Anda di halaman 1dari 4

Nama : Wiji Widodo

Tempat Lahir : Sorogenen, Solo, Jawa Tengah

Tanggal Lahir : 23 Agustus 1963

Wafat : Hilang sejak 27 Juli 1998

Profesi : Sastrawan, Ativis

Pasangan : Siti Dyah Sujirah

Anak : Fitri Nganthi Wani dan Fajar Merah

Wiji Widodo nama aslinya, dilahirkan dari keluarga katolik, di Sorogenen, Solo 26 Agustus 1962.
Bapaknya seorang penarik becak, ibunya kadang menjual ayam bumbu untuk membantu ekonomi
keluarga.

Nama “Thukul” yang berarti tumbuh, disematkan kepadanya oleh Cempe Lawu Warta ketika ia aktif
berteater dengan Sarang Teater Jagat (Jagalan Tengah). Wiji Thukul, artinya biji yang tumbuh.

Anak pertama dari tiga bersaudara di lingkungan kaum marjinal. Mayoritas penduduknya adalah tukang
becak dan buruh, termasuk bapaknya yang juga bekerja menjadi tukang becak.

Sejak duduk di bangku sekolah dasar, Thukul sudah mulai gemar menulis puisi. Lulus sekolah dasar, ia
lanjutkan sekolah di SMP Negeri 8 Solo. Semasa duduk di bangku SMP, ia mulai tertarik menekuni dunia
teater. Ia pun meneruskan sekolahnya di Sekolah Menengah Karawitan Indonesia (SMKI) jurusan tari.

Karena kendala ekonomi keluarga yang semakin sulit, ia memutuskan untuk berhenti sekolah ketika
menginjak di kelas dua. Sebagai anak sulung, ia merasa memiliki tanggung jawab atas keluarga terutama
kedua adiknya.

Setelah berhenti sekolah, ia menyambung hidup dengan berjualan koran, jadi calo tiket bioskop, dan
pernah juga menjadi tukang pelitur di sebuah perusahaan mebel di Solo.
Melalui teman sekolahnya, ia bergabung dengan kelompok Teater Jagalan Tengah (Jagat). Bersama
dengan teman-teman Jagat inilah, Thukul pernah mengamen puisi dari kampung ke kampung di
beberapa kota seperti: Solo, Jogja, Klaten, sampai Surabaya.

Pada Oktober 1989, Thukul menikahi Siti Dyah Surijah, atau kelak dikenal dengan nama Sipon. Mereka
berkenalan di Sanggar Teater jagat. Keduanya sama-sama aktif berkegiatan seni di Solo dan seringkali
tampil bersama dalam sebuah lakon teater.

Thukul dan Sipon sama-sama berasal dari kaum marjinal, mereka lalu tinggal di kampung Kalangan yang
terkenal sering dilanda banjir ketika musim hujan. Lingkungannya pun dipenuhi rumah-rumah petak
kecil yang berjejal sehingga terkesan kumuh.

Dengan pernikahannya dengan Sipon, Thukul dikaruniai seorang putri, Fitri Nganthi Wani, dan seorang
anak laki-laki, Fajar Merah. Fajar Merah kini pun melanjutkan perjuangan ayahnya melalui musik,
dengan melagukan puisi-puisi ayahnya, Wiji Thukul.

Aktivitas Wiji Thukul

Pada tahun 1992, sebagai warga Jagalan-Purungsawit, Thukul ikut serta dalam demonstrasi menentang
pencemaran lingkungan oleh sebuah pabrik tekstil, PT. Sariwarna Asli Solo.

Pada 1993, Thukul bersama temannya, Semsar Siahaan, membentuk Jaker (Jaringan Kerja Rakyat),
sebuah jaringan kerja seniman yang bergerak di bidang daya cipta dan kreativitas.

Nyalinya yang tak takut mati berlanjut pada tahun 1994. Terjadi aksi massa petani di Ngawi, Jawa Timur.
Thukul yang memimpin massa dan melakukan orasi dipukuli aparat militer.

Di tahun 1995, Thukul lagi-lagi menjadi penggerak demonstrasi besar aksi protes karyawan PT. Sritex.
Kala itu, ia dipukuli aparat sampai cedera pendengaran dan nyaris buta, meninggalkan cacat mata
karena dibenturkan ke sebuah mobil.

Semenjak itu, ia diincar karena diduga menjadi dalang demonstrasi dan puisi-puisinya dicurigai sebagai
penggerak massa melakukan protes.

Pada 22 Juli 1996, Thukul berangkat ke Jakarta menggabungkan Jaker dengan Partai Rakyat Demokratik
(PRD). Jadilah Thukul sebagai Ketua Divisi Propaganda dan Editor Suluh Pembebasan.

Awalnya, Jaker memiliki komitmen untuk tidak akan bergerak di bidang politik. Namun seiring dengan
makin bergejolaknya politik di Indonesia, Thukul memutuskan bergabung dengan Partai Rakyat
Demokratik (PRD) dan terlibat dalam politik praktis.

Sejak tahun 1996, Thukul dikenal sebagai seorang seniman rakyat dan menjadi bagian dari PRD,
berpaham sosialis dan beroposisi politik dengan rezim Orde Baru.

Peristiwa Hilangnya Wiji Thukul


Pada 27 Juli 1996, terjadi aksi pengambilalihan secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) di Jl. Diponegoro 58 Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai oleh pendukung Megawati Soekarnoputri.

Penyerbuan dilakukan oleh Soerjadi (Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan) yang dibantu oleh aparat
polisi dan ABRI. Kerusuhan meluas di beberapa daerah di Jakarta. Beberapa gedung dan kendaraan
terbakar.

Pemerintah saat itu menuduh aktivis PRD sebagai dalang kerusuhan. Akibatnya, PRD dibubarkan, para
aktivis dijebloskan ke penjara, sejumlah aktivis yang lain diculik, ditangkap, dan dihilangkan secara
paksa.

Sebagai aktivis PRD yang dianggap subversif terhadap negara, Thukul dijemput aparat di kediamannya di
Solo pada Agustus 1996. Namun Thukul menyamar dan berhasil kabur dengan memakai helm
meninggalkan Sipon istrinya, bersama kedua anaknya yang masih kecil.

Sejak itu, Thukul hinggap dari satu tempat ke tempat yang lain berusaha menyelamatkan dirinya dari
kejaran aparat.

Rezim Soeharto berhasil dilengserkan pada 21 Mei 1998, Thukul belum juga keluar. Akhirnya, sang istri
melaporkan ke Komisi Orang Hilang dan Tindak Kekerasan (KONTRAS) pada April 2000.

Sampai sekarang, Thukul belum juga ditemukan. Entah apa yang sebenarnya terjadi, tak ada yang
mengerti. Kasusnya pun seperti ditutup-tutupi dan tidak ada kabar dari pemerintah untuk mengungkap
kasus Thukul.

Thukul tidak pernah terlibat dalam tindak kriminal, korupsi, atau represi yang merugikan negara,
melainkan memperjuangkan keadilan dan advokasi melalui puisi. Namun, hak hidupnya direnggut tanpa
prosedur hukum yang jelas.

Karya-Karya Wiji Thukul

Hanya ada satu kata: Lawan!

Kata-kata dalam puisi Thukul memberikan penafsiran berbeda tentang puisi.

Hidupnya dipenuhi dengan berbagai kepahitan. Dimulai latar belakangya yang hanya bagian dari kaum
marginal, sampai aktivitasnya yang dipenuhi dengan getirnya memperjuangkan keadilan dan melawan
kotornya kezaliman penguasa.

Gaya bahasa dalam puisi Thukul sama sekali tak mengandung keindahan kata-kata kiasan dan majas
perumpamaan. Ia mengupas realitas sosial rakyat pinggiran melalui puisinya, dan tidak mungkin
diekspresikan dengan diksi-diksi penuh majas nan romantis.

Dengan bahasa yang sederhana, Thukul menginginkan semua orang dari kalangan intelek maupun
proletar bisa memahaminya secara jelas. Dengan bahasa yang sederhana, puisi-puisinya masih tetap
digaungkan sampai sekarang seolah menjadi semacam kutukan bagi penguasa zalim.
Jakarta, 1 Nopember 1997

Ada tiga sajak Thukul yang populer dan menjadi sajak wajib dalam aksi-aksi massa, yaitu Peringatan,
Sajak Suara, dan Bunga dan Tembok yang ketiganya ada dalam antologi “Mencari Tanah Lapang” yang
diterbitkan oleh Manus Amici, Belanda, pada 1994.

Tapi, sesungguhnya antologi tersebut diterbitkan oleh kerjasama KITLV dan penerbit Hasta Mitra,
Jakarta. Nama penerbit fiktif Manus Amici digunakan untuk menghindar dari pelarangan pemerintah
Orde Baru.

Selain itu, kumpulan puisi yang lain seperti Puisi Pelo dan Darman diterbitkan Taman Budaya Surakarta.

Penghargaan Wiji Thukul

Tentu dengan berbagai lika-liku perjuangannya, karya-karyanya, dan kisah-kisah kehidupannya, Thukul
mendapatkan beberapa penghargaan dari berbagai institusi.

Berkat puisi-puisinya, Thukul diundang untuk membacakan puisi di Kedubes Jerman di Jakarta oleh
Goethe Institut pada tahun 1989. Di tahun 1991, ia tampil membacakan puisi di “Pasar Malam Puisi” di
Pusat Kebudayaan Belanda, Jakarta.

Di tahun yang sama, Thukul bersama dengan W.S. Rendra mendapatkan penghargaan Wertheim
Encourage Award yang diberikan oleh Wertheim Stichting dari Belanda.

Pada 2002, Thukul lagi-lagi mendapatkan penghargaan “Yap Thiam Hien Award 2002”, sebuah
penghargaan dari Yayasan Pusat Studi Hak Asasi Manusia kepada orang-orang yang berjasa besar dalam
upaya penegakan hak asasi manusia di Indonesia.

Di tahun yang sama, sebuah film dokumenter dibuat tentang Wiji Thukul oleh Tinuk Yampolsky. Sebuah
penghargaan karena kisah-kisahnya yang luar biasa.

Anda mungkin juga menyukai