Anda di halaman 1dari 9

KIMIA

NAMA : TASYA NUR LIWENTINA

KELAS : XA

LAPORAN KIMIA : MEMBUAT ALAT UJI ELEKTROLIT

SMA AL-AZHAR MANDIRI PALU TAHUN AJARAN 2019/2020


1.HASAN M.BAHSYUAN

Tari Pomonte diciptakan oleh Hasan M.Bahsyuan pada tahun 1957 di


Parigi Kabupaten Donggala Sulawesi Tengah. Pomonte berasal dari
bahasa Kaili Tama yag terdiri dari Po yang artinya pelaksana dan Monte
artinya tuai (menuai), jadi Pomonte artinya penuai, menuai. Tari tersebut
diciptakan berdasarkan kebiasaan wanita kabupaten Donggala yang
hidup bertani terutama di desa asal pencipta.

Pasa tahun 1957 tari Pomonte ini diperagakan oleh penari wanita
berjumlah 21 orang. Kemudian pencipta membuatnya lagi menjadi 16
orang. Dan kemudian diubah lagi menjadi 17 orang penari. Ketiga versi
tersebut tidak hilang, tetapi ketiga-tiganya dapat ditarikan sesuai dengan
kemampuan penari itu sendiri atau pelatih. Kecuali apabila menjadi tari
wajib lomba atau tari pilihan lomba akan ditetapkan salah satu versi yang
dipilih. Pada tahun 1968 tari Pomonte ini mengalami perubahan lagi, hal
ini dosebabkan karena penciptanya sendiri belum memiliki koreografi.

Pada versi lama dari tarian Pomonte ini, para penari membawa alat-alat
tarian seperti Toru = tudung (topi), Alu (nalu) = alat menumbuk padi,
bakul (bingga) = tempat padi dan padi (pae) sedangkan pada versi baru
alat-alat tersebut dihilagkan/tidak dipakai lagi karena menurut pencipta
bahwa penggunaan alat-alat tidak praktis dalam menari, karena
sesungguhnya menari itu bukanlah membawakan hal yang nyata
melainkan hanya sebagai simbolis. Setelah mengalami perubahan maka
alat-alat yang dipakai hanyalah Tudung (taro) dan Selendang (salenda).

2.Didik Nini Thowok

Terlahir dengan nama Kwee Tjoen Lian. Karena sakit-sakitan orang


tuanya mengubah namanya menjadi Kwee Tjoen An. Ayah Didik, Kwee
Yoe Tiang, merupakan seorang peranakan Tionghoa yang "terdampar" di
Temanggung sedangkan ibunya, Suminah, adalah wanita Jawa asli, asal
Desa Citayem, Tjilatjap. Didik adalah sulung dari lima bersaudara
(keempat adiknya perempuan). Setelah G30S/PKI, keturunan Tionghoa
diwajibkan mengganti nama Tionghoa mereka menjadi nama pribumi
sehingga nama Kwee Tjoen An pun menjadi Didik Hadiprayitno.

Setelah lulus SMA, impian Didik untuk melanjutkan kuliah di ASTI


Yogyakarta terbentur pada biaya. Didik pun bekerja, tak jauh dari
kesukaannya, menari. Didik menjadi pegawai honorer di Kabin
Kebudayaan Kabupaten Temanggung dengan tugas mengajar tari di
beberapa sekolah (SD dan SMP), serta memberi les privat menari untuk
anak-anak di sekitar Temanggung.

Didik terus mengembangkan kemampuan tarinya dengan berguru ke


mana-mana. Didik berguru langsung pada maestro tari Bali, I Gusti Gde
Raka, di Gianyar. Ia juga mempelajari tari klasik Sunda dari Endo
Suanda; Tari Topeng Cirebon gaya Palimanan yang dipelajarinya dari
tokoh besar Topeng Cirebon, Ibu Suji. Saat pergi ke Jepang, Didik
mempelajari tari klasik Noh (Hagoromo), di Spanyol, ia pun belajar tari
Flamenco.[4]

3.Ki Lurah Bagong

Yaitu nama salah satu tokoh punakawan dalam kisah pewayangan yang
berkembang di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tokoh ini dikisahkan
sebagai anak bungsu Semar. Dalam pewayangan Sunda juga terdapat
tokoh panakawan yang identik dengan Bagong, yaitu Cepot atau
Astrajingga. Namun bedanya, menurut versi ini, Cepot adalah anak
tertua Semar. Dalam wayang banyumasan Bagong lebih dikenal dengan
sebutan Bawor.

Beberapa versi menyebutkan bahwa, sesungguhnya Bagong bukan anak


kandung Semar. Dikisahkan Semar merupakan penjelmaan seorang dewa
bernama Batara Ismaya yang diturunkan ke dunia bersama kakaknya,
yaitu Togog atau Batara Antaga untuk mengasuh keturunan adik mereka,
yaitu Batara Guru.

Gaya bicara Bagong yang seenaknya sendiri sempat dipergunakan para


dalang untuk mengkritik penjajahan kolonial Hindia Belanda. Ketika
Sultan Agung meninggal tahun 1645, putranya yang bergelar
Amangkurat I menggantikannya sebagai pemimpin Kesultanan Mataram.
Raja baru ini sangat berbeda dengan ayahnya. Ia memerintah dengan
sewenang-wenang serta menjalin kerja sama dengan pihak VOC-
Belanda.

4.Sardono Waluyo Kusumo

Lahir di Solo, 6 Maret 1945; umur 74 tahun) adalah seorang penari,


koreografer, dan sutradara film asal Indonesia. Ia adalah salah seorang
tokoh tari kontemporer Indonesia.

Sardono pertama kali belajar menari tarian klasik Jawa 'alusan' pada R.T.
Kusumo Kesowo (master tari kraton Surakarta). Pada tahun 1961, R.T.
Kusumo Kesowo menciptakan sendratari kolosal Ramayana yang
dipentaskan di Candi Prambanan. Tari kolosal ini melibatkan 250 penari
dengan dua set orkestra gamelan. Sardono diserahi tugas untuk
menarikan tokoh Hanoman - meskipun ia terlatih sebagai penari 'alusan'
bukan 'gagahan'. Pada awalnya ia kecewa, tetapi tugas ini memberinya
inspirasi untuk mengadaptasi gerakan Hanoman di tari Jawa dengan silat
yang ia pelajari sejak umur 8 tahun setelah ia melihat komik Tarzan.

5.Mugiyono Kasido
Lahir di Klaten, Jawa Tengah, 1967; umur 53 tahun) adalah seniman
berkebangsaan Indonesia Namanya dikenal melalui sejumlah karyanya
berupa pertunjukan tari, baik sebagai penari maupun koreografer yang
dipentaskan di berbagai kota di Indonesia dan mancanegara.[1][

Mugiyono Kasido lahir di Klaten, Jawa Tengah pada tahun 1967 dari
keluarga dalang. Sejak kecil, Mugi telah bergaul akrab dengan dunia
pertunjukan dan mulai menari sejak pada usia 8 tahun, dengan dasar tari
Jawa klasik. Ia memulai pendidikan formal dalam bidang seni tari di
Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Surakarta yang
diselesaikannya pada 1988 kemudian melanjutkan ke Sekolah Tinggi
Seni (STSI, sekarang ISI Surakarta), lulus 1993. Dalam perjalanan
kariernya, ia belajar banyak dari maestro tari seperti R. Ng. Rono Suripto
dari Pura Mangkunegaran Surakarta (1988-1990), Suprapto Suryodharmo
di Padepokan Lemah Putih Surakarta (1994-1996), dan juga Sardono W.
Kusumo sejak 1994. Memulai karier sebagai koreografer pada 1992,
dengan melahirkan karya tari Mati Suri yang dipentaskan di Keraton
Mangkunegaran Surakarta. Tarian ini meraih Tropi Mangkunegara IX
Keraton Surakarta sebagai Penyaji Terbaik Tari Kontemporer. Karya-
karyanya juga dipentaskan di sejumlah festival di berbagai negara
seperti, Lincoln Center Festival (Amerika Serikat), Kunsten Festival des
Arts (Belgia), Goteborg Festival (Swedia), Adelaide Festival (Australia),
Hong Kong Arts Festival, In Transit Festival (Jerman), Dancas na Cidade
(Portugal), dan Asian Contemporary Dance Now (Jepang)

6.Alfiyanto, S.Sn., M.Sn

Lahir di Bukittinggi, Sumatera Barat, 1 Mei 1968; umur 51 tahun) adalah


seorang penata tari dan pengajar Indonesia.[1][2]

Ia merupakan alumni ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia)


Padangpanjang dan Sekolah Tinggi Seni Indonesia Bandung jurusan tari.
[3][4]
Alfiyanto bergabung dengan sanggar tari pimpinan maestro tari
Indonesia, Gusmiati Suid pada tahun 1990-an setelah terpilih sebagai
salah seorang penari yang akan dibawa ke Amerika Serikat dalam rangka
misi kebudayaan, ketika Gusmiati Suid mencari penari ke
Padangpanjang. Sejak saat itu Alfiyanto semakin percaya diri bahwa
dunia tari juga bisa jadi andalan sebagai sumber kehidupan.[3]

7.Eko Pece

Yang memiliki nama asli Eko Supriyanto (lahir di Banjarmasin,


Kalimantan Selatan, 26 November 1970; umur 49 tahun)[1] adalah penari,
koreografer, dan dosen berkebangsaan Indonesia. Namanya mulai
dikenal secara internasional saat ditunjuk oleh penyanyi Madonna untuk
menjadi penata tari untuk 268 kali konsernya di berbagai negara.
Pertunjukan Lion King di Teater Broadway New York, Amerika Serikat
juga tak lepas dari sentuhan karyanya. Eko juga terlibat sebagai penata
tari untuk ajang Miss World yang diselenggarakan di Bali (2013) dan
Asian Games 2018 yang digelar di Jakarta/Palembang.[2]

Eko Supriyanto lahir di Astambul, Kalimantan Selatan, 26 November


1970, tetapi dibesarkan di Magelang, Jawa Tengah. Darah seni mengalir
dari kakeknya, Djojoprayitno, penari wayang orang Sri Wedari (Solo)
1960-an. Usia 7 tahun, Eko belajar silat dan tari Jawa dari kakeknya dan
ketika kakeknya meninggal, ia melanjutkan belajar dari 2 guru tari
setempat: Kahari dan Alit Maryono. Di bangku SMP, Eko mulai belajar
tari rakyat Kuda Lumping dan Kubro Siswo.[3]

Eko masuk Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI 1990-1997) Surakarta


mendalami tari Jawa dengan S. Maridi dan S. Ngaliman, belajar tari-
tarian daerah lain dan koreografi a.l., dari Soenarno dan S. Pamardi. Di
luar kampus, ia berguru ke Suprapto Suryodarmo dan Sardono W.
Kusumo. Dia aktif membuat koreografi sejak mahasiswa. Dua kali ia
tampil dalam Indonesian Dance Festival (IDF) dengan Lah (1994) dan
Leleh (1996) yang mengantarkannya ke American Dance Festival (ADF
1997) di Durham, North Carolina dan Asia Pacific Performance
Exchange (APPEX 1997) di Los Angeles, AS. Kemudian Eko
melanjutkan kuliah di Department World Arts and Culture di UCLA,
California (1998-2001). Kini disamping mengajar di Institut Seni
Indonesia (ISI d/h STSI) ia mengambil program S-3 Kajian Seni
Pertunjukan di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.[4]

8.Ery Mefri

adalah seorang koreografer pelopor tarian kontemporer yang berakar


tradisi Minang. Karya-karya tarinya mendapat perhatian dari berbagai
festival internasional, antara lain di Australia, Jerman, Amerika Serikat,
dan Singapura. Peraih penghargaan Tuan Sakatao dari gubernur
Sumatera Barat ini juga turut melestarikan seni tradisi Minangkabau
melalui festival pertunjukan seni tradisi, “Festival Nan Jombang Tgl 3”,
yang diselenggarakan setiap bulan di sanggarnya, Ladang Nan Jombang,
di kota Padang.

Falsafah Minang, “alam takambang jadi guru” (alam terkembang adalah


guru), Ery hayati menjadi nilai-nilai dalam menjalani aktivitas
koreografinya.  Ia mencintai seni tradisi dan memperbaharuinya dalam
genre tarian kontemporer. Menurut Ery, masuknya unsur modern adalah
bagian dari pengayaan tradisi, yang pada dasarnya tidak merusak satu
sama lain, melainkan saling melengkapi dan mengisi. Adapun tarian
adalah napas hidup yang mengasah kepekaan nurani yang dibutuhkan
setiap bangsa dan negara.

Di Solok, Sumatera Barat, Ery kecil tumbuh dalam buaian bunda yang
terampil menenun benang emas. Ibunya, Nurjanah, juga seorang pelantun
nyanyian Minang. Sering Ery kecil tertidur sambil menikmati ibunya
bersenandung. Ayahnya, Jamin Manti Jo Sutan, adalah maestro tari
tradisi Minangkabau. Ery kecil  yang sering tertidur dalam pangkuan
ayahnya saat memberikan latihan tari, akrab dengan bunyi gendang  dan
nyanyian tradisi. Pandangan mata Ery kecil tak lepas dari gerak tari yang
menjadi dunia ayahnya. Begitulah, koreografer yang lahir 23 Juni 1958
ini pun sejak masih balita tumbuh dalam napas seni. Rumah dan kedua
orangtuanya adalah akademi pertama baginya untuk berkesenian.

Sejak duduk di SD, Ery terampil menenun benang emas, meskipun


umumnya seni tenun dijalankan oleh anak perempuan. Ketika orang-
orang menantangnya untuk menari, Ery  menarikan tari piring dengan
penuh daya pikat, padahal ia belum sempat turut berlatih. Ayahnya
tercengang saat melihat penampilannya yang pertama. Rupanya,
pendengaran dan pengamatannya pada tarian saat ia dalam buaian
ayahnya yang membimbingnya.

9.Suprapto Suryodharmo

Lahir di Surakarta, Jawa Tengah, tahun 1945; umur 75 tahun) adalah


seniman dan penata tari berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal
sebagai koreografer andal yang dimiliki Indonesia saat ini. Ia banyak
melahirkan penari-penari muda yang datang kepadanya untuk belajar.
Untuk mendukung eksplorasi geraknya, Suprapto juga belajar silat,
kungfu, dan meditasi

Suprapto Suryodharmo sudah mengakrabi dunia kesenian, khususnya


seni tari sejak usia muda. Saat remaja, ia mengikuti ayahnya ke gunung,
pepundhen, sendang, dan kuburan. Selama menemani sang ayah
berpetualang, ia pun ikut menjalani laku seperti puasa, tidur di sendang
atau pun kuburan untuk lebih mengheningkan sukma. Bakat seninya juga
terbentuk oleh lingkungan sekitar, dan minatnya tumbuh saat sering
mendengar lantunan gending atau langgam. Kemlayan, kampungnya,
merupakan perkampungan tempat tinggal para pengrawit (musisi
gamelan) keraton.[4]

Pada 1966, Suprapto mendirikan kelompok kebudayaan Bharada


(singkatan dari bhinneka raga budaya) yang berkumpul secara rutin di
rumahnya untuk belajar dan melakukan gladhi (latihan). Pelatih-pelatih
Bharada di antaranya adalah S. Ngaliman dan Mloyo Widodo, tokoh-
tokoh terkenal dunia tari dan gamelan yang merupakan penjelmaan nilai-
nilai spiritual dan artistik Jawa tradisional. Tahun 1967, ia masuk kuliah
di Jurusan Karawitan ASKI Surakarta (sekarang ISI Surakarta), tak lama
kemudian, ia terpilih sebagai ketua senat mahasiswa. Dengan posisinya
tersebut, beberapa dia kali mengadakan lokakarya, pertunjukan, dan
festival dengan mengundang seniman seperti penyair dan sutradara W.S.
Rendra.[5]

Anda mungkin juga menyukai