Kelas XII-F
Nama lahir: Widji Widodo
Memiliki arti nama biji yang sedang tumbuh dan dapat membawa keteguhan,
kebijaksanaan, pengaruh, dan kekuasaan. Nama Thukul diberikan oleh Cempe
Lawu Warta, anggota Bengkel Teater yang diasuh oleh penyair WS Rendra.
Tanggal lahir: 26 Agustus 1963
Tempat lahir: Kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah
Nama orang tua: Kemis Harjosuwito, Sayem
Nama saudara: Wahyu Susilo
Riwayat pendidikan:
1. SD
2. SMP Negeri 8 Solo
3. Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) Jurusan Tari (tidak sampai
lulus)
Istri : Sipon
Anak :
1. Fitri Nganthi Wani
2. Fajar Merah
Widji Thukul mulai aktif menulis puisi sejak duduk di bangku SD dan berteater sejak
SMP. Selain menjadi penyair, ia adalah sosok pekerja keras yang mau
mengumpulkan pundi-pundi rupiah dengan berjualan koran, mengamen puisi,
membuka usaha sablon dan sempat menjadi wartawan selama 3 bulan.
Kiprah Sastrawan Indonesia
Wiji Thukul adalah seorang penyair yang menjadikan puisi sebagai sarana ekspresi
yang menyuarakan isi hati serta mampu menggambarkan apa yang dilihat dan
dirasakannya secara realistis. Hidup dalam keadaan ekonomi yang serba sulit,
membuatnya merasa tak masuk akal jika menuliskan puisi dengan kata-kata yang
indah dan 'nyastra'. Diksi yang dipilihnya pun merupakan kata-kata sederhana
yang tak hanya bisa dimengerti oleh kaum intelek, namun juga dipahami oleh
semua kalangan dari berbagai latar belakang sosial dan pendidikan.
Kepopuleran dan ketenaran dari Wiji Thukul semakin berkibar setelah ngamen
puisi, serta jaringan dirinya dengan para aktivis dan seniman semakin luas. Wiji
Thukul pun semakin jarang aktif di Teater Jagat. Keterlibatan Wiji Thukul yang
semakin aktif di politik praktis.
Thukul dalam upaya mendirikan Sanggar Suka Banjir terinspirasi oleh konsep
teater Augusto Boal dari Brazil yang menjadikan teater sebagai cara untuk
mengorganisasikan massa, dari desa ke desa. Wiji tukul mengutip “Setiap orang
adalah seniman, dan setiap tempat adalah panggung”.
Sajak-sajaknya seperti Penyair (1988), Sajak (1988), Para Penyair adalah Petapa
Agung (tt), dan Biarkanlah Jiwamu Berlibur Hei Penyair (1985) menjadi sebuah sajak
mendobrak kanonisasi sastra yang abstrak dan mengunggulkan estetika saja dan
menyuarakan perlawanan melalui bahasa yang lugas dan mudah dimengerti.
Wiji pernah menjadi pimpinan Jaringan Kerja Kesenian Rakyat (Jakker). Jakker
adalah organisasi yang bergerak melawan pemerintahan represif Orde Baru melalui
jalur kesenian rakyat.
Buku Puisi Aku Ingin Jadi Peluru (2000) di dalamnya terdapat 22
puisi di antaranya berjudul Bunga dan Tembok, Aku Dilahirkan di
Sebuah Pesta yang Tak Pernah Selesai, Puisi Sikap, Peringatan,
Baju Loak Sobek Pundaknya