelapa
(tertawa)

RETNO : Kita tidak singgah dulu?

( Sekonyong kendaraan itu sangat kencang larinya. Mereka tegang. Retno akan mengucapkan
sesuatu tapi Mae mengisyaratkan dengan jari pada bibirnya. Sekonyong sedan itu berhenti
tiba-tiba. Tentu saja mereka sangat terkejut dan terdorong ke depan )

KOYAL : (pada sopir) Betul. Hampir saja.


( Sedan berangkat lagi )

RETNO : Apa?

KOYAL : Hampir ketabrak. Untung sopir kita ini seroang sopir tua yang cekatan.

RETNO : Cuma hampir. Untung sekali.

KOYAL : Lebih dari untung.

RETNO : Panjang umur orang itu.

KOYAL : Bukan orang. bebek!

MAE : Bukan bebek. Ayam. Di tawangmangu banyak benar orang jual sate ayam yang bukan
ayam.

TUKIJAN : (jengkel) Mana ada sate ayam yang bukan dari ayam.

MAE : Ada. Sate kelinci

KOYAL : Ya namanya sate kelinci.

MAE : Tidak. Namanya sate ayam.

RETNO : Kenapa?

MAE : Tidak apa-apa. Cuma satu cara untuk cari keuntungan.

TUKIJAN : Habis perkara.

( Angin. Dari jauh kedengarannya anak-anak menyanyikan “naik-naik ke tawangmangu” )

(Fade in. Fade Out)

MAE : Nah, yang berbaju kembang-kembang itu. Yang rambutnya agak keriting

KOYAL : Apa?

MAE : Dia turut dalam truk anak-anak sekolah itu.

KOYAL : Kenapa?

MAE : Anak Mae dia

RETNO : Sampai kita.

KOYAL : Kita sudah sampai.

MAE : Sampai (girang sekali) Tawangmangu.

( Secara mekanis ia menunjukan lot pada sopir lalu ke luar dari sedan setelah sang sopir
mengangguk )
KOYAL : Terima kasih.

( Semua keluar dari sedan itu )

RETNO : Bangun. Mas Hamung, bangun.

( Dengan malas Hamung bangun dari tidurnya. Ia telah tertidur lama sekali. Begitu bangun
keluar dan begitu mendekati salah seorang penjual jeruk )

KOYAL : Segar sampai ke tulang.

HAMUNG : Sungguh-sungguh manis? —- Ya, saya tahu jeruk ini jeruk Tawangmangu. —-
Berapa sepuluh? — Berapa? Mahal betul?

( Retno segera menuju ke tempat di mana beragam kembang tumbuh. Sedang Mae sibuk
memperhatikan orang-orang yang sedang sibuk. Dan Tukijan jongkok memandang sawah
ladang yang membentang. Adapun Koyall sedang menatap tuannya, sang purnama )

TUKIJAN : Cuma otot dan otak yang dibutuhkan tanah-tanah itu Sumatera.

HAMUNG : Mahal ah.

MAE : (melihat kabut) Kabut itu. Hidup ini.

HAMUNG : Kenapa di sini justru lebih mahal? (berseru) Yal !

KOYAL : Apa?

HAMUNG : Beli jeruk.

KOYAL : (menunjukkan lot) Nah, lihat!

HAMUNG : (pada penjual jeruk) Lihat! (dengan cuma-cuma mengambil tiga buah)

KOYAL : Terimakasih, bulan saya sangat terharu. Terimakasih.

MAE : Saya membutuhkan seekor untuk mendaki kabut itu.

HAMUNG : (berseru) Jan! (melemparkan sebuah padanya)

TUKJAN : (setelah dipandangnya jeruk itu lalu dengan malas dilemparnya)

( Hamung mendekati Mae dan menyerahkan sebuah )

MAE : Saya tidak membutuhkan jeruk. Saya tidak pernah ngidam. (menangis) Saya ingin
naik kuda.

RETNO : Saya juga butuh seekor. Biar tidak cape kita mendaki puncak sana. Ah, betapa
indahnya air terjun itu pasti.

KOYAL : Tu ada seekor — Mana lagi mas?

RETNO : Ada seekor lagi. Warnanya putih sama sekali.


MAE : Yang berwarna putih untuk Mae — Menunggang awan.

KOYAL : Kurang berapa? Satu. kan?

HAMUNG : Itu dia.

KOYAL : (kepada para pemilik kuda) Saudara-saudara kami memerlukan kuda-kuda itu.
Sekarang lihat! (memperlihatkan lot) Beres. Beres — (tertawa) — Beres (bangga) Ayo.
Naiklah sendiri-sendiri.

( Pertama Retno. agak kesukaran )

RETNO : Tidak galak tho. pak’e?

MAE : Kebetulan kecil sekali. Kecil mungil oh, putih seperti awan. Tolong Mae dibantu
sedikit (dengan dibantu dan agak susah menunggang kuda)

KOYAL : Ah, sekarang saya jadi koboy (tertawa senang)

( Semua sudah siap di punggung kuda masing-masing )

RETNO : Kita ke tempat air terjun. Pake— Yuk, kita berangkat.

( mereka berangkat )

MAE : Menyenangkan. Bukan main menyenangkan menunggang awan.

( Mereka lenyap ke kiri lalu muncul lagi dari sebelah kanan )

HAMUNG : Dingin kau, Yal?

KOYAL : (tertawa) Mana dingin? Saya mengenakan jas dan dasi. Bukan dingin, tapi segar.
Segar bugar. Bahkan kita seperti telanjang badan.

MAE : Ini namanya kesejatian. Nafas bayi — lepaskan, le. Saya akan melarikan kuda ini
cepat-cepat ( dibawa lari oleh kudanya )

RETNO : Hei, nanti jatuh, Mae!

( Mae telah lenyap. )

RETNO : Lepaskan Pak’e

HAMUNG : Lepaskan, Mas.

KOYAL : Lepaskan, dik.

TUKIJAN : Lepaskan.

( Dengan cepat mereka melarikan kudanya. Mereka lenyap. Mereka muncul. Mereka lenyap.
Mereka muncul lagi )

( Angin mengaduk-aduk. Cahaya semakin suram )


RETNO : Di mana dia?

KOYAL : Di sana tak ada.

RETNO : Di situ tak ada.

HAMUNG : Di sebelah sana juga tak ada.

KOYAL : Di sebelah situ juga tak ada.

RETNO : Kita terus saja ke ujung sana.

( Lagi dengan cepat mereka melarikan kudanya. Mereka lenyap. mereka muncul. Mereka
lenyap. Mae muncul dengan kudanya yang larat dan berhenti tiba-tiba di sudut panggung kiri
atas. Cahaya hampir hilang sama sekali )

( keempat yang lain muncul, dan berhenti. Angin sama sekali tak ada. Kini seluruhnya hanya
ilhuet )

RETNO : Itu dia. (berseru) Mae! — Ia tersangkut di kabut.

MAE : Mae!

HAMUNG : Mae!

TUKIJAN : Mae!

MAE : Mae sedang mengecap bahagia.

KOYAL : Ada apa disana?

MAE : Kabut ini maksudmu?

KOYAL : Ya, ada apa disana?

MAE : Asap dupa.

( Mereka tak mengerti mereka bertanya-tanya )

RETNO : Apa lagi Mae?

MAE : Air mata.

( Mereka tak mengerti mereka bertanya-tanya )

HAMUNG : Yang lainnya, Mae?

MAE : Kuburan.

TUKIJAN : Kuburan siapa, Mae?

MAE : Mae sangka mereka pahlawan-pahlawan. Ada tulisan jawa pada sebilah batu besar.
TUKIJAN : Apa bunyinya?

MAE : “Jawabannya adalah sunyi. Merekalah yang mencoba menjawab, namun sesunggunya
mereka jualah ujud jawabannya. Sunyi ”

RETNO : (tiba-tiba ketakutan) Kita harus segera turun. Harus segera. Tak tahan.

KOYAL : Mae! Turunlah segera dari kabut itu.

SEMUA : (kecuali Retno yang menangis) Turun! Turun! Mae!

( Mae melarikan kudanya dan lenyap. Setelah agak lama ia muncul di muka mereka. Tanpa
kata. Dalam sunyi mereka segera berbalik dan melarikan kudanya masing-masing kembali ke
tempat semula. Mereka lenyap. Mereka muncul. Angin. Cahay demi sedikit kembali terang)
( Mereka semua turun dari kudanya. Retno terus menangis )

MAE : Kenapa menangis, nak Retno?

RETNO : Terus menangis.

MAE : Kenapa? Kenapa, nak Retno?

RETNO : ( dalam tangisnya ) Pulang.

MAE : Benar. Kita harus pulang. Semua orang setelah sejauh apapun berjalan mesti kembali
pulang ke rumahnya. Tapi dimana rumah kita?

RETNO : Ya, kemana kita akan pulang?

MAE : Ini juga pertanyaan.

KOYAL : Di mana?

HAMUNG : Di mana saja. Rumah saya dunia.

MAE : Keraton.

HAMUNG : Beli saja.

KOYAL : Apa?

HAMUNG : Kalau perlu kau beli saja keraton Mataram itu.

KOYAL : (terbahak-bahak) Setuju. Semua menyiapkan diri.

( Semua berbaris )

KOYAL : Kita berangkat. Keraton kita beli.

SEMUA : (seraya berangkat) Keraton kita beli. Raja kita beli. Keraton kita beli.

( Beberapa kali mereka menyerukan itu. Sampai mereka lenyap dan sayup-sayp
kedengarannya. Angin gemuruh mengaduk-aduknya. Lampu jalan tergoyang-goyang.
Lonceng Keraton berdentang satu kali; setengah tiga. Suara mereka kembali jelas setelah
agak beberapa lama. Dan lalu muncullah mereka. Di sitihinggil kini.

MAE : (melihat keliling) Keramat. Keramat. (gemetar) Sinuwun Gusti Ndalem nyuwun
ngapunten.

KOYAL : (menunjuk dirinya) Inii Sinuwun Gusti. Semua jangan salah dan keliru. (berlagak
raja jawa) Ha, ha, ha…..Kebetulan. Mereka telah boyong, sebelum kita menghunus keris dan
tombak-tombak prajurit diangkkatkan, paman patih.

HAMUNG : (berlaku sebagai patih) Demikianlah yang tersedia, Gusti.

KOYAL : Ajow, kemenangan tanpa setitik keringat.

HAMUNG : Demikianlah adanya, Gusti. Kemenangan angan-angan.

KOYAL : Paman Patih.

HAMUNG : Hamba, Gusti Prabu?

KOYAL : Ibunda.

MAE : Ada apa, ananda Raja?

KOYAL : Cuma memanggil. (diam) Rajinda.

RETNO : Kanda.

KOYAL : Paman Patih.

HAMUNG : Adakah yang dapat hamba lakukan, Gusti?

KOYAL : Aku hanya memanggil. (tertawa) Bulan, sejak kini permainan yang kau ciptakan
luar biasa sekali. Kenikmatan yang kau kirim terasa sangat aneh. Badan saya tergetar-getar
jadinya. Enak. Enak. (tergetar-getar seperti kedinginan) Nikmat. Nikmat. (tertawa) Ibunda.

MAE : Mengapa, nanda sayang?

KOYAL : Sewaktu Ibunda melahirkan ananda, apakah mendiang ayahanda tidak kelupaan
sesuatu?

MAE : Kelupaan apa, ananda?

KOYAL : Memberi nama ananda.

MAE : Betul juga. Oh, baru ibunda ingat sekarang. (pada Hamung) Patih.

HAMUNG : Hamba, bunda Ratu?

MAE : Kita harus mencari nama sekarang.

HAMUNG : Apa tidak sebaiknya nama koyal saja, Gusti?


KOYAL : Nama siapa itu?

HAMUNG : Nama Gusti Prabu.

KOYAL : Cuma satu? Begitu pendek.

MAE : Itu nama kecil (pada Hamung) Sekarang marilah kita cari nama gelar yang sepadan
dengan kesaktian dan keagungan dan cita-cita ananda Prabu.

HAMUNG : Tepat saatnya. Bulan Syura. Sang Dewa Waktu telah berkenan hadir malam ini
untuk meramaikan keraton jaya ini, dengan anugerah kemenangan besar kerajaan mega dan
berkenan pula semoga Sang Hyang membisikkan ilham wahyu sebuah nama yang gagah
megah pada telinga Sinuwun Gusti Koyal. Sehingga karenanya kerajaan mega dengan
rakyatnya yang bergumpal-gumpal banyaknya akan beroleh raja gagah megah dengan nama
gelar yang megah gagah.

MAE : Dengarlah; Sultan Batara Nirwana. Apakah bukan anam yang merdu?

KOYAL : Cukup merdu tapi terlampau pendek untuk bisa dinyanyikan.

HAMUNG : Sekiranya hamba diperkenankan, Gusti?

KOYAL : Tentu. Cobalah.

HAMUNG : Sultan Raja Purnama Maha Raja.

RETNO : Kanda.

KOYAL : Ya. Adinda?

RETNO : Apa tidak kena kalau kanda bergelar Pangeran Endah Takterperi?

KOYAL : (manggut) Bagus sangat. Tapi saya kira ketiga-tiganya sama-sama bagus.

HAMUNG : Jatuh tersila pada Sinuwun Gusti Prabu tentunya.

KOYAL : Saya tidak usah memilih. Yang terbaik adalah menggunakan ketiga-tiganya.

HAMUNG : Bagaimana, Gusti?

KOYAL : Malam ini saya bergelar, siapa Rajinda?

RETNO : Pangeran Endah Takterperi.

KOYAL : Lengkapnya begini; Sultan Raja Pangeran Endah Takterperi, kau punya usul,
Paman?

HAMUNG : Sultan Raja Purnama Maha Raja.

KOYAL : Jadi, Sultan Raja Pangeran Endah Takterperi, eh Purnama Maha Raja, eh, Ibu
punya kemauan bagaimana tadi?

MAE : Sultan Batara Nirwana.


KOYAL : Komplit ; Sultan Raja Pangeran Endah Takterperi, eh, Purnama, eh, Maha Raja,
eh, Batara Nirwana. Bagaimana Paman Patih?

HAMUNG : Agung nian, Gusti Prabu.

KOYAL : Coba kau yang sebutkan.

HAMUNG : Tidakkah lidah hamba terlampau pendek?

KOYAL : Maksud, paman?

HAMUNG : Ampuni hamba, Gusti, hamba bertanya tidakkah nama sepanjag itu tidak sukar
menyimpannya.

KOYAL : Panjang sekali sukar dihafal, pendek sekali sukar untuk dinyanyikan. (diam) Kita
bagi empat saja. Begini. Pertama, setiap kali saya menyebutkan Pangeran Raja Sultan.

RETNO : (segera) Endah Takterperi.

HAMUNG : (segera) Purnama Maha Raja.

MAE : (segera) Indera Kehiyangan.

KOYAL : (tertawa) Ya, begitu maksud saya. Raja Pangeran Sultan.

RETNO : Endah Takterperi.

HAMUNG : Purnama Maha Raja.

MAE : Indera Nirwana, eh, Batara Nirwana.

TUKIJAN : Ampuni hamba, Gusti.

KOYAL : Ya.

TUKIJAN : Apakah jabatan hamba dalam kerajaan mega ini, Gusti?

KOYAL : Boleh kau pilih sesuka kau.

TUKIJAN : Kalau begitu hamba akan bertindak, selaku Bendaha Istana sahaja.

KOYAL : Terserah.

TUKIJAN : Ampuni hamba, Sinuwun Gusti. Sehubungan dengan kewajiban hamba,


perkenankanlah hamba bertanya bukankah tatkala Paduka berkenan belanja di toko Kim Sin
Paduka telah khilaf, maksud saya Paduka belum bayar?

KOYAL : Apa benar demikian, Paman Patih?

KOYAL : Apakah benar demikian, Ibunda?

MAE : Apakah itu tidak berarti dengan semena-mena kita dituduh ceroboh dan tidak
senonoh?
KOYAL : Jadi?

HAMUNG & MAE & RETNO : Ada udang dibalik batu.

KOYAL : (pada Tukijan) Bagaimana?

TUKIJAN : Sama saja.

KOYAL : (tersinggung) Sama bagaimana?

TUKIJAN : Semuanya mega.

KOYAL : Benar juga.

TUKIJAN : Kalau begitu mari ramai-ramai kita bakar saja kerajaan ini.

KOYAL : (murka) Mau berontak?

MAE : (semangat) Pemberontakan?

HAMUNG : Pemberontakan?

RETNO : Pemberontakan?

TUKIJAN : (meledak) Cape! Kita jadi sinting semua!

MAE : (semangat) Penghinaan!

KOYAL : (murka) Saya yang di sini jadi raja yang bergelar Pangeran Sultan Raja.

RETNO : (murka) Endah Takterperi!

HAMUNG : (murka) Purnama Maha Raja!

MAE : (murka) Batara Durga!

KOYAL : (tertawa dibuat-buat seperti raja) Jangan bicara sembarang bicara. Bicara sopan
besar anugrahnya. Penghinaan, perang akibatnya. Di sini raja bukan sembarang raja. Raja
sakti mandraguna (manggut-manggut). Masih ada ampunan. Nah, kalau kau ada usul apa
usulmu, kalau ada kehendak, ucapkan semerdu-merdunya.

TUKIJAN : Hamba cape. Kita semua nanti bisa jadi hilang fikiran dan hilang ingatan.

RETNO : Penghinaan lagi!

MAE : Habiskan riwayatnya!

HAMUNG : Huru Hara!

KOYAL : Sabar. Sabar. (pada Tukijan) Ulangi kalimat pertama saja. Kalimat selanjutnya kau
simpan saja sendiri. Itu namanya kesopanan.

TUKIJAN : Hamba cape. Kita….


KOYAL : Cukup (pada Hamung) Bagaimana, usul itu ditimbnang, Paman Patih?

HAMUNG : Berdasarkan kebutuhan kerajaan usul itu sangat tepat. Memang sebaiknya kita
harus segera menukar tenaga yang lelah setelah berkeras menghalau prajurit musuh dalam
perang laga baru saja.

KOYAL : Usul diterima. Gatutkoco pun telah binaa. Tak ada lagi kebutuhan tenaga (bertepuk
sekali) Mari Rajinda mana gundik-gundik saya?

HAMUNG : Dalam jumlah yang cukup memadai hasrat telah tersedia dan tersaji dalam
peraduannya masing-masing.

KOYAL : Tak sabar yang ada (menahan nafasnya). Perintah! Paman Patih tidur di kamar
sana. Dan selama saya beradu, umumkan pada rakyat bahwa kerajaan dalam bahaya.

HAMUNG : Titah hamba agungkan, Gusti Paduka. (menyingkir dan tidur)

KOYAL : Bendahara hanya boleh tiduran. Rancangkan sumber harta dan kekayaan.

TUKIJAN : Hamba patuh, Gusti Prabu. (menyingkir lalu terbaring).

KOYAL : Ibunda.

MAE : Bunda di kamar sana.

KOYAL : Bunda bebas memilih ranjang. Hanya satu yang tabu. Ranjang ananda.

MAE : Tentu (menyingkir terus tidur)

( Semuanya ke kamarnya masing-masing )

KOYAL : ( dengan corong tangannya berseru ) Paman Patih!

HAMUNG : (dengan nada jauh) Hamba, Gusti.

KOYAL : Berapa gundik paman?

HAMUNG : Cuma tujuh belas. Perawan semua.

( Koyal tertawa terpingkal-pingkal )

KOYAL : (pada bulan) Kau lucu sekali, bulan gendut. (tertawa) Enak sekali (tertawa) Uang!
Uang! (tertawa terpingkal-pingkal)

( Sementara angin makin kencang dan sementara kawan-kawannya tertidur semua dan
sementara cahaya mulai surut, Koyal terus terpingkal-pingkal. Dalam kegelapan dan angin
yang deras masih juga ia terpingkal-pingkal. Selanjutnya, istirahat )

( BAGIAN KETIGA )
DI ATAS MEGA

( Bagian ketiga ini dimulai dengan tangis panjang tokoh kita, Koyal. Cahay demi sedikit
menyibak kegelapan. Hanya seroang saja di antara kawan-kawannya yang belum puas tidur
yaitu Tukijan. Yang sejak sore tadi hanya berguling-guling setengah tidur. Di bawah tiang
listrik Koyal berjongkok membelakangi penonyon. Ia menangis )

KOYAL : Semua orang sudah tahu Koyal menang lotre. Kau juga sudah tahu. Kelelawar juga
sudah tahu, saya telah menjadi orang yang terkaya. Kau juga, rumput. Kau juga maklum,
beringin tua. Lebih-lebih kau bulan. Kaulah yang paling tahu segala apa yang sekarang ada
pada saya. Seantero jagat raya tahu segalanya tentang diri saya. Tapi semuanya, juga kau
bulan gendut tak pernah tahu, tak pernah mau tahu……oh kalian…….oh, kau……tak pernah
peduli………pasti! Semuanya tidak tahu bahwa sejak lama Koyal jatuh cinta……jatuh cinta
pada Retno……Kau menertawakan saya, ndut? Biar. Rumput-rumputan juga mencibir. Biar.
Kau juga terkekeh-kekeh, beringin tua. Biar. Sudah sejak lama saya selalu ingin memegang
kakinya. (berhenti menangis) Malam ini, ya? Ya? Saya akan pegang kaki itu. (tertawa) Bulan,
kau pasti jatuh hati pada kaki itu. Nah, saya pegang dia. — Berani. Kenapa? —- Biar. Kalau
dia marah beri saja dia uang seratus dua ratus —- ribu. Saya orang kaya — (tertawa) Kaya
(tertawa) Kaki. Biar. (Bangkit perlahan dan dengan bergetar dan nafas berdesah. Ia
mendekati Retno yang lelap tidur berselimut kain. Betisnya kelihatan. Beberapa saat Koyal
cuma memandangi saja dan sesekali ia meminta pertimbangan sang rembulan. Lalu dengan
hati-hati sekali ia menyibak ujung selimutnya sehingga betis Retno nampak lebih jelas. Lalu
dengan nafasnya yang makin kacau ia meraba betis Retno. Baru saja sedikit kulit tangannya
menyentuh kulit betis itu segera ditariknya lagi seperti tersentuh api. tersenyum) Bulan……
(turun naik nafasnya) Kaki, eh, betis perempuan itu lain, ya? (tertawa berdesis) Halus…..
(dirabanya lagi kaki itu) Halus….. Dia diam saja. (tertawa berdesis) Barangkali dia juga
senang….. (dipegangnya kaki itu agak lama) Bulan, (tertawa) Kau tidak ingin pegang?
………. Mana yang lebih enak, uang atau betis perempuan? ……. Saya jadi agak pusing.
Pusing-pusing enak. (tertawa berdesis)

( Sekonyong-konyong Tukijan bangkit dan segera menangkap leher baju Koyal. Sehingga
baju yang buruk itu tentu robek sebagian. Karena sobek maka Tukijan menjambak lengan
bajunya )

TUKIJAN : Bajingan. ( diludahi muka Koyal )

KOYAL : (terkejut dan takut amat). Tidak, eh, tidak.

TUKIJAN : Tidak? Kau kurang ajar. Kau bangsat. Kau gila.

KOYAL : ….tidak,….

TUKIJAN : Kau mau melawan?

KOYAL : Tidak.

TUKIJAN : Kenapa kau lakukan itu? Kenapa?

KOYAL : Eh, ….. tidak.

TUKIJAN : Tidak?

KOYAl : Tidak.

TUKIJAN : Tidak? Bilang.


KOYAL : Tidak…..tidak sengaja…….barangkali.

TUKIJAN : Barangkali? Barangkali apa?

KOYAL : Barangkali……saya…..saya…..sedang mimpi….

TUKIJAN : Apa?

KOYAL : …..tidak…..

TUKIJAN : Kau gila. Bilang (meledak) Gila!

KOYAL : …..Gila…..

TUKIJAN : Bangsat!

( Sekali Tukijan menempeleng pipi Koyal dan Koyal menangis meraung-raung)

TUKIJAN : Lagi?

KOYAL : …….tidak…..

TUKIJAN : Bajingan!

( Sekali lagi Tukijan menempeleng pipi Koyal dan Koyal meraung-raung kesakitan sehingga
karenanya Mae terkejut dan terjaga dari tidurnya. Jantung perempuan tua itu kencang
berdenyut. Segera ia masuk ke dalam persoalan itu )

MAE : E,ee ada apa ini? Kenapa? Jan, jangan pukul dia.

TUKIJAN : Bangsat!

MAE : Ada apa? Kenapa?

TUKIJAN : Kamu telah menghina saya, Yal. Kamu telah mengejek saya. Berapa kali telah
saya katakan tentang ini semuua? Kamu boleh, boleh melakukan apa saja dengan dia. Siapa
bisa melarang? Memang dia lonte. Saya tahu, Yal. Dia lonte. Karena itu tidak ada yang bisa
melarang kau berbuat apa saja dengan dia. Tidak peduli kamu tidak waras. Tapi janghan di
muka hidung saya. Berapa kali telah saya katakan? Jangan di muka saya. Semua kawan
mengerti. Tapi diam-diam rupanya kamu memancing-mancing amarah saya.

( Retno Terbangun )

RETNO : Ada apa?

( Hamung terbangun )

HAMUNG : Tidak ada apa-apa.

RETNO : Mae?
MAE : Nanti dulu. Nanti dulu. (baru saja ia membayangkan. Tukijan seolah-olah akan
memukul Koyal) Nanti dulu. (mencucur air dari matanya) Sabar. Sabar. (mendekati Koyal
yang masih terisak dan membelai kepalanya) Kenapa mesti bertengkar? Kenapa mesti?

TUKIJAN : Ikat pinggang saya. Bajingan. Setengah mati saya putar-putar mencari barang itu,
Kembalikan!

KOYAL : (seraya terisak) Saya tidak mencurinya. Saya menemukannya.

TUKIJAN : Menemukan di tempat saya.

KOYAL : Tidak.

TUKIJAN : Lepaskan, bangsat.

KOYAl : Saya tidak mencuri. Saya menemukannya.

MAE : Lepaskan nak. Kau nanti boleh beli ikat pinggang yang baru. Lepaskan.

KOYAL : Saya tidak mencuri.

TUKIJAN : Bilang lagi!

KOYAL : Tidak. Saya diberi.

TUKIJAN : Bangsat! Siapa yang memberi kamu? Setan?

KOYAL : Bukan. Orang.

TUKIJAN : Bangsat. Siapa?

KOYAL : Bukan. Dia.

TUKIJAN : Dia siapa? Ayo, lepaskan dulu.

KOYAL : (takut menyerahkan ikat pinggang) Jangan pukul saya. Saya diberi kok.

TUKIJAN : (menyambar ikat pinggangnya) Diberi pangeranmu! Siapa yang memberi kamu?

( Koyal melihat kepada Retno )

TUKIJAN : Siapa?

KOYAL : Dia?

TUKIJAN : Dia siapa?

KOYAL : Retno.

( Retno pergi menyusup kegelapan yang mulai agak tipis. Sejak itu agak lama tak terjadi
percakapan. Angin semakin kencang )

TUKIJAN : Yal, kemari.


( Koyal diam saja )

TUKIJAN : Ke sini.

KOYAL : (takut-takut) Apa?

TUKIJAN : Maaf, ya?

KOYAL : Saya tidak mau mencuri.

TUKIJAN : Ke sini kau.

KOYAL : Saya juga tidak mau dipukul.

TUKIJAN : Tidak.

KOYAL : Tidak mau.

TUKIJAN : Kalau kau tidak mau ke sini malah saya pukul.

( Takut-takut Koyal mendekati Tukijan )

TUKIJAN : Yal.

( Curiga Koyal memandang Tukijan )

TUKIJAN : Kau tahu…

KOYAL : Tidak tahu.

TUKIJAN : Ya, kalau kau tahu artinya kau waras Yal. Kau ingin sembuh?

KOYAL : Saya tidak sakit kok. Bagaimana?

TUKIJAN : Kau memang tidak sakit. Kau cuma tidak waras.

MAE : Tukijan! Jaga bicaramu! Tak patut kata-katamu!

TUKIJAN : Biar dia sembuh, Mae.

MAE : Tidak begitu caranya. Lagi pula dia masih bisa merasa sakit hati seperti kau. Dia juga
manusia seperti kau. — Dan adakah perlunya?

HAMUNG : Diam saja. Mae.

MAE : Kau memang begitu. Kau tak pernah ambil pusing.

HAMUNG : Siapa orangnya yang rela pusing dan pusing-pusing, Mae? Mae, jagat ini sangat
besar dan tidak pernah menghiraukan siapa saja. Sebaiknya Mae diam. Mae akan senang.

MAE : Saya bukan kau.

TUKIJAN : Saya juga. Saya sebenarnya sayang pada Koyal.


HAMUNG : Mae nanti kecewa. Kita tidak akan mendapatkan apa yang kita minta. Orang lain
tidak akan memberikan apa-apa pada kita. Lebih baik diam. Dan apa gunanya?

MAE : Kau memang tak punya hati, Hamung.

HAMUNG : Sama saja.

TUKIJAN : Tapi saya punya. He, Yal. Kau butuh apa?

KOYAL : Uang.

TUKIJAN : kalau begitu serahkan kepada saya lot itu?

( Koyal menyerahkan semua lotnya, ragu-ragu dengan tanda tanya )

TUKIJAN : Kau ingin uang?

KOYAL : Yang banyak.

TUKIJAN : Kau bisa mendapatkannya lebih banyak tanpa kertas ini.

KOYAL : Kali ini saya pasti menang.

TUKIJAN : Saya kira kau nanti akan sembuh kalau saya berani melakukan sesuatu. Betul kau
ingin uang banyak?

KOYAL : Betul?

TUKIJAN : Pasti suatu ketika kau akan menjadi orang kaya, kaya harta dan kaya segalanya. (
disobeknya lot itu).

KOYAL : Jangan! Mae, dia menyobek uang saya.

MAE : (benci) Kau telah menyakiti hatinya.

TUKIJAN : Ini lebih baik.

HAMUNG : Tak ada yang lebih baik. Juga sebaliknya.

TUKIJAN : Jangan menangis. Kau bukan anak kecil. Kalau kau tetap menangis kau tak akan
pernah mendapatkan uang yang banyak itu, kecuali angka-angka.

KOYAL : kau jahat (bangkit takut-takut mengancam Tukijan). Berikan lot itu!

TUKIJAN : Tak ada gunanya.

KOYAL : Kau terlalu jahat. Berikan lot itu.

TUKIJAN : Lebih berguna untuk angin. (dilemparkannya sobekkan lot itu tepat tatkala angin
menderas).

KOYAL : Mae, dia jahat sekali. Oh, uang saya diterbangkan angin. (mengejar sobekan lot)
Tolong….!
( Seraya berteriak-teriak Koyal terus mengejar sobekan-sobekan itu dan menyusup
kegelapan. sementara itu Tukijan duduk terpekur dan Hamung menyatakan
ketidaksenangannya )

HAMUNG : Kau sebenarnya ingin menampar Retno.

( Tukijan cuma menarik nafas berat )

HAMUNG : Kalau saya jadi kau tentu pipi Retno yang saya tampar dan bukan pipi orang
lain, apalagi pipi si kepala kopong itu.

TUKIJAN : Diam, Mung.

HAMUNG : Kau juga tahu saya bisa melakukan hal yang serupa atas diri kau. Saya anggap
kau sama dengan Koyal.

MAE : Sudah. semuanya diam.

HAMUNG : Tidak apa-apa, Mae

MAE : Cukup. Mae tak suka ada percekcokan lagi.

HAMUNG : Kau telah memperkosa kebahagiaan orang lain.

MAE : Cukup. Sekali lagi Mae minta. Berhenti kalian bertengkar mulut. Kalian mulai lupa.
Kalian sudah lupa. Kalian anak-anak Mae. Sekarang Ibu kalian menyuruh kalian diam. — Oh
Betapa enaknya dunia ini tanpa….tanpa…Maksud saya kita akan lebih bahagia tanpa
pertengkaran.

HAMUNG : Jangan harapkan itu Mae.

MAE : Ini malam syura. Di alun-alun ini bertebaran semalam suntuk berbagai ragam berkah.
Semuanya. Seluruhnya bernama berkah.

HAMUNG : Kecewa pada akhirnya. Jangan terlalu banyak berharap.

( Seorang pemuda dengan wajah kusut dan pucat karena semalaman tak tidur dengan gemetar
lewat. Ia adalah pemuda yang tadi sore dikejar Retno. Begitu ia keluar, langsung muncul
beberapa orang peronda. Sebelum mereka keluar. Salah seorang diantara mereka
menyorotkan lampu senter pada sekitar yang gelap. Tak luput wajah tokoh kita. Begitu
mereka lenyap, terdengar suara mereka )

TUKIJAN : Bajingan.

MAE : Sabar.

HAMUNG : Susah, bukan ? Lebih baik tidak ambil pusing.

TUKIJAN : Mereka kira semua yang tidur di emper-emper adalah pencuri-pencuri.

MAE : Biarkan saja.


TUKIJAN : Mereka orang-orang beragama. Saya berani taruhan, sebagian besar dari mereka
lebih jahat daripada penghuni emper-emper toko. Untung saja mereka punya pakaian yang
bagus-bagus dan bersih-bersih.

HAMUNG : Kau sendiri diam-diam menyamaratakan mereka.

TUKIJAN : Tidak.

HAMUNG : Mudah-mudahan.

( Muncul Retno )

RETNO : Mae, kemana dia?

MAE : Siapa?

RETNO : Si banci tadi. Kemana dia? Saya melihatnya tadi dekat masjid.

MAE : Pemuda?

RETNO : Ya. Kemana?

MAE : Kemana ya? Mae kira kesana. Ke arah bioskop Sobo.

RETNO : Huh, patah lehernya nanti, saya cekik. Betul bukan? Sampai tujuh keliling si banci
itu akan berputar-putar sekitar alun-alun ini membuntuti saya. Kemana tadi?

MAE : Ke Sobo. Tapi kenapa harus kesana? Lagipula sudah pagi.

RETNO : Ke Sobo? Saya peluk dia ( Menyusup kegelapan )

( Mae memandangi Tukijan yang menahan jengkel )

TUKIJAN : Saya bunuh dia.

HAMUNG : Kenapa ?

( Sekonyong-konyong Retno muncul lagi )

RETNO : Mana bedak saya?

( Retno membedaki wajahnya )

MAE : Kau tidak akan pergi bukan?

RETNO : Pergi kemana?

MAE : Pergi jauh.

RETNO : Saya senang disini.

MAE : Ya, seharusnya kau berpikir begitu.


( Tapi Retno pergi lagi )

MAE : Ya, saya harap begitu. Saya harus merebutnya. Oh, saya tiba-tiba takut sekali.
Hamung sebentar lagi pergi. Sebentar lagi. Semuanya akan kembali sepi, Kenapa jantung
saya? Saya gemetar sekali. ( Sekonyong-konyong menubruk dan memeluk Tukijan ) Jan!
( Dalam isak ) Jan. ( dalam isak ) Kenapa sama sekali kau tak punya rasa terimakasih? Tapi
siapa yang memilikinya? Tapi kau anakku. Kalau sama sekali kau tak punya apa-apa namun
paling sedikit kau harus punya rasa terimakasih. Sekarang kau diam saja serupa patung-
patung di musium. Kau tak melihat saya dalam memandang saya. Sebab itu gampang saja
kau akan tinggalkan ibumu sendiri di alun-alun ini, di tanah bebas yang tidak bebas ini.
( melepaskan dirinya dari Tukijan dan duduk menunduk ) Kalau saya muda pasti saya tak
akan mengucapkan kata-kata itu. Hamung sekalipun cintamu samar-samar, tapi pasti
kepergianmu nanti akan melengkapi kesepian saya. ( Setelah mengosongkan dirinya ) Tapi
sebagai orang tua, sebagai seorang Ibu yang tabah tentu saja saya harus melepaskan kalian
berdua dengan doa restu, dan saya akan menyertai kalian dengan keprihatinan saya. Ikhtiar.
( Tersenyum sementara air mata itu masih kemerlap pada bulu matanya yang kelabu itu )
Nah, beginilah memang kesudahannya.

HAMUNG : ( Menyalakan rokok ) Kita tak usah buru-buru. Kereta yang akan membawa kita
bertolak ke Solo jam empat. Paling cepat, biasanya setengah tujuh kereta itu berangkat dari
Tugu. Dulu ada kereta yang berangkat pagi dari sini. Kata Mas Dharmo, kita nanti memasuki
Senen jam sembilan atau delapan. Tapi jangan harapkan. Lebih baik kita bayangkan lusa baru
sampai. — Barangmu dimana?

( Tukijan tidak menyahut )

HAMUNG : Barangkali saya akan nguli di sana. Atau kembali ke pekerjaan lama ; becak.
Tapi saya akan berusaha jadi calo. Kau harus membesarkan otot di Sumatera. Musuhmu
bukan saja binatang tapi batang pohon raksasa. Kau pernah dengar cerita Mbah Wirjo tentang
sebuah keluarga yang habis musnah karena didatangi seekor ular?— (tertawa) Saya tidak
punya apa-apa, tapi saya ingin apa-apa kalau sudah lama saya tinggal di Jakarta. Saya kira
saya harus belajar pada orang-orang Batak. Kau pernah dengar bagaimana mereka menguasai
stanplat bus? Mereka sungguh-sungguh penguasa. Jangan harap polisi bisa berbuat sesuatu
disana. Juga yang lain jangan kau harapkan. Saya pikir begitu. Saya harus seperti mereka.
Kalau ukuran mereka mati, saya pun  harus demikian. Saya tidak punya apa-apa.— Dimana
barangmu?

( Tukijan masih diam )

HAMUNG : Gelagatnya kau akan mengurungkan kepergianmu lagi. Jangan kau hiraukan
orang lain. Apalagi Mae. Biasa. Orang tua. Katakan saja kau tidak akan melupakannya.
Katakan saja, kelak  kalau ada rejeki dan kau bisa pulang, kau tentu akan menengoknya dan
membawa oleh-oleh, niscaya perempuan tua itu pasti senang. Jangan pedulikan kau tepati
atau tidak janji-janji itu. Tadi sore saya sudah mengatakannya. Sekarang kau.

( Tukijan meninggalkan tempay itu dan pergi. Hamung menyanyikan sebuah lagu jawa.
Dengan wajah pucat Panut muncul. Hamung berhenti menyanyi. Hamung tajam
memperhatikan Panut )

HAMUNG : Darimana kau?


PANUT : Tikarnya, Mae (berbaring)

( Mae menangis lagi )

MAE : Darimana?

PANUT : Mana tikar yang satu lagi. Dingin sekali.

( Hamung menyanyi lagi )

MAE : Dengan diam, justru kau mengatakan semuanya begitu lengkap. Tidak usah.
Seharusnya kau tidak menceritakan dengan cara apapun. Lebih baik begitu. Lebih baik bagi
kau sendiri. Juga bagi orang lain. Terutama bagi Mae. Lebih baik tak ada apa-apa kalau saya
sendiri tidak pernah punya apa-apa.

( Panut bangkit menawarkan rokok )

PANUT : Rokok, Mas Hamung.

( Setelah beberapa lama memperhatikan Panut, Hamung tersenyum dan mengambil sebatang.
Tanpa diminta, Panut menggoreskan sebatang geretan dan akhirnya menyalalah kedua ujung
rokok. Lagi, Hamung memperhatikan Panut. Karena pandangan itu Panut jadi agak risih dan
merasa tidak enak. Lalu melentangkan badan )

HAMUNG : Rokok mahal itu marem.

MAE : Kau sekarang bukan bayi lagi. Kau sekarang seorang lelaki setengah baya dengan
kumis yang panjang dan mata yang amat tajam. Di mana kau, Panut?

( Panut bangkit )

MAE : Bayi itu maksud saya.

( Panut merebahkan badannya lagi )

HAMUNG : Berapa harganya sebungkus?

MAE : Sebaiknya saya juga merokok. Barangkali saya bisa lebih baik. Berikan sebatang pada
saya.

( Panut bangkit dan menyerahkan sebatang rokok. Tatkala rokok itu di bibir Mae itu menyala,
Panut mulai bisa tersenyum. Satu kali hisapan Mae tidak apa-apa. Dua kali hisapan juga tidak
apa-apa. Tiga kali hisapan ia batuk-batuk. Hamung dan Panut tertawa )

MAE : Tidak enak. ( Sambil batuk-batuk) Tidak enak. Tidak ada yang enak.

PANUT : Belum biasa.

MAE : Kalau sudah biasa?

PANUT : Enak.

MAE : Tidak begitu. Kalau sudah biasa kita tidak akan lagi merasakan pahitnya.
PANUT : Nih. (mengisap dengan nikmat dan menghembuskannya) Nikmat.

MAE : Seperti mencuri.

PANUT : (Marah) Saya tidak mencuri! Bilang lagi!

MAE : Saya tidak mengatakan kau mencuri. Saya hanya bilang kalau sudah biasa mencuri
lama-lama juga kita tidak rasakan seperti kerjaan yang jahat.

PANUT : Saya tidak mencuri! Bilang lagi! Saya pukul! Dengar!

MAE : Saya tidak bilang kau mencuri. Kau pasti tidak pernah mencuri. Dan kalau pun pernah
melakukannya, kau pasti tak akan mengatakannya.

PANUT : Mas Hamung, rokok ini untuk Mas Hamung (menyerahkan sebungkus rokok)

HAMUNG : Buat saya?

PANUT : Buat Mas Hamung.

HAMUNG : Nanti dulu, dari siapa rokok itu?

PANUT : Dari……

HAMUNG : (menerima rokok) Jangan teruskan. Tak perlu. Tak ada bedanya bagi saya. Yang
penting rokok.

PANUT : Saya senang.

HAMUNG : Tidak perduli. Yang terang ini rokok mahal.

PANUT : Rokok kretek termahal.

HAMUNG : Kau masih punya?

PANUT : Masih. Barangkali tinggal enam batang.

HAMUNG : Coba beri saya sebatang. Saya isap sekarang.

( Panut memberikan sebatang lagi pada Hamung )

HAMUNG : Yang masih utuh baru saya buka nanti kalau kereta api itu telah membawa saya
ke arah barat. Coba nyalakan.

( Panut menggoreskan geretan )

HAMUNG : Nah, lihat. Sekarang saya punya dua sekaligus. Sekali waktu memang tak ada
jeleknya kita menikmati sesuatu lebih dari biasanya (tertawa)

PANUT : Saya sungguh-sungguh senang.

HAMUNG : Kau pikir begitu? Kau senang kalau saya mengisap rokok pemberianmu ini?
PANUT : Senang.

HAMUNG : Biar kau lebih senang, berikan rokok itu semua.

PANUT : Jangan, yang lima batang ini untuk saya sendiri.

HAMUNG : Dan kau senang?

PANUT : Senang.

HAMUNG : Bagus. Kalau begitu kelak kau akan jadi laki-laki yang jantan.

PANUT : Saya makin senang sekarang.

HAMUNG : Dan kalau kereta api itu membawa saya ke arah barat, kau juga tetap senang?

PANUT : Tidak.

HAMUNG : Kenapa?

PANUT : Karena saya sedih.

HAMUNG : Jadi kau tidak senang karena kau sedih?

PANUT : Saya tidak senang karena kita berpisah.

HAMUNG : Betul?

PANUT : Betul.

HAMUNG : Betul tidak senang?

PANUT : Tidak senang.

HAMUNG : Betul sedih?

PANUT : Sedih sekali

HAMUNG : Sungguh sayang. Kalau begitu kau akan jadi laki-laki yang tidak bahagia.

PANUT : Saya sungguh-sungguh tidak paham.

HAMUNG : Kau memang masih bocah.

PANUT : Tapi kau seharusnya menerangkan semua itu. Saya ingin menjadi laki-laki yang
jantan.

HAMUNG : Betul?

PANUT : Betul. Bagaimana?

HAMUNG : Itu gampang.


PANUT : Bagaimana?

HAMUNG : Kalau saya berangkat nanti, tepat sewaktu saya melangkahkan kaki kesana kau
harus membenci saya. Setidak-tidaknya kau tidak boleh menyimpan perasaan apa pun karena
peristiwa itu. Sekalipun kita sudah lama sekali bergaul.

PANUT : Kenapa mesti begitu?

HAMUNG : Tidak apa-apa. Memang harus begitu.

( Lama Panut berpikir. Mereka bertatapan )

PANUT : Bisa.

HAMUNG : Bisa ?

PANUT : Bisa.

HAMUNG : Kau yakin akan berhasil?

PANUT : Yakin. Dua hari ini saya selalu merasa yakin. Memang harus begitu.

HAMUNG : Betul?

PANUT : Percayalah, Mas. Saya tidak tahu kenapa.

HAMUNG : Kalau begitu saya juga yakin kelak kau akan bisa jantan dan bahagia.

( Panut menyalakan rokok lagi menyambung rokoknya sendiri )

PANUT : Semalam ini saya sudah menghabiskan sebungkus lebih.

HAMUNG : Kuat betul kau.

PANUT : Saya sudah dewasa.

HAMUNG : Saya lihat begitu.

MAE : Saya lihat malah dia seperti telah beruban rambutnya. Tapi kenapa kumisnya panjang
sekali dan amat tajam ujungnya.

HAMUNG : Bukan main.

MAE : Gatotkoco.

PANUT : Saya lebih suka Ontorejo.

HAMUNG : (seraya mengamati karcis sepur) Pas Betul uang saya.

PANUT : Saya punya uang.

HAMUNG : Banyak?
PANUT : Tidak. Tapi lebih banyak dari biasanya.

HAMUNG : Berapa?

PANUT : Saya hitung dulu.

HAMUNG : Tidak usah. Saya anggap saja jumlahnya terlampau banyak sehingga sukar
dihitung oleh tiga orang.

MAE : (mengancam) jangan berani kau merampasnya, Hamung. Jangan sekali-kali kau ambil
uangnya. Uang itu hak miliknya.

HAMUNG : Siapa yang akan merampas uangmu, Nut?

PANUT : Tidak ada. Malah saya ingin memberikan kepada Mas Hamung sedikit.

MAE : Jangan. kau anak tolol. Uang itu uangmu sendiri. Kenapa kau berikan kepada orang
lain?

PANUT : Tidak semuanya.

MAE : Jangan.

PANUT : Mae nanti juga saya beri.

MAE : Jangan.

PANUT : Ini uang saya. Uang saya sendiri.

MAE : Tapi kau anak saya.

PANUT : Tapi kau bukan ibu saya.

( Hamung tersenyum. Lama diam mereka )

PANUT : Terimalah uang ini, Mas Hamung. Untuk jajan di jalan.

HAMUNG : (setelah menerima uang itu) Sekarang saya akan pergi ke musium. Saya akan
mandi. Lalu saya berangkat ke stasiun.

( Hamung dan Panut saling memandang )

HAMUNG : Kita mulai.

( Hamung lenyap dalam kabut pagi. Lonceng keraton berdentang empat kali.

PANUT : Mae, terimalah uang ini.

( Mae cuma menangis )

PANUT : Terimalah, Mae. Semuanya dapat bagian.

MAE : Kau telah mencuri.


PANUT : (marah) Bilang lagi! Saya pukul!

MAE : Saya tidak bertanggung jawab. Saya salah.

PANUT : (menahan diri) Karena saya bukan anak Mae. Lebih baik begitu. Mae nanti bisa
senang. Terimalah, Mae.

MAE : Saya tidak mau makan tanpa lebih dulu saya bekerja.

PANUT : (marah) Saya sudah bekerja!

MAE : Kalau begitu makanlah sendiri.

PANUT : (luka) Mae.

( Mae cuma menangis )

PANUT : (pasti) Saya harus jadi laki-laki, tapi saya sedih. Lebih baik merokok banyak-
banyak. (membuang ingusnya) Saya mulai merasa benci entah pada siapa. Persetan..

( Setelah menyalakan rokok. Panut pergi. Adzan pertama di angkasa )

MAE : Saya harus mempertahankan Retno. Kalau dia juga pergi saya akan merasa hilang.

( REtno dan Tukijan muncul )

RETNO : Sebagian di musium. Biar saya saja yang berkemas. — Tapi nanti dulu. Kau tahu
aku tak akan memberi kau anak?

TUKIJAN : Saya tidak butuh anak. Saya butuh kau.

RETNO : Tapi sebenarnya kita butuh.

TUKIJAN : Bukan halangan.

( Retno mengemasi barang-barangnya yang terbungkus di bawah beringin. Tatkala


terpandang Mae yang tengah menangis, ia berhenti bekerja. Lama diam saja )

TUKIJAN : Apalagi yang kau tunggu?

( Masih diam )

TUKIJAN : Kita nanti terlambat.

( Masih diam )

TUKIJAN : Apalagi yang dipikirkan? Kita sudah kehilangan waktu satu hari.

( Retno memandang Mae )

TUKIIJAN : Retno.

RETNO : Kau saja yang pergi.


TUKIJAN : Kenapa? Apalagi?

RETNO : Saya tidak tahu.

TUKIJAN : Semuanya hanya berkisar pada perasaan saja. Ruwet jadinya. Semua tidak ada
yang terwujud.

( Di kejauhan melengking peluit kereta api )

RETNO : Saya tidak bisa.

TUKIJAN : Kenapa?

( Retno diam )

TUKIJAN : Berubah lagi. Kau harus berpikir, bukan merasakan.

RETNO : Dan saya tidak sanggup.

( Tukijan memandang beringin tua )

RETNO : Saya mencintai kau, tapi juga mencintai yang lain.

TUKIJAN : Siapa?

RETNO : Saya tidak bisa berdusta.

TUKIJAN : Ya, kau mencintai dirimu juga. Kau tidak pernah mencintai siapapun kecuali
mencintai gincumu.

RETNO : (bangkit marah) Apa kau pikir kau juga mencintai saya? Omong kosong! Kau
cuuma mencintai dirimu sendiri. saya akui yang paling saya cintai tentu diri saya sendiri,
sebab tak ada orang yang mencintai orang lain lebih daripada mencintai dirinya sendiri.

TUKIJAN : Kenapa kau jadi marah-marah begitu?

RETNO : (marah) Siapa yang mulai?

TUKIJAN : Saya marah karena kau berubah sikap lagi.

RETNO : Saya marah karena kau marah. Belum apa-apa sudah berani marah-marah. Akan
kau jadikan apa saya di tanah seberang sana? Jadi babu? Seenaknya saja. Apa kau pikir saya
akan mati kelaparan kalau tetap tinggal di sini? (tiba-tiba menangis) Saya jadi bingung.

TUKIJAN : Tentu saja kau jadi bingung. Sudah saya bilang yang harus kau lakukan sekarang
adalah berpikir bukan merasakan.

RETNO : Saya bingung karena terlampau banyak orang yang saya cintai. Dan, O Gusti, saya
tidak bisa melupakannya. Saya sangat mencintai perempuan tua itu juga.

TUKIJAN : Saya mengerti. Bukan kau saja yang mencintainya. Banyak orang yang
mencintainya. Kita semua berhutang budi kepada mae. Dengan sayang ia mengurus makanan
kita. Paling tidak saya tidak bisa melupakan masakannya. Kita selalu tidak percaya bahwa
dengan bahan-bahan yang kacau kita dapat menikmati makanan yang luar biasa lezatnya.
Saya yakin, orang-orang yang berumah mewah akan menghabiskan makanan itu dalam
sekejap, sekiranya makanan itu disajikan dalam wadah yang biasa dipergunakan mereka.
Apalagi kalau disajikan dalam wadah yang berukir dari keraton (diam) Tapi apa kau pikir
demikian picik Mae, sehingga Mae mengharapkan balasan dari setiap yang dilakukannya
untuk kita? Mae orang tua. Orang tua tidak pernah mengharap apa-apa. Mereka cuma
mengharapkan anak-anaknya senang dan bahagia; jauh lebih senang daripada dia sendiri.

RETNO : Justru karena itu saya tidak tega. Saya tidak bisa. Sudahlah. Kau nanti terlambat.
Pergilah kau. kalau mungkin, saya akan menyusul kelak. Percayalah, saya mencintai kau
kapan saja. Saya akan selalu mengenangkan kau.

TUKIJAN : Betul-betul kau tidak punya kepala. Apa kau mau makan tanah karena
perempuan bangka itu?

MAE : Retno putriku.

RETNO : Ya, Mae (pada Tukijan) Kau tidak tahu. Seminggu yang lalu dia terjatuh di parit
sana. Sudah sangat lemah. Tidak lama lagi.

MAE : Retno. Dekatlah kemari.

RETNO : (mendekati Mae) Saya tidak akan pergi, Mae. Saya tidak mau.

MAE : Mae akan mengatakan sesuatu.

RETNO : Kali ini saya akan mendengarkan lebih dari yang pernah saya lakukan.

MAE : Kau memang anak perempuan saya. Kau cantik dan baik budi. Itulah yang
sebenarnya. Sayang, kau sendiri tidak tahu (diam) Sekarang sebagai anak yang baik turutlah
apa kata Mae; Pergilah dengan Tukijan.

RETNO : (menangis dan memeluk) Tidak, Mae. Saya tidak bisa.

MAE : Tentu kau tidak bisa. Dan siapa yang suka ajal? Tidak ada. Tapi siapa yang bisa
menolaknya? Juga tidak ada. Dan apakah kau mengira Mae mengharap kau pergi
meninggalkan Mae? (Retno menggeleng kepalanya) Tidak, bukan? Mae juga tidak mau kau
tinggalkan. Mae sangat mencintai kau lantaran kau anak perempuanku satu-satunya. Kalau
kau pergi, Mae tidak akan pernah mempunyai anak secantik dan sebaik kau lagi. Tapi apakah
kau berpikir Mae juga ingin mempertahankan kau tetap di sini dan terus menjual diri?

( Retno menutup bibir Mae )

RETNO : Saya mengerti.

MAE : Kenapa saya tiba-tiba melihat kau sedang menimang anak di suatu rumah yang teduh
di bawah pohon-pohon yang rimbun?

RETNO : Melihat saya?


MAE : Dalam khayalan Mae. Tapi saya harap demikianlah yang sebenarnya. Kau nanti dapat
berkah. Sebagai anak perempuan Mae, pergilah kau sebab masih banyak yang lebih baik
yang perlu kau kerjakan. Kau harus lebih cepat dari pada matahari sekarang. Apalagi di sana.

TUKIJAN : Segera, Retno.

RETNO : Mae.

MAE : Lebih baik kau tak mengucapkan apa-apa.

RETNO : Saya tidak bisa.

MAE : Apa dulu kau menyangka bisa melakukan apa yang selama ini kau lakukan di sini
setiap malam?

RETNO : Mae.

MAE : Percayalah. lama-lama kau bisa dan biasa.

TUKIJAN : Minta pangestu, Mae.

( Mae cuma memandang kosong tatkala mereka melangkah perlahan dan lenyap. Begitu
mereka lenyap, begitu berdentang lonceng keraton satu kali )

( Kedengaran Koyal berteriak-teriak. Ia lalu muncul dengan memegang kepalanya )

KOYAL : Mae, mereka memukuli saya. Tolong. Mereka memukuli saya. Kepala saya
berdarah.

MAE : (berdebar meraba kepala Koyal. Lama ia mencari luka itu) Tak ada darah.

KOYAL : Ada. Tadi saya raba. Tangan saya merah. Lihat.

MAE : Tangamu kotor. hitam.

KOYAL : Tadi merah. Tapi kepala saya berdarah.

MAE : Sekarang tidak.

KOYAL : Pening. Sakit bukan main

MAE : Kenapa mereka memukul kepalamu?

KOYAL : Ada tiga orang laki-laki menyuruh saya menyobeki gambar yang terpancang di
muka kantor pos sana.

MAE : Gambar bioskop?

KOYAL : Bodoh. Gambar partai.

MAE : Lalu?

KOYAL : Tiga laki-laki itu menyuruh saya menguliti gambar itu.


MAE : Siapa mereka?

KOYAL : Siapa. Bodoh. Mereka yang punya hambar. Mereka perlu memperbarui. Kalau
sudah selesai nanti saya diberi upah.

MAE : Mana uang itu sekarang?

KOYAL : Tidak ada.

MAE : Tidak ada?

KOYAL : Tidak ada.

MAE : Kenapa?

KOYAL : Kenapa. Bodoh. belum selesai. lalu mereka memukuli kepala saya.

MAE : Tiga orang tadi?

KOYAL : Tiga orang tadi. Bodoh. Ada beberapa orang lain dari arah barat datang dan segera
memukuli kepala saya sehingga kepala saya berdarah. Lihat.

MAE : (setelah meraba) Tidak ada.

KOYAL : Tadi ada. (tiba-tiba) Mae! Mereka mengejar saya! Mereka mengejar saya!

MAE : Mana mereka? Mana?

KOYAL : Mereka! Mereka datang! Mereka! Mae! Masing-masing membawa kayu yang
sangat besar. Tolong, Mae. Tolong! Kayu itu sangat besar!

MAE : Mana?

KOYAL : Jangan pukul kepala saya! Jangan! Aduh! Sakit! Berdarah. Jangan! Tolong!
Tolooooong! (seraya menjerit-jerit ia lari menyusup kabut yang biru itu, setelah berputar-
putar menghindari pukulan-pukulan yang tak ada itu. Dengan sedih, Mae mengikuti
pusingan-pusingan Koyal)

( Adzan subuh berkumandang di udara di sela-sela garis cahaya fajar yang lembut. Lalu Mae
muncul lagi )

MAE : Gusti Pangeran. (anaknya bangun) Kau babngun, sayang. Kau tertawa, sayang.
(memainkan anak itu) Nah, cah bagus. Kita tak pernah mendapatkan, tapi selalu meraa
kehilangan. (memejamkan mata) Tak ada. Sama saja —- gustiku, cuma kita berdua.

( Lama-lama Mae tertidur bersandar pada batang beringin. Warna fajar. Lalu beragam warna
waktu berputar di sana berbagai warna. sementara itu secara perlahan layar diturunkan bagai
kelambu sutera )

SELESAI

Anda mungkin juga menyukai