Anda di halaman 1dari 4

Raden Tjetje Somantri

Biografi
Nama lengkapnya adalah R. Rusdi Somantri, yang kemudian dipanggil dengan
nama Tjetje. Lahir di Wanayasa, Purwakarta Kabupaten Purwakarta 1892 jadi
panggilan R. Tjetje Somantri dari ibu Nyi Raden Siti Munigar, gadis ningrat asal
Bandung, serta ayahnya bernama Raden Somantri. Pendidikan yang dilaluinya
adalah HIS dan MULO di Bandung. Pernah meneruskan ke MOSVIA tetapi tidak
sampai tamat. Belajar tari tayub pertama kali di Kabupaten Purwakarta pada tahun
1911, dari R. Gandakusumah (Aom Doyot). Juga belajar tari wayang dari Aom
Menin, Camat Buahbatu, Bandung di kota Bandung, Jawa Barat.[2]

Pendidikan
Pada tahun 1907, ia menyelesaikan sekolah di DIS dan meneruskan sekolahnya di
Voor Work OSVIA (Opleidingschool Voor Inlandsche Ambternaren), yakni
sekolah Pamong Praja atau sekolah menak di Bandung. Ketika masih sekolah di
OSVIA, ia sudah gemar menari tayub. Kegemaran menari dalam tayuban,
menyebabkan ia sering bolos sekolah, dan oleh sebab itulah ia tidak menamatkan
sekolahnya. Oleh pamannya, Patih Mayadipura, ia dimasukkan sebagai pegawai di
suatu kecamatan di Purwakarta. Akan tetapi, karena sering mangkir, ia kemudian
diberhentikan.
Belajar menari sejak usia muda. Tari Tayub dipelajarinya dari Aom Doyot,
(Wedana Leuwiliang, Bogor) di Pendopo Kabupaten Purwakarta sekitar tahun
1911. Tari topeng Cirebon yang dipelajari dari Wentar dan Koncer (dalang topeng
Cirebon) pada tahun 1918 bersama teman-teman sebayanya, antara lain Asep
Berlian, Endang Thamrin, dan lain-lain. Tarian yang dipelajarinya, antara lain
topeng Pamindo, topeng Klana, dan lain-lain. Ia juga belajar tari kepada dua orang
guru asal Susukan-Cirebon, Kamsi dan Karta. Pada tahun 1925, Tjetje kemudian
memperdalam tari topeng kepada salah seorang Pangeran Kesultanan Cirebon,
Elang Oto Denda Kusumah. Tari-tarian yang dipelajarinya antara lain: Menak
Jingga, Anjasmara, Jingga Anom Nyamba, Anjasmara, Menak Koncar, Panji, dan
Kendit Birayung.
Pada tahun ini pula ia belajar wayang wong kepada Aom Menim, Camat Buah Batu,
Bandung. Dalam pertunjukan wayang wong pada tahun 1926 yang diselenggarakan
atas prakarsa Bupati Bandung, Kanjeng Adipati Wiranatakoesoema V, dan
dikoordinir oleh R.A. Adiputra, Tjetje diberi peran tokoh Baladewa. Pada tahun ini
pula ia menjadi guru tari di OSVIA dengan mengajarkan tari keurseus dan tari
wayang.[3]

Kiprah Seni Sang Maestro


Pada tahun 1930, Tjetje bertemu dengan R.M. Sutignja dan banyak mendapat
petunjuk tentang kepenarian Jawa. Ia juga belajar tari Jawa kepada Sudiani dan
Sujono pelatih tari yang bertempat di Gedung Mardi Harjo. Sudiani dan Sujono
adalah dua pelatih tari di Perkumpulan Tirtayasa dan Sekar Pakuan pimpinan Tb.
Oemay Martakusumah. Sedangkan pada tahun 1935, Tjetje bertemu dengan Tb.
Oemay Martakusumah, seorang pegawai Jawatan Kebudayaan Jawa Barat dan
pimpinan Badan Kesenian Indonesia (BKI). Rupanya, pertemuan dengan Tb.
Oemay Martakusumah menjadi berkat bagi Tjetje, ia bak peribahasa ’ikan masuk
ke dalam air’.
Jiwa seninya kemudian tersalurkan, bakat dan kreativitasnya terbina. Ia kemudian
dijadikan sebagai salah satu pengajar tari di BKI. Di dalam wadah kesenian itulah
ia berkreativitas, menciptakan berbagai macam tarian. Tari yang diciptakannya
kebanyakan tari putri, seperti tari Anjasmara, Sekarputri, Sulintang, Ratu Graeni,
Kandagan, Merak, Srigati, Dewi, Topeng Koncaran, dan sebagainya. Tari-tarian
putra antara lain: Kendit Birayung, Menak Jingga, Yuyu Kangkang, Panji, dan
sebagainya. Sedangkan kostum tari-tariannya kebanyakan didesain oleh Tb. Oemay
Martakusumah.
Suatu catatan penting bahwa, karya tari Tjetje Somantri telah memperkaya
khasanah seni tari Jawa Barat. Bagaimanapun ia adalah seorang koreografer
pembaharu tari Sunda, yang kemudian banyak menginspirasi banyak seniman tari
lainnya. Ia pulalah yang ’mendobrak’ imij penari wanita (ronggeng) dari jelek
menjadi terhormat. Selain itu, ia pun berhasil membuat tradisi baru dalam
menyajikan tari, yakni dengan membuat tari rampak.
Bersama para penari wanita, karya-karya tarinya seringkali dipentaskan di berbagai
acara, di dalam maupun di luar negeri, serta diajarkan di berbagai sekolah. Kini,
sebagian karya tarinya menjadi salah satu mata kuliah/pelajaran di sekolah seni dan
di perguruan tinggi seni seperti KOKAR Bandung (kini SMKI/SMK 10) Bandung,
ASTI (kini STSI) Bandung, dan IKIP (kini UPI) Bandung.
R. Tjetje Somantri yang juga pengajar tari Sunda mulai melihat wilayah tari kreasi
pada tahun 1946 dengan menciptakan Tari Dewi. Kemudian beberapa tari kreasi
lain yang diciptakannya antara lain: Anjasmara I dan II (1946), Puragabaya (1947),
Kendit Birayung (1947), Dewi Serang dan Sulintang (1948). Kemudian dari mulai
tahun 1949, R Tjetje Somantri lebih banyak menciptakan tari kreasi untuk ditarikan
oleh gadis-gadis, antara lain: Komala Gilang Kusumah, Ratu Graeni (1949),
Topeng Koncaran, Srigati, Golek Purwokertoan (1950), Rineka Sari (1951),
Kukupu (1952), Sekar Putri (1952-1954), Tari Merak (1955), Golek Rineka (1957),
Nusantara, Anjasmara III, dan Renggarini (1958).
R. Tjetje Somantri sebagai pelopor tari kreasi Sunda tidak bekerja sendiri, ia bekerja
sama dengan Tb. Umay Martakusumah yang banyak memberikan saran tentang
busana / kostum yang di kenakan dalam kreasi tarinya, kemudian dibantu oleh
Bapak Kayat sebagai penata gending serta R. Barnas Prawiradiningrat turut
membantu dalam pemikiran tentang pola lantai pada tari-tari kreasi yang sifatnya
rampak.
Dalam menciptakan tari kreasi, R. Tjetje Somantri terus menggali hal yang
dianggap baru. Hal ini terbukti dengan disempurnakannya tari Renggarini menjadi
tari Kandagan (1960). Setahun setelah itu diciptakannya lagi tari kreasi yang diberi
nama tari Pancasari, Srenggana (1961) dan pada tahun 1962 diciptakan tari kreasi
Panji Nayadirana, serta kreasi tarinya yang terakhir adalah tari Patih Ronggana
(1963).
Tari Kreasi identik dengan R. Tjetje Somantri, maka tak heran jika beberapa penari
Sunda terkemuka kebanyakan pernah belajar kepadanya, di antaranya Tb. Maktal,
Enoch Atmadibrata, Irawati Durban, Indrawati Lukman, R. Ahmad Basah, R. Nani
Suwarni, Ani Satriyah, Tb. Atet, R. Dida Hasanudin, R. Tien Sri Kartini, Kustilah,
Herlina, Imas Sonianingsih, R. Yuyun Kusumahdinata.
Karya
Beberapa tari kreasi ciptaan R. Tjetje Somantri hingga kini masih diajarkan di
beberapa sanggar tari, perguruan tinggi seni dan sekolah kesenian, antara lain:

 Tari Sekar Putri,


 Tari Anjasmara I, II, III,
 Tari Sulintang,
 Tari Kandagan,
 Tari Merak,
 Tari Kupu-kupu,
 Tari Ratu Graeni,
 Tari Koncaran.
 Puragabaya,
 Kendit Birayung,
 Dewi Serang dan Sulintang,
 Komala Gilang Kusumah,
 Srigati,
 Golek Purwokertoan,
 Rineka Sari,
 Golek Rineka,
 Nusantara, dan
 Renggarini.[4]

Penghargaan
Atas jasa-jasanya di bidang seni tari, pada tahun 1961 ia mendapat anugerah seni
berupa Piagam Wijaya Kusumah dari pemerintah Republik Indonesia.

Meninggal
Ia meninggal 1963 di Bandung, Jawa Barat.

Anda mungkin juga menyukai