Anda di halaman 1dari 5

1.

Gautier

Dari sudut pandang abad ke-21, tulisan-tulisan Gautier tentang tarian adalah yang paling penting dari
-tulisannya. Penulis Amerika Edwin Denby , yang secara luas dianggap sebagai penulis paling signifikan
tentang tarian di abad ke-20, memanggilnya "dengan persetujuan umum yang paling besar dari para
kritikus balet". Gautier, kata Denby, "tampaknya melaporkan sepenuhnya dari sudut pandang seorang
pencari hiburan yang beradab." Dia menemukan penilaiannya bukan pada prinsip-prinsip teoritis tetapi
dalam persepsi sensual, mulai dari bentuk fisik dan energi vital dari penari individu. Penekanan ini tetap
menjadi batu ujian diam-diam dari penulisan tarian sejak saat itu.

Melalui kepengarangannya tentang skenario balet Giselle , salah satu karya dasar dari repertoar tari,
pengaruhnya tetap sama besar di antara para koreografer dan penari, juga di antara para kritikus dan
balet [penggemar balet].

Pada 2011, Pacific Northwest Ballet mempresentasikan rekonstruksi karya sedekat mungkin dengan
narasi dan sumber koreografinya, berdasarkan bahan arsip yang berasal dari tahun 1842, setahun
setelah pemutaran perdana.
2. Andrea Levison

André Levinson lahir pada tanggal 13 November 1887, Sankt-Peterburg, Rusia dan meninggal pada
tanggal 3 Desember 1933, Paris, Perancis. André Levinson adalah seorang jurnalis tari Prancis. Saat masih
menjadi profesor bahasa-bahasa Roman di Universitas Sankt-Peterburg, ia adalah seorang penulis kritik
tari yang giat. Mengenai balet, ia kemudian memperjuangkan "tari akademik murni". Dia menentang
reformasi yang diajukan oleh koreografer Michel Fokine dan impresario Sergei Diaghilev. Pada 1918 ia
meninggalkan Rusia ke Paris di mana ia mengajar di Sorbonne dan menjadi salah satu pengkritik paling
berpengaruh di Prancis.

Ide-idenya juga dianggap sebagai dasar untuk keberhasilan balet abstrak George Balanchine, tarian
mengkristal setelah kematian Levinson. Dalam presentasi ini, saya mendefinisikan konsep Tari Murni
Levinson dengan mengutip berbagai contoh kritis dari wacana tekstualnya. Dalam contoh-contoh ini, ia
mencatat esensi penting dari tari yang ditemukan dalam teknik fisik dari setiap tarian dan tarian itu
sendiri. Seharusnya tidak perlu tari untuk bergantung pada alur, emosi, atau ekpresi berlebihan untuk
penghargaannya. Dengan melihat lebih dalam pada ide-ide yang ditemui Levinson, dan
mempertimbangkan bagaimana seni kontemporer saat ini bergerak dalam kaitannya dengan perubahan
dikotomi antara ekspresi dan kemurnian seni, adalah mungkin untuk melihat bahwa Levinson tidak
sepenuhnya menyangkal keberadaan konten tarian. Sebagai gantinya, dia berusaha untuk melihat lebih
dalam pada bagaimana isi bagian dalam dari bentuk itu dapat didiskusikan. Presentasi ini akan
mengambil pandangan baru di Levinson dan, oleh karena itu, yang masih relevan ide-idenya muncul
dalam praktek kritik tari.
3. Sal Mugiyanto

Sal Murgiyanto atau Matheus Saleh Murgiyanto lahir di 27 Desember 1945 Solo, Jawa Tengah. Ia
memiliki pekerjaan sebagai peneliti, kritikus tari, dan juga pengajar seni tari. Ia juga adalah seorang
ilmuwan dan Ia merupakan pendiri Fakultas Seni Pertunjukan IKJ dan Indonesia Dance Festival.[2][4]

Berkat konsistensi upayanya dalam menjaga seni tari di Indonesia, pada tahun 2014, ia memperoleh
penghargaan Lifetime Achievement dari Indonesian Dance Festival (IDF) 2014.[5]

Ia belajar menari sejak usia 10 tahun karena terinspirasi oleh kakeknya, R.M. Satrotenoyo, yang saat itu
menjabat ketua kelompok Wayang Orang Sri Wedari. Postur tubuh yang tidak tinggi membuat gurunya
mengajarkan tari kera dan pencak-silat kepadanya. Selanjutnya ia belajar pada Katiman guru tari
Mangkunegaran dan kemudian menjadi penari Sendratari Ramayana Prambanan (SRP) di bawah Djoko
Suhardjo dan R.T. Kusumokesowo. Sepuluh tahun di SRP, Sal berganti-ganti memerankan kera merah
(Hanggada), biru (Hanila), dan akhirnya putih (Hanuman). Ketika SRP melawat ke India (1966), Sal ikut
serta bersama penari-penari yang kemudian ternama: Retno Maruti dan Sardono W. Kusumo.
4. Eko Supriyanto

Eko Supriyanto, atau yang kerap disapa Eko Pece merupakan seorang seniman tari
asal Indonesia yang telah menorehkan sederet prestasi, baik skala nasional maupun
internasional. Ia pun telah dipercaya untuk menjadi koreografer di berbagai perhelatan
seni berskala besar, mulai dari ajang Miss World hingga upacara pembukaan Asian
Games ke-18 yang mengundang perhatian, pujian, serta decak kagum dari seluruh
masyarakat Indonesia. Ranah tari kontemporer yang ia geluti menjadi ajangnya untuk
mengeksplor dan memperkenalkan kekayaan serta keunikan budaya Indonesia.

5. Danang Pamungkas
Danang Pamungkas (lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 30 Desember 1979; umur 39 tahun)
adalah seniman berkebangsaan Indonesia. Namanya dikenal melalui sejumlah karyanya
berupa koreografi tari yang dipentaskan di berbagai panggung pertunjukan, dalam dan luar
negeri. Dia merupakan salah satu penerima penghargaan sebagai juara pertama Lomba
Koreografi Nasional The Next Wave, dan penerima hibah seni dari Yayasan Kelola.[1][2]
Danang Pamungkas lahir di Surakarta, Jawa Tengah, 30 Desember 1979. Sejak usia muda, dia
sudah mengakrabi dunia kesenian, utamanya seni tari. Setelah menyelesaikan pendidikan di
Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Solo, dia melanjutkan kuliah di Institut Seni
Indonesia (ISI) Surakarta, 1999. Sejak itulah dia aktif dan terlibat dalam karya tari beberapa
koreografer terkemuka di antaranya dalam Indonesian Blues karya Nur Cahyani
di Surabaya, 2000. Selanjutnya dia mendukung karya tari Dolldan Tranten, juga karya Nur
Cahyani di Solo, 2001. Pada acara Temu Koreografer Wanita, pada tahun yang sama, ia ikut
mendukung karya Ni Luh Kadek Yulia dalam karya Sanghara. Di Solo, tahun 2002, ia
mendukung acara Dua Malam Bersama 6 Koreografer Muda. Kemudian, Danang Pamungkas
mewakili ISI Surakarta pada Gelar Tari Anak Bangsa, di Teater Tanah Airku, Jakarta dalam
koreografi tari Sasmitakarya I Nyoman Cahya. Sedangkan 2003, ia mengambil bagian dalam
proses produksi Jarot B. Sasono dalam Trilogi Tentang Perempuan di Yogyakarta, serta
mendukung karya tari Sardono W. Kusumo dalam No Body’s Body di Surakarta. Sebagai
koreografer, karya yang telah dihasilkan oleh Danang Pamungkas antara lain Gulung(1999),
dipentaskan di Solo. Tahun 2000, ia meraih juara II dalam Festival Koreografi dengan
karya Gliyong di PPPG Yogyakarta, dan beberapa karya lainnya.[3]
Tahun 2007, Danang terpilih sebagai satu dari 10 koreografer Indonesia yang mengikuti
Lokakarya Koreografi arahan Lin Hwai-min, koreografer kelas dunia asal Taiwan, pendiri dan
penata artistik Cloud Gate Dance Theatre di Taipei. Seusai lokakarya berdurasi dua minggu itu,
Danang ditawari untuk menari di Cloud Gate Dance Theatre, dan setelah audisi di awal 2008,
Danang pun menandatangani kontrak tiga tahun sebagai penari di Cloud Gate Dance Theatre
2. Seusai kontrak, meski ditawari memperpanjang, Danang memutuskan kembali ke Indonesia
awal 2011karena ia berharap menekuni jalan menjadi seorang penata tari. Ia sempat
melahirkan karya Song of Body (2009) yang dipentaskan di Komunitas Salihara Jakarta, dan
tahun 2012, ia menggarap Beat, sebuah komposisi kelompok, buah dari Hibah Seni
dari Yayasan Kelola, yang akan dipentaskan ulang di ajang Indonesian Dance Festival (IDF).[4]

Anda mungkin juga menyukai