Anda di halaman 1dari 16

Jaipongan: Genre Tari Generasi Ketiga dalam

Perkembangan Seni Pertunjukan Tari Sunda


Lalan Ramlan1
Jurusan Tari, Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) Bandung

ABSTRAK
Seni pertunjukan tari Sunda hingga saat ini telah diisi dengan tiga genre tari yang diciptakan oleh tiga
tokoh pembaharu tari Sunda, yaitu Rd. Sambas Wirakusumah yang menciptakan genre tari Keurseus sekitar
tahun 1920an, Rd. Tjetje Somantri yang menciptakan genre tari Kreasi Baru sekitar tahun 1950-an, dan
Gugum Gumbira Tirasondjaya yang menciptakan genre tari Jaipongan pada awal tahun 1980-an. Ketiga genre
tari tersebut memiliki citra estetiknya sendiri-sendiri sesuai latar budaya generasinya masing-masing. Genre
tari Jaipongan yang kini sudah lebih dari 30 tahun belum tergantikan di dalamnya menunjukkan nilai-nilai
yang mengakar dalam kehidupan masyarakat Sunda. Untuk mengekplanasi berbagai aspek penting yang
melengkapi pembentukan sebuah genre tari ini digunakan metode kualitatif dengan pendekatan fenomenologi.
Berdasarkan penelitian disimpulkan bahwa genre tari Jaipongan dibentuk oleh konsep dasar etika dan estetik
egaliter dengan menghasilkan struktur koreografi yang simpel dan fl eksibel yang terdiri dari empat ragam
gerak, yaitu bukaan, pencugan, nibakeun, dan mincid. Kata kunci: Gugum Gunbira, genre tari, dan
Jaipongan

ABSTRACT
Jaipongan: The Genre of Third Dancing Generation in the Development of Sundanese Dance
Performing Arts. Sundanese dancing performance art recently has been fi lled with three dancing genres
created by three prominent reformers of Sundanese dances, namely Rd. Sambas Wirakusumah who created
the dance genre of Keurseus around 1920, Rd. Tjetje Somantri who created the dance genre of Kreasi Baru
(New Creation) 1950s, and Gugum Gumbira Tirasondjaya who created the dance genre of Jaipongan in the
early 1980s. The three genres of the dances have their own aesthetic image based on their cultural
background respectively. The Jaipongan dance genre which now has been more than 30 years and not yet
been changed shows the values rooted in Sundanese community life. To explain various important aspects
which complete the creation of a dance genre it applies qualitative method employing a phenomenological
approach. Based on the research, it is concluded that Jaipongan dance genre is shaped by ethical and
aesthetic concepts of egalitarian policies to produce a simple structure and fl exible choreography of four
modes of motion, i.e. aperture, pencugan, nibakeun, and mincid.
Keywords: Gugum Gunbira, dance genres, and jaipongan

Pendahuluan Sejak itu, dinamika perkembangan seni


Tari tradisional Sunda dalam pertunjukan tari Sunda hingga saat ini
perjalanannya mengalami perkembangan tercatat sudah melahirkan tiga generasi,
yang dinamis. Hal ini dapat diamati dari yang sekaligus memunculkan tiga tokoh
perubahan atau pergeseran nilai yang terjadi, pembaharunya. Mereka adalah Rd. Sambas
yaitu dari media hiburan (kalangenan) Wirakusumah yang melahirkan genre tari
menjadi media ekspresi estetik pertunjukan. Keurseus pada kisaran masa akhir aristokrat
Fenomena pergeseran nilai tersebut menjadi feodalisme (± tahun 1920-an). Ia melakukan
bahan diskursus tersendiri, terutama di pembakuan terhadap berbagai motif dan
kalangan akademisi seni tari. Lebih jauh, ragam gerak yang selalu disajikan oleh para
pembacaan terhadap tari tradisional Sunda pengibing dari kalangan priyayi/menak
sebagai seni pertunjukan mengacu pada Sunda dalam arena Tayuban. Pembakuan ini
momentum perubahan yang terjadi ketika sekaligus menghilangkan peran dan
media kalangenan para priyayi/menak kehadiran ronggeng yang semakin bercitra
Sunda yaitu Tayuban berubah menjadi negatif. Proses pembakuan tersebut pada
sebuah genre tari yang disebut Keurseus. akhirnya menghasilkan bentukbentuk
penyajian tari tunggal putra dengan struktur
koreografi yang terdiri atas ragam gerak
1
pokok (sembahan, adeg-adeg, raras konda, tempat ia hidup dan dibesarkan. Hal ini bisa
jangkung ilo, gedut, pakbang, mincid, dicermati dari taritarian yang diciptakannya,
tindak tilu, engke gigir, santanaan, seperti; tari Anjasmara, tari Sulintang, tari
baksarai, mamandapan), ragam gerak Kandagan, tari Ratu Graeni, dan
penghubung (selut, galeong, lontang, sebagainya. Kalaupun ada yang di luar itu
cindek, dan tumpang tali), ragam gerak seperti pada tari Merak, tetapi olahan
khusus (ungkleuk tujuh), dan ragam gerak geraknya tetap mengacu pada pandangan
peralihan (gedig, mincid, keupat, trisi, estetika aristokrat.
raras, dan sirig). Segala atribut yang sudah Struktur koreografi yang disusun dalam
biasa dikenakan oleh para pejabat bupati setiap karya tari Tjetje Somantri, merupakan
(priyayi/ menak) Sunda masa itu menjadi pengembangan dari ragam gerak pokok
kelengkapan busana tarinya, seperti pakaian yang ada pada genre tari Keurseus. Pada
takwa dan sinjang lereng atau motif lainnya genre tari kreasi baru ini diberlakukan
dengan lipatan kain di ujung kanan (lamban) ketetapan dasar pada setiap repertoar tarinya
diletakkan di sebelah kanan, epek/stagen, yang berjenis putri, misalnya olahan ruang
sabuk, keris, tali bandang, dan bendo, gerak pada setiap motif dan ragam geraknya
kecuali soder/sampur. Digunakannya tidak boleh mengangkat tangan melebihi
sampur/soder dalam menari karena properti bahu karena akan memperlihatkan ketiak;
ini sudah digunakan dalam menari sejak gerak bahu dan pinggul tidak boleh terlalu
Tayuban masih populer di kalangan kuat dan olahan ruang yang lebar, karena
priyayi/menak Sunda masa lalu. Soder ini dianggap vulgar dan erotis; jarak kedua kaki
diberikan kepada penari oleh panitia juru pada sikap adeg-adeg tidak boleh terlalu
baksa sebagai tanda giliran menari, terutama lebar, apa lagi mengangkat kaki terlalu
karena para penari/pengibing yang waktu itu tinggi. Itu semua dianggap melanggar kodrat
adalah para pejabat (bupati) yang tentu saja perempuan dan mengurangi keindahannya.
tidak biasa membawa soder ke arena Oleh karenanya, tari-tarian karya Rd.Tetje
Tayuban. Beberapa repertoar tari yang Somantri ini oleh para pemerhati dan
tercatat pada masa itu adalah Lenyepan, akademisi seni tari disebut dengan nama
Gawil, Kawitan, Gunungsari, dan Kastawa. kreasi baru dan ditempatkan sebagai sebuah
Keseluruhan repertoar tari ini dikategorikan genre tari tersendiri, yaitu genre tari kreasi
dalam genre tari Keurseus. baru sebagai genre tari generasi kedua
Setelah keberhasilan Rd. Sambas dalam perkembangan seni pertunjukan
Wirakusumah dalam memulai babak Sunda.
modernisasi terhadap kesenian tradisional Lalu bagaiman dengan Jaipongan hasil
tari Sunda berjalan ± 30 tahunan, lalu karya Gugum Gumbira Tirasondjaya pada
tercatat nama baru yang juga berlatar sekitar awal tahun 1980-an?. Tari ini
budaya priyayi/menak Sunda yaitu Rd. memiliki cerita dan keunikannya tersendiri
Tjetje Somantri pada kisaran masa awal yang berbeda dengan para pendahulunya.
kemerdekaan Negara R.I (± tahun 1950-an). Karya tari dan penciptanya merupakan dua
Ia berhasil menciptakan karya-karya tari sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan
baru dengan menitikberatkan pada jenis tari dari pengamatan, apalagi kiprahnya dalam
putri, yang pada masa Rd. Sambas mengisi perkembangan seni pertunjukan tari
Wirakusumah sama sekali tidak mendapat Sunda sudah lebih dari 30 tahunan belum
tempat. Keberadaan perempuan pada masa ada tanda-tanda akan lahirnya genre tari
aristokrat feodalisme di lingkungan priyayi baru.
sangat dilarang bersentuhan dengan
Fenomena kelahiran sebuah karya seni
kesenian tari yang saat itu memiliki citra
yang sangat bercirikan latar budaya
negatif.
penciptanya dan masyarakat penyangganya,
Walaupun Rd. Tjetje Somantri telah dijelaskan oleh Adolph S. Thomars
menciptakan tarian-tarian berjenis putri, dalam teorinya yang tersirat dalam bukunya
tetapi tetap mempertahankan citra estetika berjudul Class Systems and The Arts
aristokrat sebagaimana lingkungan budaya sebagaimana dikutif oleh R.M. Soedarsono
(1999: 46) bahwa: ‘kehadiran sebuah kelas kristalisasi nilai kehidupan sosio-budaya
atau golongan masyarakat akan dalam bentuk nilai-nilai, pengetahuan,
menghadirkan pula gaya dan bentuk seni kepercayaan, dan lingkungan. Dengan
yang khas, sesuai dengan selera estetis demikian, mengungkap keberadaan
golongan terentu”. Jaipongan sebagai sebuah karya tari tidak
Dengan mengacu pada teori di atas akan lepas dari konsep penciptaan Gugum
sekaligus memahami substansi penelitian Gumbira sebagai penciptanya yang memiliki
kebudayaan yang menitikberatkan pada latar budaya tradisi yang kuat, di sisi lain ia
persoalan teks dan konteksnya, maka dalam hidup di lingkungan masyarakat kota.
upaya mengeksplanasi keberadaan tari
Jaipongan yang fenomenal karena melebihi Konsep Penciptaan Gugum
kurun waktu yang dilampaui para Gumbira
pendahulunya, penulis menetapkan
Sejarah perkembangan tari Sunda telah
menggunakan metode kualitatif dengan
mencatat bahwa etika dalam budaya
pendekatan fenomenologi. Dengan
aristokrat feodalisme kehidupan kaum
demikian, diharapkan nilai-nilai estetika dan
priyayi/menak Sunda sangat berpengaruh
artistik tari lainnya, serta nilainilai budaya
atau mendominasi tata kehidupan
yang melatarbelakangi terciptanya
masyarakat Sunda. Siapapun yang tidak
Jaipongan dapat diungkap. Untuk hal itu ada
menggunakannya dalam kehidupan
dua persoalan pokok yang berpengaruh pada
seharihari pasti akan dianggap manusia
pembentukan citra estetik dan artistik dalam
tidak sopan, tidak tahu diri, tidak tahu adat,
tari Jaipongan, yaitu konsep dan struktur.
dan banyak lagi umpatan sejenis lainnya.
Kedua sisi tersebut, akan didekati dalam
Dominasi etika dalam berperilaku tersebut
perspektif yang berdimensi etik, estetik, dan
menjadi sebuah tatanan nilai etika adat
akademik. Tulisan ini bertujuan untuk
tradisi yang harus atau wajib dipatuhi,
memberikan informasi akademis mengenai
dipelihara dan diwariskan kepada setiap
genre tari Jaipongan sebagai jenis tari
generasi urang Sunda berikutnya. Pada
generasi ketiga dalam perkembangan seni
akhirnya, etika tradisi ini menjadi standar
pertunjukan Sunda.
ukuran karakteristik masyarakat Sunda,
bahkan masih tetap berlaku hingga saat ini
Konsep dan Struktur Tari Jaipongan walaupun sudah mulai longgar sejalan
Penelitian seni, termasuk tari, dengan proses mordenisasi zaman yang
substansinya mengungkap dua sisi yang terus bergulir.
saling melengkapi, yaitu bentuk dan isi. Tatanan etika aristokrat feodalisme itu,
Menurut Jakob Sumardjo (2000: 169) di sisi lain juga sangat berpengaruh terhadap
bentuk merupakan representasi dari faktor pembentukan kesenian tradisional yang
instrinsik seni yang dibentuk oleh medium tumbuh dan berkembang di lingkungan
atau materialnya. Sejalan dengan itu, Tjetjep kehidupan masyarakat Sunda masa itu. Hal
Rohendi Rohidi (2011: 53) menyebut faktor itu terlihat dari kelahiran genre tari
intrinsik ini sebagai faktor intraestetik yang Keurseus dan Kreasi Baru yang diciptakan
dibangun oleh sebuah struktur yang oleh masyarakat aristokrat seperti yang
tersistematis, sehingga memiliki pola sudah diuraikan di atas.
sususan yang dalam seni tari disebut
Pemberlakuan berbagai aturan (patokan)
koreografi . Isi yang merupakan representasi
tersebut bagi Gugum Gumbira dipandang
dari nilai gagasan, pikiran, dan perasaan
sangat membatasi ruang gerak penari,
senimannya oleh Sumardjo (2000: 169)
sehingga terasa membelenggu, lamban, dan
disebut sebagai faktor ekstrinsik sedangkan
monoton. Sementara ketika mengamati dan
oleh Rohidi (2011: 53) disebut sebagai
merasakan langsung berbagai bentuk tari
faktor esktraestetik yang terkandung dalam
produk budaya barat yang tumbuh subur di
latar budaya dari kehidupan seniman
lingkungan pergaulannya-Kota Bandung
penciptanya yang sudah merupakan
43
(tahun 70-an)-begitu lincah, gesit, enerjik, tepak tilu. Adapun pemikirannya yang
dan dinamis penuh kebebasan dalam moderat, karena pendidikannya yang cukup
mengolah ruang gerak tubuh penari. tinggi yaitu sarjana dan pergaulannya yang
Beberapa bentuk kesenian yang sangat luas dengan berbagai strata sosial yang
digandrungi kaum muda Kota Bandung saat berbeda.
itu, antara lain; Chacha, Salsa, Boll Room, Dalam meniti karir berkeseniannya,
Rock’n Roll, dan sebagainya, menjadi Gugum memulainya dengan belajar
bagian integral dari pergaulan kaum muda berbagai jurus Penca dari berbagai aliran,
Kota Bandung. seperti; Cikalong, Cimande, dan Sabandar.
Keadaan itulah yang mempengaruhi Ia belajar aliran Cikalong dan Cimande dari
pemikiran kritis Gugum Gumbira dengan Bah Saleh, Ki Bacih, dan Ki Sanhudi.
pertanyaan dasar yang terlontar, sebagai Proses pembelajaran yang diterimanya tidak
berikut: “mengapa kesenian Sunda yang saja sebatas fi sik, tetapi sampai pada
begitu kaya dan beragam tidak tersentuh, unsurunsur di luar fi sik, yang dalam dunia
apalagi menjadi ajang pergaulan kaum muda persilatan sering disebut kebatinan. Selain
Bandung”. Bertitiktolak dari pemikiran ayahnya sendiri, Ki Bacih dan Ki Sanhudi
kritis inilah, Gugum memulai inilah yang banyak mewarnai prinsip
penjelajahannya dalam menemukan apa berkeseniannya. Pendalamannya terhadap
yang diinginkannya, yaitu bentuk tari Penca/maenpo, menggiring Gugum pada
tradisional yang bisa menjadi media penemuan bagian padungdung kendor yang
pergaulan kaum muda kota/modern. menjadi landasan inspiratif munculnya
Pemikiran kritisnya yang kuat terhadap kebebasan atau fl eksibilitas irama dalam
keberadaan kesenian tradisional Sunda, jelas Jaipongan, sehingga membuka ruang atau
bukan hal yang tiba-tiba saja muncul dalam peluang bagi penari untuk bebas bergerak
diri seorang Gugum tetapi mengalir dari menampilkan jurus-jurus dengan irama tidak
ayahnya yang pernah menjadi anggota terikat.
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Petualangannya dalam proses
Kotamadya Bandung. Menurut Gugum, berkesenian terjadi terutama pada masa
semasa ayahnya menjadi anggota DPRD setelah berkeluarga, Ia melangsungkan
tersebut, ia salah seorang yang paling kritis pernikahan pada tanggal 18 April 1968
dan vokal dalam menyuarakan aspirasi dengan perempuan yang dicintainya
masyarakatnya, sehingga banyak dikenal bernama Euis Komariah yang pada saat itu
dan disegani oleh kawankawannya di DPRD sudah menjadi penembang Cianjuran yang
tersebut (Edi Mulyana dan Lalan Ramlan, handal. Dari pernikahannya tersebut, Ia
2012: 15). Kebiasaan yang kritis dan vokal dikaruniai empat orang anak, yaitu: Mira
ayahnya itu tertanam dalam kehidupan Tejaningrum (Bandung 4 Maret 1969), Ine
Gugum yang selalu kritis dalam menyikapi Dinar (Bandung 24 Pebruari 1970), Asye
situasi sosial dan vokal dalam menyuarakan Ratna Mantili (Bandung 4 Agustus 1973),
keinginan untuk mengangkat serta dan Sonda Utami Dewi (Bandung 26
menghidupkan kembali keberadaan Pebruari 1978).
kesenian yang termarginalkan, karena Gugum mempelajari berbagai jenis
dianggap seronok, vulgar, dan kurang kesenian seperti Ketuk Tilu dari Ki Sanhudi,
bernilai. Bu Jubaedah, dan Bah Akil. Secara
Gugum memiliki perhatian yang besar koreografi s, tarian pada kesenian Ketuk Tilu
terhadap perkembangan kehidupan kesenian masih menggunakan struktur koreografi
tradisional Sunda. Ia ditempa sejak kecil yang terdiri dari ragam gerak bukaan,
dengan pengalaman dan pengetahuan seni pencugan, nibakeun, dan beberapa gerak
dan budaya Sunda oleh ayahnya melalui mincid. Keberadaannya seperti itu
latihan Pencak Silat (maenpo/Penca: memberikan inspirasi terhadapnya dalam
Sunda). Setelah jurus-jurus dasar tersebut persoalan struktur tarian. Oleh karena itu
dikuasai dengan baik, selanjutnya diajarkan kesenian tradisional Ketuk Tilu pada
Penca kembang yang sederhana seperti
gilirannya menjadi dasar struktur koreografi Ketertarikan Gugum pada kesenian ini
penciptaan tari Jaipongan. karena terdapatnya kesamaan bentuk sajian
Setelah belajar Ketuk Tilu, Gugum dengan beberapa jenis kesenian yang telah
berguru kesenian Topeng Banjet pada Bah dipelajari sebelumnya yaitu Ketuk Tilu,
Epeng, Ali Saban, dan Bah Pendul. Dalam Penca, dan Topeng Banjet. Tarian ini kaya
penampilan penari perempuan umumnya akan variasi gerak yang ditarikan secara
menggunakan ragam hias yang cukup spontan, improvisasi, dan unik, baik yang
menarik mulai dari bagian rambut ditarikan oleh para pesinden maupun para
menggunakan hiasan kembang, busananya bajidor. Untuk mengetahui lebih dekat
menggunakan kebaya yang dihiasi dengan kesenian tersebut ia memutuskan ikut
toka-toka atau tola, kewer, dan bagian ngabajidor. Gugum mulai berkenalan
bawahnya menggunakan sinjang. Kesenian dengan beberapa tokoh bajidor dari
ini umumnya diiringi oleh seperangkat Karawang seperti Atut, Askin, dan Dimyati,
waditra Ketuk Tilu, namun ada pula yang serta Lurah Hilman, Upas Omo, dan Lurah
menggunakan gamelan lengkap berlaras Joni dari Subang. Secara khusus dalam
salendro. Gerak tarinya cenderung erotis peristiwa Bajidoran tersebut ia selalu
(terkenal dengan istilah eplok cendol atau memberikan beberapa krat (kotak) minuman
goyang Karawang yang disajikan oleh bir untuk para bajidor dan mengeluarkan
kembang topeng atau penari primadona). banyak uang untuk jaban.
Hal ini memberikan penebalan terhadap Sejak itulah Gugum menemukan
munculnya nuansa erotis dalam Jaipongan. beberapa seniman potensial yang memiliki
Gugum (2008) menegaskan bahwa dalam keahlian khusus, seperti Suwanda dan Dali
mempelajari gerakgerak Penca, Ketuk Tilu, sebagai penabuh kendang, Idjah Hadidjah,
dan Topeng Banjet dilakukan sampai Umay Mutiara dengan suara emasnya
hatam”. sebagai sinden, serta Atut, Askin, dan Upas
Pada proses hataman itulah Gugum Omo dengan ibing khas Bajidoran-nya.
menjalani sebuah prosesi akhir yang disebut Mereka itulah yang pada gilirannya diikut-
upacara tawajuh. Ia dimandikan dengan air sertakan dalam proses berkesenian
kembang yang diwadahi dengan goong selanjutnya. Selain itu, Ia juga menemukan
keramat. Menurut Askin, seniman pola-pola tepak kendang serta berbagai
Karawang, tidak semua murid Bah Pendul ragam gerak, seperti bukaan, pencugan,
ditawajuh, hanya murid-murid yang nibakeun, dan motif-motif tepak dan gerak
dianggap istimewa saja yang diperlakukan mincid. Lebih lanjut pola-pola tersebut
demikian. Harapannya adalah agar orang menjadi kerangka dasar Jaipongan yang
yang dimandikan air kembang dari goong selanjutnya menjadi kerangka garap
tersebut kelak namanya akan bergema Jaipongan. Euis Komariah, istri Gugum
seperti suara goong. Gumbira, menegaskan bahwa Jaipongan
yang dikenal dewasa ini merupakan hasil
Setelah berguru kepada beberapa tokoh
jerih payahnya, bukan saja secara moral
Topeng Banjet, giliran berikutnya yang
tetapi material pun ia korbankan untuk
dipelajarinya adalah seni Kliningan
menciptakan Jaipongan.
Bajidoran. Daerah Pantai Utara Jawa Barat,
khususnya Karawang dan Sebagai seorang seniman, Gugum
Subang, memiliki banyak grup kesenian mempunyai prinsip bahwa dalam berkarya
Kliningan Bajidoran yang dalam itu pertama adalah keberanian, dalam arti
pertunjukannya selalu melibatkan kelompok keberanian kreatif. Selain itu tidak boleh
bajidor (menunjuk kepada para pelaku yang takut disalahkan atau dikritisi oleh orang
berperan secara aktif dalam peristiwa lain. Hal yang diutamakan adalah mampu
Bajidoran), yakni meminta lagu, menari, membuat lepas dari permasalahan apakah
dan memberi uang jaban (saweran; karya itu berkualitas atau tidak.
memberikan uang kepada sinden atau Menurutnya, tanpa keberanian seseorang
pangrawit). tidak akan mampu menghasilkan sesuatu.
45
Seorang seniman yang tidak mempunyai menari yang luar biasa. Oleh sebab itu, pada
keberanian walaupun berpotensi akan bagian pencugan (isi) dalam koreografi
menjadi mandul. Ia menambahkan bahwa Jaipongan adalah merupakan kunci-kunci
keberanian tersebut diimbangi pula oleh jurus untuk menghindar, menyerang,
pengetahuan dan pengalaman serta menangkis, mendorong, bahkan menantang
berpegang teguh pada prinsip-prinsip pasangannya (para penari pria). Daya
kekaryaan seperti adanya kesatuan, harmoni, pesona ronggeng itu diungkapkan oleh
transisi serta berpegang teguh pada norma- Atang Warsita, seorang seniman karawitan
norma masyarakat seperti adat, cara, dan Sunda dalam beberapa bait syairnya berikut.
kebiasaan-kebiasaan. Prinsip selanjutnya kewes pantes
menurut Gugum Gumbira adalah ”terbuka singset dangdosanana adu manis
terhadap segala saran dan kritik dari orang jeung gerak ibingna rindat soca
lain, tidak boleh alergi terhadap saran dan nyarengan sumanding imut pangirut
kritikan yang disampaikan orang lain. Hal matak bengong anu melong gereget
ini dibuktikan ketika ia mendatangkan para keur nu neuteup sok matak
seniman seperti Nandang Barmaya, Samin, ngahudang kasmaran para jajaka
Tosin, Tati Saleh, Omik Hidayat, Suwanda,
dan Dali untuk diajak bekerjasama dan lali kana temah wadi kurengkakna
berdiskusi untuk menghasilkan karya-karya nyi ronggeng lamun keur midang
yang diinginkannya. Karya-karyanya sok asa ngarasa enya dilayanan
diciptakan se-orisinal mungkin, tidak geuning padahal ukur pulasan
menjiplak atau meniru hasil orang lain.
Gugum Gumbira memiliki pandangan Syair lagu di atas merupakan gambaran
yang sederhana tentang dunia tari atau seorang ronggeng yang cantik, menarik,
menari, Ia mengatakan: “ngigel mah moal berpakaian ketat, serasi dengan gerak
jauh ti leungeun jeung dua suku, paeh hiji- tarinya. Lirikan mata dan senyumnya yang
hirup hiji” (menari itu hanya menggerakkan menawan, membuat siapa pun yang melihat
dua tangan dan dua kaki, satu statis karena akan terpana, bahkan jatuh cinta. Para lelaki
menjadi tumpuan berat tubuh dan yang satu akan menjadi lupa diri, seolah-olah
lainnya dalam posisi bebas). Kalimat ini mendapat belaian.
sangat menekankan pada ketidakstabilan Di sisi lain, penekanan pada kekuatan
posisi tubuh, dalam arti posisi tubuh harus nilai estetika tari yang dinamis dengan
selalu dalam keadaan ‘hidup’ (plastis; tidak intensitas pergerakan yang tinggi sangat
statis). Untuk kepentingan itu, terutama mencerminkan karakteristik kaum
bagian kaki harus dalam keadaan asimetris. perempuan Sunda (mojang Priangan) yang
Maksud dari asimetris atau “paeh hiji hirup cantik, menarik, ramah, anggun, gemulai,
hiji” adalah difokuskan pada posisi kaki gesit, lincah, dan memiliki daya tarik yang
dalam keadaan pasang/kuda-kuda atau menawan. Gambaran pesona mojang
adeg-adeg. Kaki yang satu bersifat menahan Priangan itu juga diungkapkan oleh Hj. Iyar
atau menjadi tumpuan berat tubuh (paeh) Wiyarsih, seorang pesinden handal dalam
dan yang lainnya bersifat hidup atau siap lagu ciptaannya “Mojang Priangan” berikut.
bergerak bebas dengan berbagai angkat ngagandeuang
kemungkinan; motif gerak, arah gerak, bangun taya
dan/atau tempo dengan intensitas gerak karingrang nganggo
yang berbeda. sinjang dilamban
Ada dua faktor yang membentuk daya Mojang Priangan
dinamika irama dalam tarian Jaipongan,
umat-imut lucu
yaitu di satu sisi karena Gugum sangat
sura-seuri nyari
mengidolakan gaya menari dari seorang
larak-lirik keupat
ronggeng yang pada masa aristokrat
Mojang Priangan
dipandang rendah, tetapi bagi Gugum justru
sebaliknya. Ia menangkap daya pesona
Reff: diraksukan kabaya wawacan, dan sejarah ketokohan perempuan
nambihan cahayana Sunda, seperti Sunan Ambu, Dayang Sumbi,
dangdosan seudeurhana Dewi Asri, Dewi Sri, Kawung Anten, Nyi
Mojang Priangan Mas Gandasari, dan banyak lagi yang
lainnya merupakan fi gur-fi gur perempuan
Lirik lagu di atas menggambarkan sosok Sunda yang diposisikan pada derajat yang
perempuan Sunda yang bersahaja dengan tinggi. Gugum sangat terpesona oleh sosok
busana kain dan kebayanya, senum dan perempuan Sunda, maka eksploitasi
lirikan matanya, dengan langkahnya yang karakteristik perempuan Sunda sangat
tenang berwibawa, menambah aura daya tercermin dalam karya tari Jaipongan yang
tariknya. diciptakannya.
Mencermati konsep di atas, Gugum Beranjak dari itu, Gugum berupaya
Gumbira menghendaki gambaran ideal menggali lebih dalam tentang potensi seni,
perempuan Sunda itu secara realistis yang termasuk ruh kasundaan-nya. Berkaitan
terekspresikan dalam tariannya, tidak seperti dengan itu, dalam proses kerja kreatif ia
yang dilakukan oleh Rd. Tjetje Somantri melakukan penghayatan terhadap tatanan
yang mengangkat daya pesona perempuan kearifan tradisi, bergaul secara erat,
Sunda melalui analog dalam dunia berdialog, dan saling memberi dengan para
imajinasi, misalnya pada tari Anjasmara, seniman di lingkungan kehidupannya yang
Sulintang, Kandagan, dan Ratu Graeni. menjadi pelaku dan pemilik kebudayaan.
Ronggeng adalah fi gur perempuan Sunda Penting untuk dipahami, karena ada
yang nyata; kegesitan, kelincahan, daya penegasan bahwa nilai-nilai lama dalam
erotis, yang disajikan dalam beberapa suatu masyarakat sebenarnya terus hidup di
bentuk kesenian tradisional kerakyatan, tengah-tengah perubahan nilainilai lainnya.
seperti pada Ketuk Tilu, Tayuban, Topeng Sebagaimana keberadaan fi gur perempuan
Banjet, Bajidoran, dan sebagainya. Begitu dalam pandangan semesta masyarakat
pula dengan kecantikan, kegemulaian, Sunda lama yang menduduki posisi
keramahan, keanggunan, kegesitan, bermartabat dan dimuliakan.
kelincahan, dan kekuatan mojang Priangan.
Semua itu disempurnakan oleh aura
Idealisasi fi gur perempuan Sunda ini
sensualitas keperempuanan yang menjadi
dilukiskan dalam beberapa ungkapan,
sarinya (mamanis/pasieup; Sunda) yang
seperti berikut. Berkaitan dengan
orang kebanyakan menye butnya dengan
kesempurnaan tubuh: ditilik ti gigir lenggik;
istilah 3 G (gitek, géol, dan goyang). Tiga G
diteuteup ti hareup sieup; disawang ti
dalam konteks ini sangat ditentukan oleh
tukang lenjang; kulitna koneng umyang.
faktor kepribadian dari seorang penari,
Berkaitan dengan kecantikan wajah:
karena yang akan terlihat dengan kasat mata
tarangna jamentrang herang; halisna
adalah apakah muncul dari sebuah
ngajeler paeh; socana seukeut moncorong;
kewajaran berdasarkan faktor penguasaan
pipina ngadaun seureuh; gadona endog
teknik menari atau muncul dari upaya
sapotong; pangambung kuwungkuwungan;
eksploitasi yang bersifat verbal dan seronok.
lambeyna kucup kastuba. Berkaitan dengan
cara berjalan: angkatna lir macan Penting dipahami mengenai hal ini,
teunangan. karena ada persoalan nilai yang berlaku
dalam tatanan budaya Sunda bahwa gerakan
Bila ditarik lebih dalam, perempuan
gitek, geol, dan goyang bukan semata-mata
Sunda pada kisah-kisah mitologi pantun,
oses Kreatif Gugum Gumbira
m Penci
ptaan Tari Jaipongan

patSumber Utama, yaitu;


nca/Maenpo (Pencak Silat);
tuk Tilu;
peng Banjet;
Bajidoran

tur Tari Jaipong:


an,Pencugan,Nibakeun
,dan
47

Unsur integral lainnya, yaitu


:
1.Iringan tari;
2. Rias- busana tari
untuk mengumbar erotisme, sensualitas, dan bahwa: Pertama, repertoar tari pertama yang
seksualitas, tetapi terkait dengan makna diciptakan oleh Gugum Gumbira merupakan
”kesuburan”. Mengenai hal ini Sumardjo tari pasangan (pa/ pi) yang dinamai Ketuk
(2003: 99) menjelaskan, bahwa pergerakan Tilu Perkembangan. Penggunaan nama
dari pusar adalah simbol kecerdasan, tersebut mengundang reaksi keras dari para
sedangkan pinggul atau genital merupakan seniman tari tradisional masa itu. Walaupun
simbol kreativitas. pada akhirnya pihak yang tidak setuju itu
Struktur Tari Jaipongan mengusulkan untuk menggantinya dengan
nama lain yang lebih sesuai. Argumentasi
Struktur garap yang disusun oleh Gugum
dari pihak yang tidak setuju mengatakan
diawali dengan bubuka, yakni awal tarian
bahwa nama Ketuk Tilu biarkanlah melekat
atau introduksi tarian berdasar pada pola
sebagai nama yang sudah mengidentitas dari
tepak kendang dan gending atau sebaliknya
sebuah bentuk kesenian yang sudah ada dan
pola gerak yang diisi oleh tepak kendang
masih hidup sebagai warisan tradisi
dan gending (berdasarkan lagu dan gending
masyarakat Sunda, yaitu kesenian
atau sebaliknya). Kedua, bagian tengah diisi
tradisional Ketuk Tilu. Kedua, Ketuk Tilu
dengan pencugan yaitu berupa jurus-jurus
merupakan salah satu dari empat sumber
dari ibingan Penca (Penca kembang).
pembentukan struktur tari Jaipongan, dan
Bagian tengah ini merupakan inti atau gerak
tiga sumber lainnya adalah Penca/Maenpo
pokok Jaipongan, dan sebagai sisipan atau
(Pencak silat), Topeng Banjet, dan
gerak peralihannya digunakan gerak mincid.
Bajidoran. Oleh karena itu, mereka
Ketiga adalah penutup, yakni dari pola-pola
menyarankan agar karya Gugum Gumbira
gerak sorong atau nyéréd, yang berpijak
ini memiliki namanya sendiri yang baru dan
pada pola gerak Ketuk Tilu pada bagian
khas.
akhir (arang-arang dan nyorong atau
nyéréd) atau nibakeun. Pola-pola tersebut Kesenian Ketuk Tilu tersebut merupakan
menjadi pijakan atau acuan dalam setiap jenis kesenian pergaulan/hiburan di
tarian yang diciptakannya. Namun demikian kalangan rakyat, sehingga memiliki bentuk
polapola tersebut begitu lentur/atau elastis, penyajian dengan pola berpasangan, yaitu
sehingga memberikan peluang bagi kreator antara penari profesional perempuan
lainnya untuk mengembangkan motif-motif (ronggeng) dengan penari partisipan (laki-
dari pola tersebut. laki/pria) dari kalangan penonton yang hadir
pada acara tersebut. Profesi ronggeng telah
Pada rentang waktu yang sudah lebih
banyak ditulis oleh para ahli sebagaimana
dari 30 tahun, Gugum Gumbira tercatat
disampaikan Endang Caturwati (2006: 2-3)
telah menciptakan repertoar tari sebanyak
berikut.
13 buah yaitu Rendeng Bojong, Keser
Bojong, Setra Sari, Sonteng, Toka-Toka, Ronggeng merupakan fenomena
Senggot, Bulan Sapasi, IringIring Daun budaya yang banyak disinggung
Puring, Pencug Bojong, Ringkang dalam berbagai tulisan, antara lain;
Gumiwang, Rawayan, Kawung Anten, Kidung Sunda (Karya sastra Jawa
dan Tengahan, 1500-an); Serat Centhini
Tawadu. Keseluruhan karya repertoar tari (1814), Ronggeng Dukuh Paruk
tersebut menunjukkan konsistensi (Novel, Ahmad Tohari, 2004), The
penggunaan struktur koreografi yang sama, History of Java (Thomas Stamford
tetapi dalam bentuk penyajian yang Raffl es, 1817), Art in Indonesia:
bervariasi bersesuaian dengan lagu dalam Continuities and Change
karawitan tari yang mengiringinya, begitu (Claire Holt, 1967), Old Javanese English
pula dengan ditunjang oleh pengembangan Dictionary (P.J. Zoetmulder, 1982),
penataan desain busana yang berbeda pada Children of The Colonial State:
setiap repertoar tarinya (Gambar 1). Population Growth and Economic
Develepment In Java 1795-1880,
Apabila menelusuri perjalanan
1989), Erotic Triangles: Sundanese
pembentukan genre tari Jaipongan diketahui
Men’s Improvisational Dance in West
Java Indonesia (Henry James, 2001). dilukiskan oleh para penulis sebelumnya
Tulisan-tulisan tersebut pada yang menggambarkan keadaan ronggeng
umumnya memaparkan ronggeng pasca tahun 1809. Disebutkan oleh Raffl es
sebagai perempuan penari kalangenan. (1965: 381), bahwa …Their conduct is
Budaya ronggeng dikelilingi banyak generally so incorrect, as to
pria, dipuja, disanjung, atau juga render the title of ronggeng and prostitute
dijadikan patner tidak saja di arena synonymous …
pertunjukan, tetapi juga di atas Dengan demikian, persoalan dunia
ranjang. ronggeng yang selama ini lebih banyak
Penulis menemukan sebuah manuskrip diekspose citra negatifnya perlu dikaji
tentang peristiwa pendirian Sekolah ulang. Hal ini penting segera dilakukan, agar
Ronggeng di lingkungan Kraton Cirebon pemahaman masyarakat terhadap profesi
yang ditulis oleh J.A. van Middelkoop Ronggeng menjadi utuh. Citra positif
dengan judul “Reglement Van de Tandak of ronggeng yang selama ini belum tergali oleh
Ronggeng Inholen te Cheribon (1809)”. para pengamat atau peneliti tari ternyata
Manuskrip ini memuat sejumlah 22 pasal telah ditangkap sejak lama oleh Gugum
yang dituangkan dalam 15 halaman, isinya Gumbira. Potensi daya pukau/pesona
meliputi; pemberian ijin pendirian tiga ronggeng ia temukan dalam Ketuk Tilu,
sekolah ronggeng di tiga Kraton Cirebon, Topeng Banjet, dan Bajidoran, sedangkan
penetapan lokasi, penetapan kurikulum dari Penca/Maenpo (Pencak Silat) ia
pembelajaran, penetapan persyaratan bagi temukan jurus-jurus kunci yang melengkapi
siswa/murid, penetapan jadwal pertunjukan, gambaran kegesitan seorang ronggeng
dan penetapan larangan membawa pergi ketika menari dalam menghindar, menekan,
ronggeng (Lalan Ramlan, 2008: 70-76). mendorong, dan membuka peluang para
Terutama yang paling menarik adalah pada lelaki untuk masuk, tetapi akan dikunci
Art 18 yang berbunyi: apabila melakukan gerakangerakan yang
“Des morgens ten zeeven uuren zal membahayakan dirinya. Dalam hal ini
het oderwijs der kelass moedeen en Gugum melihat seorang ronggeng bagai
leebees in het leezeen schrij ven en seorang pesilat (jawara) perempuan. Terkait
den Koran etc een aan dengan hal itu Sumardjo (2006: 92)
aanvangneemen en eerst, des menjelaskan, bahwa:
middagsten elf uuren mogen eindigen Seni adalah cahaya atas realitas.
terwijl des na de middag van tween Realitas yang selama ini kita nilai
tot sessen, en in het zingen en biasa dan rutin, tiba-tiba diberi cahaya
rongeng speel len gegeven zal moeten baru sehingga nampak sesuatu yang
warden en zulks dagelijks except op tak kita lihat selama ini. Realitas
feest of andere het lingen dagen”. nampak baru, nampak jelas, nampak
punya kedalaman, nampak lebih
Pasal ini berisi antara lain penetapan benar. Seni pada awalnya pertemuan
kurikulum seperti; pagi hari pelajaran sebuah kebenaran atas realitas.
menulis dan membaca Qur’an dan adat Kebenaran itu selama itu tersembunyi
istiadat Cirebon, sore hari nyanyi dan Tari di balik realitas. Setiap orang
Ronggeng”. Berdasarkan keterangan di atas barangkali dapat mengalami peristiwa
ada beberapa catatan penting yang perlu semacam itu, tetapi tetap tersimpan
dicermati, antara lain isi kurikulum pada bagi dirinya. Seorang seniman,
sekolah ronggeng jelas mencerminkan citra ilmuan, fi lsuf, agamawan, dapat
profesi ronggeng yang bermartabat, karena mewujudkan dalam simbol-simbol.
dibekali dengan pendidikan, keagamaan Untuk itu diperlukan keterampilan
(Islam), keahlian menyanyi dan menari, teknik dan kecerdasan cara
serta wawasan budaya adatistiadat Cirebon. mewujudkannya. Dan kalau orang itu
Hal ini sangat berbeda dengan yang cukup terampil, terlatih dan cerdas,
49
maka ia akan bisa cepat Nama tarian ini dalam waktu singkat dikenal
mewujudkannya dalam bentuk benda. di seluruh Jawa Barat, bahkan melampaui
popularitas dua genre tari yang sudah ada
Pola penyajian berpasangan terutama sebelumnya, yaitu; genre tari Keurseus dan
dalam Ketuk Tilu itulah, yang masih kental genre tari Kreasi Baru (Gambar 3)
diadopsi ke dalam tari Ketuk Tilu
Perkembangan, nama yang dipakai saat itu.

Gambar 4. Penari Jugala dalam Repertoar tari


Rawayan repertoar (Foto: Koleksi Jugala,
2006)
Gambar 2. Gugum Gumbira dan Ta Saleh dalam
repertoar tari Rendeng Bojong (Foto: Koleksi
Jugala, 1980).

Gambar 3. Gugum Gumbira dkk., dalam Ketuk


Tilu Perkembangan (Foto: Koleksi Jugala,
1978).

Ketegangan akibat pro dan kontra dari


masyarakat Sunda, terutama para seniman
konservatif dalam menyikapi kehadiran tari
olahannya itu pada akhirnya disikapi dengan
arif dan bijak oleh Gugum Gumbira. Ia
bahkan memosisikan sebagai sebuah Gambar 5. Mira Tejaningrum dalam repertoar Tari
tantangan untuk segera menemukan nama Kawung Anten (Foto: Koleksi Jugala, 2006)
yang lebih tepat. Selang beberapa tahun
beredarlah sebuah nama yang langsung Beberapa karya selanjutnya yang
populer di tengah-tengah kehidupan diciptakan Gugum ada yang masih
masyarakat Sunda yaitu Jaipong. Repertoar mempertahankan jenis penyajian tari
tari pertama yang diluncurkan diberi nama berpasangan, seperti; Toka-Toka dan
Rendeng Bojong dina lagu Banda Urang. Ringkang Gumiwang. Akan tetapi mayoritas
repertoar tari yang diciptakannya berjenis diciptakan oleh Gugum Gumbira
tari tunggal, baik putra yang hanya ada satu dikembangkan dan disebarluaskan melalui
yaitu Penjug Bojong, maupun putri seperti; Padepokan Seni Jugala, serta Jugala Record.
Keser Bojong, Setra Sari, Iring-Iring Daun Secara konseptual Gugum telah mampu
Puring, Sonteng, Senggot, Rawayan, dan berbuat sesuatu untuk kepentingan orang
Tawadu. Satusatu karya yang bertema, yaitu banyak. Kesemuanya itu digali dari
Kawung Anten. fenomena-fenomena yang tengah terjadi.
Perkembangan penciptaan tari Jaipongan Kemunculan karya Jaipongan ini adalah
ini, tidak saja menunjukkan perubahan pada sebuah jawaban atas kefakuman kreatifi tas
koreografi nya saja tetapi juga pada desain yang terjadi pada dekade tahun 70-an di
busana. Jawa Barat. Hal ini Ia jadikan peluang untuk
mengisi dan menawarkan suatu karya baru
yang berorientasi pada seni tradisi yang
Struktur Koreografi Tari pernah digemari oleh rakyat Jawa Barat.
Struktur Koreografi tari dibangun oleh
Fleksibilitas struktur tari Jaipongan bisa
empat fase ragam gerak, yaitu; bukaan,
dilihat setiap repertoar tarinya, misalnya:
pencugan, nibakeun, dan mincid. Bukaan
Rendeng Bojong, Toka-Toka, Iring-Iring
yaitu fase ragam gerak awal, biasanya
daun Puring, Senggot, dan Ringkang
dimulai setelah goong dan diadopsi dari
Gumiwang dimulai dengan mincid;
ragam gerak awal dalam tarian Ketuk Tilu
Keser Bojong dimulai dengan bukaan;
dan Bajidoran. Fase bukaan ini di dalamnya
Sonteng, Setra Sari, dan Pencug Bojong
terdiri dari gerak-gerak, seperti misalnya;
dimulai dengan pencugan, sedangkan
kuda-kuda pasang, luncat, depok, dan
nibakeun, karena posisinya sebagai ragam
sebagainya. Kemudian pencugan yaitu fase
gerak penutup menuju goong, posisinya
ragam gerak yang lebih merupakan
pada setiap repertoar tari akan ditentukan
permainan jurus yang sudah distilasi untuk
oleh posisi goongan.
kebutuhan tari (gerak ini bisa dilakukan di
tempat maupun berpindah tempat), lazimnya
disebut gerak pokok atau ibing pola, Karawitan Tari
misalnya, besot, siku, bandul, tajong, jérété, Proses pembuatan atau penyusunan
peupeuh, dan sebagainya. Nibakeun yaitu gending tari berjalan agak rumit dan
ragam gerak yang merupakan rangkaian memakan waktu yang lama, karena adanya
gerak akhir atau sering disebut perbedaan visi dan persepsi yang mendasar
ngagoongkeun (gerak penutup), misalnya antara Gugum Gumbira dengan para penata
galieur, godeg, jeblag, jedag, dan gending yaitu Nandang Barmaya yang
sebagainya. Untuk menggabungkan dibantu oleh Tosin dan Samin. Pada awalnya
berbagai fase ragam gerak tersebut dipakai mereka tidak mengerti keinginan Gugum,
fase ragam gerak mincid, seperti: kuntul hal ini didasari oleh beberapa kaidah
longok, girimis, adu manis, ban karét, gending yang mereka anggap sudah baku
kulawit, bongbang, dan sebagainya. Semua dan tidak mungkin untuk diubah. Pola irama
ragam gerak itu menjadi kerangka dasar yang dipaksakan untuk mengikuti ritme
dalam konstruksi bangunan Jaipongan, gerak dipandang akan merusak pakem-
sehingga secara struktural memiliki awalan, pakem tradisi, sehingga terjadi tarik menarik
tengah, dan penutup. Ketiganya dipertautkan antara konsepsi Gugum dengan penata
dengan gerak penghubung. gendingnya. Pada satu pihak Gugum
Bentuk garapan Jaipongan pada menghendaki bahwa gending sebagai
umumnya disajikan secara tunggal dan pengiring mampu mengiringi konsep
berpasangan, serta memiliki warna mandiri geraknya, di sisi lain ia menekankan bahwa
yang khas baik dari sisi koreografi , iringan, sudah saatnya berani ke luar dari pakem-
dan rias busananya. Jaipongan yang pakem yang sudah ada. Pada awalnya
nampak terjadi kebuntuan dalam penuangan

51
idenya tersebut karena para penata merupakan seniman-seniman yang handal.
karawitan belum mampu menterjemahkan Ini tampak pada garap awal gending
apa yang dikehendakinya. Akhirnya gending Jaipongan tersebut yang mencuatkan warna
belum mewadahi konsep garapnya. baru dalam kancah kreativitas karawitan
Walaupun terbentuk, masih terlihat unsur Sunda. Pola gendingnya terdiri atas intro,
pemaksaan. Gugum memberikan nama bagian tengah, dan gending penutup. Bagian
dengan sebutan Ketuk Tilu Perkembangan. intro merupakan terobosan baru sebagai
Dikatakan demikian, karena secara pengganti karawitan arang-arang dalam
koreografi telah terjadi pembaharuan, Ketuk Tilu. Bagian ini memberikan peluang
sementara gending untuk mengiringi bagi Gugum untuk menampilkan teknik
tariannya belum beranjak dari bentuk tradisi. muncul atau gebrakan awal dalam tariannya.
Rupanya Gugum perlu mencari alternatif Pada sisi lain ini memberikan peluang bagi
lain dalam pembaharuan gendingnya ini. penabuh kendang untuk menampilkan
Dia mencari seniman lain sebagai kebolehannya. Gugum pun begitu
pendukung tambahan. Ketika sedang kompromis dengan para penata gendingnya
melihat suatu pertunjukan Kiliningan, dia termasuk mendiskusikan judul lagu. Pada
melihat seorang penabuh kendang yang dari saat itu lagu yang ditetapkan adalah Daun
sisi usia masih muda dan memiliki potensi Pulus Keser Bojong, tetapi tariannya diberi
dalam keterampilan memainkan kendang, nama Keser Bojong. Ini merupakan
yaitu Suwanda dari Karawang. Suwanda momentum yang paling penting dalam
dipertemukan kepada para penata gending penciptaan Jaipongan setelah melalui proses
seperti: Nandang Barmaya, Samin, dan panjang, yang sebelumnya belum
Tosin, lalu disuruh menampilkan menemukan bentuk yang diinginkan hingga
kebolehannya dalam menabuh kendang terpaksa diberi nama Ketuk Tilu
yang diiringi dengan gamelan oleh ketiga Perkembangan. Dengan kata lain, Keser
orang tersebut. Rupanya apa yang dilakukan Bojong merupakan bentuk paling awal dari
oleh Suwanda sangat terbiasa dalam genre tari Jaipongan.
pertunjukan Kiliningan, Tanjidor dan Perkembangan selanjutnya justru
Topeng Banjet yang kaya akan motif tepak menempatkan kekuatan karya Gugum
kendang dalam irama tradisi, namun Gumbira dalam Jaipongan adalah terletak
ternyata tetap tidak merubah struktur lagu pada gendingnya. Gending bukan hanya
atau gending. sekedar penunjang tarian tetapi merupakan
Melihat hal demikian terbukalah salah satu aspek yang dapat menandakan
pandangan Nandang Barmaya, Tosin, dan identitas Jaipongan itu sendiri. Bahkan
Samin untuk mulai memahami keinginan gending dapat dikatakan lebih dominan
Gugum. Dalam pikiran mereka sudah sebagai penanda atau ciri jaipongan, karena
saatnya mengadakan pembaharuan, sebab ketika suatu penampilan Jaipongan hanya
pada hakekatnya apa yang dilakukan bukan menampilkan tariannya saja maka identitas
suatu perusakan tetapi merupakan Jaipongan tersebut menjadi tidak jelas.
pengembangan. Akhirnya timbul gagasan Sebaliknya, ketika Jaipongan disajikan
baru dari keempat orang tersebut, Suwanda gending saja, secara auditif Jaipongan akan
dan Tosin berupaya untuk menghadirkan tetap nampak.
motif-motif baru pada tepak kendang, Kelebihan lain dalam Jaipongan adalah
sementara Nandang Barmaya dan Samin warna tepak kendang yang bagitu variatif
berupaya untuk mengembangkan dan dan dinamis, sehingga merangsang orang
menciptakan gending-gending yang baru yang mendengarkan untuk mengikuti irama
pula, yang selanjutnya diselaraskan dengan kendang. Gugum mampu memadukan pola
konsep tarinya. Sejak saat itulah terjadi tepak kendang gaya Kaleran dan gaya
jalinan komunikasi yang konvergen antara Priangan (Bandung), yakni menggabungkan
Gugum dengan para penggarap gendingnya. pola tepak teknik melem g-nya Priangan
Ternyata para penggarap gending yang dan teknik pencug gaya Karawang dan
dipercaya Gugum Gumbira tersebut Subang. Pengaruhnya pada pembawaan lagu
yang dibawakan oleh pesinden sangat terasa adalah salendro, namun pada perkembangan
pada cengkok lagu di akhir sebuah goongan, lebih lanjut, terutama para kreator Jaipong
dalam hal ini Nano S 2007: 128) setelah era Gugum Gumbira, ada yang
menjelaskan berikut. menggunakan gamelan berlaras pelog.
”Bandung punya buntut dan Kalau dicermati secara seksama ada
Karawang menjadi buntet. Mengapa beberapa ciri yang membedakan antara
demikian, dengan teknik menabuh menabuh pada gamelan Jaipongan dengan
pelem, kendang lebih banyak menabuh pada gamelan untuk tari lainnya,
mengatur tempo agar tetap ajeg yaitu terletak pada tabuhan tiga waditra
melalui pukulan yang halus sehingga yang terdapat pada perangkat gamelannya,
rasanya menjadi pelem (enak, gurih, seperti: Kendang, Bonang, dan Kempul.
nikmat). Ini akan mengantar sinden Menurut Suwanda dan Dali (2008) motif-
dalam membawakan lagu yang motif tepak kendang Jaipongan terinspirasi
mengalun panjang, dan pada bagian oleh idiom-idiom kesenian yang telah ada,
akhir lagu walau sudah dibatasi seperti Kiliningan, Ketuk Tilu, Topeng
dengan aksen tabuh gong besar Banjet, maupun Pencak Silat”.
suaranya masih berbuntut panjang, Kendang secara umum termasuk kepada
akan tetapi dalam Jaipongan dari waditra yang memainkan ritmis, berfungsi
hentakan kendang yang kadang lebih untuk mengatur irama dan tempo, serta
menggumuli lagu, pesinden menjadi sebagai aksentuasi atau penegas ritme gerak
agak terkekang temponya terutama apabila gending yang disajikannya sebagai
pada bagian lagu yang mendekati iringan tari. Dengan demikian permainan
jatuhnya gong, yang akhirnya menjadi atau tabuhan Kendang sama sekali tidak
buntet. Itulah sebabnya, yang berpengaruh kepada aspek nada dan melodi
menyebabkan Gugum dalam tari dari lagu yang disajikan. Artinya, tabuhan
Jaipongnya cenderung memilih lagu- Kendang tidak berkaitan dengan lagu apa
lagu yang berirama hiji setengah, dua yang disajikannya, tetapi hanya berkaitan
wilet dan lalamba”. dengan irama dalam lagu yang disajikan.
Bunyi Kendang Sunda memiliki beberapa
Pola irama itu embat-nya cenderung ketentuan yang berkaitan dengan pengaturan
lambat, namun tepak kendangnya cenderung nada. Frekuensi bunyi kendang disesuaikan
menghentakhentak, penuh energi. Volume dengan frekuensi nada-nada tertentu yang
dan aksen bunyi berlawanan dengan terdapat pada waditra gamelan pengiringnya
karakter tarian yang halus, apalagi walaupun tidak disusun menjadi sebuah
dibungkus dengan tepak kendang yang laras.
bertenaga dan cenderung menghentak- Berangkat dari pernyataan di atas,
hentak. waditra (instrumen) kendang yang akan
Karakternya tampak terasa muncul, bahkan dimainkan harus disesuaikan terlebih dahulu
tidak menganggu watak dan sifat tariannya. dengan waditra atau nada-nada tertentu agar
Gending Jaipongan sangat elastis dan suara kendang yang muncul selaras dengan
terbuka untuk diterima oleh jenis kesenian gamelan yang mengiringinya. Lili Suparli
tradisi apapun, seperti; wayang kulit, (2008) menjelaskan bahwa ada lima
campur sari, atau pun musik Bali, termasuk ketentuan atau lima cara steman kendang
dalam jenis yang bernuansa pop, jazz, dan yang biasa digunakan oleh para pengendang
seni modern lainnya. Sunda yaitu, steman kendang pola 1, 2, 3, 4,
Gamelan Jaipongan menggunakan 5. Kendang Jaipongan termasuk pada
gamelan lengkap, seperti Bonang, Saron, larasan pola 5 yaitu: Muka kendang
Demung, Peking, Rincik, Gong, Kempul, kutiplak (muka kendang kecil atau anak
Kendang, dan Rebab, ditambah dengan bagian atas) di-stem pada nada Singgul
kecrek. Pada awalnya laras yang digunakan (5/la) oktav tinggi (sama dengan nada
singgul Alit (5/la) pada waditra saron) laras
53
salendro. Muka kendang kemprang/congo pengendang disesuaikan dengan nada
(muka kendang besar atau indung bagian Galimer (4/
atas), di-stem pada nada panelu (3/na) atau
loloran (2/mi) oktav standar (sama dengan Katipung Kulante Kutiplak

nada loloran (2/mi) atau panelu (3/na) pada


Congo
waditra saron) laras salendro. Muka
kendang katipung/ kentrung (muka kendang
kecil atau anak), distem pada nada galimer
(4/ti) oktav standar (sama dengan nada Gedug

galimer (4/ti) pada waditra saron) laras


salendro. Muka kendang gedug (muka Kendan g

kendang besar atau indung bagian bawah)


oleh para pengendang biasanya distem atau Gambar 6. Perangkat kendang Sunda
disesuaikan dengan nada galimer (4/ti) (Foto: Koleksi Lili Suparli, 2009)
laras salendro.
Selain digunakan untuk mengiringi ti) oktav tinggi (sama dengan nada Galimer
gending Jaipongan, larasan kendang pola 5 (4/ti) pada waditra peking).
juga digunakan untuk mengiringi Wayang
Frekuensi di atas didasari oleh kebutuhan
Golek. Untuk memuncul kan bunyi yang
estetika tabuhan kendang Jaipongan yang
ideal pada steman kendang pola 5
disesuaikan dengan fungsi utama tabuhan
ditentukan oleh ukuran kendang yang
kendang, yaitu mengatur tempo, dinamika
khusus, yaitu ukuran kendang besar dengan
dan mempertegas aksentuasi gerak tari. Oleh
panjang antara 65 cm sampai 70 cm dengan
karena itu bunyi kendang yang telah diatur
diameter muka gedug (muka kendang
seperti di atas dipadukan pula dengan pola-
bagian bawah) 35 cm sampai 40 cm, dan
pola ritme yang dibutuhkan untuk mengisi
muka kemprang/congo (muka kendang
ritme gerak tari. Menurut Lili Suparli (2008)
bagian atas) berdiameter antara 20 cm
perpaduan itulah yang kemudian menjadi
sampai 25 cm, sedangkan ukuran kulanter
sebuah estetika garap kendang jaipongan,
(kendang kecil atau anak) yang biasa
yang selanjutnya disebut dengan Tepak
dipergunakan untuk kutiplak (muka bagian
Kendang Jaipongan, sebagai kreativitas baru
atas), dan katipung (muka bagian bawah)
dalam garap kendang Sunda”.
panjangnya antara 35 cm sampai 40 cm,
dengan diameter muka kutiplak (muka Munculnya motif tepak kendang
bagian atas) antara 12 cm sampai 15 cm, Jaipongan tersebut terinspirasi dan digali
dan muka katipung (muka bagian bawah) dari keseniankesenian yang telah ada, untuk
berdiameter antara 18 cm sampai 20 cm. hal ini Suwanda dan Dali (seperti yang
dituturkan kepada Gugum Gumbira)
Steman bunyi kendang dan ukuran
mengatakan, bahwa motif-motif tepak
kendang Jaipongan memiliki ketentuan
kendang Jaipongan terinspirasi oleh idiom-
khusus yang berbeda dengan steman dan
idiom kesenian yang telah ada, seperti
ukuran kendang lainnya. Perbedaan tersebut
Kiliningan, Ketuk Tilu, Topeng Banjet,
memunculkan bunyi kendang yang berbeda
maupun Pencak Silat.
dan khas. Dilihat dari ukuran frekuensi
bunyi dalam kendang Jaipongan, terutama Bonang adalah salah satu waditra yang
kemprang/congo (muka kendang besar atau terdapat pada seperangkat gamelan, baik
indung bagian atas), memiliki frekuensi yang berlaras salendro maupun laras pelog.
bunyi yang sama dengan frekuensi bunyi Cara memainkan atau motif tabuhan yang
kemprang/ congo (muka kendang besar atau biasa dimainkannya adalah dikemprang,
indung bagian atas) kendang Penca, yaitu digumek, dan lain-lain. Meskipun cara
memunculkan bunyi yang berfrekuensi memainkannya berbeda atau tidak sama
tinggi. Pada perkembangan selanjutnya seperti alat lainnya. Kehadiran bonang
frekuensi bunyi kemprang (muka bagian menjadi satu komposisi yang padu dalam
atas) kendang Jaipongan oleh para
pertunjukannya seperti dikemukakan Nano. pertunjukan musik’. Hal ini mengakibatkan
S (2006: 96) berikut. irama dalam Jaipongan menjadi dinamis
Lagam gending (style) antar waditra (selain tabuhan kendang dan bonang)
gamelan menjadi satu komposisi yang dengan motif tabuhan kempulnya, di
padu dalam pagelarannya. Lagam- samping itu dipertegas pula oleh bunyi
lagam itu mempunyai motif tabuh kecrek. Dengan demikian para penata
secara tersendiri yang berlainan gending yang dipercaya oleh Gugum telah
dengan waditra lain, seperti yang mampu menghasilkan karya baru dengan
terjadi di wilayah Pasundan bahwa warna yang begitu spesifi k, dalam arti
dalam teknik menabuh bonang dan sangat berbeda dengan pola gending tari
rincik pada gamelan Sunda rakyat sebelumnya yang pada gilirannya
bermacam-macam tabuh, di antaranya mewarnai pola irama gending atau
dicaruk, dikempyang, dipancer, karawitan Sunda lainnya.
digumek, dicacag, dan lainnya. Tata Busana Tari
Busana tari Jaipongan tampak
Namun demikian dalam gending memancarkan warna baru, yang bahan
Jaipongan, tabuhan bonang memunculkan dasarnya diangkat dari busana masyarakat
tabuhan khusus yang mengadopsi dari pahumaan, yakni kabaya dan sinjang bagi
tabuhan ketuk pada pertunjukan Ketuk Tilu wanita. Biasanya apabila kaum wanita
dan pertunjukan Topeng Banjet, sedangkan memakai sinjang dan kabaya bergerak pelan
alat yang dipergunakannya hanya tiga buah, dan penuh ke hati-hatian, ini disebabkan
yaitu nada 5 (la alit), 3 (na) 2 (mi). oleh terbatasnya ruang gerak karena bagian
Walaupun terdapat motif tabuhan bawah mengekang keleluasan bergerak.
dikemprang tetapi tabuhan tersebut hanya Busana kabaya dan sinjang dalam tari
dipergunakan pada bagian gelenyu atau Jaipongan memberikan keleluasaan untuk
pangjadi (bagian lagu awal sebelum masuk bergerak, karena pola busananya didesain
pada lagu pokok). Untuk mengiringi lagu dengan tidak menutup ruang gerak.
pokok biasanya tabuhan bonang dicacag, Terlebih pada busana penari wanita,
sehingga tabuhan bonang tersebut bisa merupakan pengembangan dari busana
dikatakan ciri dari gending Jaipongan. pesinden Kliningan Bajidoran baik dari sisi
Kehadiran (bunyi atau tabuhan) kempul bentuk maupun warnanya yang oleh Gugum
atau goong kecil dalam pertunjukan Gumbira diberi warna lain serta aksen
Jaipongan menjadi salah satu yang dominan, melalui pengayaan ornamen. Hasilnya
bahkan hampir sama dominannya dengan adalah munculnya busana berkarakter yang
tabuhan bonang maupun tabuhan kendang. sesuai dengan jiwa tarian, dan sekaligus
Menurut Suparli (2008) permainan kempul memberikan kesan jati diri kasundaan.
dalam Jaipongan selain sebagai penanda Menurut Soejanto Poespo Wardojo (1986:
irama yang dimainkan, juga berfungsi 30), pola pengembangan busana seperti
sebagai aksen dari ritme tabuhan kendang. yang dilakukan oleh Gugum Gumbira pada
Artinya, bunyi atau tabuhan kempul dalam tari Jaipongan masih memperlihatkan lokal
Jaipongan sangat berbeda dengan tabuhan- genius, yaitu adanya unsurunsur atau ciri-
tabuhan dalam pertunjukan lainnya. Pada ciri tradisional yang mampu bertahan,
tarian Keurseus, Topeng, Wayang, Kreasi bahkan memiliki kemampuan untuk
Baru, misalnya, fungsi bunyi kempul hanya mengakomodasi unsur-unsur budaya dari
penanda irama, tetapi dalam Jaipongan luar serta mengintegrasikannya dalam
bunyi atau tabuhan kempul selain sebagai kebudayaan asli. Namun demikian, dalam
penanda irama juga berfungsi sebagai aksen perkembangannya busana Jaipongan
dari ritme bunyi kendang. Bahkan Gugum mengalami perubahan sesuai kebutuhan
Gumbira (2008) menambahkan bahwa motif repertoar tari yang diciptakan Gugum
atau tabuhan kempul dalam Jaipongan Gumbira. Hal ini terlihat, terutama repertoar
terilhami oleh permainan bass gitar dalam tari Sonteng, Rawayan, dan Kawung Anten.
55
Penutup Nano, S., 2007, “Nang Neng Nong …
Jaipongan yang diciptakan Gugum Jaipongan” dalam Endang Caturwati dan
Gumbira merupakan hasil upaya kreatif Lalan Ramlan (Eds.) Gugum Gumbira:
yang dilandasi oleh pemahamannya Dari ChaCha ke Jaipongan. Bandung:
terhadap berbagai tatanan nilai kearifan Sunan Ambu Press: 123-132.
lokal tradisi masyarakat Sunda, dan Poespo Wardojo, Soejanto. 1986.
meramunya dalam cita rasa masyarakat Pengertian Local Genius dan
kota/ urban. Sikap kritis Gugum terhadap Relevansinya dalam Modernisasi.
karya-karya tari Sunda sebelumnya Jakarta: Pustaka Jaya.
menghasilkan kinestetika tari baru dalam Ramlan, Lalan. 2008. Tayub Cirebonan:
perkembangan seni pertunjukan tari Sunda Artefak Budaya Masyarakat Priyayi.
karena lebih merupakan sebuah proses Bandung: Sunan Ambu Press.
pencarian makna keindahan baru atau Rohidi, Tjetjep Rohendi. 2011. Metodologi
dekonstruksi kinestetika tari Sunda yang Penelitian Seni. Semarang: Cipta Prima
selama ini berlatar budaya priyayi/menak. Nusantara.
Latar budaya yang menekankan pada Sumardjo, Jakob. 2000. Filsafat Seni.
tatanan nilai etika dan estetika tari egaliter Bandung: ITB.
yang khas, yaitu menghasilkan sebuah
konstruksi tari pada Jaipongan dengan ________. 2003. Simbol-Simbol Artefak
struktur tari yang simpel, dinamis, enerjik, Budaya Sunda. Bandung: Kelir.
dan maskulin. Begitu pula dengan kehadiran ________. 2006. Estetika Paradok.
unsur lain yang menjadi bagian integral Bandung: Sunan Ambu Press.
dalam Jaipongan, seperti iringan tari, tata R.M. Soedarsono. 1999. Metodologi
busana, dan artistik lainnya. Konstrukti tari Penelitian Seni Pertunjukan dan Seni
seperti itu telah menjadi identitas baru tari Rupa. Bandung: MSPI.
Sunda bagi masyarakat Jawa Barat hingga
saat ini. Itu berarti bahwa melalui
Informan
Jaipongan, Gugum Gumbira telah mampu
membangun dinamika kehidupan seni Askin (78 th.) Seniman Gokgik. Tinggal di
pertunjukan tari Sunda. Oleh karena itu, Karawang.
dalam perkembangan seni pertunjukan tari Euis Komariah (65 th). Istri Gugum
Sunda, Jaipongan dan Gugum Gumbira Gumbira. Tinggal di Jalan Kopo, 17
Tirasondjaya sebagai penciptanya Bandung
selayaknya diposisikan sebagai sebuah Gugum Gumbira (68 th.). Seniman. Tinggal
genre tari dan seniman pembaharu generasi di Jalan Kopo, 17 Bandung.
ketiga. Lili Suparli (46 th.). Seniman dan akademisi
Karawitan.
Kepustakaan
Caturwati, Endang. 2006. Perempuan &
Ronggeng Di Tatar Sunda: Telaahan
Sejarah Budaya. Bandung: Pusat Kajian
LBPB.
Mulyana, Edi, dan Lalan Ramlan. 2012.
Tari Jaipongan. Bandung: Jurusan Tari
STSI Bandung.
_____________. 2012. “Keser Bojong:
Idealisasi Pencitraan Jaipongan Karya
Gugum Gumbira” dalam Jurnal Seni
dan Budaya PANGGUNG. Vol. 22 No.
1. Januari-Maret 2012, 37-51.

Anda mungkin juga menyukai