Anda di halaman 1dari 4

Wiji Thukul adalah seorang penyair dan aktivis politik yang terkenal di Indonesia.

Lahir pada tanggal


26 Juni 1963 di Solo, Jawa Tengah, Wiji Thukul tumbuh dalam keluarga yang sederhana. Sejak kecil,
ia telah menunjukkan minat yang besar dalam dunia sastra dan seni. Thukul pernah bersekolah di
SMP Negeri 8 Solo dan melanjutkan pendidikannya hingga kelas dua di Sekolah Menengah Karawitan
Indonesia jurusan tari. Kelahiran: 26 Agustus 1963 (usia 60 tahun), Jagalan, Surakarta Pasangan: Siti
Dyah Sujirah (m. 1988), Anak: Fajar Merah, Fitri Nganthi Wani, Saudara kandung: Wahyu Susilo,
Orang tua: Sayem, Kemis Harjosuwito, Film: Nyanyian Akar Rumput

Wiji Thukul mulai menulis puisi sejak remaja. Puisi-puisinya mencerminkan perjuangan dan
kepedulian terhadap rakyat miskin serta ketidakadilan sosial yang ada di masyarakat. Puisi-puisinya
sering kali menjadi kritik terhadap pemerintah dan sistem yang ada. Ia menggunakan puisi sebagai
sarana untuk menyuarakan aspirasi rakyat kecil dan menentang rezim otoriter pada masanya.
Karyanya tidak hanya menggugah, tetapi juga memberikan suara kepada orang-orang yang seringkali
diabaikan.

Selama hidupnya, Wiji Thukul aktif terlibat dalam gerakan politik. Ia menjadi anggota Persatuan
Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) dan juga anggota Front Nasional. Melalui karya-karyanya, Wiji
Thukul berusaha menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya perubahan sosial dan keadilan.

Namun, pada tahun 1998, Wiji Thukul menghilang secara misterius. Ia diduga diculik oleh pihak yang
tidak senang dengan karyanya yang kritis terhadap pemerintah. Hingga saat ini, keberadaan Wiji
Thukul masih menjadi misteri dan menjadi simbol dari kebebasan berpendapat yang hilang.

Walaupun Wiji Thukul telah pergi, warisan karyanya tetap hidup dan mempengaruhi banyak orang.
Puisi-puisinya masih dibaca dan diperdengarkan hingga saat ini, menginspirasi generasi muda untuk
berani menyuarakan kebenaran dan perubahan sosial.

Wiji Thukul adalah sosok yang berani dan penuh semangat dalam mengungkapkan kebenaran
melalui puisi dan aksinya. Ia merupakan salah satu ikon perjuangan untuk kebebasan berpendapat
dan keadilan di Indonesia. Meskipun masa hidupnya mungkin singkat, namun warisan intelektual
dan semangatnya tetap hidup dan terus membara di hati masyarakat Indonesia.

Wiji Thukul memberikan kontribusi besar bagi Indonesia melalui jasa baiknya yang terutama
terwujud dalam bentuk karyanya sebagai seorang penyair dan aktivis. Berikut adalah beberapa jasa
baik Wiji Thukul untuk negara:

Pemberian Suara bagi Rakyat Kecil:

Melalui puisi-puisi dan tulisan-tulisannya, Wiji Thukul memberikan suara kepada rakyat kecil,
terutama mereka yang sering diabaikan oleh penguasa. Ia memotret realitas sosial, ekonomi, dan
politik yang dihadapi oleh orang-orang miskin dan buruh.

Kritik terhadap Ketidakadilan:

Karya-karya Wiji Thukul mencerminkan kritik tajam terhadap ketidakadilan dalam masyarakat. Ia
tidak ragu menggunakan seni untuk mengecam pelanggaran hak asasi manusia, penindasan, dan
ketidaksetaraan.

Penginspirasi Perlawanan:

Puisi-puisi Wiji Thukul, terutama "Nyanyian Tanah Merdeka," menjadi sumber inspirasi bagi banyak
aktivis dan rakyat yang ingin melawan ketidakadilan. Ia memberikan semangat perlawanan dan
keberanian untuk berbicara melawan kebijakan yang tidak adil.
Pendidikan dan Kesadaran Sosial:

Karyanya tidak hanya sekadar kritik, tetapi juga berperan dalam mendidik dan meningkatkan
kesadaran sosial. Puisi-puisinya menjadi medium untuk mengajak orang berpikir kritis, merenung,
dan bertindak terhadap perubahan positif.

Simbol Perlawanan Terhadap Otoriter:

Wiji Thukul menjadi simbol perlawanan terhadap rezim otoriter Orde Baru di Indonesia. Ketika
banyak yang takut untuk berbicara, ia berani mengungkapkan pandangan dan aspirasi rakyat.

Meskipun secara fisik ia menghilang dan dihadapkan pada berbagai risiko, Wiji Thukul melalui
karyanya membantu membentuk narasi kebebasan berbicara dan hak asasi manusia di Indonesia.
Meski tak terlihat, dampak positifnya terus terasa dalam semangat perjuangan dan semangat
berdemokrasi di negara tersebut.

1. PERINGATAN

Jika rakyat pergi

Ketika penguasa pidato

Kita harus hati-hati

Barangkali mereka putus asa

Kalau rakyat bersembunyi

Dan berbisik-bisik

Ketika membicarakan masalahnya sendiri

Penguasa harus waspada dan belajar mendengar

Bila rakyat berani mengeluh

Itu artinya sudah gawat

Dan bila omongan penguasa

Tidak boleh dibantah

Kebenaran pasti terancam

Apabila usul ditolak tanpa ditimbang

Suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan

Dituduh subversif dan mengganggu keamanan

Maka hanya ada satu kata: lawan!.

(Wiji Thukul, 1986)


Wiji Thukul lahir pada 26 Agustus 1963 dengan nama Widji Widodo. Nama Thukul diberikan oleh
Cempe Lawu Warta, anggota Bengkel Teater yang diasuh oleh penyair WS Rendra. Wiji dan Thukul
merupakan bahasa Jawa, yang masing-masing berarti biji dan tumbuh, sehingga Wiji Thukul
bermakna biji yang tumbuh.

Pada Oktober 1988, Wiji Thukul menikah dengan Diah Sujirah atau akrab disapa Mbak Sipon. Di
tahun yang sama, ia pernah menjadi wartawan, tetapi hanya bertahan tiga bulan. Wiji Thukul juga
membantu istrinya dengan usaha sablon dan menjadi aktivis pembela masyarakat. Namanya ada di
barisan demonstran Kedungombo, Sritex, dan sejumlah demonstrasi besar di Solo. Wiji Thukul ikut
mendirikan Sanggar Suka Banjir, ruang kreativitas anak di pinggir kali yang sering banjir. Sanggar ini
juga menjadi alat untuk melawan ketidakadilan dan penindasan pemerintah.

Dari puisi perjuangan hingga penghargaan Satu hal yang tidak pernah ditinggalkan Wiji Thukul di
tengah kesibukannya adalah menulis. Ia tidak hanya menulis sajak, tetapi juga cerpen, esai, dan
resensi puisi. Sajak-sajaknya diterbitkan di media cetak dalam negeri, maupun luar negeri. Pada
1989, Wiji Thukul diundang membaca puisi oleh Goethe Institut di aula Kedutaan Besar Jerman di
Jakarta. Ia juga tampil di Pasar Malam Puisi yang diselenggarakan Erasmus Huis di Pusat Kebudayaan
Belanda, Jakarta, pada 1991. Di tahun yang sama, Wiji Thukul menerima Wertheim Encourage Award
dari Wertheim Stichting di Negeri Belanda. Bersama WS Rendra, Wiji Thukul menjadi penerima
hadiah pertama sejak yayasan tersebut didirikan untuk menghormati sosiolog dan ilmuwan Belanda,
WF Wertheim.

Satu yang khas dari Wiji Thukul adalah bahwa ia bukan menulis puisi tentang protes, melainkan
sosoknya yang menjadi simbol akan protes itu sendiri. Karena itu, kritik dan perlawanan terhadap
rezim Orde Baru dalam sajak-sajaknya mudah melebur dalam setiap momen pergolakan dan
berbagai aksi protes. Kritik Wiji Thukul dalam karya-karyanya umumnya ditujukan pada masalah
sosial, politik, dan militerisme era Orde Baru. Perlawanan terhadap berbagai masalah sosial tampak
dalam sajak Nyanyian Akar Rumput, Di Tanah Negeri Ini Milikmu Cuma Tanah Air, Kepada Ibuku,
Jalan, Sajak Setumbu Nasi dan Sepiring Sayur, Tanah, Kampung, Jalan Slamet Riyadi Solo, dan masih
banyak lainnya. Sedangkan kritik terhadap militerisme pemerintah dituangkan pada sajak
Ceritakanlah Ini Kepada Siapa Pun, Tetangga Sebelahku, Sajak Suara, Tikus, Merontokan Pidato,
Derita Sudah Naik Seleher, Rumput Ilalang, Harimau, Buron, Aku Berkelana di Udara, dan masih
banyak lainnya. Salah satu kalimat Wiji Thukul yang sangat terkenal terdapat pada bait terakhir puisi
berjudul Peringatan, yaitu "Hanya ada satu kata: Lawan!". Kata "lawan", yang terpengaruh dari pusi
berjudul Sumpah Bambu Runcing karya Pardi, temannya di teater Jagat, seakan menjadi roh bagi
kebangkitan jiwa-jiwa yang ingin melawan rezim otoriter dan militerisme Orde Baru.

Wiji Thukul adalah penyair yang gigih, baik dalam memperjuangkan gagasannya, maupun
memperjuangkan kebenaran. Ia juga gigih membela rakyat yang berhadapan dengan kesewenang-
wenangan kekuasaan dalam risiko apa pun. Menurutnya, penyair harus berjiwa bebas dan aktif.
Bebas dalam mencari kebenaran dan aktif mempertanyakan kembali kebenaran yang pernah
diyakininya. Wiji Thukul diketahui bergabung dengan Partai Rakyat Demokratik (PRD). Pada 27 Juli
1996, terjadi peristiwa Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli alias Kudatuli. PRD di bawah pimpinan
Budiman Sudjamitko dituding pemerintah melalui Kepala Staf Bidang Sosial dan Politik ABRI Letnan
Jenderal Syarwan Hamid, sebagai dalang di balik peristiwa itu. Para aktivis PRD pun diburu, termasuk
Wiji Thukul, yang berada di Solo sebagai Ketua Jaringan Kerja Kebudayaan Rakyat (Jaker), badan
yang merapat ke PRD.

Wiji Thukul terpaksa meninggalkan istrinya Sipon dan kedua anaknya, Fitri Nganthi Wani dan Fajar
Merah, usai beberapa aparat kepolisian mendatangi rumahnya. Dalam pelarian menghindari aparat
dan intel pemerintah, Wiji Thukul berusaha mencuri kesempatan untuk bertemu istrinya, biasanya di
Pasar Klewer, Solo. Kesempatan itu digunakan Wiji Thukul mengabarkan beberapa daerah yang
dikunjunginya. Selama pelarian, ia menggunakan beberapa nama samaran, mulai dari Paulus,
Aloysius, dan Martinus Martin.

Wiji Thukul hilang

Puisi perjuangan Wiji Thukul adalah peristiwa, bukan lagi sebatas kata-kata. Mungkin itulah yang
membuat sosoknya dianggap berbahaya bagi pemerintah Orde Baru. Pasalnya, pada masanya
banyak kritik yang disuarakan seniman dan sastrawan. Mereka biasanya dicekal atau diancam
penjara, tetapi tidak sampai menjadi korban praktik penghilangan paksa.

Hilangnya Wiji Thukul secara resmi diumumkan oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras) pada 2000. Siaran pers Kontras menyatakan bahwa Wiji Thukul hilang pada
sekitar Maret 1998, yang diduga berkaitan dengan aktivitas politik yang dilakukannya. Saat itu
bertepatan dengan peningkatan operasi represif rezim Orde Baru dalam upaya pembersihan
aktivitas politik yang berlawanan dengan pemerintah. Wiji Thukul menjadi salah satu dari 13 orang
hilang menjelang tumbangnya rezim Orde Baru. Sejak dinyatakan hilang sampai saat ini, keberadaan
Wiji Thukul masih misteri. Keluarga dan semua orang yang pernah mendengar namanya tidak
pernah tahu apakah ia masih hidup atau sudah tiada.

Anda mungkin juga menyukai