Anda di halaman 1dari 2

Tugas 1 TEORI PERUBAHAN SOSIAL

Alicya Qadriyyah Ramadhani Yaras (E031221047)


S1 SOSIOLOGI

Islam dan kekerasan di masa lalu


Kemerdekaan Republik indonesia dari kolonialisme jepang dan belanda telah membawa
banyak perubahan dalam budaya dan masyarakat kita, namun seperti masa transisi kekuasaan
yang lainnya sepanjang orde lama dikenal dengan pertentangan kelompok ideologis yang
berusaha menjadikan Indonesia sebagai negara ideal bagi mereka, Salah satu gerakan politik
yang terjadi adalah pemberontakan Darul Islam Tentara Islam Indonesia , jika umumnya kita
mengetahui metode penyebaran agama islam menggunakan dakwah sebagaimana yang
dipaparkan dalam buku sejarah sekolah. Faktanya ada sebuah tragedi yang mendasari
keyakinan sebagian orang Penyebaran ini tak jauh berbeda dengan 3 semboyan kolonialisme
eropa salah satunya adalah misi penyebaran agama. Namun islam hari ini menjadi agama
mayoritas dan tampaknya berusaha menyembunyikan tragedi ini.
Apa itu DI/TII?
(DI) merupakan gerakan politik yang terjadi pada awal tahun 1948. Gerakan ini mempunyai
pasukan yang disebut Tentara Islam Indonesia (TII), sehingga pemberontakan ini sering
disebut dengan DI/TII. Pemberontakan ini merupakan gerakan politik yang bertujuan untuk
melakukan perubahan radikal negara Indonesia menjadi negara Islam. Pemberontakan ini
terjadi di beberapa wilayah salah satunya di sulawesi selatan
DI/TII di Sulawesi selatan
Gerakan DI/TII di Sulawesi-Selatan adalah salah satu gerakan subversif terlama di Indonesia.
Awalnya gerakan ini merupakan gerakan protes terhadap pemerintah pusat. Dari aksi protes
tersebut hingga akhirnya lahirlah DI/TII. Gerakan ini berawal pada tahun 1950 dengan nama
KGSS, kemudian berganti menjadi CTN tahun 1951. Setelah kegagalan integrasi Gerilya ke
TNI, gerakan ini berganti nama menjadi DI/TII hingga berakhir pada tahun 1965. Konflik
terjadi ketika Kahar Muzakar menginginkan KGSS untuk bergabung dengan Angkatan perang
Republik Indonesia Serikat (APRIS) namun ditolak oleh pemerintah pusat. Akibat penolakan
ini KGSS melakukan kekacauan di berbagai tempat. Pada tahun 1952, Kahar Muzakar
menyatakan diri sebagai bagian dari Negara Islam Indonesia. Dari hal tersebut kemudian
Indonesia melakukan operasi militer ke Sulawes Selatan. Seperti oprasi militer pada umumnya
tragedi ini juga penuh dengan percikan darah, tak diketahui berapa nyawa yang menjadi korban
dalam peristiwa ini, Penulis pun tidak menemukan referensi yang membahas lengkap tragedi
ini di sulawesi selatan. Otto Iskandar seorang jurnalis menuliskan sketsa sosiologi politik yang
menggambarkan tragedi ini di Aceh, dalam repotase tersebut tergambarkan betapa mengerikan
kondisi sosial pada masa itu, pembunuhan sipil besar besaran dan gelombang pengungsi adalah
pembahasan yang paling banyak mengait kata dalam buku yang berjudul “Dari Maaf Ke Panik
Aceh”.

Trauma Para penyintas


Satu-satunya refrensi Penulis untuk menyajikan pengalaman para penyintas adalah percakapan
tak terbukukan bersama Nenek dan sebuah pementasan seni yang dilakukan oleh Rachmat
Hidayat Mustamin Desember lalu di Rumata ART Space. Rahmat merangkum pengalaman
Puang Nika (Neneknya) dalam sebuah pertunjukan seni Berjudul “Gorilla Dan Pecahan Tanah
Penuh Luka.

Sama seperti Rahmat, penulis juga tumbuh dengan cerita masa lalu yang diceritakan
berulangkali oleh Nenek, Ia banyak bercerita mengenai Keberadaan Gorilla (gerilya) di Kec.
Mare kabupaten Bone, konon para gerilya memaksa setiap perempuan untuk menggunakan
kerudung untuk menutupi rambutnya, jika ada yang tidak patuh maka akan di tembak saat itu
juga, tak hanya kerudung orang-orang juga dipaksa untuk melakukan ibadah sholat dan
mengaji serta tentu saja memeluk islam, dan konsekuensi bagi yang melawan adalah mati di
tembak. Kekerasan itu memicu gelombang pengungsian, orang-orang meninggalkan rumah
mereka untuk menyelamatkan diri dari para gerilyawan imbasnya saat para gerilya memasuki
desa yang penghuninya kosong maka langsung saja rumah di desa itu dibakar sembarangan.

Adapum dari pengalaman Puang Nika kurang lebih sama, ia juga menyaksikan pembunuhan
itu di depan ,matanya, penembakan sembarangan oleh para gerilya mengakibatkan mayat
tergeletak di jalan-jalan kampungnya di Kec. Lappariaja Kab. Bone, Perhiasan emas yang
dikenakan Puang Nika bahkan pernah dirampas oleh para gerilyawan. Sama seperti di Mare,
di Lappariaja juga terjadi pengungsian, Warga yang selamat kala itu memilih bersembunyi di
hutan dan memakan apasaja makanan yang tersedia.

Islamisasi

Pasca tragedi tersebut terjadi islamisasi secara masal, namun gelombang ini dibarengi dengan
trauma para penyintas.

Anda mungkin juga menyukai