Anda di halaman 1dari 12

DI / TII dan APRA

Sejarah 19 juli 2021

Mohamad Zaky Aulia


06
XII-MIPA.7
• Darul • Angkata

APRA
DI / TIi

Islam / n Perang
Negara Ratu
Islam Adil
Indonesi
a

Klik Disini Klik Disini


DI / TII

Negara Islam Indonesia (disingkat NII; juga dikenal dengan nama


Darul Islam atau DI) yang artinya adalah "Rumah Islam" adalah
kelompok Islam di Indonesia yang bertujuan untuk pembentukan
negara Islam di Indonesia. Ini dimulai pada 7 Agustus 1949 oleh
sekelompok milisi Muslim, dikoordinasikan oleh seorang politisi
Muslim, Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo di Desa Cisampang,
Kecamatan Ciawiligar, Kawedanan Cisayong, Tasikmalaya, Jawa
Barat. Kelompok ini mengakui syariat islam sebagai sumber hukum
yang valid. Gerakan ini telah menghasilkan pecahan maupun cabang
yang terbentang dari Jemaah Islamiyah ke kelompok agama non-
kekerasan

Tujuan SIngkat

Kembali
Gerakan ini bertujuan menjadikan Republik Indonesia
yang saat itu baru saja diproklamasikan kemerdekaannya
dan ada pada masa perang dengan tentara Kerajaan
Belanda sebagai negara teokrasi dengan agama Islam
sebagai dasar negara. Dalam proklamasinya bahwa
"Hukum yang berlaku dalam Negara Islam Indonesia
adalah Hukum Islam", lebih jelas lagi dalam undang-
undangnya dinyatakan bahwa "Negara berdasarkan
Islam" dan "Hukum yang tertinggi adalah Al Quran dan
Sunnah". Proklamasi Negara Islam Indonesia dengan tegas
menyatakan kewajiban negara untuk membuat undang-
undang yang berlandaskan syariat Islam, dan penolakan
yang keras terhadap ideologi selain Alqur'an dan Hadits
Shahih, yang mereka sebut dengan "hukum kafir".

Kembali
Negara Islam Indonesia
DI / TII
1949-1962
Status Tidak Diakui
Pemerintahan Kekhalifahan Islam, Darul
Islam, islamisme
Sejarah
Didirikan 1949
Dideklarasikan 7 Agustus 1949
Pemberontakan Daud 1953-1962
Beureueh
Pemberontakan Amir Fatah 1950-1959
Pemberontakan Kazar 1950-1965
Muzakar
Dibubarkan 2 September 1962

Kembali Pemberontakan
Pemberontakan

Daud Ibnu
Beureueh Hadjar

Amir Kazar
Fatah Muzakkar
Gerakan DI/TII Daud Beureueh
• Pemberontakan DI/TII di Aceh dimulai dengan "Proklamasi" Daud Beureueh bahwa Aceh
merupakan bagian "Negara Islam Indonesia" di bawah pimpinan Imam Kartosuwirjo pada tanggal
20 September 1953

Daued Beureueh pernah memegang jabatan sebagai "Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh"
sewaktu agresi militer pertama Belanda pada pertengahan tahun 1947. Sebagai Gubernur Militer ia
berkuasa penuh atas pertahanan daerah Aceh dan menguasai seluruh aparat pemerintahan baik sipil
maupun militer. Sebagai seorang tokoh ulama dan bekas Gubernur Militer, Daud Beureuh bisa
memperoleh pengikut. Daud Beureuh juga berhasil mempengaruhi pejabat-pejabat Pemerintah
Aceh, khususnya di daerah Pidie. Untuk beberapa waktu lamanya Daud Beureuh dan anak-buahnya
dapat mengusai sebagian daerah Aceh.

Sesudah bantuan datang dari Sumatra Utara dan Sumatra Tengah, operasi pemulihan keamanan
ABRI (TNI-POLRI) segera dimulai. Setelah didesak dari kota-kota besar, Daud Beureuh
meneruskan pemberontakannya di hutan-hutan. Penyelesaian terakhir Pemberontakan Daud Beureuh
ini dilakukan dengan suatu " Musyawarah Kerukunan Rakyat Aceh" pada bulan Desember 1962 atas
prakarsa Panglima Kodam I/Iskandar Muda, Kolonel Jendral Makarawong.
Gerakan DI/TII Ibnu Hadjar
• Pada bulan Oktober 1950 DI/ TII juga tercatat melakukan
pemberontakan di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar.
Para pemberontak melakukan pengacauan dengan menyerang pos-pos
kesatuan ABRI (TNI-POLRI). Dalam menghadapi gerombolan DI/TII
tersebut pemerintah pada mulanya melakukan pendekatan damai
kepada Ibnu Hadjar dengan diberi kesempatan untuk menyerah, dan
akan diterima menjadi anggota ABRI. Ibnu Hadjar sempat berpura-
pura menyerah, akan tetapi setelah menyerah dia kembali melarikan
diri dan melakukan pemberontakan lagi sehingga pemerintah akhirnya
terpaksa menugaskan pasukan ABRI (TNI-POLRI) untuk menangkap
Ibnu Hadjar. Pada akhir tahun 1959 Ibnu Hadjar beserta seluruh
anggota gerombolannya tertangkap dan dihukum mati.
Gerakan DI/TII Amir Fatah
• Amir Fatah merupakan tokoh yang membidani lahirnya DI/TII Jawa Tengah.
Semula ia bersikap setia pada RI, namun kemudian sikapnya berubah dengan
mendukung Gerakan DI/TII. Perubahan sikap tersebut disebabkan oleh
beberapa alasan. Pertama, terdapat persamaan ideologi antara Amir Fatah
dengan S.M. Kartosuwirjo, yaitu keduanya menjadi pendukung setia ideologi
Islam. Kedua, Amir Fatah dan para pendukungnya menganggap bahwa aparatur
Pemerintah RI dan TNI yang bertugas di daerah Tegal-Brebes telah terpengaruh
oleh "orang-orang Kiri", dan mengganggu perjuangan umat Islam. Ketiga,
adanya pengaruh "orang-orang Kiri" tersebut, Pemerintah RI dan TNI dianggap
tidak menghargai perjuangan Amir Fatah dan para pendukungnya selama itu di
daerah Tegal-Brebes. Bahkan kekuasaan yang telah dibinanya sebelum Agresi
Militer II, harus diserahkan kepda TNI di bawah Wongsoatmojo. Keempat,
adanya perintah penangkapan dirinya oleh Mayor Wongsoatmojo. Hingga kini
Amir Fatah dinilai sebagai pembelot baik oleh negara RI maupun umat muslim
Indonesia
Gerakan DI/TII Kahar Muzakkar
• Pemerintah berencana membubarkan Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan
(KGSS) dan anggotanya disalurkan ke masyarakat. Tenyata Kahar Muzakkar
menuntut agar Kesatuan Gerilya Sulawesi Selatan dan kesatuan gerilya
lainnya dimasukkan dalam satu brigade yang disebut Brigade Hasanuddin di
bawah pimpinanya. Tuntutan itu ditolak karena banyak di antara mereka yang
tidak memenuhi syarat untuk dinas militer. Pemerintah mengambil
kebijaksanaan menyalurkan bekas gerilyawan itu ke Corps Tjadangan
Nasional (CTN). Pada saat dilantik sebagai Pejabat Wakil Panglima Tentara
dan Tetorium VII, Kahar Muzakkar beserta para pengikutnya melarikan diri ke
hutan dengan membawa persenjataan lengkap dan mengadakan pengacauan.
Kahar Muzakkar mengubah nama pasukannya menjadi Tentara Islam
Indonesia dan menyatakan sebagai bagian dari DI/TII Kartosuwiryo pada
tanggal 7 Agustus 1953. Tanggal 3 Februari 1965, Kahar Muzakkar tertembak
mati oleh pasukan ABRI (TNI-POLRI) dalam sebuah baku tembak.
APRA
Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) adalah milisi dan tentara swasta pro-Belanda
yang didirikan pada masa Revolusi Nasional Indonesia. Milisi ini didirikan oleh
mantan Kapten DST KNIL Raymond Westerling setelah demobilisasinya dari
kesatuan Depot Speciale Troepen (depot pasukan khusus KNIL) pada tanggal 09
Januari 1949. Nama milisi ini berasal dari bagian dari kitab ramalan Jawa Kuno
Ramalan Jayabaya yang meramalkan kedatangan seorang "Ratu Adil" yang
merupakan keturunan Turki. Karena mempunyai warisan darah campuran Turki,
Westerling memandang dirinya sebagai sang "Ratu Adil" yang diramalkan akan
membebaskan rakyat Indonesia dari "tirani“. Westerling berusaha untuk
mempertahankan adanya negara-negara federal dalam Republik Indonesia
Serikat melawan kesatuan Republik Indonesia yang dipimpin oleh Sukarno dan
Hatta yang dianggapnya didominasi oleh orang Jawa. APRA direkrut dari 18 faksi
anti-Republik yang beragam, termasuk personel mantan gerilyawan Republik,
Darul Islam, Ambon, Melayu, Minahasa, KNIL yang telah didemobilisasi,
Regiment Speciale Troepen (Resimen Pasukan Khusus KNIL), dan Tentara
Kerajaan Belanda. Tahun 1950, APRA telah berevolusi dari serangkaian unit
pertahanan diri pedesaan menjadi kekuatan tempur berjumlah 2.000 personel
Peristiwa Kudeta APRA
Tidak senang dengan pertumbuhan pengaruh pemerintahan Soekarno, Westerling
bersekongkol dengan Sultan Pontianak Sultan Hamid II yang berhaluan federalis untuk
meluncurkan kudeta pada bulan Januari 1950.

Pada tanggal 23 Januari 1950, APRA meluncurkan kudeta menentang pemerintah


Republik Indonesia. Walaupun milisi ini berhasil untuk sementara menduduki Bandung,
mereka gagal untuk menduduki Jakarta dan Blora. Mereka telah merencanakan untuk
menggulingkan Kabinet RIS dan membunuh beberapa tokoh Republik terkemuka
termasuk Menteri Pertahanan Sultan Hamengkubuwana IX dan Sekretaris-Jenderal Ali
Budiardjo. Kegagalan kudeta ini menyebabkan adanya demoralisasi anggota milisi
terhadap Westerling dan terpaksa melarikan diri ke Belanda. Tanpa pemimpin yang
kuat, APRA akhirnya berhenti berfungsi pada Februari 1950. Tindakan APRA tersebut
pada akhirnya menyebabkan penahanan Sultan Hamid II dan justru mempercepat
pembubaran Republik Indonesia Serikat pada tanggal 17 Agustus 1950, mengubah
Indonesia menjadi negara kesatuan yang didominasi oleh pemerintahan pusat di Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai