Anda di halaman 1dari 11

MATERI PPKN TENTANG DI/TI

KELOMPOK 1 MALAM

1. Bayu Setiawan 2061201616


2. Syahruramadhan 2061201661
3. Indah Rhamahwati 2061201622
4. Niki Delvico Utami 2061201763
5. Wiwik Lestari 2061201767

A. Pengertian DI/TII

Gerakan DI/TII adalah organisasi yang berjuang atas nama Umat Islam yang ada di seluruh
Indonesia. Nama NII sebenarnya kependekan dari “Negara Islam Indonesia” dan kemudian banyak
orang yang menyebutkan dengan nama Darul islam atau yang dikenal dengan nama “DI” arti kata
darul Islam ini sendiri adalah “Rumah Islam” dari kata tersebut dapat kita ambil pengertian bahwa
organisasi ini merupakan tempat atau wadah bagi umat islam yang ada di Indonesia untuk
menyampaikan aspirasi-aspirasi mereka, agar aspirasi-aspirasi mereka dapat tertampung dan dapat
terorganisir sehingga berguna bagi umat islam di Indonesia.

B. Sejarah Singkat Terbentuknya DI/TII

Pada tanggal 7 Agustus 1949 disuatu desa di Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia. Gerakannya
dinamakan dengan Darul Islam “DI” sedang tentaranya dinamakan dengan Tentara Islam Indonesia
“TII”. Gerakan ini dibentuk pada saat Jawa Barat ditinggal oleh pasukan Siliwangi yang berhijrah ke
Yogyakarta dan Jawa Tengah dalam Rangka melaksanakan ketentuan dalam perjanjian Renville.
Dalam perkembangannya, DI/TII menyebar sampai di beberapa wilayah, terutama Jawa Barat
“berikut dengan daerah yang berbatasan di Jawa Tengah”, Sulawesi Selatan, Aceh dan Kalimantan.

Ketika pasukan Siliwangi berhijrah, gerombolan DI/TII ini dapat leluasa melakukan gerakannya
dengan membakar rumah-rumah rakyat, membongkar rel kereta api, serta menyiksa dan merampok
harta benda penduduk. Akan tetapi setelah pasukan Siliwangi mengadakan Long March kembali ke
Jawa Barat, gerombolan DI/TII ini harus berhadapan dengan pasukan Siliwangi. Dan untuk
melindungi kereta apai, Kavaleri Kodam VI Siliwangi “sekarang Kodam III” mengawal kereta apai
dengan panzer tak bermesin yang didorong oleh lokomotif uap D-52 buatan Krupp Jerman Barat.
Panzer tersebut berisi anggota TNI yang siap dengan sejata mereka. Bila ada pertempuran antara TNI
dan DI/TII didepan maka kerata api harus berhenti di halte terdekat.

Pemberontakan bersenjata yang berlangsung selama 13 tahun itu telah menghalangi pertumbuhan
ekonomi masyarakat, ribuan ibu-ibu menjadi janda dan ribuan anak-anak menjadi yatim piatu. Dalam
hal ini diperkirakan ada sekitar 13.000 rakyat Sunda, anggota organisasi keamanan desa “OKD” serta
tentara gugur. Sementara itu, anggota DI/TII yang tewas tak diketahui dengan pasti, setelah
Kartosoewirjo ditangkap TNI dan dieksekusi pada tahun 1962, gerakan ini menjadi terpecah, namun
tetap eksis secara diam-diam meskipun dinyatakan sebagai organisasi ilegal oleh pemerintah
Indonesia.
C. Gerakan dan Berdirinya DI/TII

a) Gerakan DI/TII

Kata Darul Islam yang sering disingkat DI berasal dari bahasa arab Dar al-Islam yang secara
harfiah berarti “rumah” atau “keluarga” Islam. Dengan begitu Darul Islam dapat diartikan sebagai
dunia atau wilayah Islam. Dimana keyakinan Islam dan peraturan-peraturan berdasarkan syariat Islam
merupakan sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan. Dimana lawan dari Darul Islam itu sendiri
adalah Darul Harb yang berarti wilayah perang, atau dunia kaum kafir, yang berangsur-angsur ingin
dimasukan ke dalam Darul Islam.

Di Indonesia sendiri kata Darul Islam digunakan untuk gerakan-gerakan sesudah tahun 1945
yang berusaha merealisasikan cita-cita mereka untuk mendirikan sebuah Negara Islam. Meski
sebenarnya pada awalnya sempat beredar kabar, bahwa sebenarnya DI itu adalah singkatan dari
Daerah I, dan artinya tidak dipahami secara umum. Menurut Alers, kata itu seakan-akan “Negara
kesatuan”. Namun, berbeda dengan Alers, Pinardi mengemukakan bahwa latar belakangnya adalah
suatu pembedaan terhadap daerah dalam negara Islam. “Daerah I” adalah daerah pusat negara, yang
sepenuhnya dikuasai Oleh suatu pemerintahan Islam dan diatur sesuai dengan hukum Islam. “Daerah
II” terdiri dari daerah-daerah di Jawa Barat yang hanya sebagian saja dikuasai oleh Negara Islam,
sedangkan dalam “Daerah III” untuk daerah yang belum dikuasai oleh Negara Islam.

Lepas dari apa yang diungkapkan oleh Alers maupun Pinardi sendiri, Darul Islam telah
dicatat dalam sejarah sebagai sebuah gerakan pemberontakan yang berusaha mendirikan Negara
Islam, sementara saat itu Indonesia telah berdiri dan merdeka sejak tanggal 17 Agustus 1945.

b) Berdirinya DI/TII

Dibalik kemunculan dari Darul Islam itu sendiri sebenarnya ada dua tokoh yang tercatat
berperan dalam membentuk gerakan ini. Tokoh pertama adalah Kiai Jusuf Tauziri, ia sebutkan
sebagai pendiri gerakan Darul Islam pada tahap pertama, sebagai gerakan Islam yang damai. Yang
kemudian ia menarik dukungannya dari Kartosuwirjo dikarenakan memberontak terhadap pemerintah
Republik Indonesia.

Namun, tokoh yang benar-benar identik dengan gerakan Darul Islam ini adalah Kartosuwirjo,
sosok yang bernama lengkap Sekarmadji Maridjan Kartosuwirjo ini adalah keturunan Jawa. Meski
hampir seluruh karirnya banyak terjadi di Jawa Barat. Ia bukanlah pribumi Jawa Barat. Ia lahir di
Cepu ( Jawa Tengah), antara Blora dan Bojonegoro, di perbatasan dewasa ini antara Jawa Tengah dan
Jawa Timur, pada 7 Februari 1905. Ia mendapat pendidikan Barat pada sekolah dasar dan sekolah
menengah yang menggunakan bahasa Belanda. Jadi, ia bukan seorang santri dari sebuah pesantren.
Bahkan diceritakan ia tidak pernah mempunyai pengetahuan yang benar tentang Bahasa Arab dan
Agama Islam. Dari tahun 1923 sampai tahun 1926 ia mengikuti kursus persiapan pada Nederlands
Indische Artsen School (NIAS), yaitu Sekolah Ketabiban Hindia Belanda di Surabaya. Di Kota itu
kemudian ia bertemu dengan H. Oemar Said Tjokroaminoto, yang kemudian menjadi ketua PSII, serta
menjadi bapak angkatnya.

Menurut Pinardi, Kartosuwirjo berhasil memulai studinya dalam ilmu kedokteran dalam
tahun 1926, tetapi setahun kemudian ia dikeluarkan dikarenakan kegiatan politik yang dilakukannya.
Dari tahun 1927 sampai tahun 1929  menjadi sekretaris pribadi Tjokroaminoto. Dan disebutkan dari
pengalaman yang didapatkan dari pemimpin PSII inilah, terbesit niat Kartosuwirjo untuk mendirikan
negara Indonesia yang berdasarkan Islam. Tahun 1929 Kartosuwirjo pindah ke daerahMalangbong
dekat Garut, bagian timur Jawa Barat, daerah asal istrinya. Ia kemudian bekerja pada PSII di daerah
tersebut. Dan sewaktu berusia 26 tahun ia terpilih sebagai sekretaris jenderal PSII pada tahun 1931.
Dan kemudian setelah meninggalnya Tjokroaminoto (1934), Wondoamiseno terpilih menjadi ketua
PSII, dan Kartosuwirjo sebagai wakilnya pada tahun 1936.

Kemudian pada tahun-tahun berikutnya terjadi pertentangan ditubuh PSII sendiri, berkaitan
dengan kerjasama dengan pemerintah kolonial. Kartosuwirjo berada pada pihak nonkooperasi, ia
kemudian dianggap radikal dan dikeluarkan dari PSII.

Namun Kartosuwirjo tidak berhenti sampai disitu, ia kemudian membentuk PSII tandingan
pada tanggal 24 April 1940 di Malangbong bersama Kamran, yang kemudian menjadi komandan
Darul Islam. Pada saat itu Kartosuwirjo juga mendirikan pesantren di daerah Malangbong. Bernama
institute Supah atau Institut Suffah. Semula institute ini dimaksudkan sebagai latihan kepemimpinan
dalam bidang politik-keagamaan. Namun kemudian berubah menjadi suatu pusat latihan untuk
pasukan gerilya dimasa mendatang (seperti Hizbullah dan Sabilillah) dikarenakan pada masa
pendudukan Jepang, semua kegiatan partai politik dibekukan. Dimana hal ini sebenarnya merupakan
bentuk penyebaran propaganda dari Kartosuwirjo untuk membentuk “Negara Islam”

Berkaitan dengan Darul Islam Kartosuwirjo dikatakan sempat memproklamirkan Negara


Islam Indonesia pada tanggal 14 Agustus 1945, karena gagasan mendirikan Negara Islam Indonesia
itu sendiri sebenarnya telah dicanangkan oleh Kartosuwirjo sejak tahun 1942. Namun ia dan
gerakannya kemudian kembali ke Republik, saat Indonesia diproklamirkan. Ia juga kemudian menjadi
anggota pengurus besar partai Masyumi. Ia merangkap sebagai Komisaris Jawa barat, dan sekretaris I
partai tersebut. Selain itu pada masa jabatan cabinet Amir Sjarifuddin tanggal 3 Juli 1947,
Kartosuwirjo sempat ditawari sebagai menteri muda pertahanan kedua, yang kemudian ditolak oleh
sosok itu.

Pada saat agresi militer pertama Belanda, Kartosuwirjo bersama gerakan DI-nya bergerak
mendukung Republik untuk menghancurkan kekuatan Belanda. Tapi kemudian saat dilakukan
persetujuan perjanjian Renville, 8 Desember 1947. Pasukan TNI harus meninggalkan wilayah Jawa
Barat,  namun, Kartosuwirjo yang memimpin Hizbullah dan Sabilillah tidak hijrah, dan bertahan di
Jawa Barat. Sehingga kemudian ia membentuk Darul Islam dan mengganti tentaranya menjadi TII
(Tentara Islam Indonesia), yang bermarkas di Gunung Cepu. Pada akhirnya ini berujung pada sebuah
proklamasi pembentukan Negara Islam Indonesia, dengan Kartosuwirjo sebagai Imamnya.

Menurut C.A.O. Van Nieuwenhuijze menyebutkan bahwa seorang Kiai bernama Jusuf
Tauziri sebagai pemimpin kerohanian gerakan DI (Darul Islam) selama tahap pertama. Kemudian
seperti yang dikatakan oleh Hiroko Horikoshi, Kiai Jusuf Tauziri menarik dukungannya ketika
Kartosuwirjo memberontak terhadap Republik 1949. Setelah memutuskan hubungan dengan
Kartosuwirjo, dia menjadi pemimpin Darul Islam, Dunia Perdamaian, suatu gerakan untuk
mendirikan negara Islam dengan cara damai.

Namun, banyak literatur sejarah mengungkapkan bahwa Kartosuwiryo-lah pemimpin atau


pendiri dari Darul Islam. Ia jugalah yang memproklamirkan Negara Islam Indonesia pada hari-hari
sekitar menyerahnya Jepang.

Pembentukan Darul Islam dan TII (tentara Islam Indonesia) sendiri disebutkan sebagai respon
negative yang diberikan oleh pihak Kartosuwirjo atas adanya perjanjian Renville, antara pemerintah
dan pihak Belanda. Kesepakatan yang mengharuskan TNI menarik diri dari Jawa Barat, hal ini ditolak
oleh Kartosuwirjo, dan Pasukannya, yang kemudian membentuk gerakan Darul Islam dengan pasukan
yang berganti nama menjadi TII (tentara Islam Indonesia)

D. Pemberontakan DI/TII

Menurut Alers, sebenarnya pada tanggal 14 Agustus 1945, Kartosuwirjo sudah memproklamirkan
suatu negara Darul Islam yang merdeka. Tetapi setelah tanggal 17 Agustus 1945 ia memihak
Republik Indonesia yang diproklamasikan oleh Soekarno-Hatta. Kemudian pada saat Belanda
melancarkan agresi militer I terhadap Republik Indonesia pada tanggal 21 Juli 1947, Kartosuwirjo
menyerukan Perang suci menentang Belanda pada tanggal 14 Agustus.

Kartosuwirjo beserta gerakan DI-nya sebenarnya mendukung Republik dalam perjuangan


melawan Belanda, seperti juga yang dilakukan oleh pasukan Hizbullah dan Sabilillah yang ada di
Jawa Barat, di bawah pimpinan Kamran dan Oni. Namun masalah kemudian muncul ketika Indonesia
melakukan perjanjian Renville dengan pihak belanda. Darul Islam kembali bergejolak, hal itu sendiri
disebutkan sebagai reaksi negative dari adanya persetujuan akan perjanjian Renville pada bulan
Januari 1948. Menurut perjanjian tersebut pasukan TNI harus ditarik dari dari daerah Jawa Barat yang
terletak dibelakang garis demarkasi Van Mook. Dan ketentuan itu harus dilaksanakan pada bulan
Februari. Namun sekitar 4000 pasukan Hisbullah dibawah pimpinan Kartosuwirjo, bekas anggota
PSII sebelum perang dan bekas anggota Masyumi menolak untuk berhijrah.

Reaksi keras dari Pihak Kartosuwirjo yang menentang hasil perjanjian Renville inilah yang
dianggap sebagai sebuah pemberontakan bagi para sejarawan. Dikarenakan sebagai warga negara,
Kartosuwirjo beserta pasukannya bisa menerima dan menjalankan hasil dari perjanjian Renville
sendiri. Bukan malah melakukan perlawanan dengan pihak pemerintah. Apalagi pada akhirnya Darul
Islam sendiri memproklamasikan kemerdekaannya sebagai Negara Islam Indonesia, sementara saat
itu, Indonesia sudah merdeka. Itu sama saja berarti Darul Islam ingin mendirikan negara di dalam
sebuah negara. Jelas saja itu dianggap sebagai bentuk dari sebuah gerakan pemberontakan.

Meski sebenarnya diungkapkan bahwa Negara Islam Indonesia tidak diproklamirkan pada negara
Indonesia melainkan diproklamirkan di daerah yang dikuasai oleh Tentara Belanda, yaitu daerah Jawa
Barat yang ditinggalkan oleh TNI (Tentara Nasional Indonesia) ke Jogya. Sebab daerah de-facto R.I.
pada saat itu hanya terdiri dari Yogyakarta dan kurang lebih 7 Kabupaten saja ( menurut fakta-fakta
perundingan/kompromis dengan Kerajaan Belanda; perjanjian Linggarjati tahun 1947 hasilnya de-
facto R.I. tinggal pulau Jawa dan Madura, sedang perjanjian Renville pada tahun 1948, de-facto R.I.
adalah hanya terdiri dari Yogyakarta).

Seluruh kepulauan Indonesia termasuk Jawa Barat kesemuanya masih dikuasai oleh Kerajaan
Belanda. Jadi tidaklah benar kalau ada yang mengatakan bahwa Negara Islam Indonesia didirikan dan
diproklamirkan didalam negara Republik Indonesia. Negara Islam Indonesia didirikan di daerah yang
masih dikuasai oleh Kerajaan Belanda. Jadi itu berarti gerakan Darul Islam tidak bisa dikatakan
sebagai suatu gerakan pemberontakan.

Sementara bagi pemerintah Indonesia itu sendiri tampaknya tidak berkeinginan memandang aksi
dari Kartosuwirjo ini sebagai suatu pemberontakan terhadap Republik Indonesia, tetapi hanya
dianggap sekedar sebagai suatu gerakan-gerakan tingkat daerah terhadap “Negara Pasundan” buatan
Belanda. Karena perlu dijelaskan bahwa pada bulan Maret 1948 kebijakan pembentukan negara
federal yang dianut oleh Belanda telah menghasilkan terbentuknya negara Pasundan di daerah-daerah
yang diduduki Belanda di Jawa Barat. Artinya Jawa Barat menjadi salah satu dari negara boneka
Belanda. Meski sebagian besar dari daerah Jawa Barat itu sendiri telah dikuasai oleh pihak Darul
Islam, dengan Tentara Islam Indonesianya.

Ini menjadi pembantahan bahwa Darul Islam bukanlah sebuah pemberontakan, dikarenakan lebih
mengarah pada sebuah gerakan untuk mengambil alih negara Pasundan, bukan membentuk negara
dalam negara, yaitu Indonesia. Namun, tidak sepenuhnya alasan di atas bisa diterima, meski Darul
Islam membentuk negara Islam di negara boneka Belanda, seorang tokoh bernama Kahin mencatat
bahwa baru pada akhir bulan Desember 1948 Darul Islam bersikap anti-Republik secara terang-
terangan

Kemudian pada saat Belanda melancarkan agresi militer ke II (19 September 1948) Kartosuwirjo
mengulangi seruannya untuk melakukan perang suci terhadap pihak Belanda. Dengan begitu, pihak
Darul Islam sudah secara terang-terangan tidak terikat dengan Perjanjian Renville lagi. Dan pada
akhirnya pada tanggal 7 Agustus 1949, Kartosuwirjo sebagai Imam dari DI mendeklarasikan
berdirinya negara Islam Indonesia. Sekali lagi ia secara resmi mendeklarasikan berdirinya Negara
Islam Indonesia, yang kali ini sebagai pengganti terhadap Republik Indonesia (“Yogya”).

E. Penyebab dan Timbulnya Gerakan DI/TII

Karena penolakan terhadap hasil Perundingan Renville, sehingga kekuatan militer Republik
Indonesia harus meninggalkan wilayah Jawa Barat yang dikuasai Belanda. TNI harus mengungsi ke
daerah Jawa Tengah yang dikuasai Republik Indonesia. Tidak semua komponen bangsa menaati isi
Perjanjian Renville yang dirasakan sangat merugikan bangsa Indonesia. Salah satunya adalah S.M.
Kartosuwiryo beserta para pendukungnya. Pada tanggal 7 Agustus 1949, Kartosuwiryo
memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII). Tentara dan pendukungnya disebut
Tentara Islam Indonesia (TII). Gerakan Darul Islam yang didirikan oleh Kartosuwiryo mempunyai
pengaruh yang cukup luas. Pengaruhnya sampai ke Aceh yang dipimpin Daud Beureueh, Jawa
Tengah (Brebes, Tegal) yang dipimpin Amir Fatah dan Kyai Somolangu (Kebumen), kalimantan
selatan dipimpin Ibnu Hajar, dan Sulawesi Selatan dengan tokohnya Kahar Muzakar.

a) Timbulnya Gerakan DI/TII di Jawa Barat (Kartosoewirjo)

Pada tahun 1949 Indonesia mengalami suatu perubahan politik besar-besaran. Pada saat Jawa
Barat mengalami kekosongan kekuasaan, maka ketika itu terjadilah sebuah proklamasi Negara Islam
di Nusantara, sebuah negeri al-Jumhuriyah Indonesia yang kelak kemudian dikenal sebagai ad-
Daulatul Islamiyah atau Darul Islam atau Negara Islam Indonesia yang lebih dikenal oleh masyarakat
sebagai DI/TII. DI/TII di dalam sejarah Indonesia sering disebut para pengamat yang fobi dengan
Negara Islam sebagai “Islam muncul dalam wajah yang tegang.” Bahkan, peristiwa ini dimanipulasi
sebagai sebuah “pemberontakan”. Kalaupun peristiwa ini disebut sebagai sebuah “pemberontakan”,
maka ia bukanlah sebuah pemberontakan biasa. Ia merupakan sebuah perjuangan suci anti-
kezhaliman yang terbesar di dunia di awal abad ke-20 ini. “Pemberontakan” bersenjata yang sempat
menguras habis logistik angkatan perang Republik Indonesia ini bukanlah pemberontakan kecil,
bukan pula pemberontakan yang bersifat regional, bukan “pemberontakan” yang muncul karena sakit
hati atau kekecewaan politik lainnya, melainkan karena sebuah “cita-cita”, sebuah “mimpi” yang
diilhami oleh ajaran-ajaran Islam yang lurus.

Gagasan mendirikan Negara islam Indonesia telah mulai dicanangkan sejak tahun 1942. Pada
waktu itu, tokoh DI/TII kartosuwiryo berencana mendirikan sebuah Negara islam didaerah jawa barat.
Selanjutnya, selama masa kependudukan jepang dan setelah proklamasi kemerdekaan Kartosuwiryo
menjadi anggota Masyumi dan menjadi sekretaris I partai Masyumi. Pada tanggal 14 agustus 1947,
Kartosuwiryo menyatakan perang suci melawan Belanda dan menolak isi perjanjian Renville.
Penolakannya terhadap perseyujuan Renville di wujudkan dalam sikap menolak melaksanakan hijrah
dan bersama 4000 pasukannya, yang terdiri dari pasukan hizbullah dan sabilillah tetap tinggal di jawa
barat. Dalam sebuah pertemuan di Cisayong pada bulan Februari 1948 Kartosuwiryo telah
memutuskan untuk mengubah gerakan kepartaian Nasyumi Jawa Barat menjadi bentuk Negara serta
pembekukan partai Nasyumi Jawa Barat. Selanjutnya, melalui Majelis Umat Islam (MUI) yangdi
bentuknya, Kartosuwiryo diangkat sebagai imam Negara Islam Indonesia (NII). Selain itu, dibentuk
angkatan perang Tentara Islam Indonesia (TII) yang di tempatkan didaerah pegunungan di daerah
Jawa Barat.

Sebelum melakukan hijrah, pasukan-pasukan yang tergabung dalam Divisi Siliwangi di Jawa
Barat berkuasa didaerah-daerah yang dikenal dnga sebutan “Kantong”. Persetujuan Renville
ditandatagani oleh pihak belanda dan Republik Indonesia pada 17 Januari 1948, sedangkan
perundingannya dimulai sejak 8 Desember 1947. Diantara organisasi-organisasi bersenjata atau
lascar-laskar di Jawa Barat yang berjuang menentang Belanda ada yang menentang pokok-pokok
persetujuan Renville. Mereka yang bersikap demikian antara lain ialah organisasi bersenjata darul
Islam yang ada dibawahpimpinan S.M.Kartosuwiryo. daerah-daerah kantong yang kosong di Jawa
Barat yang telah di tinggalkan oleh Tentara Republik Indonesia diisi mereka. Berita tentang peristiwa
ini diterima dengan kegembiraan di ibu kota republic Indonesia, Yogyakarta, denga harapan bahwa
mereka akan meneruskan perjuangan menentang Belanda demi kepentingan Republik Indonesia.

Pada akhir bulan Maret 1948 suatu pertemuan dari para tokoh DarulIslam menyatakan
berdirinya sebuah “Negara” yang diberi nama “Negara Darul Islam”, dengan presidennya
S.M.Kartosuwiryo da angkatan bersenjatanya yang disebut dengan tentara Islam Indonesia (TII). Pada
mulanya “Negara” yang baru didirikan itu tidak menyatakan menentang Republik Indonesia.
Tentaranya yaitu TII berhasil merebut beberapa daerah yang tadinya ada di bawah kekuasaan
Belanda. Ruang gerak Darul Islam (DI) pada mulanya meliputi daerah-daerah Garut, Tasikmalaya,
Ciamis, dan daerah-daerah sekitar Majelengka serta Kuningan.

Timbulnya gerakan DI/TII ini menimbulkan kesulitan pihak Belanda. Untuk mengatasinya,
pihak Belanda mendorong R.A.A.Suriakartalegawa mendirikan sebuah partai yang disebut dengan
Partai Rakyat Pasundan (PRP) dengan sekretarisnya Mr. R. Kustomo. Namun demikian usaha tersebut
tidak mendapatkan sambutan baik dari penduduk Jawa Barat, bahkan sebagai reaksi dari para bekas
tokoh pimpinan Pguyuban Pasundan timbul usaha untuk menghidupkan kembali organisasi tersebut.
Sebagaimana halnya dengan organisasi-organisasi kebangsaan lainnya, Paguyuban Pasundan pada
masa pendudukan Jepag dilarang melakukan kegiatan-kegiatan. Setelah dihidupkan kembali, untuk
menyesuaikan diri dengan situasi dan kondisi marsyarakat Indonesia yang telah berubah, ama
paguyuban Pasundan diubah menjadi Partai Kebangsaan Indonesia yang disingkat menjadi PARKI di
bawah pimpinan Suradirja.

Pada bulan akhir Desember 1948, sikap Darul Islam (DI) berubah, yang tadinya anti-Republik
Indonesia, sekarang dengan secara terang-terangan menyatakan menentang Republik Indonesia.
Terhadap rakyat sering melakukan tindakan terror. Pada permulaannya pada tahun 1949, banyak
daerah di jawa Barat yang resminya merupakan daerah Negara pasundan, tetapi dalam kenyataannya
ada di bawah pengawasan DI/TII. Tentara belanda pun tidak berdaya mengatasi keadaan ini. Beberapa
pejabat penting Negara Pasundan termasuk wali negarannya, Wiranatakusuma, berkeyakinan behwa
hanya angkatan bersenjata Republik Indonesia yang mempunyai kemampuan menindas gerakan
DI/TII.
DI / TII Jawa Barat terjadi pada tanggal 7 Agustus 1949 , yang di pimpinan oleh Sekarmadji
Maridjan kartosoewiryo

 Sebab Khusus Pemberontakan :

Pemerintah RI menandatangani Perjanjian Renville yang mengharuskan pengikut RI


mengosongkan wilayah Jawa Barat dan pindah ke Jawa Tengah , hal ini dianggap Kartosuwirjo
sebagai bentuk pengkhianatan Pemerintah RI terhadap perjuangan rakyat Jawa Barat(karena ada
beberapa komandan TNI yang menjanjikan akan meninggalkan semua persenjataannya di Jawa Barat
jika mereka hijrah nanti. ). Bersama kurang lebih 2000 pengikutnya yang terdiri atas laskar Hizbullah
dan Sabilillah, Kartosuwirjo menolak hijrah dan mulai merintis usaha mendirikan Negara Islam
Indonesia (NII).

 Sebab Umum Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat :

 Kekosongan kekuatan di Jawa Barat


 Kartosuwirjo / rakyat menolak kalau Jawa Barat itu diserahkan kepada belanda begitu
saja
 Rasa tdk puas dg keputusan perjanjian yg mengharuskan TNI keluar dr daerah
kantong dan masuk ke wilayah RI

 Tujuan Pemberontakan DI/TII Jawa Barat :

 Ingin mendirikan negara yang berdasarkan agama islam lepas dari NKRI sewaktu tentara
Belanda menduduki ibukota RI di Yogyakarta.
 Menjadikan Syariat islam sebagai dasar Negara ( pola tingkah laku ,dalam keluarga
/masyarakat/ bangsa ataupun Negara) bersumber pada”Alqur’an , Hadist,Isma,Qias”.

 Upaya pemerintah mengatasi pemberontakan DI/TII Jawa Barat :

 Upaya Pemusnahan yang dilakukan Pemerintah

Untuk  menumpas gerakan DI/TII diJawa Barat tersebut, pemerintah telah melakukan
berbagai upaya seperti melakukan pendekatan musyawarah yang di lakukan M.Natsir. Namun
pendekatan musyawarah tersebut tidak membawa hasil sehingga pemerintah RI terpaksa mengambil
tindakan tegas dengan menerapkan operasi militer yang di sebut Operasi Pagar Betis dan Operasi
Baratayudha untuk menumpas gerakan DI/TII. Operasi Pagar Betis dilakukan dengan melibatkan
rakyat untuk mengepung tempat persembunyian gerombolan DI/TII. Disisi lain, operasi Barathayudha
juga dilaksanakan TNI untuk menyerang basis-basis kekuatan gerombolan DI/TII.Dan dijalankanlah
taktik dan strategi baru yang disebut Perang Wilayah. Pada tahun 1 April 1962 pasukan Siliwangi
bersama rakyat melakukan operasi “Pagar Betis(mengepung pasukan DI/TII dengan mengepung dari
seluruh penjuru )” dan operasi “Bratayudha(operasi penumpasan gerakan DI/TII kartosuwirjo).

Pada tanggal 4 juni 1962, S.M.Kartosuwiryo beserta para pengikutnya berhasil ditanggap oleh
pasukan Siliwangi di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Sekarmadji Maridjan kartosoewiryo
sempat mengajukan grasi kepada Presiden,tetapi di tolak. Akhirnya S.M.Kartosuwiryo dijatuhi
hukuman mati di hadapan regu tembak dari keempat angkatan bersenjata RI 16 Agustus 1962.
b) Timbulnya Gerakan DI/TII di Jawa Tengah (Amir Fatah)

Gerakan DI/Tll Amir Fatah muncul setelah Agresi Militer Belanda II, yang ditandai dengan
diproklamasikannya NII di desa Pengarasan, tanggal 28 April 1949. Gerakan ini didukung oleh
Laskar Hisbullah dan Majelis Islam (MI), yang merupakan pendukung inti gerakan, serta massa
rakyat yang mayoritas terdiri dari para petani pedesaan. Kelompok-kelompok masyarakat tersebut
memberikan dukungannya kepada DI/TII karena alasan ideologi, yaitu memperjuangkan Ideologi
Islam dengan mengakui eksistensi Negara Islam Indonesia (NII). Amir Fatah merupakan tokoh yang
membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian
sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh
beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah dengan S.M.

DI / TII Jawa Tengah terjadi Pada tanggal 23 Agustus 1949, Pepimpinya Amir Fatah dan
Mahfu’dz Abdurachman ( Kyai Somalangu). DI/TII itu kemudian memusuhi pasukan TNI dengan
mengadakan pengadangan dan menyerang pasukan TNI yang sedang dalam perjalanan kembali ke
Jawa Barat. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dengan segala cara menyebarkan pengaruh nya ke
Jawa Tengah. Gerakan DI/TII di Jawa Tengah di pimpin Amir Fatah. Daerah operasinya di daerah
Pekalongan Tegal dan Brebes dimana daerah tersebut mayoritas pendudukanya beragama Islam yang
fanatik.

Dibawah kepemimpinan Amir Fatah, sampai dengan tahun akhir tahun 1950, Gerakan DI/TII
mengalami perkembangan yang cukup pesat. Bahkan ia behasil mempengaruhi Angkatan Oemat
Islam (AOI), dan Batalyon 426 untuk melakukan pemberontakan. Sedangkan pengaruhnya terhadap
Batalyon 423 tidak sempat memunculkan pemberontakan kerena adanya tindakan pencegahan dan
Panglima Divisi Diponegoro.

 Sebab Khusus Pemberontakan


 Terjadi karena Batalion 624 pada Desmber 1961 membelot dan menggabungkan diri dangan
DI/TII di daerah Kudus dan Magelang(selain di daerah Tegal-Brebes , di daerah
selatan(Kebumen ) juga terdapat gerkan DI/TII yang dipimpin oleh Muhamad Mahfudh
Abdurahcman / Kyai Somalangu .
 Tujuan Pemberontakan
1. Ingin mendirikan negara yang berdasarkan agama islam lepas dari NKRI
2. Menjadikan Syariat islam sebagai dasar Negara ( pola tingkah laku ,dalam keluarga
/masyarakat/ bangsa ataupun Negara) bersumber pada”Alqur’an , Hadist,Isma,Qias”.
 Upaya Pemerintah Mengatasi Pemberontakan

Untuk menumpas pemberontakan ini pada bulan Januari 1950 pemerintah melakukan operasi
kilat yang disebut “Gerakan Banteng Negara” (GBN) di bawah Letnan Kolonel Sarbini (selanjut-nya
diganti Letnan Kolonel M. Bachrun dan kemudian oleh Letnan Kolonel A. Yani). Gerakan operasi ini
dengan pasukan “Banteng Raiders.” Sementara itu di daerah Kebumen muncul pemberontakan yang
merupakan bagian dari DI/ TII, yakni dilakukan oleh “Angkatan Umat Islam (AUI)” yang dipimpin
oleh Kyai Moh. Mahudz Abdurachman yang dikenal sebagai “Romo Pusat” atau Kyai Somalangu.
Untuk menumpas pemberontakan ini memerlukan waktu kurang lebih tiga bulan.
Pemberontakan DI/TII juga terjadi di daerah Kudus dan Magelang yang dilakukan oleh Batalyon 426
yang bergabung dengan DI/TII pada bulan Desember 1951. Untuk menumpas pemberontakan ini
pemerintah melakukan “Operasi Merdeka Timur” yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto,
Komandan Brigade Pragolo.
Pada awal tahun 1952 kekuatan Batalyon pemberontak terrsebut dapat dihancurkan dan sisa- sisanya
melarikan diri ke Jawa Barat dan ke daerah GBN.

c) Timbulnya Gerakan DI/TII di Sulawesi Selatan

Pemberontakan DII/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakkar. Kahar Muzakkar
dilahirkan di Lanipa, kecamatan Ponrang, Kabupaten Luwu pada tanggal 24 Maret 1921. Lantaran
sebuah kekecewaan kepada TNI, Kahar Muzakkar memilih masuk hutan. Dia meletakkan pangkat
kolonelnya. Bersama pengikutnya, Kahar Muzakkar terus bergerilya dihutan. Mereka mengobarkan
perlawanan kepada TNI dan pemerintahan Soekarno.
Untuk merealisasikan obsesinya yang menginginkan Indonesia menjadi negara islam, Kahar
Muzakkar lalu mengikuti jejak Kartosuwiryo yang bermarkasdi Jawa Barat dengan gerakkan
DI/TII(Darul Islam/Tentara Islam Indonesia).

Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) dan


anggotanya disalurkan ke masyarakat. Ternyata Kahar Muzakar menuntut agar Kesatuan Gerilya
Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya lainnya dimasukkan kedalam satu brigade yang disebut
Brigade Hasannuddin dibawah pimpinannya.

Tuntutan itu ditolak karena banyak diantara mereka yang tidak memenuhi syarat untuk dinas
militer. Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara dan Tetorium VII, Kahar Muzakar
beserta para pengikutnya melarikan diri kehutan dengan membawa persenjataan lengkap dan
mengadakan pengacauan. Kahar Muzakar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam
Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada tanggal 7 Agustus 1953.
Tanggal 3 februari 1965, Kahar Muzakar tertembak mati oleh pasukan TNI.

d) Timbulnya Gerakan DI/TII Daud Beureueh

Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan “Proklamasi” Daud Beureueh bahwa Aceh
merupakan bagian “Negara Islam Indonesia” di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo pada tanggal 20
September1953. Daued Beureueh pernah memegang jabatan sebagai “Gubernur Militer Daerah
Istimewa Aceh” sewaktu agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai
Gubernur Militer ia berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat
pemerintahan baik sipil maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan bekas Gubernur Militer,
Daud Beureuh tidak sulit memperoleh pengikut. Daud Beureuh juga berhasil memengaruhi pejabat-
pejabat Pemerintah Aceh, khususnya di daerah Pidie. Untuk beberapa waktu lamanya Daud Beureuh
dan pengikut-pengikutnya dapat mengusai sebagian besar daerah Aceh termasuk sejumlah kota.

Sesudah bantuan datang dari Sumatera Utara dan Sumatera Tengah, operasi pemulihan
keamanan ABRI ( TNI-POLRI ) segera dimulai. Setelah didesak dari kota-kota besar, Daud Beureuh
meneruskan perlawanannya di hutan-hutan. Penyelesaian terakhir Pemberontakan Daud Beureuh ini
dilakukan dengan suatu ” Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh” pada bulan Desember 1962 atas
prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel Jendral Makarawong.

e) Timbulnya Gerakan DI/TII Ibnu Hadjar

Pada bulan Oktober 1950 DI/ TII juga tercatat melakukan pemberontakan di Kalimantan
Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar. Para pemberontak melakukan pengacauan dengan
menyerang pos-pos kesatuan ABRI (TNI-POLRI). Dalam menghadapi gerombolan DI/TII tersebut
pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan kepada Ibnu Hadjar dengan diberi kesempatan
untuk menyerah, dan akan diterima menjadi anggota ABRI. Ibnu Hadjar sempat menyerah, akan
tetapi setelah menyerah dia kembali melarikan diri dan melakukan pemberontakan lagi sehingga
pemerintah akhirnya menugaskan pasukan ABRI (TNI-POLRI) untuk menangkap Ibnu Hadjar. Pada
akhir tahun 1959 Ibnu Hadjar beserta seluruh anggota gerombolannya tertangkap dan dihukum mati.

f) Timbulnya Gerakan DI/TII Amir Fatah

Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah. Semula ia
bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan mendukung Gerakan DI/TII.
Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi
antara Amir Fatah dengan S.M. Kartosuwirjo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia Ideologi
Islam. Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur Pemerintah RI dan
TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh oleh “orang-orang Kiri”, dan
mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga, adanya pengaruh “orang-orang Kiri” tersebut,
Pemerintah RI dan TNI tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu
di daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan yang telah dibinanya sebelum Agresi Militer II, harus
diserahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat, adanya perintah penangkapan dirinya oleh
Mayor Wongsoatmojo. Hingga kini Amir Fatah dinilai sebagai pembelot baik oleh negara RI maupun
umat muslim Indonesia.

F. Penangkapan DI/TII Pusat

Sebelumnya perlu diketahui bahwa penumpasan DI dilakukan oleh TNI dari Divisi Siliwangi.
Sebenarnya berkaitan dengan Gerakan Darul Islam yang kemunculannya bersamaan dengan agresi
Militer II, TNI sendiri memiliki rencana tertentu untuk menghadapi agresi militer Belanda II. Dimana
TNI menyusun rencana umum yang terkenal dengan nama Perintah Siasat No.1 atau instruksi
Panglima Besar pada November 1948 yang telah mendapat pengesahan dari Pemerintah RI. Rencana
ini didasarkan atas peraturan pemerintah No. 33 tahun 1948 dan peraturan pemerintahan No 70 tahun
1948. Gerakan TNI atas perintah ini lebih dikenal dengan sebutan Wingate TNI.

Berkaitan dengan hal itu, Divisi Siliwangi juga memulai gerakan Wingate-nya, pada tanggal 19
Desember 1948, setelah mendengar Perintah kilat dari Panglima Besar Sudirman yang merupakan
perintah bergerak menyusun Wehrkreise-wehkreise di tempat-tempat dalam perintah Siasat No.1,
seperti telah disinggung di muka yang antara lain, mengatur :

1. Cara perlawanan, ialah bahwa kita tidak lagi akan melakukan pertahanan liniar
2. Melakukan siasat /politik bumihangus
3. Melakukan pengungsian atas dasar politik non-kooperasi.
4. Pembentukan Wehkreise-wehkreise.

Perintah kilat ini disambut dengan gembira oleh anak-anak Siliwangi yang bagaimanapun juga
sudah sangat merindukan kampung halaman mereka di Jawa Barat. Letnan Kolonial Daan Yahya,
Kepala Staf Divisi segera pergi ke Istana untuk melaporkan, bahwa Siliwangi akan memulai gerakan
kembali ke Jawa Barat sebagaimana yang telah ditentukan dalam perintah siasat No.1.

Kemudian, TNI, Divisi Siliwangi, memulai long march-nya berpindah dari Jawa Tengah ke Jawa
Barat. Hal ini kemudian dianggap oleh pihak Kartosuwirjo sebagai ancaman bagi kelangsungan dan
cita-cita Kartosuwirjo untuk membentuk Negara Islam. Maka dari itu Pasukan tersebut harus
dihancurkan agar tidak memasuki daerah Jawa Barat. Pada tanggal 25 Januari 1949 terjadi kontak
senjata utuk pertama kalinya antara pihak TNI, Divisi Siliwangi dan Tentara Islam Indonesia. Bahkan
pada akhirnya terjadi perang segitiga antara DI/TII-TNI-Tentara Belanda.
Pemimpin Masyumi sendiri Moh. Natsir, yang menjadi menteri penerangan dalam Kabinet Hatta
pada tanggal 29 Januari sampai awal agustus 1949, berusaha menghubungi Kartosuwirjo melalui
sepucuk surat pada tanggal 5 Agustus 1949. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk mencegah
timbulnya keadaan yang semakin buruk. Dikarenakan kemelut ini mengakibatkan penderitaan bagi
rakyat Jawa Barat. Bahkan banyak orang-orang tak berdosa tewas pada pertikaian ini. Moh. Natsir
juga kemudian membentuk sebuah komite yang dipimpin oleh dirinya sendiri di bulan September
1949, sebagai upaya kedua untuk mengatasi hal ini. Namus sekali lagi ia gagal.

Operasi militer untuk menumpas gerakan DI/TII dimulai pada tanggal 27 Agustus 1949. Operasi
ini  menggunakan taktik “Pagar Betis” yang dilakukan dengan menggunakan tenaga rakyat berjumlah
ratusan ribu untuk mengepung gunung tempat gerombolan bersembunyi. Taktik ini bertujuan untuk
mempersempit ruang gerak mereka. Selain itu, juga dilakukan operasi Tempur Bharatayudha dengan
sasaran menuju basis pertahanan mereka. Walaupun demikian, operasi penumpasan ini memakan
waktu yang cukup lama. Baru pada tanggal 4 Juni 1962, Kartosuwirjo terkurung dan berhasil
ditangkap di Gunung Geber di daerah Majalaya oleh pasukan Siliwangi. Yang kemudian selanjutnya
ia diberi hukuman mati.

Anda mungkin juga menyukai