Anda di halaman 1dari 18

KLIPING

SENI TARI

Anggota Kelompok :

1. Estia Novi Zaidaani


2. Intan Naila Firjatulloh
3. Intan Pradina Maulida
4. Kusuma Yanti Rianita Sari
5. Siti Nafiah
6. Nadira Najwa Nazhifah
7. Tri Puji Lestari

KELAS VII E

SMP NEGERI 18 PURWOREJO

TAHUN PELAJARAN 2022/2023


1. TARI DOLALAK

Tari Dolalak merupakan kesenian tradisional. Nama Dolalak yang melekat pada tarian ini berasal
dari not "Do" dan "La". Hal ini disebabkan oleh karena musik pengiring tarian ini dari dari tangga nada
tersebut. Tari Dolalak lebih sering tampil di atas panggung bukan di halaman atau lapangan. Berikut ini
adalah sejarah, fungsi, busana, gerakan, dan musik pengiring Tari Dolalak.

Sejarah Tari Dolalak


Tari Dolalak muncul sebagai tiruan dari gerakan dansa para serdadu Balanda. Pengembangan tarian
ini dilakukan oleh tiga orang pemuda dari Sejiwan, Kecamatan Loano, Purworejo. Mereka bernama
Rejotaruno, Duliyat, dan Ronodimejo. Ketika pemuda tersebut yang mengembangkan kesenian Belanda
menjadi kesenian masyarakat setempat. Dalam perjalanan waktu, tari Dolalak mengalami perubahan dan
pengembangan.

Tari Dolalak pertama kali dipentaskan pada tahun 1915. Pementasan kesenian ini sempat turun pada
tahun 1940-an. Kemudian sebelum 1968, semua penari Dolalak adalak laki-laki dewasa yang berjumlah 10
hingga 16 orang. Setelah itu, tari Dolalak baru dibawakan oleh penari perempuan. Pergeseran peran
tersebut disebabkan penari perempuan lebih energik dalam menampilkan tarian, sehingga masyarakat lebih
menikmati kesenian ini.

Fungsi Tari
Dolalak Tari Dolalak memiliki beragam fungsi, yaitu sebagai tari hiburan di kalangan masyarakat,
tari penyambutan tamu di kalangan pemerintahan, media belajar untuk para remaja, memeriahkan hari
besar nasional, dan apresiasi budaya.

Gerakan Tari
Dolalak Tari Dolalak menampilkan beberapa jenis tarian. Dimana setiap jenis tarian dibedakan
dengan syair lagu yang dinyanyikan sebanyak 20 hingga 60 lagu. Setiap pergantian lagu berhenti untuk
meberikan jeda. Pada awal tarian, penari akan duduk bersila di tengah area pertunjukan. Kemudian, penari
menari bersama-sama dengan berbagai bentuk komposisi, seperti berpasangan, trio, atau kwartet. Puncak
pementasan, penari akan menari secara mandiri dalam kondisi kesurupan. Masyarakat setempat mengenal
kondisi kesurupan ini dengan sebutan "ndadi".

Secara koreografi, Tari Dolalak dapat dibedakan menjadi tari tunggal, tari berpasangan, dan tari
kelompok. Tari Dolalak yang ditampilkan secara berkelompok akan ditarikan sebanyak 10 sampai 20 orang
sedangkan untuk acara tertentu tarian dapat ditampilkan secara massal. Gerakan Tari Dolalak tidak hanya
menunjukkan keindahan melainkan memiliki sejumlah makna. Gerakan mengangguk-angguk sebagai
ajaran akhlak berupa penghormatan terhadap orang lain dan sopan santun kepada orang yang lebih tua.

Busana Tari
Dolalak Busana penari Dolalak mirip dengan tentara Belanda. Busana penari Dolalak menggunakan
kemeja lengan panjang dan celana.Panjang celana ada yang di atas lutut dan ada yang di bawah lutut. Untuk
penari putri muncul seragam berhiaskan emas. Busana penari Dolalak dilengkapi dengan selendang atau
sampur yang biasanya berwarna kuning cerah. Namun, ada juga selendang penari Dolalak yang berwarna
merah. Pelengkap busana lainnya berupa kaus kaki dan topi khas serdadu. Topi ini berwarna hitam
dilingkari kain batik warna kuning keemasan. Penari juga dilengkapi dengan kacamata.

Musik Pengiring
Tari Dolalak Tari Dolalak diiringi musik sederhana yang merupakan lantunan syair-syair dan
pantun-pantun Jawa. Alat musik yang digunakan untuk mengiringi tari Dolalak, yaitu jidhur, terbang,
kendang, dan nyanyian atau syair. Sejalan dengan perkembangan zaman, ada juga yang menambahkan
keyboard atau organ tunggal. Permainan alat musik dilakukan dengan sederhana, yaitu mengiringi secara
ritmis sesuai gerakan penari. Musik utama Dolalak adalah syair dan jidur dimana keduanya sangat terikat
erat dengan gerakan penari
2. TARI GAMBYONG

Gambyong merupakan salah satu bentuk tarian Jawa klasik yang berasal-mula dari
wilayah Surakarta dan biasanya dibawakan untuk pertunjukan atau menyambut tamu. Gambyong bukanlah
satu tarian saja melainkan terdiri dari bermacam-macam koreografi, yang paling dikenal adalah Tari
Gambyong Pareanom (dengan beberapa variasi) dan Tari Gambyong Pangkur (dengan beberapa variasi).
Meskipun banyak macamnya, tarian ini memiliki dasar gerakan yang sama, yaitu gerakan
tarian tayub/tlèdhèk.[1] Pada dasarnya, gambyong dicipta untuk penari tunggal, tetapi sekarang lebih sering
dibawakan oleh beberapa penari dengan menambahkan unsur blocking panggung[1] sehingga melibatkan
garis dan gerak yang serba besar.[2]

Sejarah
Serat Centhini, kitab yang ditulis pada masa pemerintahan Pakubuwana IV (1788-1820)
dan Pakubuwana V (1820-1823), telah menyebut adanya gambyong sebagai tarian tlèdhèk. Selanjutnya,
salah seorang penata tari pada masa pemerintahan Pakubuwana IX (1861-1893) bernama K.R.M.T.
Wreksadiningrat menggarap tarian rakyat ini agar pantas dipertunjukkan di kalangan para bangsawan atau
priyayi.[3] Tarian rakyat yang telah diperhalus ini menjadi populer dan menurut Nyi Bei Mardusari, seniwati
yang juga selir Sri Mangkunegara VII (1916-1944), gambyong biasa ditampilkan pada masa itu di hadapan
para tamu di lingkungan Istana Mangkunegaran.
Perubahan penting terjadi ketika pada tahun 1950, Nyi Bei Mintoraras, seorang pelatih tari dari Istana
Mangkunegaran pada masa Mangkunegara VIII, membuat versi gambyong yang "dibakukan", yang dikenal
sebagai Gambyong Pareanom. Koreografi ini dipertunjukkan pertama kali pada upacara pernikahan Gusti
Nurul, saudara perempuan MN VIII, pada tahun 1951. Tarian ini disukai oleh masyarakat sehingga
memunculkan versi-versi lain yang dikembangkan untuk konsumsi masyarakat luas.

Gerak tari
Secara umum, Tari Gambyong terdiri atas tiga bagian, yaitu: awal, isi, dan akhir atau dalam istilah
tari Jawa gaya Surakarta disebut dengan istilah maju beksan, beksan, dan mundur beksan.
Yang menjadi pusat dari keseluruhan tarian ini terletak pada gerak kaki, lengan, tubuh, dan juga kepala.
[6]
Gerakan kepala dan juga tangan yang terkonsep adalah ciri khas utama tari Gambyong. Pandangan mata
selalu mengiringi atau mengikuti setiap gerak tangan dengan cara memandang arah jari-jari tangan juga
merupakan hal yang sangat dominan. Selain itu gerakan kaki yang begitu harmonis seirama membuat tarian
gambyong indah dilihat.

Penggunaan

 Pada awalnya, tari gambyong digunakan pada upacara ritual pertanian yang bertujuan untuk kesuburan
padi dan perolehan panen yang melimpah. Dewi Padi (Dewi Sri) digambarkan sebagai penari-penari
yang sedang menari.
 Sebelum pihak keraton Mangkunegara Surakarta menata ulang dan membakukan struktur gerakannya,
tarian gambyong ini adalah milik rakyat sebagai bagian upacara.
 Kini, tari gambyong dipergunakan untuk memeriahkan acara resepsi perkawinan dan menyambut tamu-
tamu kehormatan atau kenegaraan.

Ciri khusus

 Pakaian yang digunakan bernuansa warna kuning dan warna hijau sebagai simbol kemakmuran dan
kesuburan.[1]
 Sebelum tarian dimulai, selalu dibuka dengan gendhing Pangkur.
 Teknik gerak, irama iringan tari dan pola kendhangan mampu menampilkan karakter tari yang luwes,
kenes, kewes, dan tregel.
3. TARI SERIMPI

Srimpi atau Serimpi adalah bentuk repertoar (penyajian) tari Jawa klasik dari tradisi
kraton Kesultanan Mataram dan dilanjutkan pelestarian serta pengembangan sampai sekarang oleh empat
istana pewarisnya di Surakarta dan Yogyakarta
Penyajian tari pentas ini dicirikan dengan empat penari melakukan gerak gemulai yang
menggambarkan kesopanan, kehalusan budi, serta kelemahlembutan yang ditunjukkan dari gerakan yang
pelan serta anggun dengan diiringi suara musik gamelan.[3][4] Srimpi dianggap mempunyai kemiripan posisi
sosial dengan tari Pakarena dari Makasar, yakni dilihat dari segi kelembutan gerak para penari dan sebagai
tarian keraton.
Sejak dari zaman kuno, tari Srimpi sudah memiliki kedudukan yang istimewa di keraton-
keraton Jawa dan tidak dapat disamakan dengan tari pentas yang lain karena sifatnya yang sakral. [6] Dahulu
tari ini hanya boleh dipentaskan oleh orang-orang yang dipilih keraton. [6] Srimpi memiliki tingkat
kesakralan yang sama dengan pusaka atau benda-benda yang melambang kekuasaan raja yang berasal dari
zaman Jawa Hindu, meskipun sifatnya tidak sesakral Tari Bedhaya.
Dalam pagelaran, tari srimpi tidak selalu memerlukan sesajen seperti pada tari Bedhaya, melainkan
hanya di waktu-waktu tertentu saja. Adapun iringan musik untuk tari Srimpi adalah mengutamakan paduan
suara gabungan, yakni saat menyanyikan lagu tembang-tembang Jawa.
Srimpi sendiri telah banyak mengalami perkembangan dari masa ke masa, di antaranya durasi waktu
pementasan. Kini salah satu kebudayaan yang berasal dari Jawa Tengah ini dikembangkan menjadi
beberapa varian baru dengan durasi pertunjukan yang semakin singkat. [9] Sebagai contoh Srimpi
Anglirmendhung menjadi 11 menit dan juga Srimpi Gondokusumo menjadi 15 menit yang awal
penyajiannya berdurasi kurang lebih 60 menit.
Selain waktu pagelaran, tari ini juga mengalami perkembangan dari segi pakaian. Pakaian penari
yang awalnya adalah seperti pakaian yang dikenakan oleh pengantin putri keraton
dengan dodotan dan gelung bokor sebagai hiasan kepala, saat ini kostum penari beralih menjadi pakaian
tanpa lengan, serta gelung rambut yang berhiaskan bunga ceplok, dan hiasan kepala berupa bulu burung
kasuari.

Sejarah dan filosofi


Kemunculan tari Srimpi berawal dari masa kejayaan Kerajaan Mataram saat Sultan
Agung memerintah pada tahun 1613-1646. Tarian ini dianggap sakral karena hanya dipentaskan dalam
lingkungan keraton untuk ritual kenegaraan sampai peringatan kenaikan tahta sultan.[13] Pada tahun 1775
Kerajaan Mataram pecah menjadi Kesultanan Yogyakarta dan Kasunanan Surakarta.[13] Perpecahan ini
berimbas pada tari Srimpi sehingga terjadi perbedaan gerakan, walaupun inti dari tariannya masih
sama. Tari ini muncul di lingkungan keraton Surakarta sekitar tahun 1788-1820.[9] Dan mulai tahun 1920-an
dan seterusnya, latihan tari klasik ini dimasukkan ke dalam mata pelajaran Taman-taman siswa Yogyakarta
dan dalam perkumpulan tari serta karawitan Krida Beksa Wirama.[7] Setelah Indonesia merdeka, tari ini
kemudian juga diajarkan di akademi-akademi seni tari dan karawitan pemerintah, baik di Surakarta maupun
di Yogyakarta.
Awalnya tari ini bernama Srimpi Sangopati yang merujuk pada suatu pengertian, yakni calon
pengganti raja Namun, Srimpi sendiri juga mempunyai arti perempuan. Pendapat yang lain, menurut Dr.
Priyono, nama srimpi dapat dikaitkan ke akar kata “impi” atau mimpi. Maksudnya adalah ketika
menyaksikan tarian lemah gemulai sepanjang 3/4 hingga 1 jam itu, para penonton seperti dibawa ke alam
lain, yakni alam mimpi.
Kemudian terkait dengan komposisinya, menurut Kanjeng Brongtodiningrat, komposisi penari
Srimpi melambangkan empat mata angin atau empat unsur dari dunia
yakni: Grama (api), Angin (udara), Toya (air), Bumi (tanah) Komposisinya yang terdiri dari empat orang
tersebut membentuk segi empat yang melambangkan tiang pendopo. Adapun yang digambarkan dalam
pagelaran tari srimpi adalah perangnya pahlawan-pahlawan dalam
cerita Menak, Purwa, Mahabarata, Ramayana, sejarah Jawa dan yang lain atau dapat juga dikatakan sebagai
tarian yang mengisahkan pertempuran yang dilambangkan dalam kubu (satu kubu berarti terdiri dari dua
penari) yang terlibat dalam suatu peperangan. Tema yang ditampilkan pada tari Srimpi sebenarnya sama
dengan tema pada tari Bedhaya Sanga, yaitu menggambarkan pertikaian antara dua hal yang bertentangan
antara baik dan buruk, antara benar dan salah, serta antara akal manusia dan nafsunya. Keempat penarinya
biasanya berperan sebagai Batak, Gulu, Dhada dan Buncit
Tema perang dalam tari Srimpi menurut Raden Mas Wisnu Wardhana, merupakan
penggambaran falsafah hidup ketimuran. Peperangan dalam tari Srimpi merupakan simbol pertarungan
yang tak kunjung habis antara kebaikan dan kejahatan. [13] Bahkan tari Srimpi dalam mengekspresikan
gerakan tari perang terlihat lebih jelas karena dilakukan dengan gerakan yang sama dari dua
pasang prajurit melawan prajurit yang lain dengan bantuan properti tari berupa senjata. Senjata yang
digunakan dalam tari ini, antara lain berupa keris kecil atau cundrik, jembeng (semacam perisak),
dan tombak pendek. Pada zaman pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwana VII, yaitu pada abad ke-19,
ada pula tari Srimpi yang senjatanya berupa pistol yang ditembakkan ke arah bawah.
Pertunjukkan tari asal Jawa Tengah ini biasanya berada di awal acara karena berfungsi sebagai tari
pembuka, selain itu, tari ini terkadang juga ditampilkan ketika ada pementasan wayang orang. Sampai
sekarang tari Srimpi masih dianggap sebagai seni yang adhiluhung serta merupakan pusaka keraton.

Jenis-jenis
Tarian Srimpi di Kesultanan Yogyakarta digolongkan menjadi Srimpi Babul Layar, Srimpi
Dhempel, dan Srimpi Genjung. Untuk Kasunanan Surakarta, Srimpi digolongkan menjadi Srimpi Anglir
Mendhung dan Srimpi Sangupati Salah satu jenis tari Srimpi yang lain gaya Yogyakarta adalah Srimpi
Renggawati yang dipentaskann oleh lima orang, yakni empat penari ditambah dengan satu penari
sebagai putri Renggawati. Adapun kisah yang diceritakan adalah kisah Angling Dharma, seorang putra
mahkota yang masih muda dan terkena kutukan menjadi burung Mliwis. Dia akan dapat kembali ke wujud
semula jika badannya tersentuh oleh tangan seorang putri cantik jelita (putri Renggawati). Semua peristiwa
ini dicerminkan dalam tari-tarian yang digelar oleh para penari srimpi Renggawati yang diakhiri dengan
sebuah kebahagiaan.
Di luar tembok keraton, ada tari Srimpi yang juga ditarikan oleh lima penari, yakni Srimpi Lima
Tari ini berkembang di wilayah pedesaan, yakni di tengah-tengah masyarakat Desa Ngadireso, Kecamatan
Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Di Desa Ngadireso, Srimpi akan digelar saat ada
upacara ruwatan, yakni suatu proses pembersihan diri yang bertujuan untuk menghilangkan nasib buruk
serta aura negatif dalam diri seseorang yang dilakukan dengan cara tertentu. Adapun ruwatan yang
dilakukan adalah ruwatan murwakala, yakni ruwatan yang dilakukan untuk menyelamatkan atau
melindungi seseorang yang diyakini akan menjadi mangsa atau makanan Bethara Kala. Meskipun begitu,
Srimpi ini bertemakan kegembiraan, erotik, dan sakral. Srimpi Lima merupakan wujud dari gagasan dan
aktivitas masyarakat pemiliknya. Keberadaannya sangat dipengaruhi oleh lingkungan sosio-kultural karena
dalam lingkungan etnik, perilaku mempunyai wewenang yang amat besar dalam menentukan keberadaan
kesenian termasuk tari tradisional.
Bentuk srimpi tertua menurut sumber tertulis, diciptakan oleh Sri Pakubuwana V pada tahun
Jawa 1748 atau sekitar tahun 1820-1823, yakni Srimpi Ludiramadu. Tari ini diciptakan olehnya untuk
mengenang ibunya yang berdarah Madura. Untuk bentuk terbaru srimpi adalah Srimpi Pondelori, gubahan
para guru perkumpulan tari Yogyakarta, kemudian ada Among Beksa yang dipentaskan oleh delapan orang
penari dengan mengambil tema Menak,
Srimpi Pondelori sendiri adalah suatu bentuk tari Srimpi khas Yogyakarta yang dipentaskan oleh
empat orang. Isinya adalah sebuah pertengkaran antara Dewi Sirtupilaeli dan Dewi Sudarawerti yang
memperebutkan cinta dari Wong Agung Jayengrana, pangeran dari negeri Arab. Di akhir cerita tidak terjadi
kekalahan maupun kemenangan karena dua kubu yang berseteru akhirnya semua dinikahi oleh pangeran.
Kemudian ada tari Srimpi Muncar.[14] Yang membedakan dari tari ini adalah penarinya mengenakan
baju khas orang Tionghoa Biasanya tari yang satu ini dibawakan di Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat
dan Pura Mangkunegaran. Selanjutnya adalah tari Srimpi Pamugrari, dinamakan seperti itu karena musik
pengiringnya menggunakan gending pramugari. Untuk senjata yang dibawa saat menari adalah pistol.
4. TARI SAMAN

Tari Saman merupakan salah satu media untuk menyampaikan pesan atau dakwah. Tarian ini
mencerminkan pendidikan, keagamaan, sopan santun, kepahlawanan, kekompakan dan kebersamaan.
Sebelum saman dimulai yaitu sebagai mukaddimah atau pembukaan, tampil seorang tua cerdik pandai atau
pemuka adat untuk mewakili masyarakat setempat (keketar) atau nasihat-nasihat yang berguna kepada para
pemain dan penonton.
Lagu dan syair pengungkapannya secara bersama dan berkesinambungan, pemainnya terdiri dari pria-pria
yang masih muda-muda dengan memakai pakaian adat. Penyajian tarian tersebut dapat juga dipentaskan,
dipertandingkan antara grup tamu dengan grup sepangkalan (dua grup). Penilaian dititik beratkan pada
kemampuan masing-masing grup dalam mengikuti gerak, tari dan lagu (syair) yang disajikan oleh pihak
lawan.

Nyanyian
Nyanyian para penari menambah kedinamisan dari tarian saman. Cara menyanyikan lagu-lagu dalam
tari saman dibagi dalam 5 macam:

1. Rengum, yaitu auman yang diawali oleh pengangkat.


2. Dering, yaitu rengum yang segera diikuti oleh semua penari.
3. Redet, yaitu lagu singkat dengan suara pendek yang dinyanyikan oleh seorang penari pada bagian
tengah tari.
4. Syekh, yaitu lagu yang dinyanyikan oleh seorang penari dengan suara panjang tinggi melengking,
biasanya sebagai tanda perubahan gerak.
5. Saur, yaitu lagu yang diulang bersama oleh seluruh penari setelah dinyanyikan oleh penari solo.

Gerakan
Tarian Saman menggunakan dua unsur gerak yang menjadi unsur dasar dalam tarian saman, yakni
tepuk tangan dan tepuk dada. Diduga, ketika menyebarkan agama Islam, Syekh Saman mempelajari
tarian Melayu kuno, kemudian menghadirkan kembali lewat gerak yang disertai dengan syair-syair dakwah
islam demi memudahkan dakwahnya. Dalamam konteks kekinian, tarian ritual yang bersifat religius ini
masih digunakan sebagai media untuk menyampaikan pesan-pesan dakwah melalui pertunjukan-
pertunjukan.
Tari Saman termasuk salah satu tarian yang cukup unik, karena hanya menampilkan gerak tepuk tangan dan
gerakan-gerakan lainnya, seperti gerak guncang, kirep, lingang, surang-saring (semua gerak ini
menggunakan bahasa Bahasa Gayo).
Penari
Pada umumnya, tarian saman dimainkan oleh belasan atau puluhan laki-laki, tetapi jumlahnya harus
ganjil. Pendapat lain mengatakan tarian ini ditarikan kurang lebih dari 10 orang, dengan rincian 8 penari
dan 2 orang sebagai pemberi aba-aba sambil bernyanyi. Namun, dalam perkembangan pada era modern
yang menghendaki bahwa suatu tarian itu akan semakin semarak apabila ditarikan oleh penari dengan
jumlah yang lebih banyak. Untuk mengatur berbagai gerakannya ditunjuklah seorang pemimpin yang
disebut syekh. Selain mengatur gerakan para penari, syekh juga bertugas menyanyikan syair-syair lagu
saman, yaitu ganit.
5. TARI SEUDATI

Tari Seudati adalah salah satu tarian tradisional yang berasal dari daerah Aceh. Tarian ini biasanya
ditarikan oleh sekelompok penari pria dengan gerakannya yang khas dan enerjik serta diiringi oleh lantunan
syair dan suara hentakan para penari. Tari Seudati ini merupakan salah satu tarian tradisional yang cukup
terkenal di daerah Aceh, dan sering ditampilkan di berbagai acara, baik acara adat, acara pertunjukan, dan
acara budaya.

Sejarah
Menurut sejarahnya, tarian ini awalnya tumbuh dan berkembang di Desa Gigieh, Kecamatan
Simpang Tiga, Kabupaten Pidie, Aceh, yang dipimpin oleh Syeh Tam. Tarian ini kemudian mulai
berkembang di daerah lain, salah satunya di Desa Didoh, Kecamatan mutiara, Kabupaten Pidie, yang
dipimpin oleh Syeh Ali Didoh. Seiring dengan berjalannya waktu, tarian ini kemudian mulai menyebar ke
daerah Aceh lainnya, hingga kini Tari Seudati sudah menyebar ke semua daerah di Aceh.[2]
Dulunya tarian ini juga digunakan oleh para tokoh agama sebagai media dakwah dalam
menyebarkan agama Islam. Namun pada masa penjajahan Belanda tarian ini sempat dilarang. Karena syair
yang dibawakan dalam Tari Seudati ini dianggap dapat menumbuhkan semangat bagi para pemuda Aceh
untuk bangkit dapat menimbulkan pemberontakan kepada Belanda. Setelah kemerdekaan Indonesia, tarian
ini kembali diperbolehkan, bahkan tidak hanya sebagai media dakwah, tapi juga sering ditampilkan sebagai
tarian pertunjukan hingga sekarang.[3]

Fungsi & Makna


Seperti yang disebutkan sebelumnya, Tari Seudati ini awalnya sering difungsikan sebagai media
dakwah. Namun sekarang tarian ini juga difungsikan sebagai tarian pertunjukan. Nama Tari Seudati ini
berasal dari kata “Syahadat”, yang berarti “bersaksi”. Atau dalam Islam diartikan sebagai pengakuan
terhadap Tuhan dan Nabi. Hal tersebut juga berkaitan dengan syair-syair yang dilantunkan dalam
mengiringi tarian ini. Syair tersebut biasanya berisi tentang kehidupan dan ajaran agama. Selain itu setiap
gerakan dalam Tari Seudati ini juga tentu memiliki nilai-nilai dan makna khusus di dalamnya.

Pertunjukan
Tari Seudati ini biasanya dimainkan oleh para penari pria. Penari tersebut biasanya berjumlah 8
orang penari utama yang terdiri dari satu orang syeh, satu pembantu syeh, dua apeet wie, satu apeet bak dan
tiga orang pembantu biasa. Selain itu dalam tarian ini juga terdapat dua orang lain yang bertugas sebagai
pelantun syair yang disebut aneuk syahi.
Gerakan dalam Tari Seudati ini sangat khas, enerjik, dan lugas. Gerakan dalam tarian ini didominasi
oleh gerakan tangan dan kaki serta didukung dengan pola lantai yang bervariasi. Gerakan yang paling
menonjol biasanya gerakan tepuk dada, ketipan jari, jerak tangan dan hentakan kaki yang dilakukan dengan
lincah, cepat dan harmonis. Sehingga tak jarang membuat penonton terkagum-kagum menyaksikan
pertunjukan Tari Seudati ini.
Pengiring
Dalam pertunjukan Tari Seudati ini biasanya tanpa diiringi oleh alat musik, tetapi hanya diiringi
oleh pelantun syair. Syair yang dibawakan biasanya bertemakan tentang kehidupan sehari-hari dan ajaran
agama. Selain syair, tarian ini juga diiringi oleh suara tepukan, hentakan kaki dan petikan jari dari gerakan
para penari. Gerakan tersebut tentunya disesuaikan dengan irama dan tempo lagu/syair yang dilantunkan
agar terlihat harmonis.

Kostum
Kostum yang digunakan para penari dalam Tari Seudati ini biasanya menggunakan kostum khusus
yang bertemakan adat. Kostum yang digunakan biasanya terdiri dari baju ketat berlengan panjang dan
celana panjang. Baju dan celana tersebut biasanya berwarna putih. Sedangkan sebagai aksesoris biasanya
terdiri dari kain songket yang dikenakan di pinggang hinga paha, rencong yang disisipkan di pinggang
dan tangkulok (ikat kepala) berwarna merah.

Didaftarkan ke UNESCO
Pemerintah Aceh segera mendaftarkan Tarian Seudati ke UNESCO, sebagai warisan seni budaya
tak benda. Pendaftaran itu dilakukan supaya Tarian Seudati ditetapkan dan diakui sebagai warisan dunia
budaya tak benda milik masyarakat Aceh. Tarian Seudati mempunyai keunikan menarik. Di antaranya yaitu
menggunakan tangan sebagai media gerak, tidak memiliki alat musik khusus kecuali menepuk tangan pada
perut.

6. TARI SAJOJO
Tari Sajojo adalah tarian tradisional yang liriknya berbahasa Moi yang berasal dari
daerah Sorong, Papua Barat. Tarian ini sering dijadikan penampilan di berbagai acara, baik acara adat,
budaya, maupun sekadar hiburan saja. Tarian ini sangat terkenal di Papua. Tarian ini bisa ditarikan oleh
berbagai jenis kalangan, baik pria maupun wanita, tua maupun muda, karena tarian ini termasuk tarian
pergaulan.

Sejarah
Sajojo adalah sebuah tarian yang liriknya diciptakan oleh David Rumagesan. Lagu "Sajojo"
merupakan lagu daerah dari Papua yang menceritakan tentang sebuah kisah perempuan cantik dari desa.
Perempuan yang dicintai ayah dan ibu berikut para laki-laki desa. Perempuan yang didambakan laki-laki
untuk bisa berjalan-jalan bersamanya. Meskipun gerakan tari ini tidak terlalu menggambarkan lirik lagu
tersebut, tetapi iramanya yang penuh keceriaan dalam lagu tersebut sangat cocok dengan gerakan Tari
Sajojo.

Gerakan
Gerakan tarian ini yaitu dengan meloncat, bergerak ke depan, ke belakang, ke kiri maupun ke kanan
dengan ritme dan ketegasan gerak yang tentunya setiap penari mengupayakan kesamaan gerak dengan
penari lainnya supaya terlihat kompak dalam kesenian yang ada.

Kostum
Kostum tarian ini hampir sama dengan kostum tarian tradisional Papua lainnya. Kostumnya
biasanya merupakan busana tradisional yang terbuat dari akar atau daun. Namun, seiring dengan adanya
perkembangan, ada juga yang mengkreasikan kostum ini dengan kain agar terlihat lebih menarik. Selain itu,
penari juga dilengkapi dengan berbagai aksesoris seperti penutup kepala, kalung dan lukisan tubuh bercorak
etnis khas Papua.

Perkembangan
Dalam perkembangannya, tarian ini masih terus dilestarikan dan dikembangkan sampai sekarang.
Bermacam-macam kreasi dan variasi juga sering ditambahkan di setiap pertunjukan, baik dalam segi gerak
maupun kostum para penari, agar terlihat lebih menarik namun tidak meninggalkan ciri khas dan
keasliannya. Tarian ini juga masih sering ditampilkan di berbagai acara, baik acara adat, penyambutan,
maupun acara hiburan lainnya. Selain itu, tarian ini juga sering ditampilkan di berbagai acara budaya
seperti pertunjukan seni, festival budaya, dan promosi pariwisata.Pada Mei 2018, tarian ini ditampilkan di
acara penutupan TMMD yang berlangsung di wilayah Kabupaten Pati, dibawakan oleh anggota TNI yang
merupakan putra-putra asli Papua.

7. TARI JAIPONG
Jaipongan (aksara Sunda) adalah sebuah jenis tari pergaulan tradisional masyarakat Sunda yang berasal dari
wilayah Karawang dan sangat populer di Indonesia.

Sejarah
Jaipongan terlahir melalui proses kreatif dari tangan dingin H. Suanda sekitar tahun 1976 di
Karawang, Jaipongan merupakan garapan yang menggabungkan beberapa elemen seni tradisi Karawang
seperti pencak silat, wayang golek, topeng banjet, ketuk tilu dan lain-lain. Jaipongan di Karawang pesat
pertumbuhannya di mulai tahun 1976, ditandai dengan munculnya rekaman Jaipongan SUANDA GROUP
dengan instrumen sederhana yang terdiri dari gendang, ketuk, kecrek, goong, rebab dan sinden atau juru
kawih. Dengan media kaset rekaman tanpa label tersebut (indi label) Jaipongan mulai didistribusikan secara
swadaya oleh H Suanda di wilayah Karawang dan sekitarnya. Tak disangka Jaipongan mendapat sambutan
hangat, selanjutnya Jaipongan menjadi sarana hiburan masyarakat Karawang dan mendapatkan apresiasi
yang cukup besar dari segenap masyarakat Karawang dan menjadi fenomena baru dalam ruang seni budaya
Karawang, khususnya seni pertunjukan hiburan rakyat. Posisi Jaipongan pada saat itu menjadi seni
pertunjukan hiburan alternatif dari seni tradisi yang sudah tumbuh dan berkembang lebih dulu di Karawang
seperti pencak silat, topeng banjet, ketuk tilu, tarling dan wayang golek. Keberadaan jaipong memberikan
warna dan corak yang baru dan berbeda dalam bentuk pengemasannya, mulai dari penataan pada komposisi
musikalnya hingga dalam bentuk komposisi tariannya.
Mungkin di antara kita hanya tahu asal tari jaipong dari Bandung ataupun malah belum mengetahui
dari mana asalnya. Dikutip dari ucapan kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Karawang,
Acep Jamhuri “Jaipong itu asli Karawang. Lahir sejak tahun 1979 yang berasal dari tepak Topeng.
Kemudian dibawa ke Bandung oleh seniman di sana, Gugum Gumbira. Akhirnya dikemas dengan membuat
rekaman. Seniman-seniman Karawang dibawa bersama Suwanda. Ketika sukses, yang bagus malah
Bandung. Karawang hanya dikenal gendangnya atau nayaga (pemain musik). Makanya sekarang kami di
Disbudpar akan mencoba menggali kembali seni tari Jaipong bahwa ini seni yang sesungguhnya berasal
dari Karawang”. Tari ini dibawa ke kota Bandung oleh Gugum Gumbira, sekitar tahun 1960-an, dengan
tujuan untuk mengembangkan tarian asal Karawang di kota Bandung yang menciptakan suatu jenis musik
dan tarian pergaulan yang digali dari kekayaan seni tradisi rakyat Nusantara, khususnya Jawa Barat.
Meskipun termasuk seni tari kreasi yang relatif baru, Jaipongan dikembangkan berdasarkan kesenian rakyat
yang sudah berkembang sebelumnya, seperti Ketuk Tilu, Kliningan, serta Ronggeng. Perhatian Gumbira
pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul
perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-
gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian menjadi
inspirasi untuk mengembangkan kesenian Jaipongan.
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi
terbentuknya tari pergaulan ini. Di kawasan perkotaan Priangan misalnya, pada masyarakat elite, tari
pergaulan dipengaruhi dansa Ball Room dari Barat. Sementara pada kesenian rakyat, tari pergaulan
dipengaruhi tradisi lokal. Pertunjukan tari-tari pergaulan tradisional tak lepas dari keberadaan ronggeng dan
pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk
hiburan atau cara bergaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang
mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh
masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat,
kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua
buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki
pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan
aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan
Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu,
dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa
pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam
pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana
beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu
masih menampakkan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan,
pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari
Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng
Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.
Tarian ini mulai dikenal luas sejak 1970-an. Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada
awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan
pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing
Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan
sebutan Jaipongan.

Perkembangan

Jaipongan Mojang Priangan

Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun Pulus Keser
Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan
putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti Tati Saleh, Yeti
Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi
perbincangan, vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal
masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta.
Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media televisi,
hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.
Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari
untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya
tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari
Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, di mana
perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha
pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat,
misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya "kaleran" (utara).
Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan
kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada
yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang
tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui
pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini,
sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola),
biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (seorang sinden tetapi tidak bisa nyanyi
melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan
ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai
pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).
Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada tahun 1980-1990-an, di mana Gugum
Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-
iring Daun Puring, Rawayan, dan Tari Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari
Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira
Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata, dan Asep.
Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas kesenian Jawa Barat, hal ini
tampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke
Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian
ke mancanegara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak memengaruhi
kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang, degung,
genjring/terbangan, kacapi Jaipongan, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut
modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.Jaipongan yang telah dipelopori
oleh Mr. Nur & Leni.ngeteh sau.

8. TARI YAPONG
Tari Yapong adalah suatu tarian semi-tradisional asal pesisir utara Jawa Barat khas etnis
Betawi saduran dari Jaipong (tarian tradisional Jawa Barat khas etnis Sunda) yang umumnya dipamerkan
sebagai suatu tarian pertunjukan.[1] Dalam perkembangannya, tarian ini sering dijadikan sebagai tari
pergaulan untuk mengisi sebuah acara sesuai dengan permintaan karena tarian ini penuh dengan variasi di
dalamnya.

Asal Mula
Pada awalnya, tari Yapong dipertunjukkan dalam rangka mempersiapkan acara ulang tahun
kota Jakarta ke-450 pada tahun 1977. Pada saat itu, Dinas Kebudayaan DKI mempersiapkan sebuah acara
pagelaran tari massal dengan mengangkat cerita perjuangan Pangeran Jayakarta. Pagelaran berbentuk
sendratari ini dipercayakan kepada Bagong Kussudiarjo untuk menyelenggarakan acara tersebut. Untuk
mempersiapkan pagelaran itu, Bagong mengadakan penelitian selama beberapa bulan mengenai kehidupan
masyarakat Betawi. Bagong melakukan penelitian tersebut melalui perpustakaan, film, slide maupun
observasi langsung kepada masyarakat Betawi. Akhirnya, pagelaran ini berhasil dipentaskan pada tanggal
20 dan 21 Juni 1977 bertempat di Balai Sidang Senayan, Jakarta. Pementasan tersebut didukung oleh 300
orang artis dan musikus yang ikut andil di dalamnya.
Tari ini merupakan tari yang gembira dengan gerakan yang dinamis dan eksotis. Dalam gerakan
tarian Yapong diperlihatkan suasana yang gembira karena menyambut kedatangan Pangeran Jayakarta.
Adegan tersebut dinamai Yapong dan tidak mengandung arti apapun. Istilah tersebut muncul dari lagunya
yang berbunyi ya, ya, ya, ya yang dinyanyikan oleh penyanyi pengiringnya serta suara musik yang
terdengar pong, pong, pong, sehingga lahirlah “ya-pong” yang semakin lama berkembang menjadi Yapong.

Perkembangan Seni Tari


Seusai pementasan sendratari tersebut, Pusat Latihan Tari (PLT) Bagong Kussudiarjo beserta Dinas
Kebudayaan DKI Jakarta mengubah tari Yapong dari bentuk sendratari dan mengembangkannnya menjadi
tarian lepas.

Akulturasi Budaya
Adapun corak dalam busana yang dikenakan para penarinya merupakan pengembangan dari pakaian
tari Kembang Topeng Betawi. Hal tersebut tampak jelas dari bentuk serta ragam hias tutup kepala serta
selempang yang dikenakan di dada, yang disebut dengan toka-toka. Tari Yapong diwarnai oleh tari rakyat
Betawi, kemudian diolah dengan dimasukkannya unsur-unsur tari pop, di antaranya terdapat unsur tari
daerah Sumatra. Karena budaya Betawi banyak dipengaruhi unsur-unsur budaya Tionghoa, maka dalam
tarian Yapong juga terdapat unsur kesenian Tionghoa, misalnya pada kain yang dikenakan oleh para penari
terdapat motif naga dengan warna merah menyala yang identik dengan budaya Tionghoa.

Alat Musik Pengiring


Dan juga alat musik yang digunakan saat tarian ini ditarikan merupakan campuran antara
Betawi, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Setelah tarian ini menjadi tarian lepas, maka DKI Jakarta
memanfaatkan beberapa alat musik tradisionalnya, seperti Rebana Biang, Rebana Hadroh, dan Rebana
Ketimpring. Dengan demikian, tari Yapong merupakan kreasi baru yang bertolak dari unsur-unsur gerak
tradisional Betawi.

Anda mungkin juga menyukai