KELAS : XA
Pasa tahun 1957 tari Pomonte ini diperagakan oleh penari wanita
berjumlah 21 orang. Kemudian pencipta membuatnya lagi menjadi 16
orang. Dan kemudian diubah lagi menjadi 17 orang penari. Ketiga versi
tersebut tidak hilang, tetapi ketiga-tiganya dapat ditarikan sesuai dengan
kemampuan penari itu sendiri atau pelatih. Kecuali apabila menjadi tari
wajib lomba atau tari pilihan lomba akan ditetapkan salah satu versi yang
dipilih. Pada tahun 1968 tari Pomonte ini mengalami perubahan lagi, hal
ini dosebabkan karena penciptanya sendiri belum memiliki koreografi.
Pada versi lama dari tarian Pomonte ini, para penari membawa alat-alat
tarian seperti Toru = tudung (topi), Alu (nalu) = alat menumbuk padi,
bakul (bingga) = tempat padi dan padi (pae) sedangkan pada versi baru
alat-alat tersebut dihilagkan/tidak dipakai lagi karena menurut pencipta
bahwa penggunaan alat-alat tidak praktis dalam menari, karena
sesungguhnya menari itu bukanlah membawakan hal yang nyata
melainkan hanya sebagai simbolis. Setelah mengalami perubahan maka
alat-alat yang dipakai hanyalah Tudung (taro) dan Selendang (salenda).
Yaitu nama salah satu tokoh punakawan dalam kisah pewayangan yang
berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tokoh ini dikisahkan
sebagai anak bungsu Semar. Dalam pewayangan Sunda juga terdapat
tokoh panakawan yang identik dengan Bagong, yaitu Cepot atau
Astrajingga. Namun bedanya, menurut versi ini, Cepot adalah anak
tertua Semar. Dalam wayang banyumasan Bagong lebih dikenal dengan
sebutan Bawor.
Sardono pertama kali belajar menari tarian klasik Jawa 'alusan' pada R.T.
Kusumo Kesowo (master tari kraton Surakarta). Pada tahun 1961, R.T.
Kusumo Kesowo menciptakan sendratari kolosal Ramayana yang
dipentaskan di Candi Prambanan. Tari kolosal ini melibatkan 250 penari
dengan dua set orkestra gamelan. Sardono diserahi tugas untuk
menarikan tokoh Hanoman - meskipun ia terlatih sebagai penari 'alusan'
bukan 'gagahan'. Pada awalnya ia kecewa, tetapi tugas ini memberinya
inspirasi untuk mengadaptasi gerakan Hanoman di tari Jawa dengan silat
yang ia pelajari sejak umur 8 tahun setelah ia melihat komik Tarzan.
5.Mugiyono Kasido
Lahir di Klaten, Jawa Tengah, 1967; umur 53 tahun) adalah seniman
berkebangsaan Indonesia Namanya dikenal melalui sejumlah karyanya
berupa pertunjukan tari, baik sebagai penari maupun koreografer yang
dipentaskan di berbagai kota di Indonesia dan mancanegara.[1][
Mugiyono Kasido lahir di Klaten, Jawa Tengah pada tahun 1967 dari
keluarga dalang. Sejak kecil, Mugi telah bergaul akrab dengan dunia
pertunjukan dan mulai menari sejak pada usia 8 tahun, dengan dasar tari
Jawa klasik. Ia memulai pendidikan formal dalam bidang seni tari di
Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Surakarta yang
diselesaikannya pada 1988 kemudian melanjutkan ke Sekolah Tinggi
Seni (STSI, sekarang ISI Surakarta), lulus 1993. Dalam perjalanan
kariernya, ia belajar banyak dari maestro tari seperti R. Ng. Rono Suripto
dari Pura Mangkunegaran Surakarta (1988-1990), Suprapto Suryodharmo
di Padepokan Lemah Putih Surakarta (1994-1996), dan juga Sardono W.
Kusumo sejak 1994. Memulai karier sebagai koreografer pada 1992,
dengan melahirkan karya tari Mati Suri yang dipentaskan di Keraton
Mangkunegaran Surakarta. Tarian ini meraih Tropi Mangkunegara IX
Keraton Surakarta sebagai Penyaji Terbaik Tari Kontemporer. Karya-
karyanya juga dipentaskan di sejumlah festival di berbagai negara
seperti, Lincoln Center Festival (Amerika Serikat), Kunsten Festival des
Arts (Belgia), Goteborg Festival (Swedia), Adelaide Festival (Australia),
Hong Kong Arts Festival, In Transit Festival (Jerman), Dancas na Cidade
(Portugal), dan Asian Contemporary Dance Now (Jepang)
7.Eko Pece
8.Ery Mefri
Di Solok, Sumatera Barat, Ery kecil tumbuh dalam buaian bunda yang
terampil menenun benang emas. Ibunya, Nurjanah, juga seorang pelantun
nyanyian Minang. Sering Ery kecil tertidur sambil menikmati ibunya
bersenandung. Ayahnya, Jamin Manti Jo Sutan, adalah maestro tari
tradisi Minangkabau. Ery kecil yang sering tertidur dalam pangkuan
ayahnya saat memberikan latihan tari, akrab dengan bunyi gendang dan
nyanyian tradisi. Pandangan mata Ery kecil tak lepas dari gerak tari yang
menjadi dunia ayahnya. Begitulah, koreografer yang lahir 23 Juni 1958
ini pun sejak masih balita tumbuh dalam napas seni. Rumah dan kedua
orangtuanya adalah akademi pertama baginya untuk berkesenian.
9.Suprapto Suryodharmo