Anda di halaman 1dari 9

TUGAS

ANALISIS TARI

OLEH :

RANDI RIVANDIKA OO206 / 2008

JURUSAN PENDIDIKAN SENDRATASIK FAKULTAS BAHASA DAN SENI UNIVERSITAS NEGERI PADANG 2012

Sejarah Perkembangan.

1950. Tari Pendet disepakati lahir. Tari Pendet tetap mengandung anasir sakral-religius dengan menyertakan muatan-muatan keagamaan yang kental. Pada 1961, I Wayan Beratha mengolah kembali tari pendet tersebut dengan pola seperti sekarang, termasuk menambahkan jumlah penarinya menjadi lima orang. Berselang setahun kemudian, I Wayan Beratha dan kawan-kawan menciptakan tari pendet massal dengan jumlah penari tidak kurang dari 800 orang, untuk ditampilkan dalam upacara pembukaan Asian Games di Jakarta. 1967. Koreografer bentuk modern Tari Pendet. Pencipta atau koreografer bentuk modern tari Pendet ini adalah I Wayan Rindi (?-1967), merupakan penari yang dikenal luas sebagai penekun seni tari dengan kemampuan menggubah tari dan melestarikan seni tari Bali melalui pembelajaran pada generasi penerusnya. Semasa hidupnya ia aktif mengajarkan beragam tari Bali, termasuk tari Pendet kepada keturunan keluarganya maupun di luar lingkungan keluarganya.

Tari Selampit Delapan Masyarakat Jambi A. Selayang Pandang Tari selampit delapan merupakan tari tradisional yang berasal dari Provinsi Jambi. Tari ini pertama kali diperkenalkan oleh M. Ceylon ketika bertugas pada Dinas Kebudayaan Provinsi Jambi pada tahun 1970-an. Pria kelahiran Padang Sidempuan 7 Juli 1941 ini memiliki bakat yang luar biasa dalam bidang kesenian, terutama seni tari. Sebagai pribadi yang baik, ramah, dan enerjik membuat dia mudah beradaptasi dengan budaya dan lingkungan setempat. Aktivitasnya yang lebih banyak bergulat dalam bidang kebudayaan menjadikan dirinya berhasil menangkap pesan terdalam dari pergaulan masyarakat yang kemudian diolah menjadi sebuah karya seni bernama Tari Selampit Delapan. Dalam perkembangannya, tari tersebut kemudian ditetapkan menjadi salah satu tarian khas Provinsi Jambi. Tari pergaulan ini pertama kali dimainkan oleh delapan orang dengan menggunakan sumbu kompor sebanyak 8 tali yang diikat atau digantung pada loteng. Ceylon memberi nama tarian tersebut dengan nama Tari Selampit Delapan yang merujuk pada 8 tali yang digunakan

dalam tarian. Sahabat Ceylon yang bernama O.K. Hendrik kemudian menyarankan untuk mengganti sumbu kompor dengan syal supaya tari yang dimainkan tampak lebih menarik. Usulan tersebut disetujui oleh Ceylon, sehingga dalam setiap kesempatan pementasan Tari Selampit Delapan, syal digunakan sebagai media tari sampai sekarang. Oleh M. Ceylon, Tari Selampit pertama kali diperkenalkan untuk merekatkan hubungan pergaulan antarpemuda. Melalui media tari, suasana keakraban antarpemuda dapat terbangun dengan baik. Setiap gerak dalam tari ini menggambarkan kekompakan, dan kekompakan itulah yang menjadi panduan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam Tari Selampit Delapan terkandung sebuah pesan yang dalam tentang makna sebuah pergaulan, bahwa pergaulan yang baik dilandasi oleh keimanan, saling menghargai, dan berperilaku bijaksana. Tentunya pandangan ini tidak terlepas dari falsafah hidup masyarakat Jambi yang memegang teguh nilai-nilai keimanan sebagai landasan dalam setiap pergaulan. Tari Selampit Delapan banyak ditampilkan pada kegiatan-kegiatan pesta, seperti pesta adat dan promosi budaya. Pada kegiatan pesta, tari ini ditampilkan dalam hari-hari besar yang terdapat di Kota dan Provinsi Jambi, seperti penganugerahan gelar pusaka adat, Hari Ulang Tahun Kota Jambi yang jatuh pada bulan Mei, Hari Ulang Tahun (HUT) Provinsi Jambi pada bulan Januari, dan pesta masyarakat Jambi dalam memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia (RI) yang jatuh pada tanggal 17 Agustus. Dengan adanya sajian Tari Selampit Delapan, kegiatan pesta diharapkan menjadi lebih meriah. Pada skala besar, tari ini ditampilkan dalam kegiatan kebudayaan baik yang bersifat lokal maupun nasional di luar Provinsi Jambi. Bahkan tidak jarang Tari Selampit Delapan ditampilkan sebagai salah satu media promosi budaya Nusantara di luar negeri. B. Keistimewaan Dalam Tari Selampit Delapan para penonton dapat menyaksikan gerakan yang luwes yang disuguhkan oleh para penari. Tarian dibuka dengan gerakan jongkok lalu memutar sembari menghaturkan salam sembah pada penonton sebagai rasa hormat. Hal ini menjadi salah satu ciri khas dalam tari-tarian Melayu. Para penari melakukan gerakan salam sebagai penghargaan terhadap penonton atas kesediaannya menyaksikan persembahan tari mulai dari awal hingga selesai. Salam pembukaanSumber Foto: sultangurun.multiply.com Usai menghantarkan salam penghormatan, tarian dilanjutkan dengan melakukan gerakan inti. Masing-masing penari segera mengambil syal yang tergantung untuk selanjutnya bersiap melakukan gerakan inti. Mereka kemudian membentuk sebuah lingkaran sebelum melakukan gerakan berputar. Perlahan-lahan satu persatu dari para penari berputar untuk merajut syal,

gerakan ini dilakukan secara bergiliran dengan gerakan gemulai, sehingga syal menyatu menjadi lilitan yang indah. Setelah syal menyatu dengan bagus, maka gerakan tari dilanjutkan dengan membuka rajutan syal. Gerakannya pun dilakukan persis seperti gerakan awal ketika membuat rajutan. Setelah rajutan selesai dibuka, maka posisi para penari kembali membentuk formasi lingkaran sembari memainkan syal tersebut dengan gerakan yang teratur dan dilakukan sampai selesai hingga syal kembali terbuka seperti sedia kala. Proses merajut atau melilitkan syal yang dilakukan oleh para penariSumber Foto: sultangurun.multiply.com Gerakan tarian bertambah menarik dengan komposisi warna-warni pakaian dan syal yang dipakai para penari. Para penari yang berjumlah 8 orang (4 pasang) tampil dengan komposisi pakaian yang beraneka warna, seperti biru, kuning, merah, dan merah muda dengan warna syal yang senada. Aneka warna tersebut kelihatan indah berpadu dengan sarung tenun khas Melayu Jambi yang terbuat dari sutra bersulam emas yang dipakai sebagai ikat pinggang. Warna-warni pakaian para penari Selampit DelapanSumber Foto: sultangurun.multiply.com C. Lokasi Tari Selampit Delapan dapat dijumpai di Kota Jambi, Provinsi Jambi, Indonesia. Biasanya tarian tersebut ditampilkan dalam kegiatan kebudayaan masyarakat Jambi, seperti pesta budaya, peringatan Hari Ulang Tahun Kota Jambi, Provinsi Jambi, serta Hari Ulang Tahun RI. D. Akses Untuk menuju Kota Jambi perjalanan dapat ditempuh dengan menggunakan angkutan kota (metro mini), taksi, atau mobil pribadi. Jika menggunakan angkutan umum (angkot), perjalanan dapat dimulai dari Bandar Udara Sulthan Thaha Syaifuddin Jambi dilanjutkan ke Telanai Pura, Kota Jambi yang sekaligus menjadi Ibu Kota Provinsi Jambi dengan waktu tempuh sekitar 15 menit. E. Harga Tiket Untuk menyaksikan pertunjukan tari ini tidak dipungut biaya. F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya Bagi para wisatawan dari luar kota yang ingin berlama-lama di Kota Jambi untuk menyaksikan Tari Selampit Delapan, dapat menginap di hotel yang banyak terdapat di kota tersebut. Di samping itu, di sepanjang jalan di Kota Jambi banyak terdapat rumah makan dan restoran yang menyajikan aneka menu masakan khas Melayu Jambi. (Diolah dari berbagai sumber/Noor Fadlli Marh/wm/78/12-08)

diposkan oleh Fery Afrianto pada 12:44

Huriah Adam, Legenda Penari Minangkabau

Penuh Kreasi: Pementasan dramatari Malinkundang di Jakarta. (Insert) Huriah Adam Pengantar: Pada Hari Pahlawan 2011 lalu, Presiden Dr H Susilo Bambang Yudhoyono menyerahkan gelar Pahlawan Nasionaldi antaranya pada alm Mr Syafruddin Prawiranegara dan Prof Dr Hamka, Selasa 9 November 2011. Dan, bersamaan, Presiden pula menyerahkan Bintang Budaya Parama Dharma kepada 10 tokoh, di antaranya Almh Huriah Adam, panari terkemuka dari Minangkabau yang diterima para ahli warisnya di Istana Negara. Sembilan seniman dan budayawan lainnya, (alm) Benyamin Sueb, (alm) Hasbullah Parindurie, (alm) Harijadi Soemadidjaja, (alm) Gondo Durasim, (alm) Idrus Tintindipublikasi secara luas di Pekanbaru, (alm) Kwee Tek Hoay, (alm) Sigit Sukasman, (alm) Go Tik Swan (alm), dan (alm) Gedong Bagus Oka.

TIDAK banyak dari kita yang menyadari/memberi perhatian, bahwa almarhumah Huriah Adam (1936-1971), dari Padangpanjang, salah seorang dari 10 seniman dan budayawan yang mendapat penghargaan Bintang Budaya Parama Dharma dari Presiden Dr Susilo Bambang Yudhoyono. Sesungguhnya, 34 tahun sebelumnya, sebagai pembina dan seniman tari daerah Minangkabau, Huriah Adam menerima Anugerah Seni dari Presiden Soeharto, Mei 1977.

Secara bersesuaian, mengabadikan dedikasinya sebagai penari yang menggali khazanah budaya Minangkabau sebagai ramuan tarinya, Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta mengabadikan nama Huriah Asam untuk bengkel tari di kompleks kesenian Jakarta itu. Yayasan Pembina Pembangunan Sumatera Barat, yang di periode awal dipimpin Ny Nelly Adam Malik membuka semacam beasiswa Huriah Adam. Sayang, Huriah tak sempat melihat secara utuh keberhasilan dari apa yang diupayakannya selama itu.

Tokoh Huriah Adam dilahirkan di kota Padangpanjang tanggal 6 Oktober 1936. Ayahnya, Syekh Adam Balaibalai ( BB, 1889-1953), adalah seorang ulama yang mempunyai minat

besar dan usaha nyata mengembangkan kesenian di daerahnya. Kegiatan kesenian, bahkan menjadi ciri dari keluarga Adam. Saudara-saudara Huriah, yaitu Bustanil Arifin, Irsjad, dan Achyar, mengarahkan perhatian utama mereka ke bidang musik, sedang Huriah Adam sendiri bergerak paling banyak di bidang tari dan seni rupa.

Kelima anaknya, termasuk Huriah, menjadi penari, pemahat, perupa, dan juga sastrawan. Kakaknya, Boetanoel Arifin Adam (1923-1995), berpendidikan INS Kayutanam di bawah pimpinan Angku M Syafei dan sekolah Konservatori Musik di Brusel (1951-1956), sehingga ia dipercaya memimpin ASKI (Akademi Seni Karawitan Indonesia) Padangpanjang, dan jadi Asisten III Bidang Kebudayaan Kantor Perwakilan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Sumatera Barat di Padang.

Kakak perempuannya, Rohani Adam (lahir 1930) setamat PTPG di Padang (1959) jadi guru SMA Negeri Surabaya. Kakaknya, Irsyad Adam (lahir 1934) sangat menonjol dalam seni musik (biola). Pendidikan INS Kayutanam (1943-1947), dan sekolah pada Conservatori di Brussel, Belgia, bersama kakaknya, Boestanoel Arifin Adam (1923-1956). Ia jadi dosen di Akademi seni Kerawitan Indonesia (ASKI) Padangpanjang, Adiknya Huriah, Achyar Adam (lahir 1938), tahun 1966 jadi guru di SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) di Padangpanjang. Adik bungsunya, Abrar Adam (1941), perwira KKO Angkat Laut di Surabaya.

MELALUI Madrasah Irsyaddin Naas (MIN) Padangpanjang yang dipimpinya, Syekh Adam mengantarkan Huriah kecil, pada tahun keempat usianya, tampil menari di hadapan umum untuk pertama kali. Huriah kecil membuka tabir kefanatikan Padangpanjang ke arah perkembangan kesenian yang maju.

Selain pendidikan umum, Huriah menimba pengetahuan dan pendidikan kesenian di Gedung Kesenian Padangpanjang pimpinan Angku Muhammad Sjafei, pendiri INS Kayutanam. Di sini Huriah mengenal berkesenian lebih teratur dibimbing Syofyan Naan (tari), Nurdin (melukis), Ramudin (musik, khusus biola), dan Syahbuddin (patung). Untuk membekali dirinya, selama 3 tahun (1951 -1954), Huriah secara khusus belajar silat dan tari tradisi Minangkabau pada Datuk Tumanggunglebih populer dengan panggilan Pakiah Nandung, yang saat itu berusia 85 tahun. Pakiah seorang guru silat dan tari tradisional terkenal di Luhak Nan Tigo. Pakiah memberi Huriah semacam diploma yang menyatakan: Huriah telah mencapai nilai terbaik selama pengalaman mengajarnya.

Menurut Syamsdar, Huriah merupakan salah seorang penari yang telah mahir membawakan tari Sewah, tari Sijundai, tari Alang Bentan, tari Adau-adau, tari Pado-Pado, di samping juga tari Adok, tari Padang, tari Piring, tari Sibadindin, dan tari Gelombang.

Apa diperoleh Huriah belajar dengan Pakih Nandung jadi pijakan baginya di dalam melakukan pengolahan dan proses penciptaannya. Pengalaman ini lebih diperdalamnya di (ASRI) Akademi Seni Rupa Indonesia Yogyakarta (1955-1957) (tidak tamat).

Bagi Huriah, pendidikan diterimanya di lingkungan sekolah jadi pelengkap bagi pendidikan yang diterimanya di rumah tangga, sehingga mematangkannya sebagai seorang seniman dan koreografer tari. Apalagi setelah dipersunting Ramudin, pemain biola, yang menjadi pengganti ayahnya. Suaminya menjadi pendorong baginya dalam berkarya sesuai dengan yang dicita-citakannya.

Grup pertama yang dibentuknya (awal 1958) tampil di Bukittinggi. Sejak itu nama Huriah berkiprah di belantara dunia kesenian dengan konsep dan proses penciptaan jelas. Semua tari ciptaannya berdasarkan gerak pokok tari dan pencak Minang asli. Unsur-unsur Minang diberi bumbu dan diisi dengan unsur tari daerah lain, seperti tari Jawa, tari Bali, tari Palembang, dan tarian daerah lain, sehingga menuju tari nasional.

Dia selalu mengolah tari agar mudah dimengerti, selalu indah geraknya dan dapat disesuaikan dengan cita-cita satu bangsa dan satu kebudayaannya yang diperkaya kombinasi serta diiringi oleh biola sebagai selingan rebab. Tari daerah yang pada umumnya tertidur nyenyak dibangunkannya kembali dengan menyesuaikan teori dengan panggilan zaman.

Tari rakyat Minangkabau, kata Huriah, pada dasarnya ada dua ragam. Ragam pesisir yang lebih lemah gemulai, seperti tari Payung, tari Saputangan, tari Salendang. Ragam tari Darek (hightlanding) yang lincah, kuat, seperti tari Piring, tari Sewah, tari Alang Bentan, dan tari Ulu Ambek. Di setiap kampung di Minangkabau, ada tari dan lagu masing-masing. Umpamanya, tari Adau-Adau, tari Pado-Pado, tari Sewah, dan tari Piring, misalnya. Semuanya diselidiki Huriah, dijadikan bahan studi, dan diambil sebagai unsur-unsur pokok, diasimilasi dengan daerah lain yang menambah variasi, diolah dalam laboratorium kesenian, jadi suatu tari dengan tema cerita rakyat. Umpama, Malin Deman, Sabai Nan Aluih, Cindua Mato, menjadi tari Indonesia.

Di antara karya tari yang sanat populer yang diciptakan Huriah dalam masa terakhirnya di TIM (sebelum dia wafat), adalah Seni Drama Tari Malikundang dalam 3 tahap, dipentaskan di Jakarta dan Padangpanjang (1969, dan 1971). Sebelumnya, Pemandangan Ngarai/Koto Gadang Bukittinggi (1963), Pemandangan Singkarak (7 Agustus 1963), Pemandangan Ombak Badabua, Pemandangan Lembah Anai, Pemandangan Bukit Kapur Padangpanjang, Bunga Dahlia, Bunga Melati, Bunga Ros, Bunga Talas, Pemandangan Danau Maninjau, Pemandangan Desa, Kapal dan Laut, dan Ngarai Sianok.

BAGI Huriah, ayahnya, membuka jalan bagi pengabdiannya pada seni. Meskipun ayahnya seorang guru agama, tak memaksa anak-anaknya menekuni bidang agama saja. Sebaliknya, Adam melihat bakat seni yang besar pada anak-anaknya termasuk bakat seni anak perempuannya, Huriah. Ayahnya melengkapi madrasah yang dipimpinnya dengan pentas dan alat-alat musik.

Kegiatan-kegiatan Pusat Kebudayaan di Padangpanjang (1947, 1958, satu masa pendek

1953), Huriah Adam mengikuti beberapa pelajaran di ASRI Yogyakarta, setelah ia lulus SMP di Padangpanjang (1951). Dia tinggal di Yogya, dan pulang ke Padangpanjang, lalu menikah dengan pemain biola Ramudhin. Namun kegiatan keseniannya tidak terhenti karena pernikahannya. Seterusnya, dia melahirkan lima anak, kesenian tetap menjadi lapangan pengabdiannya.

Tahun 1959-1968, dia jadi anggota dari URRIL Kodam III Sumatera Barat. Dia membentuk grup sendiri. Pada masa pertikaian PRRI, Huriah dan grup seninya sering dikirim ke berbagai, mengadakan pertunjukan-pertunjukan. Ini, suatu hal yang agak luar biasa bagi masyarakat Minang, yang tadinya menganggap tidak pantas apabila wanita begitu bebas menyiarkan tari-tarian di depan umum. Huriah tetap pada langkah yang diambilnya. Ia mendapat sambutan baik dari Presiden Soekarno, Jenderal Achmad Yani, dan keluarga Adam Malik.

Dalam masa tugas pada URRIL (1963) dia pernah dikirim ke Jakarta, memimpin tim tari ikut meriahkan pesta olahraga internasional Ganefo. Huriah adalah seorang yang tak mau dikekang, dia selalu mau mengejar cakrawala-cakrawala yang lebih luas.

Karena di Padangpanjang pentasnya dirasakannya terlalu sempit, dia terbang ke Jakarta (1968). Lalu, dia bekerja sama dengan rekan-rakan dari berbagai latar belakang tari pada suatu Bengkel Tari di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta. Saat dia waktu mengikuti Expo 1970 di Jepang, dia banyak mendapat pengalaman tari dan gagasan-gagasan baru dari penari Sardono W Kusumo, seorang yang juga diakui sebagai guru.

Menurut catatan Ensiklopedi Jakarta dan Guests cannot see links in the messages. Please register to forum by clicking here to see links., sejak awal 1971, Huriah menjadi pengajar tari pada jurusan tari, Akademi Teater Tari, Lembaga Pendidikan Kesenian Jakarta (LPKJ) di TIM Jakarta, beberapa karya tari yang diciptakannya dalam masa terakhir menjelang wafat, adalah drama tari Malin Kundang dalam tiga edisi, J.I. tahun 1969 di Jakarta dan di Padangpanjang (1971), dan tari-tari pendek bernamakan tari Payung, tari Pedang, tari Rebana dan tari Sepasang Api Jatuh Cinta. Sebelum itu adalah tari Sapu Tangan, tari Lilin, Gadis Lembah, tari Nelayan, Nina Bobok, tari Pahlawan, tari Pembebasan, Sandang Pangan dan Berabah.

Tari Berabah, konon paling disenangi dan dianggap Huriah sebagai tari yang paling lengkap dan menunjukan dasar tari Minang tradisional dan sekaligus yang diolahnya sedemikian rupa sehingga membayangkan watak kegagahan dan kebebasan yang begitu merupakan cermin dari aspirasinya.

SOSOK Huriah Adam tidaklah lengkap apabila belum dicatat bahwa di samping seorang penari dan pencipta tari terkemuka dari Minangkabau, dia terampil memainkan alat-alat musikterutama biola, seorang pelukis, dan pemahat. Bahkan, dia pula berkeinginan lebih banyak melukis daripada yang sempat dilakukannya. Dalam seni pahat, karya patung dirinya yang menari adalah Patung Pembebasan di Bukittinggi.

Pada tahun 1971, selain sebagai dosen di LPKJ TIM Jakarta, Huriah adalah dosen ASKI Padangpanjang dalam mata kuliah tari Minang. Waktu itu, didapat persetujuan dengan Direktur LPKJ Umar Kayam, Huriah menjadi pengajar ASKI Padangpanjang selama 1 tahun. Ongkos ke Padang dibayar oleh TIM dan ongkos ke Jakarta ditanggung ASKI Padangpanjang. Waktu pulang ke Padang, tanggal 10 November 1971, pulang berlebaran dan juga dalam rangka tugas ke ASKI Padangpanjang.

Pagi-pagi, 10 November 1971, suaminya, Ramudin mengantar Huriah pulang ke kampung halaman, Padangpanjang. Semula akan berangkat naik Garuda, namun dia pindah naik Merpatikarena pesawat Garuda ditunda terbang beberapa jam. Ramuddin diminta Huriah menjemput tasnya yang ketinggalan, tak sempat melepas isterinya berangkat lebih dahulu dengan pesawat Merpati. Ketika ia duduk menantikan beduk berbuka, Radio Malaysia memberitakan bahwa terjadi kecelakaan pesawat Merpati jurusan Jakarta-Padang, hilang tidak mendarat di tempat tujuan.

Pesawat terbang Merpati jurusan Jakarta-Padang yang ditumpangi Huriah Adam menghilang sekitar wilayah Kepulauan Katang-Katang, bagian barat provinsi Bengkulu, dan tak pernah ditemukan sampai kini. Begitupun dengan jenazah Huriah Adam, dan juga gadis kecil Ria, putri sulung dan satu-satunya anak perempuan (lima bersaudara) dari Letjen TNI Purn Ir H Azwar Anas Dt Rajo Sulaiman.

Huriah telah melukis namanya dalam sejarah, dan kita pun menginsyafi bahwa Huriah memang pantas untuk dikenang, di hati kita sebagai seorang seniman yang menjadi teladan. Semua warisan-warisan berupa ciptaan koreografinya akan kita pergelar terus setiap ada kesempatan. Lalu, Huriah telah pergi. Seperti menyatu pada puisi pendek dipilihkan oleh Muhammad Yamin, tertera pada Tugu Pahlawan tak Dikenal yang dipancangnya pada tahun 1965:

Semula lorong-lorong sempit kini terbuka lebar Semua pulau keliling berkabut Kini berangsur mengunjukkan diri Kehilangan yang tidak bisa ditemukan diungkapkan dalam: Tempat terakhir takkan dapat dicari Tempat yang begitu nyaman sejuk Berjuta makhluk berusaha mencari.

Anda mungkin juga menyukai