Anda di halaman 1dari 5

Latar Belakang DI/TII di Jawa Barat

Sejak bangkitnya nasionalisme Indonesia pada abad ke-20 M, gerakan-


gerakan masyarakat Indonesia muncul menentang para Belanda termasuk gerakan
Islam yang memainkan peran dalam menyatukan rasa persatuan nasional menentang
kolonial Belanda (Bachtiar, 1998: 62).

Perdebatan antara Islam dan Nasionalis masuk ke dalam ranah politik


menjelang kemerdekaan. Khususnya mulai membahas hubungan Islam dan negara
yang memuncak saat BPUPKI didirikan. Seperti yang kita ketahui perdebatan
didasari saat pemilihan dasar negara. Kaum islamis yang diwakili Ki Bagus, Abdul
Kahar Muzakir dan Abdul Wahid Hasyim menginginkan Islam sebagai dasar negara.
Sedangkan dari pihak nasionalis seperti Sukarno, Hatta dan Supomo berpandangan
bahwa untuk mempertahankan kesatuan maka watak negara harus di
dekonfesionalisasi.

Perbedaan ini menyebabkan Sukarno harus bertindak tegas dan


mempertegas ideologi negara dengan pidatonya dihadapan Majelis Konstituante.
Dekrit Presiden sangat mengecewakan kelompok Islam yang berharap menjadikan
islam sebagai dasar negara dan fakta ini pula yang menyebabkan gerakan perjuangan
islam diluar konstituante seperti Darul Islam. Gerakan Darul Islam (DI) didirikan
oleh Sekarmadji Maridjan Kartosoewiryo pada tanggal 7 agustus 1949 M/ 12 Syawal
1368 H di Desa Cisampang, Kecamatan Cilugar, Jawa Barat (Dijk, 1995: 83).

Selanjutnya pada tahun 1927 sampai 1928 Kartosuwiryo menjadi asisten


pribadi HOS Cokroaminoto dan ikut menjadi redaktor koran Fajar Asia bahkan pada
1931 dirinya menjadi sekjen di Partai Sarekat Islam Indonesia dan sekretaris
masyumi. Strategi yang digunakan Kartosuwiryo mengadaptasi strategi gurunya yaitu
dengan strategi hijrah. Namun strategi ini mendapatkan ketidaksetujuan dari para
pengurus Partai Serikat Islam Indonesia yang menyebabkan partai ini terpecah belah.
Selanjutnya dari pengalaman kegagalan maka Kartosuwiryo mengambil langkah
revolusi setelah cara damai tidak dapat menjadikan tujuannya tercapai.

Abdurrahman Wahid dalam bukunya yang berjudul Ilusi Negara Islam;


Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia bahwa gerakan revolusi yang
dilakukan oleh Kartosuwiryo semata-mata karena rasa kecewa dan ketidaksetujuan
atas para pemimpin Republik Indonesia. Kartosuwiryo memproklamasikan negara
Islam pada 14 Agustus 1945. Kendati demikian, Karto tetap mengakui proklamasi
kemerdekaan Indonesia yang digemakan pada 17 Agustus 1945 (Wahyudi, 1960 :
100).

Konsep negara Islam berubah mengikuti perubahan waktu dan zaman juga
menyelaraskan dnegan keadaan sekitar. Di awal kemunculannya, negara Islam
merupakan organisasi kolektif non represif di Arabia dan semi nomaden. Namun
menjadi negara feodal dan represif. menurut Wahbah az-Zuhaili, seorang ahli hukum
Islam kontemporer dari Damaskus, Suriah, terdapat dua kriteria untuk menentukan
suatu negara adalah Darul Islam atau negara Islam. Pertama, suatu negara bisa
dikatakan negara Islam jika mayoritas rakyatnya beragama Islam. Logikanya, jika
mayoritas penduduknya beragama Islam, dalam sistem demokrasinya negaranya akan
dipimpin oleh seorang yang beragama Islam. Kedua, suatu negara juga disebut negara
Islam jika hukum Islam di terapkan, sekalipun tidak semua warganya beragama
Islam. Dari hal tersebut dapat kita kaitkan dengan konsep negara islam menurut
Kartosuwiryo yang menginginkan Indonesia menjadi negara Islam.

Kartosuwiryo menawarkan konsep kenegaraan Islam disusun dalam berbagai


referensi selama proses perjuangannya di SI dan masyumi. Beberapa tersebar dalam
artikel surat kabar Soeara PSII, Soeara MIAI, Sikap Hidjrah PSII 1 Dan 2, Haluan
Politik Islam, Pedoman Dharma Bakti, Daftar Oesaha Hidjrah. Penafsiran dan
pandangan Kartosuwiyo mengenai perubahan konsep pada konteks kolonial sangat
jauh jangkauannya. Dengan mendasarkan diri pada Al Qur’an dinyatakan hijrah
sebagai kewajiban “semua pria dan wanita, tua dan muda,” kecuali mereka yang
lemah, dan hijrah tidak boleh dihentikan “sebelum falah (keselamatan) dan
fatah(kemenangan atau pembukaan) tercapai (AL-Chaidar,1999:46). Kartosuwiryo
mendirikan negara Islam Indonesia mengikuti negara Madinah atau negara Islam
yang pertama, hal tersebut dapat dilihat dari Qanun Asasi yang dibentuk
Kartosuwiryo pada 1948 antara lain menyebutkaan bahwa:

“Negara Islam Indonesia tumbuh di masa perang, di tengah-tengah revolusi


Nasional dan selama perang suci berjalan terus, Negara Islam Indonesia
merupakan Negara Islam di masa perang atau “Darul Islam fi Waqtil
Harbi”.Hukum yang berlaku di Negara Islam Indonesia adalah hukum Islam
di masa perang. Perjuangan kemerdekaan yang telah berlangsung
dinyatakan sudah kandas, dan umat Islam Indonesia akan meneruskan
revolusi Indonesia dan telah mendirikan sebuah Negara Islam yang
berdaulat, yaitu sebuah “Kerajaan Allah di dunia” (Holk,1995 :112).
Selanjutnya menurut pasal 1 konstitusi Islam Indonesia, negara yang
dicetuskan oleh Kartosuwiryo adalah sebuah Jumhuriyah atau republik dan
berlakunya syariat Islam yang akan memberi keleluasaan ibadah bagi pemeluk agama
lain. Instasi tertinggi adalah Majlis Syuro tetapi dalam beberapa keadaan dapat
dialihkan kepada Imam dan Dewan Imamah. Seorang Imam haruslah warga
Indonesia dan beragama Islam. Dikarenakan tidak adanya Parlemen maka peraturan
Negara dikeluarkan oleh Dewan Imamah dan ditandatangani oleh Imam.

2 Juli 1947 Belanda melanggar perjanjian Linggarjati dengan melangsungkan


agresi militer pertama, hal ini menjadikan Kartosuwiryo menyerukan semangat jihad
dengan menggerakan laskan Hizbullah dan Sabilillah. Selanjutnya persetuan mereda
setelah terjadi perjanjian Renville namun butiran dari hasil perjanjian ini sungguh
merugikan Indonesia dimana tentara atau pasukan RI ditarik mundur dari Jawa Barat
dan Jawa Barat masuk ke dalam daerah resmi yang dikuasai Belanda.

Kartosuwiryo yang pada saat itu menuasai sebagian persenjataan di Jawa


Barat memilih untuk bergerilya di gunung di daerah Malangbong, Garut selain itu
dirinya juga berencana untuk menyiapkan pemerintahan baru yang sejak lama ia cita-
citakan. Markas dari gerakan ini berada diantara daerah Cakrabuana dan Galunggung
berdasarkan instruksi Menteri Keamanan Nasional, A.H Nasution yang juga menjadi
saksi saat Kartosuwiryo ditangkap.
Terdapat dua motif fundamental dari gerakan ini yaitu faktor ideologis dan
faktor politik. Dalam konteks ideologis, Kartosuwiryo sebagai tokoh agamawan
berpandangan bahwa konsep negara Islam merupakan konsep paling ideal bagi
Indonesia. Konsepnya dirasa mampu mengantarkan rakyat lebih baik di dunia dan
tidak terlepas dengan di akhirat nanti. Lalu dalam faktor politik dirinya ingin
menjadikan Jawa Barat berdaulat tetapi dibawah RIS, bahkan melakukan perlawanan
dan mendirikan tentara Islam Indonesia atau TII yang juga akan melakukan aksi
separatisme terhadap pemerintahan Indonesia.

Gerakan Darul Islam dipandang sebagai gerakan collective behavior Niel Smelser.
Neil Smelser mengemukakan bahwa setidaknya ada
Enam kondisi yang memunculkan perilaku kolektif di antaranya :
1. Terjadinya ketegangan secara struktural dalam masyarakat
2. adanya peristiwa sebagai fakta pemicu munculnya perilaku kolektif, dan
adanya mobilisasi massa.
Berdasarkan teori ini, ketegangan yang dimaksud agalah upaya Kartosuwiryo
melindungi rakyat Jawa Barat dari berkhianatnya Belanda yang menimbulkan
kesenjanganantara pihak Republik Indonesia dan kelompok Kartosuwiryo. Pada
awalnya tujuan mendirikan Gerakan Darul Islam adalah gerakan yang bertujuan
untuk melindungi rakyat Jawa Barat dari gempuran invasi Belanda. Entitas utama
dalam pergerakan ini adalah perjuangan atas kedaulatan wilayah dari praktik
kolonialisme walaupun akhirnya gerakan ini bergesekan atau bertentangan dengan
pemerintah Indonesia yang sah.
DAFTAR PUSTAKA
Chaidar, A. (1999). Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam Indonesia S. M.
Kartosoewirjo: Fakta dan Data Sejarah Darul Islam. Jakarta: Darul Falah.
Dengel, Holk h. (1995). Darul Islam Kartosuwirjo : Langkah Perwujudan Angan-
angan yang Gagal. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan

Dijk, van C. (1995). Darul Islam: Sebuah Pemberontakan. Jakarta: PT Anem Kosong
Anem.
Effendi, Bachtiar. (1998). Islam dan Negara: Transformasi Pemikiran dan Praktek
Politik Islam di Indonesia. Paramadiana: Jakarta.
Wahid, Abdurrahman. (2009). Gerakan Islam Transional di Indonesia. Jakarta: The
Wahid Institude

Wahyudi, Yudian. (1960). Dinamika politik : kembali kepada al-Qur'an dan Sunnah
di Mesir, Maroko dan Indonesia. Yogyakarta: Pesantren Nawesea.

Anda mungkin juga menyukai