Anda di halaman 1dari 5

Naskah Monolog

MAYA DAN KESEPIANNYA


Oleh Ahda Imran

Berbagai plattform media sosial dalam dunia digital menyediakan banyak cara
bagi setiap orang untuk mengemas dan menghadirkan dirinya sebagai apa pun. Ini
dimungkinkan karena dunia digital menyimpan banyak ilusi. Dunia maya dengan
berbagai godaan pencitraan. Melalui video dan foto-foto saban orang bisa mengemas
dirinya agar terlihat bahagia, memamerkan kesuksesan, terkenal, dan memiliki semua
kesempurnaan. Realitas palsu yang menyebabkan keterasingan dan kesepian. Orang
tak bisa lagi membedakan dirinya yang maya dan yang sesungguhnya, sehingga
munculah konflik dalam dirinya. Di sisi lain, tidak sedikit orang memanfaatkan
platform media sosial untuk merayakan kreativitas dan keberagaman dalam banyak
hal. Membuat konten-konten yang menarik dalam menghadirkan minat dan potensi
dirinya, menyebarluaskannya.

Satu

Panggung merupakan ruang dengan beberapa tripod ponsel maupun kamera.


Ada juga sebuah meja dengan laptop dan beberapa perangkat lainnya. Ada juga
sebuah kursi yang tampak terasing. Di bagian lain, panggung memperlihatkan sebuah
dapur kecil yang tertata rapih, dan di depannya terdapat tripod dan ponsel.

Cahaya redup.

Bisa juga latar panggung menampilkan visual Maya dalam berbagai pose di
sejumlah platform media sosial—selegram atau seleb Tiktok terkenal. Cahaya lalu
menjadi terang atau bisa juga diiringi musik yang riang. Saat itulah Maya muncul,
seolah menemui para wartawan yang sudah menunggunya.

MAYA

Haiiii…. Sorry, enggak lama ‘kan nunggunya? Tadi Maya meeting dulu, planning
buat ke Hong Kong.
Gimana? Hmmmm gimana, yah, tadi pengennya sih secret dulu, tapi oke, deh. Jadi
gini, ada brand sepatu remaja di Hong Kong pengen diensdors sama Maya, pemotretannya
juga di sana selama dua minggu.

Bagaimana? Yaa doain aja, kalau semua lancar pengennya sekalian liburan ke Eropa,
pengen sekali lihat-lihat kampus di sana. Maya ‘kan bentar lagi lulus SMA.

Kuliah di Indonesia? Ya kita lihat nanti deh (tertawa).


Soal yang mana? Ooo, soal gosip itu, Maya no comment deh, yah. (Tertawa), enggak apa-apa,
orang kan bebas bikin komentar. Maya kan enggak bisa ngatur-ngatur apa yang dipikirkan
orang tentang Maya. Maya nyantai-nyantai aja kok.
Apa? O, iya, dong, Maya seneng followers tiap hari nerus nambah, tapi Maya enggak
nyari followers, kok, yang penting Maya melakukan apa yang Maya suka….(tertawa).
Main sinetron? Belum ada yang cocok. Maya masih nyaman begini.
(Suara ponsel Maya).
MAYA

Okey, ya, kakak, kakak, segitu dulu yaaah, terima kasih…


(Bicara di ponsel) Hallo, iya, Mbak Lusi, iya, manajemen Maya tadi sudah bicara soal
kontrak, kebetulan tadi meeting. Brand-nya beda, kok. Okey, Nanti saja di Singapore sekalian,
iya, Maya mampir. Iya, Tante, byeee….

Maya berjalan, berlenggak-lenggok sambil melambai-melambai pada orang-orang


yang seolah memanggilnya. Lalu selfie berbagai pose dan ekspresi wajah. Visual latar
bisa juga menampilkan foto-foto Maya di berbagai platform media sosial lengkap
dengan komen-komen follower yang memujinya.

Musik berhenti perlahan. Cahaya redup, sepi dan murung. Maya berjalan gontai,
duduk di kursi kosong

MAYA

(Membuka ponsel, meletakkannya) Aaah…sebetulnya untuk apa semua kepura-puraan ini?


Cuma Ilusi. Aku semakin tidak bisa membedakannya mana diriku yang sebenarnya, mana
diriku yang cuma ilusi. Tapi, aku suka. Ilusi yang membuat aku bahagia, bebas mau jadi apa
saja. Punya penggemar, followers, terkenal. Semua orang mengenalku. Tidak seperti
kenyataan yang sebenarnya. Makin lama aku makin percaya meski aku tahu semua palsu,
pura-pura.

Dan lama-kelamaan aku seperti tidak bisa keluar lagi. Aku jadi ketagihan. Ketika
kembali ke dalam diriku yang sebenarnya, dunia yang sebenarnya, aku merasa menjadi orang
asing. Semuanya membuatku kesepian. Tidak bisa lagi aku berbaur dengan siapapun, ibu,
ayah, atau teman-teman. Kepalaku isinya cuma ilusi, pencitraan, semuanya palsu.

(Mengambil ponsel, membuka-buka sebentar) Aku sebenarnya capek, menjadi orang yang
bukan diriku, tapi aku ngotot kalau itu adalah diriku.

Lampu redup.
Pause

Dua

Cahaya lembut ke arah dapur kecil. Karakter Maya berubah menjadi Ami. Di dapur
kecilnya, di depan kamera, Ami sedang membuat konten. Visual di layar juga bisa
menampilkan berbagai foto sambal.

AMI

Kalau sudah semua dicuci, cabe, bawang, sereh, daun jeruk, kita iris-iris sampai halus,
simpan di mangkok. Terus kita tambahkan garam, gula, air jeruk nipis, diaduk sampai rata.
Aaand then, sekarang kita panaskan minyak di wajan, lebih bagus lagi minyak kelapa. Kita
tunggu sampai panas, naaah, sekarang kita siramkan ke dalam mangkok. Praktis kan?

(Ke depan kamera) Taraaaa, ini dia; sambal matah Bali!

Jadi, Gaes, ternyata tidak semua sambal diulek, ada yang diiris-iris seperti sambal
matah Bali atau sambal dabu-dabu Manado yang barusan kita buat.

Sampai di sini dulu, mengenal Indonesia lewat sambal. Ditunggu komen-komennya,


selamat mencoba, selamat makaaaaaan…..Indonesiaaah!

(Ami mematikan ponsel) Yessss! Tinggal diedit, minggu depan posting, pas week-end.

(Ami melepas ponselnya dari tripod, memotret sambal-sambal yang baru dibuat. Lalu
membuka dan membaca sesuatu di ponselnya, “Ngapain sih bikin konten sambal-sambal
kayak gitu? Enggak guna!”)

Selalu saja ada yang menulis komen seperti ini. Kurasa ini komen ke-823. Aku tidak
pernah tertarik menjawabnya. Malah ada teman bilang begini, “Kamu bikin konten kayak
emak-emak! Lama kelamaan badan kamu bau sambel. Apa kerennya, sih, sambal!”

(Pada penonton) Kalian juga pasti berpikir seperti itu, bukan? Aku juga dulu berpikir begitu.
Iya, apa kerennya sambal, apalagi dijadikan konten?

Ini bukan soal keren tidak keren. Aku suka saja melakukan apa yang kusukai,
sepanjang itu baik buat diriku dan tidak merugikan orang lain. Untuk apa melakukan apa
yang tidak kusukai, walaupun kata orang tidak akan membuatku terkenal. Iya, semua orang
pasti ingin dikenal dan terkenal, tapi memangnya kenapa kalau kita tidak terkenal?

Setelah aku mengenal bermacam sambal dan belajar membuatnya, ada banyak sekali
jenis dan macam sambal di Indonesia ini. Aneh-aneh, dan rasanya juga macam-macam. Ada
yang pedas menyengat kayak sambal dadak atau sambal Cibiuk di Sunda. Kalian harus
merasakan bagaimana galaknya sambal satu ini, juga harum daun kemanginya.

Atau sambal yang pedas hangat seperti sambal ijo di masakan Padang. Sambal itu
digiling kasar setelah direbus. Bayangkan, sambal ijo itu menimpa daun singkong rebus di
atas nasi hangat. Atau paduan pedas dan asam seperti sambal dabu-dabu Manado. Begitu
juga kalian harus merasakan sambal asam udeung dari Aceh yang rasanya asam pedas.

Pokoknya dari Sabang sampai Merauke, banyak sekali sambal di Indonesia ini.
Masakan Sunda saja punya banyaaaak jenis sambal, begitu juga masakan Padang, Jawa, Bali,
Makassar, Manado, Aceh. Jadi tidak cuma satu dua sambal. Sambal-sambal itu dipadu
dengan macam-macam olahan, dengan udang, terong, ikan, kecombrang, dan juga terasi
seperti di Sunda. Di Sumatera namanya sambal belacan. Dari pamanku, aku dapat info. Di
kampungnya di Payakumbuh, ada yang namanya Sambal Unja. Ikan yang sudah diaduk
dengan cabe yang sudah digiling, dimasukkan ke dalam bambu, lantas diletakkan di atas bara.
Ya, kayak lemang. Itu untuk konten berikutnya.

Kebanyakan, entah kenapa, orang Indonesia memang suka sekali sambal. Kata
Papahku, kunci rumah makan itu ada di sambalnya. Sambalnya enak masakannya ikut enak.
Dari semua jenis sambal yang pernah kubuat, aku sekarang jadi tahu, sambal itu bukan hanya
sambal. Tapi juga berhubungan dengan keadaan alam dan budaya mereka tinggal.

Kalian tahu, karena itulah budaya masyarakat yang tinggal di dataran tinggi atau
pegunungan, punya jenis sambal yang lebih banyak dan beragam ketimbang masyarakat yang
tinggal di dataran rendah dan pesisir. Sambal mereka lebih pedas. Sedang sambal-sambal dari
daerah dataran rendah, biasanya pedasnya bercampur manis dan asam. Sambal-sambal yang
kebanyakan semua bahannya diiris-iris.

Orang-orang di medsos itu banyak yang aneh. Salah satu keanehannya mereka
menganggapku aneh. Orang dinilai dari berapa jumlah followersnya. Sampai-sampai ada
yang menjual akun dengan jutaan followers (tertawa).

Cahaya panggung berubah murung.

Sebenarnya sudah terlalu sering aku sakit hati. Bukan oleh mereka yang
mengomentari konten yang kubuat. Tapi oleh para lelaki yang malah mengomentari
dandanan, pakaian, model rambut, sampai wajah dan bentuk tubuhku. “Nah, gitu, sekarang
kamu kelihatan cantik dan seksi… .” Banyak yang seperti ini, malah ada yang lebih kurang
ajar lagi, atau basa-basi ingin berkenalan. Aku tidak merasa dipuji, sebaliknya aku merasa
dihina dan dilecehkan di depan banyak orang.

Semakin aku marah, semakin mereka menjadi-jadi. Aku bisa mengabaikan ejekan
pada kontenku, tapi tidak komentar-komentar yang satu itu. Aku tidak tahu mengapa mereka
berkomentar seperti itu dan merasa biasa-biasa saja. Aku juga tidak tahu mengapa aku merasa
sakit hati. Dan itu belum berhenti sampai sekarang. Padahal aku cuma ingin menjadi diriku.

Ponsel berdering.

Halo, Maya? Lagi nyantai, May, kenapa?..................Terus sekarang kamu di


mana?...... Kesepian, kesepian kenapa kamu? Maya…Maya…kenapa menangis?....Maya?
Maya? Halo?

(Suara ponsel mendengung panjang, lampu redup)

TIGA

Cahaya redup. Bisa juga latar panggung menampilkan visual Maya dalam berbagai
pose di sejumlah platform media sosial—selegram atau seleb Tiktok terkenal. Cahaya
lalu menjadi terang atau bisa juga diiringi musik yang riang. Saat itulah Maya muncul,
seolah menemui para wartawan yang sudah menunggunya.

MAYA

Haiiii…. Sorry, enggak lama ‘kan nunggunya? Tadi Maya meeting dulu, planning buat ke
Hong Kong.

Gimana? Hmmmm gimana, yah, tadi pengennya sih secret dulu, tapi okey, deh. Jadi
gini, ada brand sepatu remaja di Hong Kong pengen diensdors sama Maya, pemotretannya
juga di sana selama dua minggu…..
Maya terus bicara tanpa suara atau berjalan sambil selfie.

MAYA

(Berupa suara dari luar panggung) Aku sebenarnya capek sekali, menjadi orang yang bukan
diriku tapi aku ngotot mempercayai kalau ini adalah diriku….

Lampu redup.

BLACK OUT
TAMAT

Anda mungkin juga menyukai