Anda di halaman 1dari 3

NAMA – NAMA PENARI INDONESIA

1. Sujana Arja

Sujana Arja lahir di Desa Slangit di kawasan Klangenan, Cirebon, Jawa Barat, dari seorang
keluarga seniman. Ayah ibunya, Arja dan Wuryati adalah penari topeng legendaris di zamannya.
Karena itu, Sujana dan delapan saudaranya yang lain terbiasa dengan ritmis dan tetabuhan
dinamis tari topeng.
Sujana bersama delapan saudara kandungnya memang mendapat warisan bakat dari kedua
orang tuanya. Tapi, setelah keenam saudaranya meninggal, tinggal Sujana dan adik bungsunya,
Keni Arja yang masih setia mempertahankan Topeng Cirebon versi Slangit agar tak punah dari
desanya. Kakak-beradik ini bukan hanya menunggu panggilan berpentas dan mengamen dari
kampung ke kampung atau bebarang. Tapi, juga mereka menjadi duta kesenian yang mewakili
Indonesia ke berbagai negara.
Sujana sosok penari yang paham benar tentang makna filosofi topeng yang diperankannya. Tari
Topeng Cirebon memiliki lima jenis yang masing masing menggambarkan tentang fase kehidupan
manusia semasa hidupnya. Panji melambangkan kelahiran seorang manusia ke dunia. Samba
melambangkan bayi yang telah beranjak dewasa. Rumyang melambangkan pernikahan yang
ditujukan untuk menghasilkan keturunan yang baik. Tumenggung melambangkan kewajiban
seseorang yang menikah untuk bekerja sebagai bekal bagi keluarga. Terakhir, Kelana adalah
kontrol yang harus dimiliki orang itu agar tidak sombong dalam menghadapi hidup.
Menari bagi Sujana Arja merupakan pekerjaan pokok dan hidupnya. Sujana Arja merupakan sosok
seniman topeng (maestro topeng) Cirebon yang serba terampil. Usahanya untuk memperkenalkan
seni budaya Indonesia dimulai sejak ngamen di lorong-lorong kampung hingga pertunjukan
panggung bergengsi internasional. Ketika remaja (pada tahun 1940an), ia sering ikut bersama
grup kesenian pimpinan ayahnya untuk "ngamen" (dalam istilah Cirebon, disebut bebarang). Ia
memimpin grup kesenian Panji Asmara.
2. Sasmita Mardawa

Sasminta Mardawa di Yogyakarta, 9 April 1929. Dia bernama asli Soemardjono atau akrab
dipanggil Romo Sas. Keahliannya di bidang seni tari, menjadikan namanya dijuluki mpu tari klasik
gaya Yogyakarta oleh masyarakat dan keraton Yogyakarta. Sejak usia 13 tahun ia sudah
mengakrabi aktivitas berkesenian di lingkungannya. Oleh ayahnya ia sudah diarahkan menjadi
penari, dibimbing guru tari Purbaningrat, untuk menjadi penari keraton. Belajar menari terutama
karena ingin mendalami etika orang Jawa dalam pergaulan sosial, selain pengolahan batin. Sejak
ia giat belajar menari ia mengaku menjadi tahu unggah-ungguh, subasita, serta sopan-santun, dan
secara batinpun ia menjadi terasah. Meski dalam pendidikan formal, ia hanya sempat meraih
ijazah sekolah dasar. Namun hal itu tak menghalanginya belajar keras menjadi seorang penari
klasik gaya Yogyakarta. Kegigihannya belajar tari, dalam usia muda membuatnya menjadi cepat
dikenal sebagai penari Keraton Yogyakarta, baik untuk tarian putri maupun putra.[3][4]
Semakin dewasa, ia giat menggeluti jagat tari klasik gaya Yogyakarta. Bahkan ketika ia berusia 17
tahun, ia sudah mulai menjadi pengajar tari di beberapa sekolah termasuk mengajar banyak
penari. Selain itu ia juga mengkreasi lebih dari seratus tarian klasik gaya Yogyakarta, baik tari
tunggal untuk putra dan putri, maupun tari berpasangan, dan tari fragmen. Sebagai penata tari, ia
juga telah melakukan lawatan ke beberapa negara memperkenalkan tari klasik gaya Yogyakarta
hasil kreasinya. Karya-karya tarinya yang sangat digemari antara lain tari Golek, Beksan,
Srimpi dan Bedhaya. Dalam mengkreasi suatu karya tari selalu terlebih dahulu melakukan
penyesuaian antara tari klasik gaya Yogyakarta yang akan di gubahnya dengan kondisi
masyarakat modern. Ia berani melakukan peringkasan dalam sebuah tarian ataupun fragmen.
Namun peringkasan yang ia lakukan tidak mengganggu atau menghilangkan esensi tari atau
fragmen tersebut. Langkah ini di tempuh agar tari klasik gaya Yogya tetap hidup dan digemari oleh
masyarakat. Tahun 1962, ia mendirikan Yayasan Pamulangan Beksa Sasminta Mardawa, sebuah
yayasan yang khusus melestarikan dan mengembangkan tari klasik gaya Yogyakarta. Selain
diajarkan di sanggar-sanggar, karya Sasminta juga diajarkan di sekolah menengah kejuruan
dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta. Meskipun hanya tamatan sekolah dasar, ia dipercaya
menjadi dosen tamu di sebuah perguruan tinggi di Amerika Serikat. Beberapa negara yang pernah
mengundangnya tampil antara lain Malaysia, Filipina, Jepang, Amerika Serikat, dan beberapa
negara di Eropa. Atas jerih payah, pengabdian, dan kesetiaannya di dunia seni tari,
Keraton Yogyakarta memberikan Penghargaan Setyo Aji Nugroyo, pada tahun 1994.

Anda mungkin juga menyukai