Tari Merak merupakan salah satu ragam tarian kreasi baru yang mengekspresikan
kehidupan binatang yaitu burung merak. Tata cara dan geraknya diambil
dari kehidupan merak yang diangkat ke pentas oleh Seniman Sunda Raden Tjetjep Somantri,
Ide dari Tari merak sendiri ketika Raden Tjejep Soemantri melihat tarian Dadak
Merak pada Reog Ponorogo, maka dari itu aksesoris kepala merak pada tari merak mematuk
manik-manik seperti tasbih yang ada pada merak pada Reog Ponorogo.
Merak yaitu binatang sebesar ayam, bulunya halus dan dikepalanya memiliki seperti
mahkota. Kehidupaan merak selalu mengembangkan bulu ekornya agamenarik burung wanita
menginspirasikan R. Tjetje Somantri untuk membuat tari merak ini.
Dari sekian banyaknya tarian yang diciptakan oleh Raden Tjetje Somantri, tari Merak
ini merupakan salah satu karyanya yang terkenal hingga kancah internasional. Tidak heran
kalau seniman Bali juga, di antaranya mahasiswa Denpasar menciptakan tari Manuk Rawa
yang konsep dan gerakannya hampir mirip dengan tari Merak.
Dalam setiap tarian pasti memiliki ciri khas yang membedakan antara tarian satu dengan
yang lainnya serta menjadi penanda kelebihan dan keunikan tarian tersebut. Pun tari merak
ini memiliki beberapa ciri yang langsung dapat dikenali, diantaranya:
1. Motif Busana (Kostum) yang dikenakan penari menyerupai motif bulu merak,
menggambarkan bentuk dan keindahan bulu tersebut. Kain dan bajunya
menggambarkan bentuk dan warna bulu-bulu merak; hijau biru dan/atau hitam.
Ditambah lagi sepasang sayapnya yang melukiskan sayap atau ekor merak yang
sedang dikembangkan. Gambaran merak akan jelas dengan memakai mahkota yang
dipasang di kepala setiap penarinya.
2. Gerakan dalam tari merak mendemonstrasikan tingkah laku merak jantan yang sedang
mencari perhatian betinanya dengan gerakan yang gemulai.
Tari Bedhaya Ketawang- Jawa Tengah
Tari Bedhaya Ketawang adalah tarian kebesaran yang hanya di pertunjukan ketika
penobatan serta peringatan kenaikan tahta raja di Kasunanan Surakarta. Tarian ini merupakan
tarian sakral yang suci bagi masyarakat dan Kasunanan Surakarta. Nama Tari Bedhaya
Ketawang diambil dari kata bedhaya yang berarti penari wanita di istana, dan ketawang yang
berarti langit, yang identik sesuatu yang tinggi, kemuliaan dan keluhuran
Menurut sejarahnya, tarian ini berawal ketika Sultan Agung memerintah kesultanan
Mataram tahun 1613 – 1645. Pada suatu saat Sultan Agung melakukan ritual semedi lalu
beliau mendengar suara senandung dari arah langit, Sultan agung pun terkesima dengan
senandung tersebut. Lalu beliau memanggil para pengawalnya dan mengutarakan apa yang
terjadi. Dari kejadian itulah Sultan Agung menciptakan tarian yang diberi nama bedhaya
ketawang. Ada pula versi lain yang mengatakan bahwa dalam pertapaannya Panembahan
Senapati bertemu dan memadu kasih dengan Ratu Kencanasari atau Kangjeng Ratu Kidul
yang kemudian menjadi cikal bakal tarian ini.
Namun setelah perjanjian Giyanti pada tahun 1755, dilakukan pembagian harta
warisan kesultanan mataram kepada Pakubuwana III dan Hamengkubuwana I. Selain
pembagian wilayah, dalam perjanjian tersebut juga ada pembagian warisan budaya. Tari
Bedhaya Ketawang akhirnya di berikan kepada kasunanan Surakarta dan dalam
perkembangannya tarian ini tetap dipertunjukan pada saat penobatan dan upacara peringatan
kenaikan tahta sunan Surakarta.
Tari Bedhaya Ketawang ini menggambarkan hubungan asmara Kangjeng Ratu Kidul
dengan raja mataram. Semua itu diwujudkan dalam gerak tarinya. Kata – kata yang
terkandung dalam tembang pengiring tarian ini menggambarkan curahan hati Kangjeng Ratu
Kidul kepada sang raja. Tarian ini biasanya di mainkan oleh sembilan penari wanita. Menurut
kepercayaan masyarakat, setiap pertunjukan Tari Bedhaya Ketawang ini dipercaya akan
kehadiran kangjeng ratu kidul hadir dan ikut menari sebagai penari kesepuluh.
Sebagai tarian sakral, ada beberapa syarat yang harus di miliki setiap penarinya.
Syarat yang paling utama yaitu para penari harus seorang gadis suci dan tidak sedang haid.
Jika sedang haid maka penari harus meminta ijin kepada Kangjeng Ratu Kidul lebih dahulu
dengan melakukan caos dhahar di panggung sanga buwana, keraton Surakarta. Hal ini di
lakukan dengan berpuasa selama beberapa hari menjelang pertunjukan. Kesucian para penari
sangat penting, karena konon katanya, saat latihan berlangsung, Kangjeng Ratu Kidul akan
datang menghampiri para penari jika gerakannya masih salah.
Pada pertunjukannya, Tari Bedhaya Ketawang di iringi oleh iringan musik gending
ketawang gedhe dengan nada pelog. Instrumen yang di gunakan diantaranya adalah kethuk,
kenong, gong, kendhang dan kemanak. Dalam Tari Bedhaya Ketawang ini di bagi menjadi
tiga babak (adegan). Di tengah tarian nada gendhing berganti menjadi slendro selama 2x.
Setelah itu nada gending kembali lagi ke nada pelog hingga tarian berakhir. Selain di iringi
oleh musik gending, Tari Bedhaya Ketawang di iringi oleh tembang (lagu) yang
menggambarkan curahan hati kangjeng ratu kidul kepada sang raja. Pada bagian pertama
tarian diiringi dengan tembang Durma, kemudian di lanjutkan dengan Ratnamulya. Pada saat
penari masuk kembali ke dalem ageng prabasuyasa, instrument musik di tambahkan dengan
gambang, rebab, gender dan suling untuk menambah keselarasan suasana.
Pada umumnya, tarian saman dimainkan oleh belasan atau puluhan laki-laki, tetapi
jumlahnya harus ganjil. Pendapat lain mengatakan tarian ini ditarikan kurang lebih dari 10
orang, dengan rincian 8 penari dan 2 orang sebagai pemberi aba-aba sambil bernyanyi.
Namun, dalam perkembangan pada era modern yang menghendaki bahwa suatu tarian itu
akan semakin semarak apabila ditarikan oleh penari dengan jumlah yang lebih banyak. Untuk
mengatur berbagai gerakannya ditunjuklah seorang pemimpin yang disebut syekh. Selain
mengatur gerakan para penari, syekh juga bertugas menyanyikan syair-syair lagu saman,
yaitu ganit.