Anda di halaman 1dari 14

Latar Belakang, Penyebab, & Tujuan Pemberontakan DI/TII di Indonesia

Pemberontakan DI/TII di Indonesia, Latar Belakang, Penyebab, Tujuan - Negara


Islam Indonesia (NII), Tentara Islam Indonesia (TII) atau biasa disebut dengan DI (Darul
Islam) adalah sebuah gerakan politik yang didirikan pada tanggal 7 Agustus 1949 (12 syawal
1368 Hijriah) oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di sebuah desa yang berada di kota
Tasikmalaya, Jawa Barat. NII tersebut diproklamasikan pada saat Negara Pasundan yang
dibuat oleh Belanda mengangkat seorang Raden yang bernama Raden Aria Adipati
Wiranatakoesoema sebagai pemimpin/presiden di Negara Pasundan tersebut.

1. Latar Belakang dan Tujuan Pemberontakan DI/TII

Gerakan NII ini bertujuan untuk menjadikan Republik


Republik Indonesia sebagai sebuah
negara yang menerapkan dasar agama Islam sebagai dasar
dasa negara.
egara. Dalam proklamasinya
tertulis bahwa “Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia adalah hhukum Islam” atau
lebih jelasnya lagi, di dalam undang-undang
undang tertulis bahwa “Negara berdasarkan
erdasarkan Islam” dan
“Hukum tertinggi adalah Al Qur’an dan Hadist”. Proklamasi
Proklamasi Negara Islam Indonesia (NII)
menyatakan dengan tegas bahwa kewajiban Negara untuk membuat undang
undang-undang
berdasarkan syari’at Islam dan menolak keras terhadap ideologi selain Al Qur’an dan Hadist,
atau yang sering mereka sebut dengan hukum kafir.

Bendera NII. (Wikimedia Commons) [1]

Dalam perkembangannya, Negara Islam Indonesia ini menyebar sampai ke beberapa


wilayah yang berada di Negara Indonesia terutama Jawa Barat, Jawa Tengah, Kalimantan
Selatan, Aceh, dan Sulawesi Selatan. Setelah Sekarmadji ditangkap oleh Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dan dieksekusi pada tahun 1962, gerakan Darul Islam tersebut menjadi
terpecah. Akan tetapi, meskipun dianggap sebagai gerakan ilegal oleh Negara Indonesia,
pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) ini masih berjalan meskipun
dengan secara diam-diam di Jawa Barat, Indonesia.

Pada tanggal 7 Agustus 1949, di sebuah desa yang terletak di kabupaten Tasikmalaya,
Jawa Barat, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo mengumumkan bahwa Negara Islam
Indonesia telah berdiri di Negara Indonesia dengan gerakannya yang disebut dengan DI
(Darul Islam) dan para tentaranya diberi julukan dengan sebutan TII (Tentara Islam
Indonesia). Gerakan DI/TII ini dibentuk pada saat provinsi Jawa Barat ditinggalkan oleh
Pasukan Siliwangi yang sedang berhijrah ke Jawa Tengah dan Yogyakarta dalam rangka
melaksanakan perundingan Renville.

Saat pasukan Siliwangi tersebut berhijrah, kelompok DI/TII ini dengan leluasa
melakukan gerakannya dengan merusak dan membakar rumah penduduk, membongkar jalan
kereta api, serta menyiksa dan merampas harta benda yang dimiliki oleh penduduk di daerah
tersebut. Namun, setelah pasukan Siliwangi menjadwalkan untuk kembali ke Jawa Barat,
kelompok DI/TII tersebut harus berhadapan dengan pasukan Siliwangi.

2. Upaya Penumpasan Pemberontakan DI/TII

Usaha untuk meruntuhkan organisasi DI/TII ini memakan waktu cukup lama di
karenakan oleh beberapa faktor, yaitu:

1. Tempat tinggal pasukan DI/TII ini berada di daerah pegunungan yang sangat
mendukung organisasi DI/TII untuk bergerilya.
2. Pasukan Sekarmadji dapat bergerak dengan leluasa di lingkungan penduduk.
3. Pasukan DI/TII mendapat bantuan dari orang Belanda yang di antaranya pemilik
perkebunan dan para pendukung Negara Pasundan.
4. Suasana Politik yang tidak konsisten, serta perilaku beberapa golongan partai politik
yang telah mempersulit usaha untuk pemulihan keamanan.

Selanjutnya, untuk menghadapi pasukan DI/TII, pemerintah mengerahkan Tentara


Nasional Indonesia (TNI) untuk meringkus kelompok ini. Pada tahun 1960 para pasukan
Siliwangi bekerjasama dengan rakyat untuk melakukan operasi “Bratayudha” dan “Pagar
Betis” untuk menumpas kelompok DI/TII tersebut. Pada Tanggal 4 Juni 1962 Sekarmadji
Maridjan Kartosoewirjo dan para pengawalnya ditangkap oleh pasukan Siliwangi dalam
operasi Bratayudha yang berlangsung di Gunung Geber, Majalaya, Jawa Barat. Setelah
Sekarmadji ditangkap oleh pasukan TNI, Mahkamah Angkatan Darat menyatakan bahwa
Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati dan setelah Sekarmadji
meninggal, pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dapat dimusnahkan.

3. Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Pada tanggal 7 Agustus 1949 Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo secara resmi


menyatakan bahwa organisasi Negara Islam Indonesia (NII) berdiri berlandaskan kanun azasi
dan pada tanggal 25 Januari 1949, ketika pasukan Siliwangi sedang melaksanakan hijrah dari
Jawa Barat ke Jawa Tengah, saat itulah terjadi kontak senjata yang pertama kali antara
pasukan TNI dengan pasukan DI/TII. Selama peperangan pasukan DI/TII ini dibantu oleh
tentara Belanda sehingga peperangan antara DI/TII dan TNI menjadi sangat sengit. Hadirnya
DI/TII ini mengakibatkan penderitaan penduduk Jawa Barat, karena penduduk tersebut sering
menerima terror dari pasukan DI/TII. Selain mengancam para warga, para pasukan DI/TII
juga merampas harta benda milik warga untuk mencukupi kebutuhan hidup mereka.

4. Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah

Selain di Jawa Barat, pasukan DI/TII ini juga muncul di Jawa Tengah semenjak
adanya Majelis Islam yang dipimpin oleh seseorang bernama Amir Fatah. Amir Fatah adalah
seorang komandan Laskar Hizbullah yang berdiri pada tahun 1946, menggabungkan diri
dengan pasukan TNI Battalion 52, dan bertempat tinggal di Berebes, Tegal. Amir ini
mempunyai pengikut yang jumlahnya cukup banyak dan cara Amir mendapatkan para
pasukan tersebut, yaitu dengan cara menggabungkan para laskar untuk masuk ke dalam
anggota TNI. Setelah Amir Fatah mendapatkan pengikut yang banyak, maka pada tangal 23
Agustus 1949 ia memproklamasikan bahwa organisasi Darul Islam (DI) berdiri di desa
Pesangrahan, Tegal. Dan setelah proklamasi tersebut dilaksanakan, Amir Fatah pun
menyatakan bahwa gerakan DI yang dipimpinnya bergabung dengan organisasi DI/TII Jawa
Barat yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo.

Di Kebumen juga terdapat sebuah organisasi bernama Angkatan Umat Islam (AUI)
yang didirikan oleh seorang kyai bernama Mohammad Mahfud Abdurrahman. Organisasi
tersebut juga bermaksud untuk membentuk Negara Islam Indonesia (NII) dan bersekutu
dengan Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo. Sebenarnya, gerakan ini sudah di desak oleh
pasukan TNI. Akan tetapi, pada tahun 1952, organisasi ini bangkit kembali dan menjadi lebih
kuat setelah terjadinya pemberontakan Battalion 423 dan 426 di Magelang dan Kudus. Upaya
untuk menumpas pemberontakan tersebut, pemerintah membentuk sebuah pasukan baru yang
diberi nama Banteng Raiders dengan organisasinya yang disebut Gerakan Banteng Negara
(GBN). Pada tahun 1954 dilakukan sebuah operasi yang disebut Operasi Guntur untuk
menghancurkan kelompok DI/TII tersebut.

5. Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan

Pada bulan Oktober 1950 terjadi sebuah pemberontakan Kesatuan Rakyat yang
Tertindas (KRyT) yang dipimpin oleh seorang mantan letnan dua TNI bernama Ibnu Hajar.
Dia bersama kelompok KRyT menyatakan bahwa dirinya adalah bagian dari organisasi
DI/TII yang berada di Jawa Barat. Sasaran utama yang diserang oleh kelompok ini adalah
pos-pos TNI yang berada di wilayah tersebut. Setelah pemerintah memberi kesempatan untuk
menghentikan pemberontakan secara baik-baik, akhirnya seorang mantan letnan Ibnu Hajar
menyerahkan diri. Akan tetapi, penyerahan dirinya tersebut hanyalah sebuah topeng untuk
merampas peralatan TNI dan setelah peralatan tersebut di rampas olehnya, maka Ibnu Hajar
pun melarikan diri dan kembali bersekutu dengan kelompok DI/TII. Setelah itu, akhirnya
pemerintahan RI mengadakan Gerakan Operasi Militer (GOM) yang dikirim ke Kalimantan
selatan untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di Kalimantan Selatan tersebut dan
pada tahun 1959, Ibnu Hajar berhasil diringkus dan dijatuhi hukuman mati pada tanggal 22
Maret 1965.

6. Pemberontakan DI/TII di Aceh

Sesaat setelah Kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan, di Aceh (Serambi


Mekah) terjadi sebuah konflik antara kelompok alim ulama yang tergabung dalam sebuah
organisasi bernama PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) yang dipimpin oleh Tengku
Daud Beureuh dengan kepala adat (Uleebalang). Konflik tersebut mengakibatkan perang
saudara antara kedua kelompok tersebut yang berlangsung sejak Desember 1945 sampai
Februari 1946. Untuk menanggulangi masalah tersebut, pemerintah RI memberikan status
Daerah Istimewa tingkat provinsi kepada Aceh dan mengangkat Tengku Daud Beureuh
sebagai pemimpin/gubernur.

Setelah terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indoneisa (NKRI) yang terbentuk


pada bulan Agustus 1950. Pemerintahan Republik Indonesia mengadakan sebuah sistem
penyederhanaan administrasi pemerintahaan yang mengakibatkan beberapa daerah di
Indonesia mengalami penurunan status. Salah satu dari semua daerah yang statusnya turun
yaitu Aceh, yang tadinya menjabat sebagai Daerah Istimewa, setelah operasi penyederhanaan
tersebut dimulai, status Aceh pun berubah menjadi daerah keresidenan yang dikuasai oleh
provinsi Sumatera Utara. Kejadiaan ini sangat mengecewakan seorang Daud Beureuh dan
akhirnya Daud Beureuh membuat sebuah keputusan yang bulat untuk bergabung dengan
organisasi Negara Islam Indonesia (NII) yang dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan
Kartosoewirjo. Peristiwa tersebut terjadi pada tanggal 20 Spetember 1953. Setelah Daud
Beureuh bergabung dengan NII, mereka melakukan sebuah operasi untuk menguasai kota-
kota yang berada di Aceh, selain itu mereka juga melakukan propaganda untuk memperkeruh
citra pemerintahan Republik Indonesia.

Pemberontakan yang di lakukan Daud Beureuh bersama angota NII yang dipimpin
oleh Sekarmadji akhirnya diatasi oleh pemerintah dengan cara menggunakan kekuatan
senjata dan operasi militer dari TNI. Setelah pemerintahan RI melakukan operasi tersebut,
maka kelompok DI/TII tersebut mulai terkikis dari kota-kota yang ditempatinya. Tentara
Nasional Indonesia pun memberikan pencerahan kepada penduduk setempat untuk
menghindari kesalahpahaman dan mengembalikan kepercayaan kepada pemerintahan
Republik Indoneisa. Tanggal 17 sampai 28 Desember 1962, atas nama Prakasa Panglima
Kodami Iskandar Muda, kolonel M. Jasin mengadakan Musyawarah Kerukunan Rakyat
Aceh, yang musyawarah tersebut mendapat dukungan dari para tokoh masyarakat Aceh dan
musyawarah yang dilakukan tersebut berhasil memulihkan keamanan di Aceh.

Sumber : http://www.nafiun.com/2014/03/pemberontakan-ditii-di-indonesia.html
Baca selengkapnya di artikel "Digorok Gerombolan: Kesaksian Penyintas Kekejaman
DI/TII di Bandung", https://tirto.id/diFo

Digorok Gerombolan: Kesaksian Penyintas Kekejaman DI/TII di Bandung

Éméh masih ingat dengan baik peristiwa itu. Suatu hari pada 1958, pasukan DI/TII
menghabisi beberapa anggota TNI yang sedang berpatroli di Desa Cipedes. Ia menyebut TNI
dengan kata “tentara”, sementara DI/TII dengan sebutan “gerombolan”.

Setiap sore ia dan semua warga kampung mengungsi ke balai desa. Malam adalah
saat-saat tak aman, sebab gerombolan selalu datang menyatroni kampung. Sebelum
meninggalkan rumah, semua warga kampung menyediakan nasi dalam bakul untuk
gerombolan. Mereka bukan mendukung gerombolan, melainkan agar rumahnya tidak dirusak
atau dibakar.

“Sangu disimpen di dapur, panto dipolongokeun. Mun teu kitu, bumi tiasa direksak
atanapi dirérab (Nasi disimpan di dapur, pintu dibuka. Kalau tidak begitu, rumah bisa dirusak
atau dibakar),” ujarnya.

Ia biasanya meninggalkan rumah setelah asar. Namun hari itu agak terlambat. Ia baru
pergi menjelang magrib, saat gelap mulai membayang. Baru beberapa langkah meninggalkan
rumah, terdengar rentetan senjata. Ia langsung tiarap.

Dari celah pepohonan, pandangannya mengarah ke jalan raya, ke sumber kegaduhan.


Sekilas terlihat olehnya beberapa tentara menjelempah bersimbah darah. Éméh tak berani
melihat lama. Pelan-pelan ia bangun dan segera pergi ke balai desa.

Di tempat kejadian itu, persis di pinggir jalan raya, sejak 1995 didirikan tugu setinggi
kurang lebih dua meter oleh Yonif 304 Kodam Siliwangi, bertuliskan:

“Di sini gugurnya

Letda Karim

Serda Makmur

Praka Sa’ari

Praka Kardi

Praka Sidik

Akibat keganasan DI/TII

Thn. 1958”
Peristiwa tersebut terjadi di Kampung Jamban, Desa Cipedes, Kecamatan Paseh,
Kabupaten Bandung, tak jauh dari rumah Éméh. Saat itu Desa Cipedes memang salah satu
daerah rawan DI/TII. Warga yang hampir setiap hari harus menyediakan nasi untuk
gerombolan, juga menjalankan rutinitas harian: sore mengungsi, pagi sebelum terang kembali
ke rumah.

Menurut Éméh, setiap hari warga mendapat beras di balai desa yang dibagikan oleh
kulisi (pegawai desa yang bertugas menjaga keamanan lingkungan desa). Bukan untuk
dirinya, melainkan untuk gerombolan DI/TII.

“Tong poho asakan éta beas, améh imah teu diduruk (Jangan lupa, masak berasnya,
agar rumah [kalian] tidak dibakar),” kata kepala desa (kades) kepada warga, seperti
disampaikan Éméh.

Situasi di balai desa cukup aman, sebab dijaga kulisi dan beberapa orang anggota
Organisasi Keamaan Desa (OKD)—milisi setempat yang dilatih tentara dan bertugas
menjaga keamanan. Émén, suami Éméh, adalah anggota OKD yang bertugas di Balai Desa.

Dalam Kartu Keluarga (KK), tertulis bahwa Émén lahir pada 1924, sementara istrinya
tahun 1951. Namun, kata salah seorang anaknya, catatan itu keliru, sebab usia kedua orang
tuanya tidak terlalu berjauhan.

Émén meninggal dua tahun lalu. Dalam beberapa lembar foto yang diperlihatkan
anaknya, dalam usia tua ia nampak masih gagah berseragam militer dengan logo Kodam
Siliwangi di lengan baju kirinya. Badannya
tegap, meski raut mukanya telah dipenuhi
keriput.

“Nu di imah mah da sok mimilu Létnan


Karim (yang di rumah suka ikut Letnan
Karim),” kata Éméh.

“Yang di rumah” maksudnya adalah


suaminya, Émén. Ia tak pernah memanggil
nama atau panggilan lain yang biasa diucapkan
seorang istri kepada suami. Hal itu,
menurutnya, lantaran hubungan ia dan
suaminya “teu hadé” alias tidak baik.

“Ulah dibéjakeun atuh Mak sual éta


mah (Persoalan itu tidak usah disampaikan,
Mak),” kata anaknya. Namun, Éméh terus saja
membicarakan hubungan tersebut.

Saat saya temui, Éméh tengah berada di dapur dekat perapian. Oleh anaknya ia
dibawa ke teras rumah tetangga yang tersedia sofa. Jalannya agak membungkuk,
pendengarannya sudah tidak terlalu baik. Saya harus setengah berteriak setiap kali
melontarkan pertanyaan.

Agak risi sebenarnya, sebab pertanyaan-pertanyaan setengah teriak itu takut


mengganggu para tetangganya yang barangkali tengah tidur siang atau membangunkan bayi.
Dan benar saja, tak lama kemudian para tetangganya berdatangan, ikut mengerubungi kami.

Jika jeda dan pertanyaan saya tak terdengar, pandangan Éméh selalu menerawang.
Karena pendengarannya sudah tidak terlalu prima, saya mesti mengulangi beberapa
pertanyaan sampai dua atau tiga kali. Saat pertanyaan saya mendarat mulus di kupingnya,
mata Éméh hidup kembali, dan ia mulai bercerita.

Sekali waktu, ia terlambat menanak nasi saat gerombolan keburu datang. Kepalanya
dihajar popor bedil sebanyak tiga kali. Matanya berkunang-kunang dan ambruk. Setelah
sadar, ia segera membereskan pekerjaannya di dapur. Beruntung, gerombolan agak sedikit
bersabar, meski barang-barang di rumahnya habis ditendangi. Setelah masak, nasi segera ia
suguhkan, dan gerombolan membawa nasi beserta bakulnya.

“Isukna boboko geus aya deui di imah (Esoknya, bakul [yang dibawa gerombolan] telah ada
lagi di rumah),” ujarnya.

Dalam ingatannya, sejumlah ustaz dan kiai kampung ikut dalam gerakan
pemberontakan tersebut. Ia menyebutnya ada empat orang, tapi hanya satu nama yang ia
ingat, yaitu Mama Bustomi. “Mama” adalah salah satu panggilan orang Sunda kepada ulama.
Menurutnya, waktu kecil ia belajar mengaji kepada Mama Bustomi. Namun, ia kaget,
saat DI/TII mengganas, ia melihat guru ngajinya itu ikut bersama pasukan yang ia sebut
“gerombolan”.

“Duka di mana Mama anyeuna, pasti tos maot, ah atuda tos lami kajantenanna (Tidak
tahu di mana Mama sekarang, pasti sudah meninggal, kan sudah lama kejadiannya),” ujarnya.

Belakangan, jauh setelah pemberontakan DI/TII berakhir, anaknya berusaha


mengajukan agar bapaknya, Émén, diangkat menjadi Legiun Veteran, agar mendapatkan
tunjungan. Namun sampai hari ini ia, yang mengajukannya lewat calo, tak kunjung
mendapatkan kabar gembira. Bahkan setelah dana sebesar tiga juta lebih ia berikan kepada
orang yang mengurus pengajuan tersebut.

Éméh yang sudah tua, rupanya tahu juga soal pengajuan ini. Pada akhir pembicaraan
ia berkata, “Emak mah teu boga nanaon. Batur mah geus diarangkat. ‘Nu di imah’ mah teu
diangkat nepi anyeuna (Emak tak punya apa-apa. Orang lain [yang ikut membantu tentara
dalam penumpasan DI/TII] sudah pada diangkat [menjadi Legiun Veteran]. ‘Yang di rumah’
tak diangkat sampai sekarang),” ucapnya.

Mencari Kisah di Ciwangi

Dari rumah Éméh di Desa Cipedes, saya menuju Koramil Paseh yang terletak di Desa
Cipaku. Barangkali mereka mempunyai secuplik catatan tentang peristiwa penumpasan
DI/TII di wilayahnya. Namun, seorang prajurit jaga yang rambutnya sudah agak memutih
menyarankan saya agar menemui para orang tua yang masih tersisa yang mengalami
peristiwa tersebut.

Tak jauh dari Koramil Paseh memang terdapat tugu yang dibuat Kodam Siliwangi.
Pada tugu tersebut terdapat ucapan terima kasih TNI kepada masyarakat atas peran aktifnya
dalam menjaga keamanan.

Dua tahun lalu, saya bersama Komunitas Aleut (komunitas sejarah di Kota Bandung)
pernah menyambangi tugu tersebut dan bertemu dengan Omay—mantan dalang wayang
golek dan wayang orang—saat mengunjungi sebuah makam keramat di Kampung Ciwangi,
Desa Cipaku. Waktu itu Omay sempat bercerita sekilas tentang penumpasan DI/TII di
Kampung Ciwangi.

Namun, saya tak segera mencari dan menemuinya dengan pertimbangan bahwa orang
tersebut tidak akan terlalu sulit dicari, karena saya pernah bertemu dengannya. Bahkan
wajahnya pun saya masih ingat.

Prajurit jaga Koramil Paseh lantas memanggil seorang juru parkir untuk menunjukkan
sejumlah rumah orang tua yang mengalami zaman gerombolan. Barangkali karena tengah
sibuk, juru parkir itu hanya menunjukkan rumah-rumah tersebut berdasarkan beberapa tanda.
“Rumah Bu Hajjah Iwing dekat pemancar, tak jauh dari pabrik. Akang terus saja jalan
ke atas, ke arah Ciwangi. Ia pernah mengalami [masa pemberontakan DI/TII],” ujarnya.

Setelah bertanya ke sejumlah orang, akhirnya saya menemukan rumah yang


dimaksud. Suasana di halaman dan di dalam rumah tampak sepi. Berkali-kali saya permisi,
tapi tak juga ada jawaban dari dalam. Seorang tetangganya memberi tahu, mungkin Hajjah
Iwing sedang pergi ke majelis taklim mengikuti pengajian, dan pulangnya biasanya sore.

Saya akhirnya pergi ke sebuah warung yang di depannya terdapat beberapa tukang
ojek, tak jauh dari Koramil Paseh. Seorang di antara mereka mengatakan, saya bisa menemui
Haji Omon yang rumahnya dekat pangkalan keretek (dokar) di Kampung Pasir Kukun.

Gerombolan Menggorok Teman Kakaknya

Dari jalan raya, jalan menuju rumahnya semakin mengecil, hanya setapak, tahi kuda
berceceran. Saat menemui saya, Omon, yang kini tinggal di rumah anaknya, mengenakan
kopiah putih, barangkali habis salat zuhur.

Pendengarannya sama dengan Éméh, tidak terlalu baik. Ia mengaku kelahiran 1941.
Omon lahir di Kampung Sayang, Desa Cipaku, Kecamatan Paseh. Dari Koramil Paseh, letak
kampungnya agak ke atas, yang jika terus disusuri ke atas akan bersambung dengan
Kabupaten Garut.

Saat mula-mula pasukan DI/TII kerap menjarah perkampungan, usianya belum


dewasa. Namun, ia ingat betul bahwa rumahnya pernah “dikunjungi” gerombolan sebanyak
empat kali.

“Opat kali unggah ka imah. Biasa wé néangan kadaharan. Bapa jeung kolot mah ngan
ukur bisa cicing (Empat kali [gerombolan] naik/masuk ke rumah. Seperti biasa [mereka]
mencari makanan. Bapak dan orang tua hanya bisa diam),” ujarnya.

Saat situasi semakin genting, ia dan orang tuanya mengungsi ke Majalaya. Kakaknya
adalah salah seorang anggota OKD—ia menyebutnya hansip—yang diincar gerombolan
karena nyalinya besar. Menurutnya, para anggota OKD termasuk kakaknya memang orang-
orang pemberani yang selalu ikut dalam pertempuran melawan gerombolan.

Namun, karena hal itulah mereka juga menjadi incaran utama untuk dibunuh. Sial
menimpa Onda, teman kakaknya sesama anggota OKD. Ia tertembak gerombolan, dan saat
warga menemukan jenazahnya, luka besar menganga tampak pada bagian lehernya.

“Dipeuncit gorombolan (Digorok gerombolan),” ujarnya.

Meski tak seberani kakaknya, Omon pernah ikut dalam Operasi Pagar Betis (Pasukan
Gabungan ABRI Rakyat Berantas Tentara Islam) di kaki Gunung Rakutak, Kecamatan Pacet,
saat kekuatan DI/TII semakin lemah. Setiap dua puluh meter, pos-pos penjagaan berupa
pondok didirikan. Setiap pos diisi lima orang yang bersenjatakan golok.
“Loba pisan nu milu pager bitis, Rakutak nepi eundeur (Banyak sekali yang ikut
[operasi] Pagar Betis, [Gunung] Rakutak sampai bergetar),” ungkapnya.

Rakyat bergantian menjaga pos. Omon kebagian tiga hari. Saat ikut berjaga,
rutinitasnya hanya memasak, makan, dan tidur. Pasukan DI/TII yang pasokan logistiknya
mulai terbatas dan kelaparan mulai mengganas, satu-persatu turun dari gunung lalu
menyerahkan diri.

Berkali-kali ia mengatakan yang diakhiri tawa berderai-derai: saat berjaga dirinya


enak makan dan enak tidur.

Namun, wajahnya juga memancarkan keprihatinan saat menceritakan pembakaran


kampung-kampung yang dilakukan gerombolan, seperti Kampung Cijengkol dan Kampung
Pabeyan. Keduanya terletak di Kecamatan Paseh.

Markas Tentara dan Makam Keramat

Sebelum pamit, Omon menyarankan saya untuk menemui Dalang Omay karena
katanya mereka seangkatan, sama-sama kelahiran 1941.

Tak lama mencari, akhirnya saya dapat menemukan rumah Omay. Kini seluruh
rambutnya telah memutih. Namun, pendengarannya masih sangat baik. Dan barangkali
karena ia telah puluhan tahun mendalang, kisah yang dituturkannya pun mengalir lancar.

Menurut Omay, ia lahir di Ciwangi pada 1941 dan tak pernah pindah dari kampung
halamannya. Rumah Omay tak jauh dari Koramil Paseh, tempat yang dulu menjadi markas
salah satu kompi dalam usaha pemadaman pembrontakan DI/TII. Kompi tersebut dipimpin
Letda Karim, tentara yang tewas disergap gerombolan di Desa Cipedes.

Omay menuturkan, berbeda dengan komandan-komandan kompi yang lain, yang


membuat rakyat menjaga jarak karena merasa segan, Letda Karim adalah komandan kompi
yang disegani sekaligus dekat dengan rakyat.

Ia tak merasa heran saat saya menceritakan apa yang disampaikan Éméh tentang
suaminya yang suka ikut berpatroli dengan Letda Karim.

“Letnan Karim memang caket pisan sareng rahayat (Letnan Karim memang sangat
dekat dengan rakyat),” ujarnya.

Peristiwa di Cipedes yang menewaskan Letda Karim beserta beberapa anggotanya,


menurut Omay, adalah tonggak dalam hidupnya, sebab ia masih ditakdirkan hidup sampai
sekarang.

Sekali waktu, saat ia bersiap pergi ke Desa Sukamanah, Kecamatan Paseh untuk
mendalang dalam pertunjukan wayang orang, Letda Karim mengajaknya berpatroli ke
Cipedes. Ia sebetulnya merasa tak enak hati menolak ajakan tersebut, tapi jadwal mendalang
jauh-jauh hari telah ditentukan. Akhirnya ia tak ikut berpatroli yang berujung jentaka itu.

Kampung Ciwangi tempat ia tinggal, selain karena menjadi markas tentara, juga
karena keberadaan makam keramat sehingga dari awal sampai akhir pemberontakan DI/TII
tak pernah jatuh ke pihak gerombolan.

“Percanten teu percanten, tapi sigana makom éta gé nu janten sabab gorombolan teu
tiasa ngarebut Ciwangi (Percaya gak percaya, tapi sepertinya makam [keramat] juga menjadi
penyebab gerombolan tidak bisa merebut Ciwangi [dari tentara]),” ucapnya.

Ia menyaksikan dua peristiwa berdarah yang menimpa gerombolan yang berhasil


ditangkap tentara. Pertama, saat sekitar lima sampai enam gerombolan ditangkap dan
tangannya diborgol. Oleh tentara, mereka dibawa ke permakaman tak jauh dari rumahnya.
Lubang kuburan telah tersedia. Di tepi kubur, para gerombolan itu dihabisi dan langsung
masuk ke lubang kuburan.

Sementara peristiwa lainnya lebih mengerikan. Dua gedung sekolah dasar di Cipaku
saat itu dijadikan tempat untuk mengurung dua puluh satu gerombolan yang tertangkap.
Sekali waktu, saat kompi dipecah ke dalam sejumlah regu untuk berpatroli, kekuatan tentara
yang berada di markas tidak terlalu besar.

Jumlah tentara yang tidak besar itu dikejutkan oleh teriakan-teriakan dari kejauhan,
tanda gerombolan hendak menyerbu markas. Tentara berpikir, jika gerombolan berhasil
menembus markas dan meloloskan para tahanan, maka kekuatan mereka akan berlipat. Untuk
menghindari kemungkinan tersebut, sebelum menghadapi gerombolan yang akan datang
menyerbu, tentara terlebih dulu menghabisi para tahanan. Gedung sekolah pun dibanjiri
darah. Dalam gelimang darah, seorang tahanan pura-pura mati.

“Abdi sareng nu sanésna sasarengan ngangkutan mayit ka kuburan (Saya dan warga
lainnya bahu-membahu membawa mayat-mayat tahanan ke kuburan),” ujar Omay.

Saat dibawa ke kuburan itulah seorang tahanan yang pura-pura mati berusaha
meloloskan diri, tapi kepalanya segera dihajar batu oleh seorang warga yang bernama
Sadma—terkenal bernyali besar—hingga tewas.

Karena terburu-buru, kuburan massal untuk para tahanan yang tewas itu digali tak
terlalu dalam. Berhari-hari kemudian, bau busuk menguar. Dipimpin seorang kiai, warga
akhirnya membuat lubang baru yang dalam untuk memindahkan mayat-mayat tersebut.

Sebagai seorang dalang, saat pemberontakan DI/TII berkecamuk, Omay pernah


berada pada posisi tak menguntungkan. Ia pernah mendalang di sebuah kampung yang
ternyata telah dikuasai gerombolan. Pimpinan kompi markas tentara di Kecamatan Ibun
menganggapnya sebagai bagian dari gerombolan.
Beruntung, saat ia menghadap pimpinan kompi tersebut, Omay didampingi Mayor
Halim dari Kompi Kecamatan Paseh. Mayor Halim bersaksi bahwa Omay bukan bagian dari
gerombolan sehingga ia akhirnya selamat.

Meski kampungnya dijadikan markas tentara, tapi hari-hari genting tak pernah absen.
Tutur kata amat dijaga, sebab gerombolan kerap menyamar menjadi pedagang, atau bahkan
warga kampung sendiri bagian dari gerombolan. Beberapa pemuda kampung yang pada siang
hari beraktivitas seperti biasa, pada malam hari kerap menghilang. Kemungkinan pergi ke
pergunungan bergabung dengan gerombolan.

Menurut Omay, sekali waktu Kepala Desa Sindangsari datang ke kampungnya untuk
suatu keperluan. Kepala Desa tersebut sempat belanja ke warung ibunya dan dengan penuh
kesal berkata bahwa gerombolan harus ditumpas.

“Énjingna, anjeunna ngantunkeun. Bumina di diserang gorombolan (Esoknya, ia—


Kepala Desa Sindangsari—meninggal. Rumahnya diserang gerombolan),” terangnya.

Setelah pemberontakan DI/TII berakhir, seorang kawannya yang bernama Démé,


yang penah menjadi “camat gerombolan”—pimpinan yang disegani di kalangan pasukan
DI/TII—menyerahkan diri ke Koramil Paseh. Ia diampuni dan kembali ke masyarakat seperti
sedia kala.

Démé telah meninggal tiga tahun lalu. Saat ia masih hidup, Omay suka menggodanya
dengan memanggilnya “camat”.

“Ah, ulah ngageroan camat, éta mah jaman baheula, nu enggeus mah enggeus wé
(Ah, jangan memanggil camat, itu zaman dulu, yang lalu biarlah berlalu),” jawab Démé.

Kabupaten Bandung sebagai Pangkalan Darul Islam

Dalam sejumlah buku yang membahas ataupun hanya menyinggung soal


pemberontakan DI/TII di Kabupaten Bandung, cerita-cerita lisan seperti yang Éméh, Omon,
dan Omay kisahkan sangat sedikit ditulis. Rata-rata hanya mencatatnya secara garis besar.
Dalam Natsir: Politik Santun di antara Dua Rezim (2011) yang disusun Tempo, terdapat
sebuah catatan mengenai pertempuran di Desa Cipaku, Kecamatan Paseh—Tempo
menulisnya Kecamatan Ciparay, padahal di Kecamatan Ciparay tidak terdapat desa yang
bernama Cipaku—yang membuat pasukan Kartosoewirjo semakin terjepit. “Mental pasukan
makin jatuh ketika, dalam pertempuran di Desa Cipaku, Ciparay, sekitar lima kilometer dari
Cicalengka, sebulan sebelum penangkapan itu, kaki sang imam kena tembak,” tulis Tempo.
Puncak kekuatan DI/TII di Jawa Barat menurut Cornelis van Dijk dalam Darul Islam: Sebuah
Pemberontakan (1995), berdasarkan catatan Kodam Siliwangi—dulu Divisi Siliwangi—
terjadi pada 1957, saat mereka terdiri dari 13.129 personel dengan perlengkapan 3.000
senjata api, termasuk bren dan mortir. Kekuatan tersebut paling besar berada di Kabupaten
Garut, Kabupaten Tasikmalaya, dan Kabupaten Ciamis. Namun, di kabupaten lain di Jawa
Barat bukan berarti tak kuat. Van Dijk menambahkan, di Kabupaten Bandung, Cianjur,
Sukabumi, dan Bogor pun terdapat pangkalan-pangkalan DI/TII yang cukup kuat, sehingga
membuat daerah-daerah tersebut tidak aman. “Di sebelah timur Bandung, Darul Islam
menimbulkan banyak kesulitan sekitar Cicalengka dan Ciparay. Pada Februari 1956 saja
pasukan Darul Islam di daerah ini—yang ditaksir berjumlah kira-kira 600 orang—
melancarkan tujuh belas serangan, dengan membakar 200 rumah,” tulisnya.

Anda mungkin juga menyukai